Maret 27, 2008

SEMBAH BHAKTI BAGI IBU PERTIWI

Dimuat di Rubrik Bebas Bicara, BERNAS Jogja, 28 Maret 2008

Pepatah lama mengatakan, "Surga di bawah telapak kaki Ibu." Raja Sanjaya memahami filosofi ini. Penguasa Bumi Jawa Dwipa pada medio abad ketujuh tersebut memperkenalkan istilah "Mataram" yang berarti Ibu Pertiwi. Lantas 1.200 tahun kemudian, pada era revolusi kemerdekaan, kata sandi (password) "Ibu Pertiwi Memanggil" kembali dipakai oleh para founding fathers untuk menggelorakan semangat rakyat mengusir kaum imperialis yang menginjak-injak kehormatan Ibu Pertiwi selama 350 tahun lebih.

Anand Krishna aktivis spiritual lintas agama Nusantara kembali mempopulerkan mantra "Bende Mataram" di era milenium ini. Artinya sinonim dengan, Sembah Bhakti bagi Ibu Pertiwi. Walau kita berbeda latar belakang suku, agama, ras, profesi, status, gender, ideologi, dst tapi kita semua adalah anak bangsa. Kita boleh memeluk agama Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, Kong Hu Chu, ataupun beraliran kepercayaan Kejawen, Kaharingan, Samin, Teosofi, dst namun sejatinya kita saudara sekandung yang notabene dilahirkan, disusui, dan dibesarkan oleh Bunda Indonesia hingga menjadi dewasa seperti saat ini.

Dalam psikologi ada istilah "marasmus". Yakni bayi yang meninggal akibat ditelantarkan. Ia merasa kesepiaan dan depresi karena tak mendapat sentuhan kasih sayang dari ortu, khususnya Ibu. Kondisi sakratul maut ini mirip seperti yang dialami bangsa Indonesia. Bencana alam silih berganti, belitan krisis multifaset tak kunjung reda sejak 1997 silam, kondisi keamanan tak menentu karena bom bisa meledak sewaktu-waktu, Amrozi Cs yang telah divonis bersalah oleh pengadilan masih bisa cengar-cengir, birokrasi pemerintahan berbelit-belit, aparat pelayan masyarakat bermental korup dan melik nggendong lali. Memperpanjang KTP pun musti dilambari uang "rokok".

Kita musti bangkit dan membenahi kebobrokan ini. Mulai dari diri sendiri di di lingkar pengaruh masing-masing. Mari galakkan acara yang membangkitkan jiwa nasionalis dan cinta tanah air dalam diri. Usah melulu yang berbau hedonis dan/atau dogmatis. Konkretnya seperti yang dilakukan National Integration Movement (NIM) Joglosemar. Berupa lomba pidato, melukis, menulis, bagi siswa-siswi SD, SMP, SMU se-Jateng dan DIY.

Misal Bintang Cesario dari SMAN 8 Jogja yang kebetulan menjadi juara I menulis esai kebangsaan. Generasi kelahiran era 1990-an tersebut memiliki cita-cita menjadi pengusaha restoran. Kinerja bisnis kuliner tersebut musti profesional ala fastfood. Tapi ia emoh (tak mau) menjual produk impor, yang dijual ialah masakan tradisional khas Nusantara. Seperti soto, gado-gado, lotek, ketoprak, nasi liwet, sambal balado dst. Selain itu ia bertekad melebarkan sayap pemasaran sampai ke negri manca. Kebayang kan nongkrong makan pecel lele di bawah menara Eifel?

Memang solusi fundamental guna mengatasi problematika kehidupan berbangsa kita ialah dengan merajut kembali romantika dengan Ibu Pertiwi. Mari kesampingkan sejenak kepentingan egoistik berlabel SARA yang cenderung memecah-belah bangsa dan menghisap sesama. Prinsipnya sederhana, kalau kita mencintai seseorang, apapun kita lakukan untuk membuat ia bahagia.

Tidak ada komentar: