Dimuat di Targetabloid.com, Jumat/20 Desember 2013
Yogyakarta,Targetabloid-Selasa (17/12/2013) pukul 19.00-21.30 WIB Mohammad Sobary menyampaikan refleksi kebudayaan di Kantor DIAN/Interfidei (Institute for Interfaith Dialogue in Indonesia),
Jl. Banteng Utama 59, Perum Banteng Baru, Sinduharjo, Ngaglik,
Yogyakarta. Mantan Pemimpin Umum Kantor Berita Antara tersebut mengulas
topik “Kebenaran adalah Masa Depan Kita.”
Dalam
undangannya, panitia menjelaskan bahwa refleksi ini bagian dari Tahun
Kebenaran. Sebuah kampanye yang digagas oleh KKPK untuk memecah kebisuan
suara kebenaran dari para korban yang terbungkam. Dalam kurun waktu
Desember 2012 sampai Maret 2014, seluruh elemen masyarakat sipil (civil society)
diajak turut menyebarluaskan suara-suara kebenaran. Sebagai bahan
pembelajaran bagi masyarakat dalam menangani berbagai persoalan
kekerasan yang terjadi di Indonesia.
Ismadi, Kepala Dukuh Dusun Banteng turut urun rembug
di awal acara. Menurutnya, agama dan budaya tak bisa dipisahkan satu
sama lain. Agama tanpa budaya ibarat sayur tanpa bumbu. “Dusun Banteng
ini ialah miniaturnya Indonesia. Di sini ada dua masjid dan dua gereja
tapi suasana tetap kondusif, aman, saling menghargai perbedaan, dan
dapat hidup berdampingan dengan rukun, “ imbuhnya.
Pak
Dukuh juga menambahkan, “Banyak orang-orang top dari dalam dan luar
negeri datang ke Dusun Banteng ini. Kalau kami harus ikut seminar untuk
mengikuti ceramah mereka pasti tak kuat membayar. Oleh sebab itu, kami
mengucapkan terima kasih kepada DIAN/Interfidei karena lembaga lintas
iman ini sangat bermanfaat bagi masyarakat setempat.”
Lalu,
Elga Sarapung balik mengapresiasi Pak Dukuh dan warganya. “Kalau ada
rombongan datang ke sini menaiki bis besar dan kendaraannya terpaksa
diparkir di pinggir jalan, mohon maaf kalau sedikit menghalangi
kelancaran lalu lintas. Terima kasih atas pengertian penghuni RT 7, 8, 9
dan seluruh warga Banteng,” ujar Direktur DIAN/Interfidei tersebut.
Ia
juga berterima kasih kepada Kang Sobary yang jauh-jauh telah datang
dari Jakarta. “Di pengujung tahun 2013 ini merupakan saat yang tepat
untuk berefleksi bersama. Banyak hal yang terjadi sepanjang tahun ini.
Dari tayangan televisi kita bisa menyaksikan aneka peristiwa, dari yang
paling tidak baik sampai yang baik. Tahun depan kita masih belum tahu,
semoga yang terbaiklah yang bakal terjadi,” pungkasnya.
Selanjutnya,
Achmad Munjid mengambil alih kendali diskusi. Menurut Munjid,
perkenalan dengan budayawan tersebut lewat tulisan-tulisan beliau.
“Karya tulis Kang Sobary itu singkat, padat tapi maknanya mendalam dan
analisis-analisisnya mengejutkan,” ujarnya.
Mohamad Sobary pernah menjadi Direktur Eksekutif Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan (Partnership for Governance Reform).
Jabatan tersebut berakhir Juli 2009. Kini Sobary sedang memfokuskan
diri pada penulisan novel tentang keluarga Syailendra yang membangun
Borobudur. Di tengah kesibukan itu, dia telah menyelesaikan catatan
kenangan dengan Gus Dur. Pertama, Jejak Guru Bangsa: Meneladani Kearifan Gus Dur. Kedua, Gus Dur dan Kang Sobary : KeIndonesiaan dan Kemanusiaan (Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Mohamad_Sobary).
Tanpa
berpanjang lebar, sang moderator memersilakan alumnus Monash
University, Australia tersebut untuk menguraikan refleksinya. Kang
Sobary melihat Dusun Banteng ini sebagai cermin corak kebudayaan di
Indonesia. Pak Dukuh dan warga bisa menerima DIAN/Interfidei dengan
tangan terbuka. Ini berkah dari langit karena kaum intelektual,
terpelajar, tokoh agama dan kepercayaan yang berbeda-beda pernah hadir
di sini sebagai cahaya cemerlang. Ini bukan dari sudut pandang ekonomi
saja, tapi juga rohani. “Laboratorium kebudaayan ini ada tanpa didesain,
terjadi begitu saja seperti daru dari langit. Di Jakarta kini
banyak orang merasa memiliki wahyu sehingga minta diberi kekuasaan.
Padahal wahyu itu datang sendiri tak perlu dicari ke mana-mana,”
ujarnya.
Pria kelahiran Bantul, Yogyakarta, 7 Agustus 1952
tersebut lantas mengusulkan konsep kebenaran masa depan, yakni
kebenaran untuk semua. “Sebuah proyek kebudayaan untuk menata kebenaran
bagi seluruh warga negara. Ini ibarat jembatan besar agar kita semua
bisa melewati hari ke hari dengan nyaman. Dalam pemikiran saya,
kebenaran ilmiah, politik, hukum, dan ilahiah harus kita pakai semua
agar tidak timpang. Rumusannya menjadi kebenaran yang adil dan
manusiawi,” imbuhnya.
“Kebenaran akan benar kalau adil.
Bisa jadi benar secara hukum tapi kalau melukai keadilan seorang ibu,
itu bukan kebenaran. Kebenaran juga akan benar kalau manusiawi, orang
mau berjualan kok malah digusur. Tapi kenapa mini market justru
diberi ijin berjualan 24 jam bahkan sampai masuk ke gang-gang sempit di
kampung. Sehingga ibu-ibu pemilik warung kecil yang hendak mencari
untung beberapa ratus rupiah saja terpaksa gulung tikar,” papar Kang
Sobary.
Kang Sobary juga mengajak hadirin mengembara kembali (flashback)
ke abad 10 pada era pemerintahan Raja Airlangga di Kediri. Menurut
pengagum dalang, almarhum Ki Timbul tersebut, ia banyak belajar
nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan dari kidung macapat dan tembang
Jawa. Termasuk karya-karya sastra warisan leluhur dari zaman Airlangga,
salah satunya gubahan pujangga Jayabaya.
Sebelum memasuki
sesi tanya-jawab, moderator memersilakan hadirin menikmati sajian
angkringan yang telah disediakan panitia. Ada wedang jahe, teh hangat,
nasi kucing (porsi mini), gorengan tahu, tempe, bakwan, sate telur
puyuh, salak pondok, dll. Alunan musik akustik juga menemani saat jeda
tersebut.
Selepas
istirahat, Alissa Wahid, Koordinator Sekretariat Nasional Gerakan
Gusdurian yang kebetulan hadir turut menyampakan gagasannya. Ia
berpendapat bahwa Indonesia tidak akan menemukan kebenaran di masa depan
bila kita - terutama pemimpin negara ini – kini enggan mengobati
luka-luka masa lalu.
Psikolog Keluarga tersebut juga
mengajak hadirin belajar dari almarhum Nelson Mandela di Afrika Selatan.
Di sana bisa terjadi rekonsiliasi karena kesediaan kedua belah pihak
yang pernah bertikai mau mengobati luka-luka masa lalu. “Sedangkan kita
di Indonesia cenderung merepresi masalah-masalah yang terjadi di masa
lalu. Kita bersembunyi di balik hikmah, harapan, dan kata-kata bijak.
Padahal lukanya tetap ada dan tak pernah sembuh,” imbuhnya.
Sebagai
solusi, ia memberi contoh dari upaya Gus Dur merangkul masyarakat Papua
tempo hari. “Beliau menyadari bahwa ada luka-luka lama yang harus
disembuhkan terlebih dahulu,” kenang Alissa Wahid. Semangat inklusif
Presiden ke-4 RI untuk membangun negara yang menghargai pluralitas
agama, etnis, golongan dan mengupayakan pemerataan akses ekonomi
masyarakat itu tetap relevan diterapkan saat ini.
Pada
sesi tanya jawab, Sudarto mengungkapkan cerita dari seorang dosen di
sebuah universitas negeri terkemuka. Menurut sang dosen, setiap hari ia
seolah berhadapan dengan mahasiswa-mahasiswi yang mirip zombie. “Di mana
semangat kaum muda yang siap mendobrak kemapanan dan berani memberontak
itu?” tanyanya.
Menurut Kang Sobary, tidak apa begitu
karena dari dulu memang begitu. Pangeran Diponegoro pun mencari kawan
untuk melawan penjajah Belanda tidak gampang. “Kalau kamu tidak punya
teman maju sendiri,” ujarnya. Lalu, Kang Sobary menawarkan cara jihad
pada tataran pemikiran, yakni dengan menulis di media massa dan menulis
buku. Selain itu, ia juga merekomendasikan sebuah gerakan tanpa gerakan.
Misalnya
menghadapi mini market yang bertebaran di mana-mana sampai ke dalam
gang-gang sempit di kampung, mereka ibarat singa yang mau menerkam semua
makhluk yang lemah. “Tak usah bergerak, jangan menginjak halaman mini
market tersebut selama 1, 2, 3, sampai 1.000 bulan, lama-lama juga akan
tutup sendiri. Inilah gaya kaum Samin. Perlawanan yang lembut, ahimsa Gandhi ala sini,” pungkasnya. ( RED )
Editor dan Foto : Nugraha A- Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar