Tulisan ini saya
ikutsertakan dalam lomba event hari Ibu pada tanggal 22-23 Desember
2013. Mohon dukungan "like" dan komentar teman-teman sekalian di:
http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2013/12/22/untukmu-ibu-terima-kasih-ibu-matur-nuwun-bude-620605.html
Matur nuwun sebelumnya dan selamat hari Ibu :-)
**
177 - “Mother how are you today?” Sepenggal lirik lagu gubahan Alice May (1847 - 16 Agustus 1887) ini kunyanyikan untuk menanyakan kabar ibu di surga. Ya beliau telah meninggal 30 tahun silam. Tepatnya tanggal 19 Agustus 1983.
Saat itu, aku masih berusia 2 tahun 3 hari. Yosefa Setya Budiati melahirkanku ke bumi biru ini pada 16 Agustus 1981 di Rumah Bersalin Xaverius, Pasir Gintung, Tanjung Karang, Lampung. Ibuku meninggal pada usia relatif muda, 29 tahun. Beliau kelahiran Muntilan, Jawa Tengah, 23 Januari 1954.
Menurut cerita bapak, ibu menghembuskan nafas terakhir saat hendak dibawa ke ruang operasi di rumah sakit. Ibu memang sejak lama mengidap penyakit lever. Kalau zaman sekarang mungkin mirip dengan Dahlan Iskan yang harus menjalani operasi transplantasi hati di negeri China.
Kalau Pak Dahlan sakit lever karena terlalu sibuk bekerja sebagai wartawan, ibuku sakit lever karena terlalu sibuk bekerja sebagai guru. Menurut cerita bapak, ibu mengajar mata pelajaran Matematika di dua sekolah, yakni di SMPN 1 Rawa Laut, Tanjung Karang dan SMP Budi Mulia, Kedaton, Bandar Lampung.
Selain itu, sepulang sekolah ibu juga masih memberikan les privat di rumah hingga larut malam. Kursi-kursi dengan pegangan khusus untuk alas menulis masih ada hingga kini. Menurut bapak, ibu sering lupa makan kalau sudah keasyikan bekerja.
Aku anak pertama dari pasangan muda tersebut. Kembali menurut cerita bapak, saat ibu meninggal beliau sedang mengandung 3 bulan. Jadi masing-masing sudah bersama buah hatinya masing-masing. Aku dan bapak di dunia ini, almarhum ibu dan calon adikku di surga sana.
Setelah ibu meninggal dunia, aku yang masih kecil dititipkan ke keluarga Bude Christina Suriyem. Karena setiap pagi bapak harus berangkat kerja sebagai guru. Beliau mengajar mata pelajaran Biologi di SMPN 1 Rawa Laut, Tanjung Karang. Sepulang sekolah, bapak menjemputku di rumah bude.
Sedikit intermezo ihwal kisah cinta kedua orang tuaku. Menurut cerita bapak, mereka sama-sama bekerja di SMPN 1 tersebut. Pun berasal dari pulau Jawa. Bapak dari Nyutran, Yogyakarta sedangkan ibu dari Muntilan, Jawa Tengah. Sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), mereka dulu mendapat tugas kerja mengajar di pulau Sumatra, tepatnya di Tanjung Karang, Lampung.
Selain itu, mereka juga sama-sama bernama Budi. Ibuku bernama Budiati, bapakku bernama Budiharjo. Teman-teman guru di SMPN 1 Rawa Laut sering bercanda dan menjodoh-jodohkan keduanya, “Pak Budi di mana Bu Budi?” Singkat cerita mereka pacaran dan akhirnya memutuskan untuk berumah tangga. Kalau zaman sekarang mungkin ini yang disebut cinlok (cinta lokasi).
Ingatanku ihwal sosok ibu sangat terbatas. Selain karena hanya 2 tahun 3 hari hidup bersamanya, juga karena saat itu aku masih kecil. Aku mengenali wajah ibu dari foto-foto hasil jepretan tustel (kamera) bapak yang tersimpan rapi di album keluarga.
Menurut cerita dari para kerabat, ibuku orangnya tegas. Kalau mengajar Matematika di kelas bahasa Jawanya “ngedongke”. Ia bisa membuat rumus-rumus Matematika yang rumit jadi gampang dipahami oleh para murid.
Tatkala mulai masuk TK (Taman Kanak-kanak) di TK Sejahtera 1, Kedaton, Bandar Lampung, aku sering merasa iri pada teman-teman sekelas. Mereka diantar oleh ibunya ke sekolah. Sedangkan aku setiap pagi berangkat sendiri.
Rumah bude tempat aku dititipkan memang dekat dengan sekolah. Cukup berjalan santai 5 menit sudah sampai. Bude Sur tak bisa mengantarku karena ia bekerja sebagai pembuat gorengan, seperti bakwan, tahu susur, tempe mendoan, dan lain-lain.
Pada jam-jam istirahat – dulu istilahnya “keluar main” - anak-anak lain lari berhamburan keluar kelas dan segera menghampiri ibu mereka masing-masing. Lantas, ada yang masih minta disuapi makanan bekal oleh ibunya. Sedangkan aku hanya sendirian menyantap bekal yang dibawakan oleh Bude Sur dari rumah tadi. Biasanya aku duduk di pojok dekat tiang sendirian. Saat itu aku sungguh merindukan ibuku.
Pada akhir pekan, aku diajak bapak bersama-sama nyekar (berziarah) ke makam ibu. Yang aku ingat bapak sering bermain sulap setelah berdoa di depan pusara ibu. Sulapnya menggunakan koin. Bapak menyembunyikan koin di sekitar makam ibu saat aku memejamkan mata. Kalau aku berhasil menemukannya, uang tersebut boleh kupakai untuk jajan. Saat itu jajanan favoritku ialah es lilin.
Saat nyekar ke makam ibu, aku juga sering bertanya-tanya, “Kenapa Tuhan ibuku Engkau panggil begitu cepat? Aku ingin menyusulnya ke surga, tapi bagaimana caranya Tuhan?” Kadang saat berdoa bersama bapak, dalam benak kecilku aku membayangkan adegan seperti di film-film, “Tiba-tiba pusara ibu terbuka, beliau bangkit kembali dari alam kubur. Sehingga aku bisa memiliki keluarga yang utuh. Ada bapak, ibu, dan anak.
Sepulang ke rumah, menjelang tidur di malam hari, aku ingin merasakan hangatnya dipeluk seorang ibu. Tapi kenyataannya yang ada di samping kananku hanya bapak. Lantas, aku membaringkan di samping kiriku guling berukuran besar. Kalau kangen dengan ibu, kudekap saja erat-erat guling tersebut hingga aku terlelap.
Untungnya Gusti mboten sare (Tuhan tidak pernah tidur), keluarga bude Suriyem tempat aku dititipkan begitu sayang padaku. Bude Sur dan Pakde Mardi aslinya memiliki lima anak kandung. Tapi kalau tetangga bertanya berapa anaknya, ia selalu menjawab anaknya ada 6, termasuk aku.
Kendati demikian, tetap saja kentara sekali bedanya. Karena aku memiliki kulit berwarna sawo matang dan berambut keriting seperti bapak dan ibuku, sedangkan anak-anak Bude Sur berkulit kuning langsat dan berambut lurus seperti bapak dan ibunya. Tapi Bude Sur sekeluarga tak pernah bersikap diskriminatif kepadaku. Aku jadi sering menginap dan tinggal bersama mereka.
Bapak dan ibu memang sudah kenal lama dengan keluarga Pakde Mardi dan Bude Sur walau notabene mereka tak memiliki hubungan darah. Dulu ketika bapak dan ibu masih mengontrak rumah dan belum memiliki rumah sendiri, rumah kontrakan mereka di beralamat di belakang Pasar Koga, di lerang Gunung Perahu, Kedaton, Bandar Lampung. Lokasinya tepat berada di depan rumah Bude Suriyem.
Jadi pun praktis sejak saat ibuku masih ada, aku sudah sering dititipkan ke keluarga Bude Sur. Sebab bapak dan ibu harus berangkat kerja bersama mengajar di sekolah. Sepulang mengajar, mereka baru menjemput dan membawaku pulang ke rumah kontrakan.
Begitu ibu tidak ada lagi, frekuensi aku dititipkan ke rumah Bude Sur makin sering. Bahkan saat bapak mengajakku pulang ke rumah baru di Way Halim - ya bapak dan almarhum ibu telah mencicil rumah di Perumnas Way Halim, Bandar Lampung - aku tak mau. Aku sering juga menginap dan tinggal bersama keluarga bude Sur.
Aku lebih merasa betah tinggal di rumah bude. Karena di sana ramai dan banyak temannya. Ada Mbak Anik, Mbak Yus, Mbak Sisil, Mas Nono, dan Mbak Lena (anak-anak kandung bude Sur). Sedangkan kalau di rumah baru di Way Halim, aku hanya berdua dengan bapak.
Aku tinggal bersama keluarga bude Suriyem sampai lulus SMP Xaverius Tanjung Karang. Lalu, setelah itu aku merantau ke Yogyakarta melanjutkan studi di SMA Kolese De Britto, Yogyakarta.
Kini Bude Sur juga sudah meninggal dunia. Beliau mengidap penyakit kanker stadium IV. Saat menerima kabar kematiannya aku merasa sedih sekali. Aku seolah-olah kehilangan ibuku sendiri.
Pada kesempatan ini, tepat pada perayaan hari Ibu, 22 Desember 2013 aku mengucapkan selamat hari Ibu kepada ibu kandungku dan Bude Sur, “ibu” yang telah merawat dan membesarkanku. Selamat beristirahat di pangkuan-Nya. Mohon doa bagiku yang masih berziarah di dunia ini.
Aku bersyukur kepada Tuhan atas kebersamaan dengan ibu kandungku walau hanya berlangsung selama 2 tahun 3 hari. Karena banyak anak-anak lain yang telah ditinggal wafat ibunya saat masih berusia 0 tahun. Sang ibu meninggal dunia saat bertaruh nyawa melahirkan anaknya. Aku percaya hubungan fisik memang sudah berakhir tapi hubungan batin antara ibu dan anak abadi selamanya.
Akhir kata, aku juga berterimakasih kepada almarhum Bude Sur, “ibu” keduaku. Walau kami tak ada hubungan darah tapi beliau sungguh mencintaiku seperti menyayangi anak kandungnya sendiri. Matur nuwun Bude…
Nyutran, Yogyakarta, Minggu/22 Desember 2013
**
Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana (klik link ini) http://www.kompasiana.com/androgini
Silahkan bergabung juga di group FB Fiksiana Community https://www.facebook.com/groups/175201439229892/ )
http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2013/12/22/untukmu-ibu-terima-kasih-ibu-matur-nuwun-bude-620605.html
Matur nuwun sebelumnya dan selamat hari Ibu :-)
**
177 - “Mother how are you today?” Sepenggal lirik lagu gubahan Alice May (1847 - 16 Agustus 1887) ini kunyanyikan untuk menanyakan kabar ibu di surga. Ya beliau telah meninggal 30 tahun silam. Tepatnya tanggal 19 Agustus 1983.
Saat itu, aku masih berusia 2 tahun 3 hari. Yosefa Setya Budiati melahirkanku ke bumi biru ini pada 16 Agustus 1981 di Rumah Bersalin Xaverius, Pasir Gintung, Tanjung Karang, Lampung. Ibuku meninggal pada usia relatif muda, 29 tahun. Beliau kelahiran Muntilan, Jawa Tengah, 23 Januari 1954.
Menurut cerita bapak, ibu menghembuskan nafas terakhir saat hendak dibawa ke ruang operasi di rumah sakit. Ibu memang sejak lama mengidap penyakit lever. Kalau zaman sekarang mungkin mirip dengan Dahlan Iskan yang harus menjalani operasi transplantasi hati di negeri China.
Kalau Pak Dahlan sakit lever karena terlalu sibuk bekerja sebagai wartawan, ibuku sakit lever karena terlalu sibuk bekerja sebagai guru. Menurut cerita bapak, ibu mengajar mata pelajaran Matematika di dua sekolah, yakni di SMPN 1 Rawa Laut, Tanjung Karang dan SMP Budi Mulia, Kedaton, Bandar Lampung.
Selain itu, sepulang sekolah ibu juga masih memberikan les privat di rumah hingga larut malam. Kursi-kursi dengan pegangan khusus untuk alas menulis masih ada hingga kini. Menurut bapak, ibu sering lupa makan kalau sudah keasyikan bekerja.
Aku anak pertama dari pasangan muda tersebut. Kembali menurut cerita bapak, saat ibu meninggal beliau sedang mengandung 3 bulan. Jadi masing-masing sudah bersama buah hatinya masing-masing. Aku dan bapak di dunia ini, almarhum ibu dan calon adikku di surga sana.
Setelah ibu meninggal dunia, aku yang masih kecil dititipkan ke keluarga Bude Christina Suriyem. Karena setiap pagi bapak harus berangkat kerja sebagai guru. Beliau mengajar mata pelajaran Biologi di SMPN 1 Rawa Laut, Tanjung Karang. Sepulang sekolah, bapak menjemputku di rumah bude.
Sedikit intermezo ihwal kisah cinta kedua orang tuaku. Menurut cerita bapak, mereka sama-sama bekerja di SMPN 1 tersebut. Pun berasal dari pulau Jawa. Bapak dari Nyutran, Yogyakarta sedangkan ibu dari Muntilan, Jawa Tengah. Sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), mereka dulu mendapat tugas kerja mengajar di pulau Sumatra, tepatnya di Tanjung Karang, Lampung.
Selain itu, mereka juga sama-sama bernama Budi. Ibuku bernama Budiati, bapakku bernama Budiharjo. Teman-teman guru di SMPN 1 Rawa Laut sering bercanda dan menjodoh-jodohkan keduanya, “Pak Budi di mana Bu Budi?” Singkat cerita mereka pacaran dan akhirnya memutuskan untuk berumah tangga. Kalau zaman sekarang mungkin ini yang disebut cinlok (cinta lokasi).
Ingatanku ihwal sosok ibu sangat terbatas. Selain karena hanya 2 tahun 3 hari hidup bersamanya, juga karena saat itu aku masih kecil. Aku mengenali wajah ibu dari foto-foto hasil jepretan tustel (kamera) bapak yang tersimpan rapi di album keluarga.
Menurut cerita dari para kerabat, ibuku orangnya tegas. Kalau mengajar Matematika di kelas bahasa Jawanya “ngedongke”. Ia bisa membuat rumus-rumus Matematika yang rumit jadi gampang dipahami oleh para murid.
Tatkala mulai masuk TK (Taman Kanak-kanak) di TK Sejahtera 1, Kedaton, Bandar Lampung, aku sering merasa iri pada teman-teman sekelas. Mereka diantar oleh ibunya ke sekolah. Sedangkan aku setiap pagi berangkat sendiri.
Rumah bude tempat aku dititipkan memang dekat dengan sekolah. Cukup berjalan santai 5 menit sudah sampai. Bude Sur tak bisa mengantarku karena ia bekerja sebagai pembuat gorengan, seperti bakwan, tahu susur, tempe mendoan, dan lain-lain.
Pada jam-jam istirahat – dulu istilahnya “keluar main” - anak-anak lain lari berhamburan keluar kelas dan segera menghampiri ibu mereka masing-masing. Lantas, ada yang masih minta disuapi makanan bekal oleh ibunya. Sedangkan aku hanya sendirian menyantap bekal yang dibawakan oleh Bude Sur dari rumah tadi. Biasanya aku duduk di pojok dekat tiang sendirian. Saat itu aku sungguh merindukan ibuku.
Pada akhir pekan, aku diajak bapak bersama-sama nyekar (berziarah) ke makam ibu. Yang aku ingat bapak sering bermain sulap setelah berdoa di depan pusara ibu. Sulapnya menggunakan koin. Bapak menyembunyikan koin di sekitar makam ibu saat aku memejamkan mata. Kalau aku berhasil menemukannya, uang tersebut boleh kupakai untuk jajan. Saat itu jajanan favoritku ialah es lilin.
Saat nyekar ke makam ibu, aku juga sering bertanya-tanya, “Kenapa Tuhan ibuku Engkau panggil begitu cepat? Aku ingin menyusulnya ke surga, tapi bagaimana caranya Tuhan?” Kadang saat berdoa bersama bapak, dalam benak kecilku aku membayangkan adegan seperti di film-film, “Tiba-tiba pusara ibu terbuka, beliau bangkit kembali dari alam kubur. Sehingga aku bisa memiliki keluarga yang utuh. Ada bapak, ibu, dan anak.
Sepulang ke rumah, menjelang tidur di malam hari, aku ingin merasakan hangatnya dipeluk seorang ibu. Tapi kenyataannya yang ada di samping kananku hanya bapak. Lantas, aku membaringkan di samping kiriku guling berukuran besar. Kalau kangen dengan ibu, kudekap saja erat-erat guling tersebut hingga aku terlelap.
Untungnya Gusti mboten sare (Tuhan tidak pernah tidur), keluarga bude Suriyem tempat aku dititipkan begitu sayang padaku. Bude Sur dan Pakde Mardi aslinya memiliki lima anak kandung. Tapi kalau tetangga bertanya berapa anaknya, ia selalu menjawab anaknya ada 6, termasuk aku.
Kendati demikian, tetap saja kentara sekali bedanya. Karena aku memiliki kulit berwarna sawo matang dan berambut keriting seperti bapak dan ibuku, sedangkan anak-anak Bude Sur berkulit kuning langsat dan berambut lurus seperti bapak dan ibunya. Tapi Bude Sur sekeluarga tak pernah bersikap diskriminatif kepadaku. Aku jadi sering menginap dan tinggal bersama mereka.
Bapak dan ibu memang sudah kenal lama dengan keluarga Pakde Mardi dan Bude Sur walau notabene mereka tak memiliki hubungan darah. Dulu ketika bapak dan ibu masih mengontrak rumah dan belum memiliki rumah sendiri, rumah kontrakan mereka di beralamat di belakang Pasar Koga, di lerang Gunung Perahu, Kedaton, Bandar Lampung. Lokasinya tepat berada di depan rumah Bude Suriyem.
Jadi pun praktis sejak saat ibuku masih ada, aku sudah sering dititipkan ke keluarga Bude Sur. Sebab bapak dan ibu harus berangkat kerja bersama mengajar di sekolah. Sepulang mengajar, mereka baru menjemput dan membawaku pulang ke rumah kontrakan.
Begitu ibu tidak ada lagi, frekuensi aku dititipkan ke rumah Bude Sur makin sering. Bahkan saat bapak mengajakku pulang ke rumah baru di Way Halim - ya bapak dan almarhum ibu telah mencicil rumah di Perumnas Way Halim, Bandar Lampung - aku tak mau. Aku sering juga menginap dan tinggal bersama keluarga bude Sur.
Aku lebih merasa betah tinggal di rumah bude. Karena di sana ramai dan banyak temannya. Ada Mbak Anik, Mbak Yus, Mbak Sisil, Mas Nono, dan Mbak Lena (anak-anak kandung bude Sur). Sedangkan kalau di rumah baru di Way Halim, aku hanya berdua dengan bapak.
Aku tinggal bersama keluarga bude Suriyem sampai lulus SMP Xaverius Tanjung Karang. Lalu, setelah itu aku merantau ke Yogyakarta melanjutkan studi di SMA Kolese De Britto, Yogyakarta.
Kini Bude Sur juga sudah meninggal dunia. Beliau mengidap penyakit kanker stadium IV. Saat menerima kabar kematiannya aku merasa sedih sekali. Aku seolah-olah kehilangan ibuku sendiri.
Pada kesempatan ini, tepat pada perayaan hari Ibu, 22 Desember 2013 aku mengucapkan selamat hari Ibu kepada ibu kandungku dan Bude Sur, “ibu” yang telah merawat dan membesarkanku. Selamat beristirahat di pangkuan-Nya. Mohon doa bagiku yang masih berziarah di dunia ini.
Aku bersyukur kepada Tuhan atas kebersamaan dengan ibu kandungku walau hanya berlangsung selama 2 tahun 3 hari. Karena banyak anak-anak lain yang telah ditinggal wafat ibunya saat masih berusia 0 tahun. Sang ibu meninggal dunia saat bertaruh nyawa melahirkan anaknya. Aku percaya hubungan fisik memang sudah berakhir tapi hubungan batin antara ibu dan anak abadi selamanya.
Akhir kata, aku juga berterimakasih kepada almarhum Bude Sur, “ibu” keduaku. Walau kami tak ada hubungan darah tapi beliau sungguh mencintaiku seperti menyayangi anak kandungnya sendiri. Matur nuwun Bude…
Nyutran, Yogyakarta, Minggu/22 Desember 2013
**
Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana (klik link ini) http://www.kompasiana.com/androgini
Silahkan bergabung juga di group FB Fiksiana Community https://www.facebook.com/groups/175201439229892/ )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar