April 06, 2009

Menata Trotoar dengan Hati

Dimuat di Rubrik Bebas Bicara, Bernas Jogja, Selasa/7 April 2009

Saat ini pertumbuhan Pedagang Kaki Lima (PKL) kian tak terkendali. Senada dengan tembang "Bunga Trotoar"-nya Bung Iwan Fals, "Menggelar aneka barang, kaki lima makin menjalar..." Tentunya di sepanjang trotoar. Misal dari dusun Soropadan di Jln. Affandi (Gejayan) sampai dengan perpustakaan Universitas Sanata Dharma (USD) di Mrican. Trotoar di sana beralih fungsi menjadi areal lapak kaki lima, terutama pada malam hari.

Kalau kita perhatikan, hampir semua trotoar di Yogyakarta tak bersahabat dengan pejalan kaki. Padahal menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (W.J.S Poerwadarminta, Balai Pustaka, 1976) Trotoar ialah tempat orang berjalan kaki.

Sebagai bahan perbandingan, pejabat di kota-kota negara maju senantiasa menata trotoar secara apik. Sebab salah satu tolak ukur kinerja mereka ialah rupa trotoarnya. Lebar trotoar rata-rata 6-12 m. Permukaannya dilapisi batu-batu granit agar tidak licin saat hujan atau musim salju. Dan yang pasti, trotoar bukanlah lahan parkir ataupun tempat berdagang.

Pada kedua sisi trotoar ditanami pepohonan rindang dan aneka bunga warna -warni. Bayangkan saat Anda melintasi The Fifth Avenue di New York dan merasakan kedamaian saat jalan-jalan sore (JJS). Suasana nyaman tersebut kerap pula dibumbui dengan suara gitar dan harmonika yang membelai sukma (Sumber: Membangun Trotoar, Membangun Peradaban, Kompas (19/6/2008)).

Oleh sebab itu, para pedagang kaki lima perlu direlokasi ke tempat yang lebih memadai. Dulu dari perempatan Kolombo di Jl. Affandi (gejayan) sampai ke SMU Gama berjajar pedagang-pedagang kaki lima. Sekarang mereka dipindahkan ke Resto PKL di sisi timur Kampus USD Mrican. Hasilnya, PKL tetap laris manis dan trotoarnya pun menjadi lebih rapi. Bersih dan indah karena dihiasi lukisan mural pada sisi temboknya.

Akhir kata, trotoar dan pedagang kaki lima relasinya tak saling menafikan. Asalkan kita tata bersama dengan hati.