Maret 30, 2008

Jer Basuki Mawa Bea

Dimuat di Rubrik Suara Mahasiswa, SKH Kedaulatan Rakyat, 11 September 2007

Walau (konon) PM Abdullah Badawi sudah meminta maaf sedalam-dalamnya (profound apologize) atas insiden pengeroyokan Donald Luther oleh empat polisi Diraja Malaysia (PDRM), namun masih tercabik hati ini sebagai seorang anak negeri. Kenapa? sebab ada kisah sentimentil di balik aksi barbarian tersebut. Ketua delegasi wasit Indonesia itu dikira TKI ilegal. Seburam itukah potret negri kita di mata dunia, khususnya negara-negara tetangga? kenapa kini yang dominan ialah image (citra) meminjam istilah Bung Karno - bangsa kuli? Padahal dulu banyak profesor universitas negri jiran yang menuntut ilmu di kepulauan nusantara ini.

Mari sejenak meninjau peziarahan kita sebagai suatu bangsa. Referensinya ialah cita-cita luhur para founding fathers yang termaktub dalam Mukadimah UUD 1945, alinea ke-4. Berikut ini dua petikannya:

Pertama, "...suatu pemerintah negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa." Konsekuensinya, pemerintah musti mengelola sumber daya alam guna mencukupi kebutuhan sandang, pangan, dan papan seluruh rakyat. Misalnya dengan menggiatkan usaha koperasi di akar rumput. Sehingga mereka tak perlu hijrah ke luar negri untuk mengais rejeki.

Lebih lanjut, bangsa ini harus memberi perhatian lebih pada tarnsformasi sektor pendidikan nasional. Bukankah untuk melahirkan generasi masa depan yang cerdas, manusiawi dan trampil pelu komitmen, kerja keras sera anggaran minimal 20 persen dari APBN. Sebab pepatah lama mengatakan, "Jer Basuki Mawa Bea."

Kedua, idealnya anak bangsa melawat negri manca dalam rangka mengharumkan nama Ibu Pertiwi,"...ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial." Konkretnya, seperti Anand Krishna yang diundang oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Konferensi Internasional ke-60 bertema Climate Change - How It Affects Us All (Perubahan Iklim serta Dampaknya pada Kita Semua) pada 5-7 September 2007 lalu di New York. Selain itu, penulis produktif 110 buku ini akan melaunching karya terbarunya Voice of Indonesia (Seruan dari Indonesia) di Los Angeles (LA) pada detik-detik peringatan tragedi kemanusaan pengebomam World Trade Center (WTC) pada 11 September 2007.

Prestasi membanggakan tersebut seyogyanya memicu kobaran api proaktivitas dalam diri setiap anak negri untuk bergotong-royong dan berkarya lebih giat demi kebangkitan bangsa dan perdamaian dunia. Caranya ialah dengan - menyitir judul lagu Sheila on Seven - Berhenti Berharap...pada bantuan lembaga donor, pemerintah yang melik nggendong lali, instatnsi militer, politikus korup, tokoh masyarakat maupun pemuka agama yang rumangsa isa tapi ora isa rumangsa, wakil rakyat yang bermental proyek aji mumpung, dst.

Mari kita semua sebagai warga negara mulai memberdaya diri dan meningkatkan kesadaran sipil (civic awareness). Yakni dengan membudayakan sikap lepas-bebas, kreatif-inovatif mengikuti percikan energi ilahi dalam diri di lingkap pengaruh masing-masing. Lebih mau memberi ketimbang menghisap. Menyadur seruan mendiang John F Kennedy,"Jangan bertanya apa yang negara telah berikan padamu. Tapi bertanyalah pada dirimu sendiri, apa yang sudah kupersembahkan bagi tanah airku, bangsaku dan last but not least kemanusiaanku?"

Maret 27, 2008

SEMBAH BHAKTI BAGI IBU PERTIWI

Dimuat di Rubrik Bebas Bicara, BERNAS Jogja, 28 Maret 2008

Pepatah lama mengatakan, "Surga di bawah telapak kaki Ibu." Raja Sanjaya memahami filosofi ini. Penguasa Bumi Jawa Dwipa pada medio abad ketujuh tersebut memperkenalkan istilah "Mataram" yang berarti Ibu Pertiwi. Lantas 1.200 tahun kemudian, pada era revolusi kemerdekaan, kata sandi (password) "Ibu Pertiwi Memanggil" kembali dipakai oleh para founding fathers untuk menggelorakan semangat rakyat mengusir kaum imperialis yang menginjak-injak kehormatan Ibu Pertiwi selama 350 tahun lebih.

Anand Krishna aktivis spiritual lintas agama Nusantara kembali mempopulerkan mantra "Bende Mataram" di era milenium ini. Artinya sinonim dengan, Sembah Bhakti bagi Ibu Pertiwi. Walau kita berbeda latar belakang suku, agama, ras, profesi, status, gender, ideologi, dst tapi kita semua adalah anak bangsa. Kita boleh memeluk agama Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, Kong Hu Chu, ataupun beraliran kepercayaan Kejawen, Kaharingan, Samin, Teosofi, dst namun sejatinya kita saudara sekandung yang notabene dilahirkan, disusui, dan dibesarkan oleh Bunda Indonesia hingga menjadi dewasa seperti saat ini.

Dalam psikologi ada istilah "marasmus". Yakni bayi yang meninggal akibat ditelantarkan. Ia merasa kesepiaan dan depresi karena tak mendapat sentuhan kasih sayang dari ortu, khususnya Ibu. Kondisi sakratul maut ini mirip seperti yang dialami bangsa Indonesia. Bencana alam silih berganti, belitan krisis multifaset tak kunjung reda sejak 1997 silam, kondisi keamanan tak menentu karena bom bisa meledak sewaktu-waktu, Amrozi Cs yang telah divonis bersalah oleh pengadilan masih bisa cengar-cengir, birokrasi pemerintahan berbelit-belit, aparat pelayan masyarakat bermental korup dan melik nggendong lali. Memperpanjang KTP pun musti dilambari uang "rokok".

Kita musti bangkit dan membenahi kebobrokan ini. Mulai dari diri sendiri di di lingkar pengaruh masing-masing. Mari galakkan acara yang membangkitkan jiwa nasionalis dan cinta tanah air dalam diri. Usah melulu yang berbau hedonis dan/atau dogmatis. Konkretnya seperti yang dilakukan National Integration Movement (NIM) Joglosemar. Berupa lomba pidato, melukis, menulis, bagi siswa-siswi SD, SMP, SMU se-Jateng dan DIY.

Misal Bintang Cesario dari SMAN 8 Jogja yang kebetulan menjadi juara I menulis esai kebangsaan. Generasi kelahiran era 1990-an tersebut memiliki cita-cita menjadi pengusaha restoran. Kinerja bisnis kuliner tersebut musti profesional ala fastfood. Tapi ia emoh (tak mau) menjual produk impor, yang dijual ialah masakan tradisional khas Nusantara. Seperti soto, gado-gado, lotek, ketoprak, nasi liwet, sambal balado dst. Selain itu ia bertekad melebarkan sayap pemasaran sampai ke negri manca. Kebayang kan nongkrong makan pecel lele di bawah menara Eifel?

Memang solusi fundamental guna mengatasi problematika kehidupan berbangsa kita ialah dengan merajut kembali romantika dengan Ibu Pertiwi. Mari kesampingkan sejenak kepentingan egoistik berlabel SARA yang cenderung memecah-belah bangsa dan menghisap sesama. Prinsipnya sederhana, kalau kita mencintai seseorang, apapun kita lakukan untuk membuat ia bahagia.

Maret 26, 2008

APRESIASI BUKU MAWAR MISTIK

Dimuat di website http://www.anandkrishna.org

APRESIASI BUKU MAWAR MISTIK DI RADIO ELTIRA 102,1 FM JOGJA BERSAMA BAPAK ANAND KRISHNA, Sabtu 7 April 2007, jam 12.00-13.00 WIB

Menurut Bapak Anand Krishna, dosa adalah pikiran manusia. Senada dengan apa yang dikatakan oleh Almarhum Paus terakhir bahwasanya surga-neraka adalah state of mind alias keadaan yang kita lewati dalam keseharian hidup. Kita yang menciptakan-kita pula yang mengakhiri. Kuncinya ialah dengan menjadi ceria dan membagikan keceriaan tersebut pada sesama, "Be Joyful and Share Your Joy With Others."

Di Jakarta ada Klub Tawa, diawali dengan 30 orang 2 tahun lalu. Kini tiap dua minggu sekali, Pesta Rakyat di Monas dihadiri oleh 3.000-an orang. Kita tertawa, menyanyi dan menari bersama dan nggak ada masalah. Di Joglosemar ini kita juga mengadakan rutin 2 minggu sekali di Borobudur dan Prambanan.

Menanggapi penelpon yang masuk, Bapak Susilo bertanya kenapa agama justru menyebabkan perpecahan di bangsa ini? Bapak Anand Krishna menngatakan bahwa tak ada yang salah dengan religi, agama, ritual dan sebagainya. Yang utama adalah "spirit" di balik ritual tersebut. Ajaran spiritual Nabi Isa yang tertinggi tertuang dalam sepenggal kalimat pendek, "Cintailah tetanggamu". Kini kita lupa, sebelum mencintai tetangga kita tanya dulu kolom agama di KTP-nya apa? Kita musti mulai dari diri sendiri, dari hal-hal sederhana di lingkungan kita masing-masing.

Moderator dari Radio Eltira FM bertanya, "Bagaimana Pak Anand kalau tetangga se-RT itu menyebalkan. Bukankah ada ayat dalam Injil yang mengatakan kalau kita ditampar pipi kiri berikanlah pula pipi kananmu. "Sederhana, sekali-kali kirimi kue pada tetangga itu. Kalau di tampar satu pipi, tak usahlah beri pipi yang lainnya," canda Pak Anand. "Iya lho…para pendengar sekalian, tatapan Pak Anand ini begitu teduh, membuat kita merasa adem di studio ini" ujar Moderator untuk lebih mencairkan suasana.

"Apakah ada latihan meditasi rutin di Joglosemar ini, siapa tahu ada pendengar yang hendak mencicipi " lanjut Moderator. "Ya ada, kalau di Jogja ini, kita memakai salah satu aula di UGM (sekarang di Perum Dayu Permai P-18, Jakal Km 9) nanti bisa kita informasikan kontak person dan no telpon yang bisa dihubungi."

Kembali ada sms masuk, yang bertanya tentang segmen pembaca buku ini. "Buku ini diperuntukkan bagi semua orang. Memang dari penerbit ada peringatan, tapi saya oka-oke saja. Orang-orang yang belum kenal Nabi Isa semoga setelah membaca buku ini bisa lebih mengenal ajaran-ajaran beliau yang begitu universal."

Selanjutnya sms dari Rani, "Bagaimana menurut Bapak mengenai isu yang menyatakan bahwa Yesus menikah dengan Maria Magdalena? Dan apa pentingnya buku ini bagi umat lain?" "Kalau memang Yesus menikah dengan Maria Magdalena, so what? Itu tak akan mengurangi Kekristusan Sang Nabi. Tak ada, suka-suka kita aja, mau baca silakan, tidak silakan." jawab Pak Anand dengan santai.

Sms lain masuk dari Nugroho di Soropadan, "Kenapa Yesus begitu sayang dengan Maria Magdalena?" "Wah saya harus tanya pada Yesus nih," canda Pak Anand. "Para rasul pernah mengkritik Maria Magdalena yang membasuh kaki Yesus dengan minyak yang begitu mahal. Mereka bilang lebih baik uang tersebut diberikan untuk fakir miskin. Namun apa jawab Yesus, fakir miskin akan selalu ada dalam setiap zaman. Yang terpenting adalah reseptifitas dan getaran kasih kita kepada orang yang kita sayangi, entah itu orang tua, Guru atau apapun."

Sari dari Gejayan bertanya bagaimana Bapak bisa menulis buku begitu banyak? Dan berapa lama Bapak menyelesaikan buku Maria Magdalena ini? "Saya biasanya menulis dengan seminimal mungkin referensi, mengalir saja. Untuk buku ini saya menyelesaikannya dalam sebulan."

Budi seorang peng-sms lain bertanya, "Bagaimana kalau kita ingin belajar sessuatu tapi dilarang oleh orang tua?" Pak Anand menanggapi, "Jika kita sudah cukup dewasa maka kita bisa memutuskan mana yang terbaik untuk kita sendiri."

"Apakah ada protes atau kritikan berkait tulisan dan aktivitas Bapak? "tanya Moderator "Ya ada, hampir setiap minggu saya menerima sms, e-mail semacam itu, but it'ok, fine-fine saja." Jawab Pak Anand.

Totok seorang penelpon lain bertanya, "Pak kenapa Maria Magdalena dipersonifikasikan dengan bunga Mawar? "Mawar tidak pamer keindahannya, ia menyebarkan keharumannya tanpa gembar-gembor. Ia tercerahkan dan mencerahkan. Indah bagi mereka yang melihatnya."

"Apakah penerbitan buku ini mengambil momentum Paskah?" tanya Sang Moderator lebih lanjut. "Tidak sih, sebenarnya saya merencanakan buku ini bisa beredar saat Natal tahun lalu" jawab Bapak.

Astuti dari Lempuyangan bertanya via sms, "Apakah buku ini fiksi atau non fiksi?" "Bukan kedua-duanya, bukan pula tafsir resmi dari Gereja. Saya terobsesi dengan apresiasi, bukan sebatas toleransi, artinya kita bisa menghormati semua Nabi yang ada seperti kita menghormati Nabi yang ada dalam agama kita. Saya dekat dengan semua agama, lintas agama. Ritual adalah urusan pribadi kita dengan Allah, Bapa di Surga, Buddha, Widhi, Tao apapun sebutannya" jawab Bapak.

Michael dari Magelang bertanya tentang hukum aksi-reaksi, "Dosa kita memang dimaafkan tapi tetap saja kita harus menanggung akibat dari perbuatan kita." "Ya setiap pikiran, ucapan dan tindakan merupakan sebab dan ada akibatnya. Tak bisa bila kita berbuat baik 10 kali lantas berbuat jahat 2 kali, lantas perbuatan baik masih 8. Bukan seperti itu." jelas Pak Anand.

"Ketika menulis Buku Mawar Mistik ini saya sedang jatuh cinta dengan Maria Magdalena, yang ada di kepala saya hanya Dia, Dia, Dia. Saya merasa mendapat insight dan saya kaitkan dengan Maria Magdalena, bulan depan segera terbit buku lain tentang pesan-pesan Mahamaya. Sebenarnya sudah jadi bahkan dalam dua bahasa : Indonesia dan Inggris, tapi saya merasa perlu memberikan penjelasan berkait 365 poin (satu hari satu, untuk setahun penuh) tersebut."

"Kasih tak dapat dijelaskan. Ibarat orang bisu yang mencicipi gula. Ia tak bisa menjelaskan rasa manis itu seperti apa. Ia hanya senyam-senyum saja." jawab Bapak Anand ketika ditanya tentang makna Kasih oleh Sang Moderator.

Mbak Jati dari Gramedia menjelaskan kenapa Gramedia berani menerbitkan buku-buku Pak Anand Krishna walau pernah terjadi kontroversi seperti pada tahun 2001 lalu. Selalu ada sisi menarik yang diulas oleh Bapak Anand krishna dalam 90-an buku karya beliau sehingga Gramedia siap menanggung apapun resikonya. Kini telah terbit pula buku terbaru Karya Bapak Anand Krishna berjudul "The Gita of Management."

Pertanyaan terakhir Pak Anand, "Inspirasinya apa sehingga bapak bisa menulis buku ini? tanya Moderator penasaran. "Dulu saya seorang pengusaha lantas pada tahun 1991 saya divonis mati karena mengidap Leukemia (kanker darah). 15 tahun lalu saya bertemu dengan beberapa orang, bukan pertemuan gaib, melainkan pertemuan biasa seperti sekarang ini. Itu membuka wawasan saya berkait Maria Magdalena. Sudah sejak lama saya hendak menulis tentang Maria Magdalena, tapi ternyata baru sekarang kesampaian bisa menulis buku tentang tokoh satu ini," jawab Pak Anand sekaligus mengakhiri acara interaktif ini.

STOP GLOBAL WARMING SEKARANG JUGA!

*Sumber: www.oprah.com

Tahukah Anda bahwa :

1. Tidak menancapkan colokan listrik walaupun ketika alat elektronik itu dimatikan = menghemat 40 - 50% biaya listrik yang harus anda bayarkan tiap bulannya. Dan berarti pula, mengurangi panas yang timbul dari alat elektronik yang merembet ke pemanasan global.

2. Kantong plastik butuh waktu 1000 tahun untuk terurai di TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Sekitar 300 juta buah kantong plastik dibuang tiap tahunnya di Indonesia. Belum lagi yang dibuang di sungai belakang rumah dan tempat lain yang tidak semestinya. Dan 10 kg kertas koran yang siap dijual loakan membutuhkan 1 pohon berumur 10 tahun. Bayangkan yang terjadi dengan illegal logging (pembalakan liar) berapa banyak pohon telah ditebang? Bukankah itu yang membuat dunia ini lebih panas?)

3. Ketika kita membeli 1 liter air mineral di supermarket = beli 5 liter air. Tanya kenapa?
Karena di pabrik, untuk mendinginkan botol plastik panas yang baru dicetak, membutuhkan 5 liter air... cek cek cek...(cecak aja berdecak)

4. Tisue yang sudah di pakai itu tidak bisa di-recycle... begitu juga karton-karton yang bekas kena minyak, makanan, kue, minuman. Mau tidak mau tanahlah yang harus mendaur ulang.
Perkiraan orang memakai tisue 6 biji sehari. 2.200 biji setahun. Berarti kira-kira 44 MILIAR biji di seluruh Indonesia setahun... Kalau kita menghemat 1 lembar saja tiap hari... berarti kita mengurangi sampah kertas sebanyak 7 MILIAR biji setahun... HEBAT KAN!!!!

5. Jadilah hijau di ATM? Artinya, kalau di bank 'kan ada cara ambil fulus tanpa receipt atau be smart dong. Transfer lewat Internet banking atau mobile banking aja lagi....Sebab 8 MILIAR kali transaksi di ATM yang mengeluarkan kertas receipt tiap tahun adalah salah satu sumber sampah terbesar di dunia. Kalau selama setahun orang transaksi tidak pakai kertas receipt, itu akan menghemat satu roll besar kertas yang bisa buat melingkari garis equator sampe 15 kali. cek cek (kembali cecak berdecak)

6. Minimal punya 2 macam tempat sampah di rumah, membantu mengurangi polusi air, udara dan tanah. Pisahkan sampah basah (sisa makanan dan masakan, daun, minuman) dan sampah kering (botol, plastik, kertas, kaca, dll) Hanya butuh waktu 2 bulan untuk menjadikan sampah rumah tangga menjadi kompos yang bisa dipakai lagi untuk pupuk tanaman.

7. Polar Bear/Beruang kutub tidak bisa berenang... tapi karena global warming di Kutub Utara, mereka harus berenang 30 km untuk mencari es tempat berteduh. Tonton di DISCOVERY CHANNEL: PLANET BUMI, alangkah sedihnya menyaksikan perjuangan seekor beruang kutub yang akhirnya mati karena kelelahan berenang mencari daratan :(

Is that the world you will leave for your children? Itukah dunia yang hendah kita warihkan pada anak cucu kita? Tentu tidak! Bersama kita bisa menghambat laju Pemanasan Global, yakni dengan menerapkan prinsip 3 R: Reduce, Reuse, Recycle di lingkar pengaruh kita masing-masing dalam hidup sehari-hari. INDONESIA JAYA !



Sufi Mehfil Bende Mataram di Karaton Surakarta

Dimuat di Website http://www.nationalintegrationmovement.org

SUFI MEHFIL BENDE MATARAM: SEMBAH SUJUD BAGI IBU PERTIWI BERSAMA BAPAK ANAND KRISHNA di Magangan Karaton Surakarta, Minggu 1 April 2007 Jam 19.00 - 21.30 WIB

Tamu kehormatan: Ibu Liny Tjeris, Ibu Maya Safira Muchtar, Putra-putri Almarhum Sinuwun Paku Buwono XII: Gusti Kanjeng Ratu Galuh Kencana, Gusti Kanjeng Ratu Sekar Kencono, Drs. KG Kusumo Yudho, Gusti Kanjeng Ratu Retno Dumilah SH, Dra Gusti Kanjeng Ratu Wandan Sari (Gusti Mung) serta para Sesepuh Karaton Surakarta seperti Prabu Winoso, Noto Sewoyo, Edi Wirobumi, Haryo Kusumo, Wiyogo Saputro dll.

Peserta: 300 orang

Disiarkan langsung oleh RRI Surakarta dan diliput oleh Jogja TV

Paska tarian persembahan Whirling Meditation Dances, Role Play dan lagu-lagu riang bernafaskan spirit Bhinneka Tunggal Ika - Tan Hana Dharma Mangra. Acara bersejarah ini dilanjutkan dengan penganugerahan penghargaan "Aku Bangga Jadi Orang Indonesia" kepada Gusti Mung dan Wejangan dari Bapak Anand Krishna.

Dalam sambutannya Ibu Maya Safira Muchtar selaku ketua National Integration Movement (NIM) mengungkapkan syukur karena bisa berada di Surakarta ini karena Bapak Anand Krishna pun lahir di sini. Suatu kebanggaan pula bagi Bangsa dan Rakyat Indonesia karena Yayasan Anand Ashram pada Desember 2006 lalu resmi berafiliasi dengan Badan Informasi Publik PBB.

Sebelumnya Menhan RI, Juwono Sudarsono pada 1 September 2005 di Jakarta mencanangkan Hari Bhakti "Bagimu Ibu Pertiwi" pada Simposium NIM pertama. Acara ini dihadiri sejumlah pejabat dan tokoh dari berbagai kalangan. Sejak saat itu setiap tanggal 1 September kita peringati sebagai Hari Bhakti Bagi Ibu Pertiwi.

Kini dalam rangka merayakan hari ulang tahun NIM yang kedua (11 April 2007), NIM menganugerahkan penghargaan "Aku Bangga Jadi Orang Indonesia". Suatu kebetulan yang indah karena Gusti Kanjeng Ratu Wandan Sari (Gusti Mung) merupakan tokoh pertama yang mendapat anugerah penghargaan ini berkat jasa-jasa beliau melestarikan seni budaya di Surakarta ini. Penghargaan ini dipersembahkan pula bagi seluruh Masyarakat Solo.

"Semoga keselamatan dilimpahkan bagi kita semua..." begitulah kata pembuka Gusti Mung dalam sambutan beliau. Putri Bungsu Almarhum Sinuwun PB XII ini memiliki visi untuk mewariskan budaya luhur Nusantara pada anak cucu kita. Beliau menyampaikan kata maaf dan penyesalan sedalam-dalamnya karena Sang Kakak yakni Sinuwun PB XIII tidak dapat hadir di Magangan malam ini karena tengah mengadakan pertemuan dengan Dipertuan Agung di Malaysia.

"Kraton Surakarta Hadiningrat ini merupakan kelanjutan Mataram Islam yang didirikan oleh Eyang Sultan Agung." Begitu papar beliau. Pada 17 Februari 1745 terjadi boyongan dari Kartasura ke Solo, setelah 3 hari di Solo, pada 20 Februari 1745 beliau mendeklarasikan Negara Surakarta Hadininrat. Kraton sejatinya ialah simbol spiritual, yakni proses perjalanan spiritual seseorang 'tuk menemukan jati diri, kesucian dalam diri. Caranya dengan mengendalikan hawa nafsu. Ajaran luhur ini tersimbolisasikan dalam struktur, arsitektur dan tata letak bangunan Karaton.

Misal, alun-alun yang berupa padang pasir yang amat luas. Tatkala siang begitu panas sedangkan pada malam hari terasa dingin. Begitulah kehidupan di dunia ini, ada panas ada dingin, ada baik ada buruk, ada gelap ada terang dst. Alun-alun juga merupakan tempat tapa pepe, yakni cara rakyat menyampaikan aspirasi pada Raja berkait kebijakan dan keadilan. Lantas di Bangsal Pangrawit, Raja duduk di moncong meriam. Maknanya setiap ucapan dan tindakah Raja harus terjaga, tidak boleh semena-mena. Jika keliru berarti harus berani bertanggung-jawab dan siap mati duluan.

Magangan (tempat berlangsungnya acara malam tersebut) secara lahiriah berarti tempat untuk magang abdi dalem, sedangkan secara batiniah berarti alam penantian sebelum menuju alam kesempuranaan, alam awang-uwung. Masih banyak uraian lainnya yang begitu menarik dan menyadarkan bahwa begitu kaya dan luhurnya budaya Spiritual Nusantara.

Bapak Anand Krishna menyemarakkan acara malam tersebut dengan wejangan yang berapi-api.

Sebelum memulai semuanya, dengan penuh kerendahan hati beliau mohon ijin kepada para Pangeran, Gusti Putri dan Sesepuh Karaton untuk bicara dan urun rembug. Sura dalam bahasa Jawa Kuno berarti Dewa sedangkan Karta berarti kerja. Surakarta berarti berprilaku seperti para Dewa. Sura juga bermakna Irama. Para pelaku teror kurang berirama. (Disambut dengan tepuk tangan oleh para Pangeran, Sesepuh dan hadirin yang hadir).

Sultan Agung amat berjasa pada kita semua. Selain memperkenalkan perhitungan kalender Jawa, beliau juga mempopulerkan istilah Mataram. Raja Sanjaya seribu tahun sebelumnya telah mempopulerkan istilah Mataram yang berarti Ibu Pertiwi. Kita boleh berada di manapun juga di belahan bumi ini tapi kita tidak bisa menghilangkan ke-Indonesiaan kita, kita semua adalah purtra-putri Ibu Pertiwi.

Kini pasir laut disedot (bukan cuma dikeruk). Tanpa bayaran sepeserpun. Untuk apa? untuk reklamasi dan membangun 20 rumah mewah di Singapura. Ironisnya para pemiliknya adalah orang Indonesia juga. Rotan kita dicuri. Raib secara gaib ibarat dibawa terbang oleh Gatot Kaca sehingga tak ada yang tahu dan bisa menangkap pelakunya. Pengrajin rotan kita kesulitan mendapat bahan baku rotan, order sih tinggi tapi bahan baku langka. Kita juga akan mendatangkan petani dari luar negri untuk mengajarkan cara bercocok tanam di negri agraris ini.

BBC memberitakan bahwa di luar negri produksi pertanian disubsidi Negara. Misal di Amsterdam, 1 sapi perah disubsidi 2,5 dolar USA setiap hari. Di sini buruh-buruh kita tak lebih dari 2,5 dolar USA gaji hariannya. Bahkan untuk melindungi harga susu agar tetap menguntungkan peternak, kelebihan produksi susu dibuang ke laut untuk makanan biota-biota laut. Lha...kita di sini: toge, kangkung, beras, biskuit semuanya impor dari luar.

Almarhum Sinuwun Paku Buwono XII pernah berkunjung ke Padepokan kami di One Earth Ciawi Bogor, beliua merasa begitu krasan di tempat itu. Bahkan turut menandatangani Prasasti yang menyatakan tekad anak bangsa untuk kembali kepada nilai-nilai budaya spiritual Nusantara.

Sir Thomas Stamford Raffles tahu benar hal ini. Kalau mau menguasi Nusantara harus lewat pendekatan budaya. Lantas Karaton dibuat-buat seolah feodal sehingga terpisah dengan rakyat jelata sehingga mudah dikuasai.

Bahkan kini ada pihak-pihak yang melarang orang menari, kita boleh beragama Islam tapi jangan beragama Arab dan mengimpor budaya asing. Saya ada dokumentasi di Perpustakaan Dewantara Tagore di Bogor sana yang memperlihatkan secara jelas cara orang-orang Arab menari. Mereka membawa pedang karena belum beradab. Sehingga bisa saling membunuh satu sama lain. Itulah sebabnya kenapa Kanjeng Nabi melarang tarian. Sekarang konteksnya beda, Dan kita, bangsa Indonesia sudah beradab dan berbudaya sehingga tak perlu ada larangan untuk menari. Ada prediksi yang menyatakan bahwa pada 2020 Indoneisa akan terpecah menjadi 5 negara. Kita semua harus mencegahnya.

Sejak 2000 tahun silam kita sudah punya sistem hukum yang berjalan baik. Di Arab belum ada jaksa, hakim dan penjara sehingga jika ada orang mencuri langsung dipotong tangannya.

Ada penelitian yang menyimpulkan bahwa memang pusat Sriwijaya ada di sini. Sebuah Dinasti yang mampu berkuasa selama 400 tahun (800-1200) . Dalam sejarah umat manusia belum ada dinasti lain yang berkuasa selama itu. Lantas Singasari dan Majapahit berjaya selam 400 tahun. Sultan Agung yang memimpin kerajaan Mataram juga meneruskan kejayaaan tersebut. Saat itu budaya yang menyatukan tak ditinggalkan, walau ada agama yang berbeda-beda.

Walau kita sekolah bahasa dengan metode secanggih apapun jua tak akan membuat kita fasih berbahasa Arab. Sayangnya lagi, saat naik haji, para jemaah hanya dibawa ke Saudi Arabia saja yang dikuasai oleh aliran Wahabi. Satu sekte dalam Islam yang begitu keras.

Jika Wahabi dan Taliban berkuasa di Indonesia ini. Mereka hanya akan mampu bertahan selama 2, 5 tahun. Tapi biayanya begitu besar. Kita akan terpecah belah. Papua, Bali, Sulawesi, Jawa, Sumatra akan memisahkan diri. Padahal Jawa sudah tak memiliki Sumber Daya Alam lagi.

Fanatisme agama memang sengaja dimunculkan untuk menyulut pertikaian dan kericuhan. Bayangkan 200 juta orang rakyat Indonesia. Mereka tak butuh beras, mereka menjadi konsumen senjata. Konflik di Poso dan Maluku, kita semua tahu lah siap dalangnya. Kita semua harus bersatu, tak perlu menunggu Pemerintah yang sibuk mengurusi kekuasaan.

Di San Fransisco kini ada regulasi pembatasan penggunaan tas kresek karena itu berdampak pada pemanasan global (Global Warming). Jika suhu air laut naik 1,5 derajat celsius ribuan pulau di Indonesia akan tenggelam. Sedangkan kita sibuk mengurus Laptop. Bukan kembali ke laptop...tapi Lempar laptop! (berapi-api)

Bahkan lampu-lapu neon di Magangan inipun harus kita impor dari luar. Saat saya ke Shanghai/ Beijing beberapa tahun lalu, tak ada motor rongsokan di sana. Kenapa? Saya diberi tahu oleh warga setempat bahwa motor-motor rongsokan tersebut sudah di ekspor ke Indonesia. Mulai sekarang jangan beli motor itu. Swadesi kata Mahatma Gandhi, cinta pada negara diwujudkan dengan memakai produk dalam negeri.

Kini marak terjadi orang-orang kaya baru ditelpon oleh Bank-Bank Internasional, mereka para OKB tersebut ditawari kartu kredit. Kita diproyeksikan menjadi bangsa dan negara penghutang. Aset negara dijual. Tiap kata yang kita ucapkan lewat telpon/HP dalam seminggu bisa direkam dan didengar oleh orang-orang asing. Perbankan dan sarana Telekomunikasi semuanya dikuasai oleh orang luar.

Lantas apakah kita harus berontak? Tidak! Yang dibutuhkan adalah Kesadaran!

Masakan air yang berasal dari negri kita sendiri kok harus bayar ke orang Prancis. Mulai sekarang kalau belanja di Mall cek "made in", buatan mana? beli dan pakai yang buatan dalam negri. Jika ada 200-300 orang yang melakukan hal ini kita bisa bangkit. Kunjungi juga pasar-pasar tradisonal. Dengan cara itu Gandhi bisa mengusir kaum imperialis Inggris dari India.

Kini setiap tahun 200 juta dollar USA kita boroskan untuk membeli sayuran, buah-buahan dari Cina, yang keesokan harinya akan menjadi kotoran. Kita semua bertanggung jawab! (berapi-api) Jangan hanya mengadakan Pesta Rakyat di Prambanan dan Borobudur. Keluar juga, adakan Pesta Rakyat di Mall. Cukup memberi tahu pada pihak pengelola Mall dan Aparat Kemanaan. Catat memberi tahu saja!. Kita ngamen tanpa terima uang sepeserpun. Jika ditangkap dan dipenjara, nyanyi lagi di dalam Penjara! Kalian siap? (tanya Beliau...)

Siap! (jawab muda-mudi lintas agama The Torchbearars)

Tapi perlu diingat NIM adalah organisasi non partisan, aturannya jelas dan tegas, setiap pengurus NIM tak boleh menjadi anggota partai tertentu dan terjun ke dalam politik praktis. Mari kita melayani Ibu Pertiwi dan segenap anak bangsa. Perlu ada revitalisasi bangunan Karaton, baik yang diluar maupun yang di dalam. Indonesia Jaya!

Maret 22, 2008

Peresmian Griya Indonesia Jaya di OE

Dimuat di Website http://www.nationalintegrationmovement./

Sabtu, 14 Januari 2006 ialah hari peresmian Griya Indonesia Jaya dan Cak Nur Memorial Hall di Komplek Perkampungan Rakyat Indonesia yang lintas agama, suku, ras, status, ekonomi-sosial, gender, dst: One Earth One Sky One Humandkind Ciawi - Bogor - Jawa Barat.

"Bangunan" dua tingkat tersebut akan digunakan sebagai Kantor Pusat National Integration Movement (NIM), 'tuk terus berkarya menyuarakan semangat persatuan dan nilai inklusifitas sebagaimana dulu pernah digaungkan oleh Almarhum Nurcholis Madjid. Turut hadir dalam peristiwa bersejarah itu, Prof. Dr. Budi Susilo, Dirjen Potensi Pertahanan Departemen Pertahanan RI, beliau mewakili Menteri Pertahanan RI, Juwono Sudarsono. Selain itu rawuh pula Ibu Omi Komaryah (Istri Cak Nur).

Bapak Dhramadi, Deputi IV Kementrian Polkam, Bapak Utomo Dananjaya, serta Duta Besar Pakistan untuk Indonesia tak ketinggalan turut meramaikan acara ini. Dan yang menghebohkan adalah kedatangan Gus Dur, Presiden IV RI. Selaku tuan Rumah ialah ratusan Volunteers National Integration Movement (NIM) dari berbagai daerah, Batam-Kepulauan Riau, Lampung, Bandung, Sumedang, Semarang, Magelang, Pati, Jogja, Surakarta, Bali, Singaraja, dan Lombok. Semua hadir dengan biaya sendiri, tenaga sendiri, dan waktu sendiri.

Kebetulan 14 Januari 2006 bertepatan dengan ulang tahun ke 16 Yayasan Anand Ashram. Paguyuban spiritual yang didirikan oleh Bapak Anand Krishna. Dalam sambutan tokoh humanis lintas agama keturunan India, kelahiran Surakarta ini mengatakan,"Cak Nur adalah sebuah pandangan, falsafah, harapan, jiwa, dan kesadaran. Visinya tak akan pernah mati. Kita dapat berkumpul di tempat ini karena kita memiliki "bond" ikatan yang kuat dengan Ibu Pertiwi. Mari kita senantiasa kukuhkan dan perbaharui komitmen 'tuk berbhakti bagi Ibu Pertiwi, Indonesia Jaya!"

Cak Nur Memorial Hall berhiaskan ornamen dari pelbagai tradisi agama. Ada Kitab Suci Muslim, Khatolik, Hindu, dan Buddha di sana, semua itu merupakan sarana untuk mengingatkan kita kepada-NYA walau jalan yang ditempuh berbeda. Sharing dari Ibu Omi menyentuh, di lingkungan keluarga Cak Nur adalah Ayah yang baik, beliau senantiasa mendidik putra-putrinya agar bersikap inklusif, menghargai perbedaan, beliau menyarankan mereka untuk mengapresiasi semua agama. Sehingga semangat pluralisme sungguh dipraktikkan dalam keseharian, di mulai dari rumah sendiri. Permasalahan kebangsaan kita ibarat lingkaran setan yang sulit untuk dibenahi, sering Ibu Omi mengungkapkan secara jujur rasa pesimis ini pada Sang Suami tercinta, namun Cak Nur selalu mengatakan, justru karena lingkaran setan kita mudah memutusnya, bisa di mulai di mana saja, dari "angle" manapun. Wow...He is really a Great Man!

Ada juga ulasan dari Pak Budi Susilo, utusan Menteri Pertahanan, yakni soal 2 tipe ketahanan Nasional. Pertama, lewat militer, kita tak akan bisa mengamankan seluruh wilayah kepulauan Nusantara yang begitu luas lewat kekuatan militer, cara yang terbaik adalah lewat cara kedua yakni membangkitkan semangat "bela negara" di dada setiap penduduk Indonesia.

Gus Dur juga bicara panjang lebar selama sejam lebih di Aula As-Salam. Yang menarik adalah uraian beliau tentang istilah "Bende Mataram", ternyata idiom ini merupakan sumpah yang dibacakan pada saat pengangkatan seorang Raja. Mulai berlaku sejak dinasti Sanjaya, di Kerajaan Airlangga, Kediri, Singosari, dan terakhir di Mataram Kuno. Maknanya ialah tekad untuk berbhakti bagi "Mataram", Ibu Pertiwi. Untuk konteks saat itu berarti menjamin kesejahteraan lahir-batin rakyat di kerajaan masing-masing.

Acara malam itu juga dimeriahkan oleh role play dari kawan-kawan The Torchbearers Jakarta. Berkisahkan tentang konspirasi pembunuhan Dyah Ayu Pitaloka, putri ayu dari Kerajaan Padjajaran. Ada segelintir orang yang tak mau Nusantara bersatu, untuk konteks saat itu adalah persatuan secara politis, ekonomis dan kultural antara 2 kerajaan besar Majapahit dan Padjajaran. Pola semacam inipun ternyata masih terjadi hingga detik ini. Namun yang namanya Kebangkitan Bumi Pertiwi adalah suatu keniscayaan, sesuatu yang tak mungkin tidak terjadi. Oleh sebab itu mari kita memberdaya diri sehingga bisa berkontribusi dalam tugas mulia tersebut. Indonesia Jaya!

KUPAS PERSPEKTIF DI CAKRA TV SEMARANG

Dimuat di Website http://www.nationalintegrationmovement.org/

Berikut ini coretan mengenai program Kupas Perpekstif yang disiarkan secara langsung oleh Studio Cakra TV Semarang pada Kamis 23 Maret 2006, jam 20.30-21.30 WIB. Menghadirkan Bapak Anand Krishna, tokoh humanis lintas agama Nusantara dan Maya Safira Muchtar, praktisi holistik terapis sekaligus Ketua National Integration Movement (NIM). Acara dimoderatori oleh Tirza Monica, penyiar Cakra TV.

Yang menarik dari program interaktif ini ialah mayoritas penelpon memberikan dukungan atas gagasan dan upaya yang telah NIM lakukan. Hal ini menunjukkan bahwa sejatinya masyarakat di grassroot merindukan nuansa kebangsaan yang inklusif menaungi semua putra-putri Ibu Pertiwi tanpa direcoki sekat ilusif berlabel agama, suku, ras, profesi, gender, dst.

Tema Kupas Perspektif kali ini ialah "Krisis Ketidaksadaran dan Potensi Perpecahan". Bapak Anand Krishna mengawali diskusi dengan pernyataan, "Baru saja kita mendengar telah terjadi ledakan bom di Poso. Sehingga untuk mengamankan 17.000-an pulau di Indonesia dari ancaman perpecahan kita perlu pertahanan non-militer. Yakni dengan membangkitkan rasa Cinta pada Ibu Pertiwi di dada setiap warga negara. Pendekatan kultural macam ini dulu pernah dilalukan oleh para founding fathers, mereka mencintai negeri ini seperti seorang Ibu. Namun kini lihatlah yang terjadi kini akibat terputusnya hubungan batin kita dengan Ibu Pertiwi, setiap hari aset bangsa dijual kepada pihak asing. Singapura sebuah negeri kecil bisa menguasai hampir seluruh saham di Indonesia."

Kemudian Maya Safira Muchtar menambahkan, "Ya! situasi negara ini amat memprihatinkan, untuk mengatasinya kita harus mengingat kembali jati diri kita. Cinta pada Ibu Pertiwi ialah solusinya." Secara konkret, NIM telah melakukan upaya untuk menggelorakan semangat kebangsaan tersebut, yakni lewat program yang lucu dan menarik: Pesta Rakyat! Rutin diadakan setiap minggu di Monas. Awalnya hanya 30 orang namun kini yang ikut mencapai 4 ribuan orang. NIM dideklarasikan pada 11 April 2005 di Tugu Proklamasi. Meski belum genap berusia setahun, NIM telah memiliki 24 cabang di daerah, kota dan kabupaten seluruh Indonesia dan hampir setiap bulan mengadakan Simposium Kebangsaan.

Sebagai bangsa kita tengah mengalami krisis identitas. Padahal kita memiliki SDA yang kaya dan melimpah, ironisnya SDM kita kualitasnya kurang. 5 tahun ke depan para dokter, pegawai dan ahli dari luar negeri akan dengan leluasa masuk ke Indonesia, kompetisi akan semakin ketat, jika kita tidak mengembangkan kualitas SDM maka kita bisa kalah bersaing dengan mereka.

Bapak Anand Krishna juga memprihatinkan pejabat yang tidak menguasai bahasa asing. Dalam rapat-rapat penting perlu perantara dari Singapura, Hongkong, dst sehingga mereka itulah yang mendapat keuntungan besar, kita hanya mendapat ampasnya saja. Dulu pejabat di era Soekarno, mereka mahir berbagai bahasa entah Inggris, Prancis, dst. Yang paling aktual ialah kampanye NIM untuk menghapus kolom agama di KTP. Karena berdasar pengalaman pribadi Maya sendiri, ada teman adiknya yang terbunuh saat terjadi sweeping di Ambon. Agama itu baik yang menjadi masalah ialah politisasi agama.

Tirsa Monica bertanya kepada Bapak Anand Krishna, "Seperti apa sih penjelasan Identitas Diri bangsa ini?" Bangsa ini perlu, pedoman tuntunan dalam hal budaya, karena selama ini kita cenderung kebarat-baratan, kearab-araban, dst. Kita ini latah meniru budaya Arab, padahal perlu diketahui Arab bukan hanya Saudi Arabia, masih ada negeri Syria dan Lebanon. Segelintir masyarakat kita menginginkan penerapan budaya "sebagian" Arab itu. Misal dalam gaya berpakaian. Padahal Soekarno pernah mempopulerkan cara berpakaian yang khas Indonesia, yakni dengan menggunakan peci. Tapi kita lupa itu." Begitu uraian dari Bapak Anand Krishna.

Kring....kring....ada telpon masuk. Bapak Sundoro merasa terharu karena masih ada orang-orang yang memiliki visi kebangsaan semacam ini. Selama ini banyak orang yang bersikap apatis dan mementingkan perutnya sendiri. Ini yang membuat kita kapal kita tenggelam. Kita harus ingat semangat proklamasi kemerdekaan yang di dengungkan Bung Karno, kita semua harus kembali ke visi awal para pendahulu kita tersebut.

Menyinggung tentang RUU APP yang tengah marak saat ini, bagaimana Pak Anand menyikapi kontroversi ini? tanya Monica. "Kita tentu sepakat menolak pornoaksi dan pornografi, tapi kalau diundangkan itu tidak tepat. Jika Anda pernah membaca dan mencermati isinya maka referensinya semua dari budaya Arab. Seperti yang dikemukan pak Sundoro, kita harus kembali ke cita-cita awal bangsa ini, jika RUU beraroma syariat Islam ini jadi disahkan maka Bali akan menggunakan syariah Hindu, Papua memakai syariah Kristen, dst. Ada aksi - ada reaksi, misalnya begini di Bali ada yang membuka warung Daging Sapi sebagai reaksi ada juga yang membuka warung daging Babi, ada warung muslim ada warung hindu, kan repot? Kita harus mengingatkan bahwa budaya asli kita sudah tinggi, tak perlu mengimpor dari Arab, Cina, India, dst. Mereka yang senang budaya impor bicaranya vokal sedangkan kita masih ragu." jawab Pak Anand mantap.

Berarti kita kurang vokal mensosialisasikan budaya asli kita ya Pak? imbuh Tirsa Monica. Mbak Maya menanggapi,"Demokrasi Pancasila menuntut tanggungjawab dalam berpendapat. Di Amerika hanya ada 2 partai saja: Demokrat dan Republik, sedangkan di Indonesia ada puluhan partai. Euforia segelintir orang untuk memasukkan syariat Islam dalam produk hukum kita bukan merupakan solusi yang bijak karena bangsa kita begitu majemuk. Gejolak yang terpendam suatu saat akan meledak juga dan dampaknya tak baik untuk kita semua."

Kemudian Bapak Anand menegaskan, "Seluruh bangsa harus punya tekad untuk tidak tenggelam, perlu disadari bahwa sebelum agama Islam dan Kristen, leluhur kita sudah berbudaya berdasar penelitian Fakultas Antropologi Universitas Udayana Bali bisa dibuktikan bahwa gen manusia Indonesia memiliki kharateristik yang khas Indonesia. Namun kenapa kita mencontek budaya arab, Barat, India, China, dst? Kita harus vokal dan turun ke grassroot menyampaikan hal ini kepada masyarakat. Bukankah Soekarno, Hatta, Ki Hadjar, Mohammad Roem, M Natsir senantiasa mengingatkan bahwa Pancasila buka sekedar ideologi negara, namun lebih dari itu Pancasila adalah saripati Budaya Nusantara?"

Penelpon masuk, Bapak Edi menyampaikan kritik pedas terhadap para pejabat,"Bagaimana kita bisa bernasionalisme tinggi kalau anggota Dewan tak punya nasionalisme sama sekali. Setuju Pancasila memang paling sip!" Mbak Maya menjawab, "Nusantara lama, di jaman Sriwijaya dan Majapahit itu bagus lho...kita bisa belajar dari para leluhur kita tersebut. Tapi kini kok ada yang berusaha supaya Pembukan UUD 1945 diamandemen. Secara pribadi dan juga secara organisasional NIM menyatakan secara tegas bahwa manusia itu tak bisa diseragamkan lewat syariah, secara genetis DNA kita masing-masing unik. Platform bersama kita bukan syariah tapi Kebangsaan!"

Pak Anand mengingatkan bahwa sejarah kita perlu direvisi karena amat membingungkan. Ini dalam rangka - seperti yang diutarakan Monika "Sosialisasi Budaya Nusantara". Yang perlu diubah adalah paradigma kita terhadap sejarah Indonesa. Di India ada Taj Mahal, jika rakyat di sana ditanya siapa yang membangun bangunan megah tersebut, mereka akan menjawab itu adalah leluhur dari Dinasti Moghul. Memang rajanya Islam tapi mereka melihat sebagai peninggalan nenek-moyang mereka sendiri yang patut dihargai. Kalau di Indonesia kita justru mengatakan Borobudur adalah peninggalan agama Buddha. Padahal mereka itu adalah nenek moyang kita sendiri, leluhur kita semua. Perubahan semacam ini niscaya menyebabkan perubahan besar dalam tata kehidupan berbangsa.

Dari Mbak Maya, "Pendidikan budi pekerti itu amat penting, tak hanya di sekolah tapi juga melalui media massa. Sebagai terapis saya sering bertemu dengan anak-anak yang ketakutan pada makhluk-mahkluk gaib karena sering melihat serial hantu di televesi. Bahkan ada juga mahasiswa yang paranoid. Jika generasi masa depan lemah dan penakut maka bangsa ini akan amat mudah dikuasai."

Kembali penelpon masuk, dari pak Yosef, "Arah bangsa ini tidak fokus, di sekolah banyak yang nyontek maka tak heran jika kita suka menyontek budaya lain. Bagaimana cara kita mengubah Indonesia, menjadikan Indonesia kembali ke jalan yang benar? Jawab Pak Anand,"Indonesia ibarat orang amnesia, lupa pada dirinya sendiri. Kita sering berdoa bersama dan menganggap solusi akan datang dari langit, padahal sebenarnya kita malas. Yang harus dilakukan ialah berkarya tanpa pamrih demi kejayaan Indonesia."

Sebagai contoh di Semarang ini ada euforia Cheng Ho, pesta besar-besaran untuk merayakan pelayarannya. Perlu diketahui ia datang ke Trowulan dulu itu dengan membawa 20.000 tentara, serta ratusan kapal perang, ia hendak menguasai perdagangan kita. Itu sesungguhnya invasi militer. Lebih lanjut, 2000 tahun silam, nenek-moyang kita pernah memiliki maskapai pelayaran sendiri, mereka mengekspor rempah-rempah ke negri seberang. Dalam Buku "Indonesia Jaya" saya menggunakan berbagai sumber literatur sejarah. Banyak data yang menyebutkan bahwa bangsa kita adalah bangsa besar. Sriwijaya adalah kerajaan yang berkuasa selama 1000 tahun lebih, kaya-raya, dan makmur. Dari sisi pengetahuanpun maju, sebab rancangan Angkor Wat yang terkenal di Kamboja itu dibuat oleh insinyur dari Nusantara.

Mbak Maya kembali sharing, "Beberapa waktu lalu saya berjumpa dengan Ketua Mahkamah Konstitusi, beliau mengatakan,"Ini kan kerjaan saya?" maksudnya dalam mengurus masalah kebangsaan. "Memang sejatinya NIM adalah partner pemerintah, kita saling support satu sama lain" jawab Mbak Maya kala itu.

Penelpon selanjutnya dari Setiaji, "Bangsa kita sendiri belum ada yang seberani Pak Anand, pimpinan sampai tingkat bawah tercerabut dari akar budaya, kata Bung Karno kita harus berkarakter dalam kebudayaan."

"Apa motif pak Anand mengajak kita mencintai budaya sendiri?" Dan kepada Mbak Maya, "Bagaimana mengajak orang muda supaya mencintai budaya sendiri?" tanya Tirza. AK menjawab,"Saat saya masih berusia 5 tahun di Solo sana, saya bisa bermain dengan temen2 yang Muslim, Kristen, Katholik, Buddha, Hindu dst. Tapi sekarang kok tidak bisa lagi? Tempat yang paling pluralis adalah toilet umum, kita bisa kencing di sana tanpa membedakan latar belakang agama, suku, ras, dst. Tapi ternyata di Pondok Indah Mall Jakarta ada orang yang menulis di surat pembaca di koran nasional, minta supaya ada toilet khusus Muslim. Budaya asal kita mengatakan "Bhinneka Tunggal Ika", walau berbeda tapi ada benang merah yang menyatukan kita semua. Agama dan budaya harus berjalan bersama. Agama adalah alat untuk membudayakan manusia begitu menurut Ki Hadjar."

Dari Mbak Maya, "Untuk mengajak generasi MTV mencintai budaya sendiri ialah dengan cara yang gaul dan fungky, yakni lewat lagu-alagu populer dan daerah yang syairnya telah diubah dengan lirik kebangsaan. Pada Pesta Rakyat banyak pengamen yang juga ikutan, mereka mengatakan dengan membawakan lagu-lagu kebangsaan pendapatan mereka bisa meningkat ketimbang menyanyikan lagu-lagu biasa."

Apakah ada kendala selama ini?" tanya moderator. Mbak Maya menjawab, "Alhamdulilah tak ada. Perlu diketahui anggotan NIM tak ada yang digaji, kita butuh orang-orang yang berjiwa altruisme, rela berkorban. Saat di tanya seorang menteri apakah kita punya uang? Kami menjawab yang kami punya semangat! Hari gini malu ah kalau tidak punya kepedulian pada bangsa dan Ibu Pertiwi. Ada lagi yang mengatakan bagaimana bisa memikirkan bangsa kalau perut masih keroncongan? Ya memang sektor ekonomi itu penting, tapi itu bukan akar masalah. Meskipun kita punya banyak duit tapi kalau tak punya negara, bangsa ini hancur, mau belanja di mana?"

Moderator melanjutkan,"Kapan masalah ini bisa selesai? Jawab Mbak Maya mantap, "Kalau kita semua sadar, tapi jika kita cuek terus maka kita akan dirong-rong dari segala penjuru oleh Arab, Barat, China, India, Jiwa kita akan lemah, dan sekali tertiup angin akan roboh. Indonesia akan tinggal nama saja. Perlu kita ketahui bersama bahwa civic awareness beda dengan politik praktis yang mengejar kekuasaan. Lebih lanjut, pergantian kurikulum setiap ganti mentri akan membebani anak, sekarang seorang anak harus memakai kereta dorong untuk membawa buku-buku pelajaran. Data menyebutkan hanya 30 persen saja ilmu yang bisa mereka serap di sekolah karena memang tidak fokus. Sebenarnya anak-anak kita itu pintar-pintar ada yang juara olimpiade fisika segala lho."

Penelpon masuk lagi, dari Pak Sugiyono, "Saya sampai melongo, terkagum-kagum mendengar dan melihat acara ini. Kalau seandainya saya ada di studio sudah tak salami Anda semua. Terutama Mbak Maya Safira Muchtar itu lho, jika semua orang muda seperi Mbak Maya Indonesia pasti adem, ayem, tentrem! Mbak Maya menanggapi,"Virus kesadaran ini harus terus disuntikkan, ditularkan terus-menerus dengan cara-cara yang fungky, menggunakan bahasa gaul? bila kita bicara kita harus sadar publik kita. Generasi MTV harus juga sadar kebangsaan, supaya tidak berkiblat ke Arab dan dst." Lagu "Bintang Kecil" jika diubah liriknya dengan nuansa kebangsaan maka anak-anakpun akan memiliki pondasi kebangsaan yang baik sejak usia dini.

Bapak Anand Krishna menegaskan: "NIM modalnya adalah jujur, tulus dan yakin. Pernah seorang pejabat mengatakan bahwa surat yang dikirim tidak sesuai protokoler, mereka tak paham birokrasi. Tapi justru karena itulah saya terima. Ada penelitian mengatakan bahwa jika ada satu kecoa di rumah kita berarti ada juga 1000 telurnya. Jika ada 1 Maya maka akan ada 1000 "Maya-Maya" yang lain. Dalam setahun, NIM memiliki cabang di 20-an kita, 1 di Eropa dan 1 di Timur Tengah. Tak ada pesan sponsor, atau training membuat bom segala. Memang ternyata banyak orang yang merindukan kebangsaan. Jika hendak menjadi anggota NIM silakan klik di: www.nationalintegration movement.org.

Sebagai penutup apa pesan terakhir dari Pak Anand dan Mbak Maya ?" tanya Mbak Moderator.
"Cinta kasih tanpa pamrih itulah kekuatan kita. Sifat mencintai macam ini yang harus mewarnai keseharian hidup kita. Cinta pada bangsa, negara, Ibu Pertiwi, termasuk pada para Amrosi yang menjadi korban brain wash pihak-pihak tertentu. Indonesia adalah bangsa besar sehingga penyakitnyapun besar. Tapi saya yakin Indonesia segera sembuh." tandas Pak Anand. Akhir kata Mbak Maya menegaskan, "Jika kita mencintai seseorang apapun akan kita lakukan untuk ia yang kita cintai. Mari kita mencintai Ibu Pertiwi. Pasti semua masalah akan tuntas!" Tepat pukul 21.30 WIB acara yang menghebohkan kota Semarang ini selesai. Namun niscaya gaungya tetap bergema di dada kita semua. Indonesia Jaya!

Maret 14, 2008

Pemburu Sidat!

Dimuat di Rubrik Sungguh-Sungguh Terjadi SKH Kedaulatan Rakyat 17 Novemmber 2007

Istilah ”Pemburu Harta Karun”, ”Pemburu Hantu”, ”Pemburu Harimau” dst, sudah sering kita dengar. Tapi baru-baru ini saya melihat seorang pemulung pakai kaos bertulisan... ”Pemburu Sidat!"

Sharing Kesan Interview Lomba Menulis Kebangsaan

Dimuat di Website http://www.nationalintegrationmovement.org
Luar Biasa! sungguh mengesankan dan mengharukan acara lomba Menulis tingkat SMA se-Jateng DIY hari ini, Minggu 27-8-2006 jam 8.00-17.00 WIB di University Center UGM Jogja yang diadakan secara gotong-royong oleh Pusat Pemulihan Stress dan Trauma-Keliling (PPSTK), National Integration Movement (NIM), dan Anand Krishna Center (AKC) Joglosemar.

Kita benar-benar telah menorehkan sejarah! sebuah kado kecil bagi Ibu Pertiwi tercinta. Tanpa “intervensi” Keberadaan dan berkah Bapak Anand Krishna niscaya acara ini bisa berjalan dengan lancar, sukses dan BERKOBAR! Ada total 31 peserta, 28 putri dan “hanya” 3 putra, mereka semua tanpa terkecuali amat antusias mengikuti wawancara lisan dan terbuka dengan dewan Juri sejak pukul 8.00-12.00 WIB non stop.

Tentu saja pasca lima peserta peserta diwawancarai ada selingan lagu dari The Torchbearers mempersembahkan tembang-tembang bernuansa kebangsaan dan kebhinekaan. Seperti lagu Caca Marica, Wujudkan Persatuan, Afirmasi, KAU, dll. Juga ada latihan sederhana speedy relaxation yang difasilitatori oleh Dr. Djoko dari Pati guna membuat peserta merasa lebih rileks.

Masing-masing peserta wajib memaparkan secara singkat ide yang telah dituangkan lewat tulisan, yakni salah satu tema berikut :
Sila 1 : Banyak Jalan menuju Tuhan
Sila 2 : Satu Bumi Satu Langit Satu Umat Manusia
Sila 3 : Siapapun Kau Kau Orang Indonesia
Sila 4 : Ramah tamah dan Sopan Santun
Sila 5 : Gotong-royong
masing-masing 2 menit, lantas dewan juri mengajukan pertanyaan guna menguji kefasihan peserta memaparkan ide tersebut secara lisan.

Ada 3 Juri, beliau-beliau adalah sbb:

Pertama, Bapak St. Kartono, Guru Bahasa Indonesia di SMU Kolese De Britto Jogja yang juga seorang jurnalis terkenal, coretannya kerap menghiasi lembaran media cetak baik lokal maupun nasional, seperti KOMPAS, KR, Bernas dlsb. Kedua, Miss Laurentia Sumarni, S.Pd, dosen mata kuliah Writing di Prodi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Sanata Dharma Jogjakarta, beliau dikenal sebagai dosen yang gaul dan fungky karena sudi nongkrong di koridor kampus guna berdiskusi dan berdialog secara santai dengan mahasiswa-mahasiswinya, dari soal perkuliahan sampai masalah film apa yang paling gress diputar di bioskop. Ketiga, jauh-jauh dari Semarang, yakni Yustinus Erwin Thomas, seorang wiraswasta muda di bidang perbukuan, beliau adalah Direktur “La Vigyan”, yakni semacam company yang bergerak mendistribusikan buku-buku bernuansa kebangsaan, spiritualitas lintas agama dan perkembangan science mutakhir.

“Naik pesawat ketemu Surya Paloh…So What Githu loh..” Begitulah cara Juri untuk mencairkan suasana tegang yang mewarnai wawancara ini karena para peserta di suruh duduk di kursi “panas” untuk diinterogasi tentang ide dan pemikirannya guna mengatasi aneka problematika kebangsaan kita yang sebelumnya telah mereka tuliskan dalam essay setebal 8-12 halaman kuarto.

Ada seorang peserta yang bernama “Mayang”, begitu maju ke depan, Pak St. Kartono segera bertanya dengan serius, ” Gimana kabarnya Mas Bambang Tri Atmojo??? semua sejenak kaget….kok tanya-tanya gitchu sih…oh ternyata ini berkaitan dengan gosip antara salah satu putra Pak Harto dengan selebritis Mayang Sari, “wat-wat gawoh”…ada-ada saja. Namun secara keseluruhan saya merasa salute dan kagum dengan kecemerlangan dan kepiawaian para peserta menjawab pertanyaan para juri dengan logis, mantap dan polos ala “teenager.”

Misalnya, Bintang Cesario dari SMAN 8 Jogja yang kebetulan menjadi juara I, ia memiliki cita-cita sederhana untuk memulihkan keadaan bangsa ini dan membawanya pada kejayaan. Yakni menjadi pengusaha restoran, kinerja perusahaan harus profesional ala fastfood, tapi ia tak akan menjual produk import, yang ia jual adalah masakan-masakan tradisional dari pelbagai daerah di Indonesia, seperti ayam bakar, soto, gado-gado, lotek, dst dan ia juga hendak melebarkan wilayah pemasarannya sampai ke negri manca. Wow…

Ada juga paparan Mutiara Rosiatun dari SMA Taman Madya Ibu Pawiyatan Taman Siswa Jogja, yang menjadi juara II, ia bercita-cita menjadi diplomat dan hendak terbang ke luar negri, guna mengatakan pada orang-orang di sana bahwa Indonesia tidak seperti yang mereka pikirkan, sejatinya kita adalah bangsa besar dan berpotensi untuk maju, jaya dan disegani di kancah percaturan internasional.

Salah satu siswi dari SMA Taruna Nusantara Magelang, Bunga Bangsa namanya, yang menjadi juara III, bercita-cita menjadi ahli pangan, sebelumnya ia bertekad belajar dengan tekun sehingga bisa mendapat beasisiwa ke luar negri. Kemudian ia akan kembali ke Indonesia dan menerapkan ilmunya guna mengatasi masalah kerawanan pangan yang masih menghantui negri ini.

Singkat kata, jika menyaksikan dan merasakan semangat generasi muda kelahiran era 1990-an itu yang kreatif menuangkan ide lewat bahasa tulisan dan berwawasan kebangsaan pula. Sungguh Indonesia Jaya merupakan satu keniscayaan, satu hal yang tidak mungkin tidak tercapai. Indonesia Pasti Jaya!

Maret 13, 2008

Kontekstualisasi Visi Kebangsaan

Dimuat di Rubrik Suara Mahasiswa SKH Kedaulatan Rakyat, 8 November 2006

Berbeda dengan ritual peringatan Sumpah Pemuda yang sekedar bernostalgia dengan manisnya masa lalu sehingga menafikan misi utama mengangkat kembali visi kebangsaan yang didengungkan para founding fathers tersebut, meminjam isltilah Prof. Arief Budiman - lupa mengkontekstualisasikannya dengan kekinian zaman, pada 28 Oktober 2006 silam di Denpasar Bali, tepatnya di Ground Zero Kuta, yang diredefinisi oleh Anand Krishna, tokoh humanis lintas agama Nusantara sebagai Ground for Love, Peace, and Harmony diadakan perhelatan akbar berupa deklarasi Forum Pengajar, Dokter, Psikolog - Bagi Ibu Pertiwi (ForADokSi-BIP).

Ibarat sarang lebah yang mengandung baanyak madu, organisasi masyarakat ini bertekad menjadi wadah untuk menyebarkan visi kebangsaan tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, gender, usia, dst di Bumi Pertiwi tercinta ini. Sebagian besar pelopornya berprofesi sebagai pengajar, dokter, dan psikolog. Kenapa? karena merekalah yang paling sering berinteraksi dengan kalangan di akar rumput. Sehingga dari perspektif strategi-taktik gerakan, mereka bisa leluasa dan masif menebarkan benih cinta bakti pada Ibu Pertiwi di kalangan anak didik, pasien , dan kliennya.

Ada kisah miris yang diceritakan seorang dokter muda dari Lombok, NTB. Saat melayani pasien yang hendak transfusi darah, pihak keluarga bersikeras agar mendapat donor dari orang yang seagama. Bukankah darah setiap manusia itu sama warnanya: Merah! Dan yang paling penting ialah kecocokan golongan (A,B,AB atau O) dan tipe rhesus-nya (+ atau-). Apa hubungan antara kolom agama di KTP dengan kelayakan medis tersebut? Fanatisme agama yang cenderung mengkotak-kotakkan manusia semacam ini jelas bertentangan dengan falsafah negara kita: Bhinneka Tunggal Ika dan visi luhur Sumpah Pemuda: Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa.

Berdasarkan teks deklarasinya, Forum Pengajar, Dokter, Psikolog - Bagi Ibu Pertiwi akan proaktif bergerak memantau, mendengar dan bicara secara lugas, jelas dan lantang berkait pelbagai problematika sosial seperti pendidikan, kesehatan (fisik dan psikis). Utamanya mengkritisi pola pendidikan yang menjurus pada intimidasi dan indoktrinasi yang potensial menciptakan individu berpandangan sempit macam Amrozi Cs yang lupa akan jati dirinya sebagai anak bangsa dan warga dunia.

Almarhum Romo Mangunwijaya mengingatkan bahwa bangsa ini tak butuh "Persatean" alias penyeragaman pola pikir, kita butuh persatuan berdasar kesadaran jati diri bahwasanya walau berbeda-beda tapi kita semua berpijak di bumi yang satu, berteduh di bawah atap langit yang sama dan bercita-cita mewujudkan tata kemanusiaan ilahiah tanpa diskriminasi. Hal ini hanya bisa dicapai lewat jalur pendidikan, tak cuma di sekolahan formal tapi juga lewat penulisan artikel kebangsaan di media massa.


GLOKALISASI

Dimuat di Rubrik Suara Mahasiswa SKH Kedaulatan Rakyat, 2 November 2006

Ada apa gerangan kok sejak pagi hingga tengah hari pada Selasa Legi 31 Oktober 2006 ribuan orang tumpah ruah di Bangsal Kepatihan Yogyakarta? Dari tukang becak yang bersimbah peluh sampai pegawai kantoran yang necis berdasi dan wangi rela berjajar antri guna bertatap muka dan bersalaman dengan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Kanjeng Ratu GKR Hemas.

Usut punya usut ternyata ada acara spesial Open House Ngarso Dalem dalam rangka memperingati hari raya Idul Fitri 1427 Hijriyah yang jatuh pekan lalu. Ada seorang Ibu lanjut usia berani datang sendiri dari daerah Ambarukmo hanya untuk bersua secara fisik dan menyentuh tangan Sri Sultan HB X yang pada hari berbahagia itu ditemani oleh Sri Paduka Paku Alam dan Sekda DIY. Menurut penuturan Sang Ibu, beliau meyakini bila dapat bersalaman dengan Sri Sultan akan mendapat berkah melimpah dari Gusti Allah.

Mungkin ada sentimen segelintir orang yang berpendapat tradisi turun-temurun yang telah dihayati sejak ratusan tahun silam oleh para leluhur kita ini hanya sebentuk feodalisme atau pengkultusan individu belaka. Namun jika kita melihat dengan pandangan jernih maka kearifan lokal itu bisa memfasilitasi rakyat jelata berjumpa lansung dengan pemimpinnya . Ini amat mengharukan dan patut dilestarikan.

Dalam acara silaturahmi semacam itu rakyat jelata dan para pemimpi berjumapa langsung sehingga bisa saling berbagi satu sama lain. Di satu sisi raktyat merasa dekat secara emosional dengan para pemimpin sehingga semakin giat berkarya sesuai perannya masing-masing dalam keseharian, Di sisi lain para pemimpin juga diingatkan akan amanah penderitaan rakyat sehingga menjalankan tampuk kepemimpinan tidak arogan, korup dan melik nggendong lali.

Kemudian ada sebuah istilah njawani guna menyebut seorang pemimpin "Sri Paduka". Menurut Anand Krishna, "Sri", ibarat Dewi Sri dalam tradisi kejawen yakni Dewi Padi atau "Ia yang menyejahterakan" dan "Paduka" berarti langkah yang sinonim dengan tindakan atau lelaku. Dalam konteks jaman modern seperti sekarang ini, "Sri Paduka" berarti pemimpin yang kebijakannya, baik secara ekonomi, politik, sosial, budaya menyejahterakan sekaligus menentramkan hati rakyat dan para konstituennya.

Di era Globalisasi seperti sekarang ini, di mana jarak, ruang, dan waktu menjadi begitu relatif sebab dalam hitungan detik pelbagai arus informasi bisa diakses dan menyebar ke seantero jagat, bila kita tidak pintar-pintar menyeleksi pengaruh asing yang menyerbu Indonesia maka kita bisa kehilangan jati diri. Meminjam istilah Bung Karno "Neo Imperialisme" mungkin tengah berlangsung tanpa kita sadari. Situasi ini pelu diimbangi dengan Glokalisasi, yakni upaya sungguh-sungguh untuk menggali kembali harta karun kearifan lokal yang terpendam di Bumi Pertiwi tercinta. Dan...yang lebih penting menyajikannya sesuai dengan konteks dan gaya zaman modern. Konkretnya seperti Open House Ngarso Dalem di Bangsal Kepatihan DIY. Namun hal ini musti dikemas secara kreatif, masif dan berkala sehingga tidak menjadi ritual belaka.

Maret 12, 2008

ANUGERAH KEBERADAAN

Dimuat di Rubrik Resensi Buku The Torchbearers' Newsletter 8/2007

Judul: Life Workbook, Melangkah dalam Pencerahan, Kendala dalam Perjalanan dan Cara Mengatasinya.
Penulis: Anand Krishna
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, Juni 2007
Tebal: vi + 314 halaman
Harga: Rp 50.000

Kelahiran terlanjur terjadi dan kematian ialah keniscayaan masa depan. Di antara dua proses ini manusia eksis. Lantas apa bekal kita dalam ziarah hidup ini? Dalam buku Life Workbook Bapak Anand Krishna menuturkan hampir di setiap lokakarya, para peserta mengacu pada identitas luaran yang diperoleh paska kelahiran. Misalnya pendidikan, pengetahuan, agama, nama baik keluarga, warisa, dll (hal 65). Padahal menurut tokoh spiritual lintas agama Nusantara ini ada 3 "anugerah Keberadaan", yakni: waktu, ruang, dan nafas.

Manusia terlahir pada saat tertentu. Mati pun dalam pelukan Sang Maha Kala. Ada tiga matra imaginer dalam kontinuitas waktu, yakni masa lalu (past), depan (future), dan kini (now). Prof S Radhakisnan yang pernah menjabat sebagai Presiden India berpesan, "Belajarlah dari masa lalu tanpa penyesalan, rajutlah masa depan tanpa kekhawatiran." Dan last but not least," Sekarang ialah saat untuk berkarya!" tandas pujangga besar tersebut (hal 72-73). Suatu kali penulis juga melihat kaos berlogo kijing (nisan), tulisannya menarik, "Gunakan hidupmu sebelum matimu!"

Menurut Bapak Anand Krishna dalam buku ini, seni managemen waktu amatlah penting. Bagaimana caranya? mudah, yaitu dengan membagi 24 jam sehari dalam tiga kudran. Delapan jam pertama untuk bekerja mencari nafkah, 8 jam kedua untuk pengembangan diri dan bercengkrama bersama keluarga, misalnya membaca, nonton film, tamasya guna membuka cakrawala pandang. Sisanya delapan jam ketiga untuk makan, minum, tidur, seks dan MCK. Namun yang utama ialah disiplin pemanfaatan waktu karena setiap saaat itu unik dan berharga.

Sejak keluar dari gua garba hangat Ibunda, Keberadaan menganugerahi tubuh bagi manusia. Ruang rumah bisa porak-poranda digoyang gempa, ambruk diamuk angin puting beliung, tenggelam diterjang lumpur Lapindo...tapi badan ini menjadi "milik" manusia selagi bernafas. Nafas ialah pertanda kehidupan. Manuasia rata-rata bernafas 21.600 kali dalam sehari. Ini proses dahsyat tapi acapkali tak disadari. Menjelang maut menjemput, baru kita paham signifikasi tarik-buang nafas.

Dalam situasi kacau, nafas menjadi cepat seperti monyet yang siklus nafasnya mencapai 32-36 permenit. Sedangkan manusia normal bernafas 15 siklus permenit. Rumus matematisnya sederhana, siklus nafas bebanding lurus dengan keberhasilan manusia. Menurut Bapak Anand Krishna semakin pelan dan ritmis nafas kita semakin sehat, sukses dan bahagia hidup ini. Karena kadar oksigen di neuron otak memadai sehingga mampu mencerna informasi secara jernih. Inilah magnet alami yang niscaya menarik keberhasilan mencium kaki Anda.

Lantas apa ukuran keberhasilan? Apakah jumlah rekening di bank? Ya dan tidak. Karena hak milik tersebut baru bermakna jika berfungsi secara sosial. Sebaliknya bagaimana bisa berbagi dengan sesama bila belum mampu berdiri di atas kaki sendiri? Berikut ini beberapa kriteria umum seputar keberhasilan ala Bapak Anand Krishna, penulis 110-an buku laris ini. Keberhasilan utama ialah pengendalian diri. Keberhasilan itu sungguh bermakana tatkala kita rayakan dengan sesama. Selain itu keberhasilan bukanlah pengakuan dari dunia melainkan kepuasan batain. Keberhasilan yang diraih dengan menjegal orang lain bersifat ilusif, keberhasilan manipulatif macam itu terasa hampa. Keberhasilan sejati justru mendorong kita berbagi bersama putra-putri Ibu Pertiwi, warga dunia dan segenap titah ciptaan yang kurang atau belum berhasil (hal 85-96).

Buku Life Workbook ini ialah saripati materi workshop seputar seni pengolahan hidup secara efektif dan efisien. Bahasanya sederhana, gaul, dan fungky sehingga mudah dicerna. Buku ini merupakan sarana untuk menghadapi tatangan kehidupan dengan penuh percaya diri :)

Maret 11, 2008

Bende Mataram

Dimuat di Rubrik Suara Mahasiswa, SKH Kedaulatan Rakyat, 12 Desember 2006

Ada pepatah lama mengatakan, "Surga di bawah telapak kaki Ibu." Hal ini sungguh dipahami oleh Raja Sanjaya yang memimpin di Bumi Jawadwipa pada medio abad ketujuh. Beliau mempopulerkan istilah "Mataram". guna menyebut tanah air, Ibu Pertiwi. Lantas 1.200 tahun kemudian pada era revolusi kemerdekaan, semboyan "Mataram" kembali digunakan oleh para founding fathers guna menggelorakan perjuangan rakyat semesta mengusir kaum imperialis yang menginjak-injak kehormatan Ibu Pertiwi selama 350 tahun.

Anand Krishna tokoh humanis lintas agama Nusantara kembali mempopulerkan kata magis tersebut di era milenium ini. Bende Mataram: Sembah Bakti bagi Ibu Pertiwi. Kita memang berbeda latar belakang: suku, agama, ras, profesi, status, gender, dst namun pada saat yang sama kita adalah putra-putri Ibu Pertiwi. Kita boleh memeluk agama Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, Kong Hu Chu, beraliran kepercayaan: Kejawen, Kaharingan, Samin, Theosofi dst namun sejatinya kita saudara sekandung yang notabene dilahirkan, disusui, di rawat dan dibesarkan oleh Bunda Nusantara hingga menjadi dewasa seperti saat ini.

Dalam ilmu psikologi mutakhir dikenal istilah marasmus. Yakni bayi yang meninggal akibat serangan depresi mendalam. Ia merasa kesepiaan karena tak mendapat sentuhan kasih sayang dari ortunya. Kondisi sakratul maut semacam ini juga tengah dialami bangsa Indonesia tercinta akibat belitan krisi multifaset yang tak kunjung reda sejak 1997 silam. Kondisi keamanan serba tak menentu karena bom bisa meledak sewaktu-waktu, Amrozi Cs yang jelas divonis bersalah oleh pengadilan masih bisa cengar-cengir. Birokrasi pemerintahan berbelit-belit bahkan saudara-saudara kita di Bantul hingga kini ada yang masih berteduh di bawah tenda dan kekurangan air bersih karena dana rekonstruksi belum cair dan merembes ke level grassroot. Lebih lanjut aparat pelayan masyarakat bermental melik nggendong lali.

Sebagai kaum akademisi kita bisa berpartisipasi memberi kontribusi bagi Republik ini di lingkar pengaruh, di kampus masing-masing. Mari galakkan acara yang bernuansa kebangsaan jangan melulu yang berbau hedonis dan dogmatis. Konkretnya seperti yang dilakukan National Integration Movement Yogyakarta di UGM pada penghujung Agustus 2006. Yakni dengan menggelar lomba pidato, melukis, menulis, bagi siswa-siswi SD, SMP, SMU se-Jateng dan DIY. Bukankah memang seyogyanya benih cinta pada Ibu Pertiwi harus ditanamkan sejak usia dini? seluruh buah karya anak bangsa tersebut akan didokumentasikan dalam bentuk buku supaya bisa dibaca oleh masyarakat luas sebagai kado kecil buat Ibu Pertiwi.

Memang solusi fundamental guna mengatasi problematika kehidupan berbangsa kita ialah dengan menjalin kembali hubungan batin (romantika) dengan Ibu Pertiwi. Mari kesampingkan sejenak kepentingan egoistik kelompok yang cenderung memecah belah dan menghisap sesama. Mengutip petuah Bung Karno yang dimuat di Suluh Indonesia pada 1928, Ke Arah Persatuan, beliau mengatakan: ""Semangat itu (baca: Cinta tanah air) sudah melengket di atas bibir tiap-tiap orang pergerakan Indonesia, mendalam ke hati tiap-tiap orang Indonesia yang berjuang membela keselamatan tanah air dan bangsa." Sudah 78 tahun berlkalu namun kirannya dengung spirit kebangsaan itu masih relevan diaplikasikan dalam konteks kesekarangan. Jika dahulu mereka berjuang guna mencapai Indonesia Merdeka kini kita berjuang sampai titik darah penghabisan demi Indonesia Jaya!


Populerkan Kembali Mainan Anak di Kota

Dimuat di Rubrik Opini Pembaca, Media Indonesia, Kamis 4 Oktober 2007

Dua acungan jempol buat kreatifitas bocah-bocah lereng Merapi dalam bermain dhakon. Kenapa? karena tanpa papan congklak pun, para "bolang" Dusun Gemer, Kecamatan Dukun, Muntilan, Jawa Tengah tersebut tetap bisa menikmati indahnya masa kanak-kanak. Yakni dengan menggambar lingkaran-lingkaran di tanah serta mengumpulkan kerikil-kerikil dari sungai.

Menurut Ibu Giyanto yang biasa mendampingi tunas-tunas muda tersebut, orang tua mereka tidak mampu membelikan mainan ala orang kota seperti play station, pedang-pedangan yang bisa menyala, ataupun televisi berwarna karena 99,9 persen berprofesi sebagi petani (miskin).

Lebih lanjut, dhakon merupakan salah satu jenis dolanan anak. Di Jawa, aturan mainnya sinonim dengan congklak karena menggunakan cangkang kerang atau biji sawo kecik. Di Sumatra, namanya dentuman lamban, sedangkan di Sulawesi biasa disebut mokoatan, maggalenceng, aggalacang atau nogarata. Nah kalu di Inggris, istilahnya mancala. (Sumber: Wikipedia Indonesia)

Keunggulan permainan tersebut ialah memfasilitasi interaksi intra dan antar anak. Selain itu, mayoritas dolanan anak dimainkan di alam terbuka sehingga sejak usia dini mereka biasa bersikap lepas bebas dan apresiatif terhadap sesama dan lingkungan sekitar. Misal dalam atraksi gamelan tugel, ada anak yang menabuh kendang, ada pula yang menari (njatil).

Namun jangan mebayangkan seperangkat gamelan kinclong, sebab yang tersedia hanya ember bekas, rantang bocor dan kaleng rombeng. Situasi ini berbanding terbalik dengan nuansa game yang katanya modern tapi cenderung mekanik dan individualistis.

Masih banyak jenis dolanan anak di Indonesia tercinta ini. Dalam buku Permainan Tradisional Jawa karya Sukirman Dharmamulya dkk (Kepel Press, 2004) tercatat tidak kurang dari 40 ragam permainan (play). Secara ringkas, dolanan anak yang tersebar di seantero Jawa ini bisa dikategorikan menjadi tiga macam. Pertama, bermain dengan bunyi; kedua, adu ketangkasan; ketiga, olah pikir.

Sebut saja cublak-cublak suweng dan klek-klek gemakul: Larang uyah/larang mbako/sak geplek dadi sak wakul, termasuk jenis pertama karena melibatkan unsur gerak dan lagu. Kemudian egrang, engkeleng, benthik, petak umpet, kucing jongkok tergolong tipe kedua sebab menuntut ketangkasan fisik. Sedangkan macanan dan dhakon jelas masuk kategori ketiga karena mengasah kemampuan intelegensia.

Permainan anak tersebut tidak butuh biaya mahal, tapi mampu melatih anak menjadi kratif dan andhom aslamet (concern and care for others) alias berjiwa sosial. Ibarat blessing in disguise, justru dari keterbatasan ekonomi masyarakat terlahir ide untuk membuat mainan sendiri dan melestarikan kearifan lokanl dolanan anak yang telah diwarihkan secara turun temurun oleh para leluhur kita.

Tugas kita bersama ialah untuk mempopulerkan kembali khasanah warisan leluhur tersebut. Salah satu langkah kecil seperti yang dilakukan Forum Pengajar, Dokter, Psikolog Bagi Ibu Pertiwi (FORADOKSI BIP), organisasi masyarakat yang digagas oleh Bapak Anand Krishna ini secara berkala blusukan berkeliling mendokumentasikan ragam dolanan anak di pelbagai wilayah Nusantara.

Semoga dengan menonton rekaman secara audio visual, para permirsa (utamanya yang berdomisili di kota) bisa tersentuh rasa pang rasa-nya dan turut memainkan (lagi) dolanan anak tersebut di lingkungan sekitar tempat tinggal masing-masing. Cublak-cublak suweng/suwenge teng gelenter/mambu ketumbun gudel...sir sir pong dele kopong/sir-sir pong dele kopong...

Maret 10, 2008

INDONESIA RAYA 1945

Dimuat di Rubrik Pikiran Pembaca SKH Kedaulatan Rakyat , 20 Mei 2007

Salam Indonesia,

Berikut ini syair lagu kebangsaan Indonesia Raya versi lengkap (3 bait) karya Almarhum Wage Rudolf Supratman. Isinya puitis, mendalam dan menggetarkan jiwa. Semoga mampu membangkitkan kembali semangat Nasionalitas (baca: Cinta pada Ibu Pertiwi) di dada setiap anak bangsa ‘tuk bergotong-royong dan berkarya tanpa pamrih guna mewujudkan Indonesia Jaya!

Sumber :
http://www.youtube.com
http://www.nationalintegrationmovement.org

Indonesia Raya 1945

Indonesia, tanah airkoe, Tanah Toempah darahkoe
Disanalah akoe berdiri, djadi pandoe iboekoe
Indonesia kebangsaankoe. Bangsa dan tanah airkoe
Marilah kita berseroe: Indonesia bersatoe!

Hidoeplah tanahkoe. Hidoeplah neg’rikoe
Bangsakoe ra’jatkoe sem’wanja
Bangoenlah djiwanya. Bangoenlah badannja.
Oentoek Indonesia Raja!

Indonesia raja, merdeka, merdeka
Tanahkoe, neg’rikoe jang koetjinta
Indonesia raja, merdeka, merdeka
Hidoeplah Indonesia raja!

Indonesia, tanah jang moelia
Tanah kita jang kaja
Disanalah akoe berdiri
Oentoek s’lama-lamanja

Indonesia tanah poesaka
P’saka kita semoeanja
Marilah kita mendo’a: Indonesia Bahagia!

Soeboerlah tanahnja
Soeboerlah djiwanja, bangsanja, ra’jatnja sem’wanja!

Sadarlah hatinja, Sadarlah boedinja
Oentoek Indonesia raja.
Indonesia raja, merdeka-merdeka
Tanahkoe, neg'rikoe jang koetjinta
Indonesia raja, merdeka, merdeka
Hidoeplah Indonesia raja!

Indonesia, tanah yang soetji.
Tanah kita jang sakti
Disanalah akoe berdiri,
‘ndjaga iboe sedjati

Indonesia tanah berseri,
Tanah yang akoe sajangi
Marilah kita berdjandji,
Indonesia Abadi!

S’lamatlah ra’jatnja
S'lamatlah poet’ranja, poelaunja, laoetnja. sem’wanja!

Madjoelah neg’rinja.
Madjoelah pandoenja
Oentoek Indonesia raja.

Indonesia raja, merdeka, merdeka
Tanahkoe, neg’rikoe jang koetjinta
Indonesia raja, Merdeka, Merdeka
Hidoeplah Indonesia raja!

Indonesia raja. Merdeka, Merdeka
Tanahkoe, neg’rikoe jang koetjinta
Indonesia raja, Merdeka, Merdeka
Hidoeplah Indonesia raja!


IBU PERTIWI

Dimuat di Rubrik Suara Mahasiswa SKH Kedaulatan Rakyat, 6 Januari 2007

"Bangkitlah bangkit wahai Ksatria/ Apa yang kau ragukan Arjuna? Kalah menang jangan kau pikirkan/ Berjuanglah demi Keadilan/ Berkaryalah demi Kebajikan/ Berkorbanlah demi Kebenaran..."

Itulah petikan tembang gubahan Anand Krishna, tokoh humanis lintas agama yang melawat kota gudeg akhir November 2006 silam. Intinya senada dengan tema yang diusung oleh para budayawan/wati seperti Yuwono Sri Suwito, Budi Wahyuni, Revi Budi Santosa, DS Nugrahaeni dan Saktiadi. Beliau-beliau memaparkan ciri Ksatria Ngayogyakarta Hadiningrat. Yakni Hamemayu Hayuning Bawana sebagai bintang kutub, semangat Golong-Gilig berkobar di dada serta Nyawiji, Greget, Sengguh lan Ora Mingkuh dalam kata dan tindakan guna mewujudkan Yogya sebagai Pusat Kebudayaan pada 2020.

Dewasa ini orang muda (termasuk mahasiswa/mahasiswi) cenderung menelan budaya asing secara mentah-mentah dan enggan menggali khasanah budaya leluhur yang begitu kaya dan mulia. Sekedar sharing, saat penulis nekat mengenakan batik pada jam kuliah, banyak kawan mencibir seraya berkata, "Ini kampus Bung bukan tempat njagong manten". Padahal dahulu kakek-nenek moyang kitapun mengenakan batik dalam aktivitas keseharian karena selain nyaman dipakai, ternyata corak motifnyapun menyiratkan makna filosofis tertentu. Ironisnya, "Kita lupa itu Bung!"

Krisis yang mendera Indonesia sejak 1997 silam bukanlah melulu politis dan ekonomis, melainkan soal budaya. Para politisi yang berbudaya tidak akan mengkorup uang rakyat dan melik nggendong lali karena menyadari jabatan sebagai amanah-Nya untuk melayani seluruh putra-putri Ibu Pertiwi tanpa terkecuali. Yakni dengan mengesampingkan kepentingan egoistik kelompok/partai. Pelaku bisnis yang beradab tak akan merusak alam titipan anak cucu demi kepingan fulus. Prinsip lawas "Tuna Sathak Bathi Sanak" yang mengedepankan nilai kebersamaan ketimbang meraup laba masih relevan diterapkan dalam konteks zaman neoliberal ini.

"Hidup yang tak pernah ditinjau tak layak dijalani." begitulah petuah para bijak. Jelang tutup tahun 2006 lalu ialah saat yang tepat untuk melakukan permenungan. Melihat kembali apa-apa saja yang telah kita persembahkan bagi bangsa ini. Dalam buku "Revolusi Belum Selesai" Bung Karno mengatakan, "Tatkala saya masih muda, saya telah gambarkan negara yang akan datang dan tanah air yang akan datang, tanah air yang kita pijak buminya itu, saya gambarkan sebagai Ibu, Ibu Pertiwi. Kita Berkewajiban jikalau benar-benar mencintai Ibu. Kita harus menyumbang pada Ibu kita. Di dalam ucapan-ucapan saya tatkala saya masih muda, saya berkata, kita semuanya berkewajiban menyumbangkan bunga-bunga untuk mempercantik konde, sanggulnya Ibu kita. Harus, semuanya harus menyumbangkan bunga kepada sanggul kita punya Ibu. Engkau bisa menyumbangkan apa? Engkau bisa menyumbangkan melati? Berilah melati. Bisa menyumbangkan mawar, berilah mawar. Bisa menyumbangkan kenanga? Berilah kenanga!"

Revolusi memang belum usai, saat ini kita butuh banyak Ksatria (orang muda dan yang berjiwa muda) yang sudi berkarya tanpa pamrih untuk mempercantik Ibu Pertiwi dengan penuh Cinta.

Maret 05, 2008

Resensi Buku Otak

Dimuat di Rubrik Resensi Buku SKH Kedaulatan Rakyat, Minggu 15 Januari 2006.

Judul: Otak Para Pemimpin Kita, Persoalan Kebangsaan yang Kita Hadapi dan Solusinya Sebuah Dialog yang Mencerahkan
Penulis: Anand Krishna bersama dr. Bambang Setiawan (Ahli Bedah & Bedah Syaraf) & Didik Nini Thowok (Seniman )
Penerbit: PT. One Earth Media
Cetakan: I, 2005
Ukuran buku : 11 x 17 cm
Tebal: xii + 98 hal
Harga : Rp. 20.000,-

"Bagian kiri berurusan dengan logika, matematika, analisa dan lain sebagainya, sementara bagian kanan lebih "berperasaan". Sense of Beauty, keindahan, estetika, segala macam arts atau seni, bahkan imaginasi, visi...semuanya diurusi otak bagian kanan. Sementara ini kedua bagian itu menjadi budak Lymbic, yang masih sangat hewani. Maka segala apa yang kita lakukan masih diwarnai oleh kehewanian kita." (halaman 24)

Begitulah penjelasan dokter Bambang Setiawan tentang mekanisme kerja otak manusia. Ahli bedah syaraf ini menganalisa carut-marutnya permasalahan bangsa ini bisa dideteksi dari struktur syaraf otak. Mayoritas masyarakat kita masih menjadi budak Lymbic, yakni bagian batang otak yang semata-mata mengejar kenyamanan diri dan memuaskan nafsu pribadi. Maka tidak mengherankan jika tingkah-pongah pemimpin kita terkesan liar dan egoistik serta kurang peka terhadap penderitaan rakyat.

Sistem pendidikan kitapun hanya mengasah otak kiri. Akal belaka, sehingga banyak menghasilkan intelektual. Namun ironis kepandaian tersebut dipakai untuk ngakali, minteri orang lain, akar permasalahannya sama yakni karena masih dikendalikan Lymbic. Parahnya lagi, saat Lymbic ini berkolaborasi dengan otak kanan, yang kaya unsur estetika, sehingga keinginan-keinginan hewani tadi dipoles dengan kata-kata manis, janji-janji muluk supaya terkesan lebih indah, halus dan menarik. Namun tetap sami mawon, semua itu sekedar untuk memuaskan kepentingan pribadi. Bukankah hal semacam ini yang kerap dilakukan para politisi kita? Mereka mengumbar janji-janji saat kampanye pemilu, tapi setelah berkuasa, melik nggendong lali, lupa pada amanah untuk melayani dan mensejahterakan rakyat. Tapi bukankah kita juga yang memilih para pemimpin bangsa ini, maka kitapun bertanggungjawab untuk mengatasi pemasalahan kebangsaan ini.

Solusi atas permasalahan ini amat sederhana, yakni dengan rajin-rajin, t'laten membersihkan Lymbic Section ini dari endapan sampah pikiran, karat emosi, trauma masa lalu yang terpendam dalam gudang subconcious mind, sistem bawah sadar kita. Bisa lewat doa, meditasi, dzikir, disesuaikan dengan agama dan kepercayaan kita masing-masing. Apabila kita sudah menjadi Tuan atas diri kita sendiri, yakni mampu mengendalikan kecenderungan-kecenderuangan hewani tadi maka secara otomatis kita menjadi lebih manusiawi, peka dan berempati pada sesama. Kita tak akan mengorbankan orang lain demi kepuasan pribadi. Keberadaan kita akan menjadi berkah bagi lingkungan sekitar.

Buku ini merupakan dokumentasi Acara Diskusi Bulanan yang diadakan oleh National Integration Movement di Padepokan Spiritual Lintas Agama One Earth One Sky One Humankind, Bukit Pelangi (Jawa Barat) pada 15 April 2005 lalu. Menghadirkan 3 tokoh yang kompeten di bidangnya masing-masing. Pertama adalah Dokter Setiawan, seorang Pakar Otak yang telah puluhan tahun berpraktik di Jakarta. Pria sal Pekalongan ini sejak usia dini menekuni spiritualitas dan sains modern. Beliau adalah sosok hidup yang balance, karena otak kiri dan kanannya berkembang secara optimal. Pernah juga menulis buku Medis dan Meditasi, yang menjelaskan kaitan antara Kebijaksanaan Timur dan Sains Modern Barat. Kedua, Didi Nini Thowok, seorang penari dan pelaku budaya, beliau menguasai berbagai tarian tradisi asli Nusantara, karya klasik India serta menciptakan aneka genre tarian kontemporer baru. Seniman kelahiran Temanggung 13 November 1954 ini dengan tegas menolak untuk mengajar di kampus terkemuka di luar negeri, dengan bayaran yang menggiurkan. Dan lebih memilih membuka sanggar tari sederhana di Yogyakarta, visinya adalah untuk mengajak anak-anak mengenal dan mencintai seni dan budaya Nusantara sejak usia dini. Ketiga, adalah Anand Krishna, tokoh humanis lintas agama yang selama 15 tahun terakhir mencurahkan energi untuk menyuarakan tekad persatuan dan membangkitkan rasa Cinta-Bhakti pada Ibu Pertiwi antara lain lewat penulisan puluhan buku, menggelar Simposium Kebangsaan, mengadakan Program Mengajar Tanpa Dihajar Stress (MTDS) bagi para Pendidik-Guru dan Berkarya Tanpa Beban Stress (BTDS) untuk para karyawan.

Buku ini padat berisi, menyajikan dialog yang mencerahkan serta memberikan solusi konkrit atas peliknya persoalan kebangsaan kita. Terdiri dari 5 bagian, yang pertama adalah sesi "Bedah Otak", yakni mengulas struktur otak manusia, serta perannya dalam koordinasi tubuh sekaligus mind. Selanjutnya "Mengembangkan Rasa", sense of art and beauty, apresiasi, rasa empati dalam diri manusia menjadi lembut, pengasih dan penyayang. Ketiga "Serba-Serbi Otak - Warna Warni Otak", yaitu ajakan untuk melihat perbedaan sebagai kekayaan, ibarat warna-warni dalam pelangi yang justru memperindah dan mempercantik keberadaannya. Aneka cara untuk memberangus perbedaan dan menyeragamkan manusia berarti menyalahi kodrat hukum alam. Bagian keempat adalah "Setelah dibedah", Insya Allah, manusia menyadari Jati Dirinya, ia berhasil menaklukkan insting hewani yang selama ini mengekangnya. Ia menjadi semakin manusiawi. Terakhir adalah latihan "Pembenahan Diri" semacam panduan praktis untuk memberdaya diri, membersihkan lymbic dari sampah-sampah stres, trauma, ketakutan dan kekecewaan. Sehingga kita tak hanya rumangsa isa, sebatas paham secara kognitif-rationil tapi juga isa rumangsa, mencicipi rasa - pengalamannya.

Buku ini layak dibaca oleh para pemimpin, orang tua, guru, karyawan dan siapa saja yang berniat untuk menjadi lebih manusiawi lewat pemahaman hidup yang utuh dan seimbang tentang struktur otak. Kemudian bersedia melakukan Jihad Akbar yakni secara tekun dan rendah hati untuk menaklukkan keliaran hewani dalam diri. Sehingga akhirnya menjadi lebih manusiawi dan lembut. Hati kita akan berlembab dan inklusif sudi menghargai pelangi perbedaan yang ada. Serta mampu berbagi rasa, lewat bhakti secara tulus bagi sesama dan Ibu Pertiwi Tercinta, INDONESIA.