April 21, 2010

Belajar dari Hanuman


Resensi Buku ini dimuat di Majalah Nuntius Edisi April 2010

Judul: The Hanuman Factor
Penulis: Anand Krishna
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Bahasa: Inggris
Cetakan: 1, Januari 2010
Tebal: 206 halaman
Harga: Rp 40.000

"Ambeg utama, andhap asor" (Jadilah yang pertama dalam belajar, tapi jangan pernah pamer) - Petuah Kejawen

“Nalikane Alengka diobong, diobong, diobong” (Saat itu Alengka dibakar, dibakar, dibakar). Syair lagu rakyat "Hanuman Obong" ini amat populer di kalangan masyarakat Jawa. Khususnya di daerah pedesaan. Tokoh Hanuman diambil dari kisah Ramayana. Ia ialah utusan Rama untuk membebaskan Shinta yang diculik Rahwana. Sekilas mirip dengan Sun Go Kong, si kera sakti dalam film perjalanan Biksu Tong mengambil kitab suci menurut tradisi China.

Ibu Hanuman bernama Anjani, seorang bidadari cantik dari khayangan. Ayahnya ialah Dewa Angin. Oelh karenanya ia sering disebutl Putra Bayu. Konon saat masih balita ia pernah menelan matahari, sebab bentuknya mirip kembang gula (permen) kegemarannya. Hanuman dewasa mampu terbang melintasi Samudera untuk membebaskan istri majikannya, sosok ini pula yang seorang diri membumihanguskan kota Alengka.

Dalam buku The Hanuman Factor Anand memaparkan 8 kemampuan Sang Duta Rama (halaman 140-141). Antara lain, Anima (kemampuan mengecil menjadi seukuran partikel atom), Mahima (kemampuan membesar menjadi seukuran alam semesta), Garima (kemampuan menjadi sangat berat), Laghima (kemampuan menyala terang-benderang), Prapti (kemampuan berada di banyak tempat pada saat yang bersamaan), Prakamya (kemampuan mewujudkan segala kemauan), Isitva (kemampuan merasuki raga apa dan siapa saja), Vasittva (kemampuan mengendalikan segala situasi).

Aktivis spiritual ini memaknai kemampuan linuwih (lebih) Hanuman tersebut dari sudut pandang psikologi mutakhir. Antara lain, Anima ialah kemampuan melepaskan segala keterikatan dan beban hidup (to let it go). Praksisnya setelah kita melakukan latihan katarsis (pembersihan jiwa), otomatis badan terasa seringan kapas. Prapti juga bisa dimaknai sebagai kemampuan memahami perkembangan zaman. Salah satunya dengan membaca buku. Menurut Maya Safira Muchtar "Book" dalam bahasa Inggris merupakan singkatan dari Broad Ocean Of Knowledge (Lautan pengetahuan yang luas).

Pada halaman 26-27 ada diagram unik. Memuat 4 cara menemukan “pusat” di dalam diri manusia. Pertama ialah Kama atau keinginan kuat. Kedua ialah Artha, bukan semata harta duniawi melainkan makna hakiki dari kehidupan itu sendiri. Ketiga ialah Dharma alias kebajikan. Keempat ialah Moksha atau kebebasan sejati. Istilah kerennya, "Bebas dari sekaligus bebas untuk." (Freedom from and freedom for).

Ironisnya, manusia cenderung mengawinkan Kama dengan Artha, padahal keduanya linear segaris. Akibatnya, kita berkeinginan tunggal melulu untuk mengumpulkan harta. Begitu pula dengan pasangan Dharma dan Moksha, kita berbuat baik untuk meraih kapling di surga dan menghindar dari siksa neraka. Hubungan kita dengan Sang Kekasih ibarat transaksi dagang. Mirip dengan keledai yang diiming-inging wortel (carrot) dan ditakut-takuti tongkat/cambuk (stick).

Seyogianya garis pertemuannya musti diagonal menyilang. Artinya, berkeinginan tunggal (Kama) untuk meraih kebebasan sejati (Moksha). Lantas kita mengumpulkan harta (Artha) untuk berbagi dengan kaum yang terindas dan menderita (Dharma). Hidup terasa indah tatkala kita sudi berbagi rejeki dan berkah dengan tetangga sebelah tanpa memusingkan apa isian kolom agama di KTP.

April 19, 2010

Universalitas Ajaran Sufi


Resensi buku ini dimuat di Jurnal Fenomena, Jurnal Ilmiah Mahasiswa Teologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Vol.VII/No.1/Maret 2010

Judul: Sufi Soluitions to World Problems
Bahasa: Inggris
Penulis: Anand Krishna
Penerbit: Koperasi Global Anand Krishna
Cetakan: 1, 2008
Tebal: 110 halaman

Al Beruni mengatakan istilah "Sufi" berasal dari bahasa Yunani "Pailosopa." Artinya cinta kebijaksanaan. Lantas sejarawan kondang Arab tersebut mengakaitkannya dengan kata "Safi", yang artinya kesederhanaan. Seorang Sufi ialah ia yang hidup sederhana dalam cinta dan kesederhanaan.

Buku ini sejatinya berupa makalah panjang. Anand Krishna mempresentasikannya dalam Conference on Sufi Movements in Contemporary Islam yang dihadiri perwakilan dari 5 benua. John M. Daniels, wartawan Bali Update mengeditnya agar enak dibaca khalayak ramai. Perhelatan akbar tersebut digelar di Singapura pada 14-15 Agustus 2008 silam. Bertindak sebagai tuan rumah ialah National University of Singapore (NUS) dan Institute of South East Asian Studies (ISEAS).

Anand Krishna seorang penulis produktif 120 buku lebih. Ia dilahirkan di Surakarta, Jawa Tengah. Aktivis spiritual lintas agama ini mengenyam pendidikan dasar di Lucknow India. Di sanalah Anand remaja berjumpa dengan Sheikh Baba, Murshid (Baca: Guru) Sufi yang bekerja sebagai penjaja es balok. Tokoh yang satu ini mempunyai peranan besar dalam pembentukan watak pendiri Yayasan Anand Ashram yang berafiliasi dengan PBB pada tahun 2006 (http://www.un.org/News/Press/docs/2006/ngo608.doc.htm) tersebut

Sang Ayah tercinta, Baba Tolaram juga memperkenalkan ajaran Sufi kepada Anand kecil, yakni melalui puisi-puisi Shah Abdul Latief, seorang Sufi besar dari peradaban Sind (wilayah peradaban yang membujur dari Gandahar (kini Afganistan) sampai Astraley (kini Australia)). Misalnya pada halaman 21, "As breath pervades everywhere, so Sufis live in every heart." Seperti udara yang berada di mana-mana, begitulah spirit Sufi ada di setiap hati manusia. Sufi bukanlah monopoli satu kelompok/sekte tertentu, melainkan anugerah bagi siapa saja yang sudi membuka diri, belajar dan menerima kebhinekaan cara pandang.

Ironisnya, saat ini banyak negara di dunia terserang "virus" fanatisme. Virus ekstrim radikalisme ini lebih berbahaya faripada visus H1N1. Menurut Dr. Hisman dari University of Warwick UK ajaran Sufi begitu disambut baik oleh masyarakat Barat. Kenapa? karena universalitas ajarannya menjadi antitesa atas kecenderungan fasis berkedok agama dan kepercayaan di abad ke-21 ini.

Misal terkait penyalahgunaan kata "Jihad" (Sufisme and the War on Terror, 2008). United Nation Support Facility for Indonesia (UNSFR) mencatat terjadi 3.608 tindak kekerasan dengan dalih "jihad" sepanjang tahun 1999-2003 di Indonesia tercinta. Dalam konteks inilah redefinisi kata "Jihad" menjadi urgen.

Kaum militan mengidentifikasikan dengan perang "suci". Kedangkalan berpikir tersebut berbanding terbalik dengan konsepsi Asghar Ali Engineer, seorang pemikir Islam progresif, ia menguraikan makna lain dari "jihad". Sebagai sebuah spiritual exercuse alias laku batin untuk mengatasi keliaran pikiran manusia itu sendiri.

Ada sebuah kisah menarik. Suatu hari, sepasukan prajurit baru kembali dari perang Badar. Nabi Muhammad SAW bersabda kepada mereka, "Kamu baru pulang dari "jihad" kecil (al-jihad al ashgar), sekarang saatnya "jihad" besar (al jihad al-akbar)." Salah seorang pengikut Nabi bertanya, "Apa arti "jihad" besar Yang Mulia?" Beliau menjawab," Jihad" akbar ialah upaya sungguh untuk melampaui ego dan iri dengki (mujahadat al-abdi hawah)."

Dalam tradisi Kejawaen ada piwulang yang begitu indah. "Menang tanpa ngasorake." Pemenang sejati tak menindas orang lain. Kenapa? karena mereka mempunyai keluasan cakrawala pandang. Senada dengan slogan Yayasan Anand Ashram, "One Earth, One Sky and One Humankind." Kita berpijak di bumi yang sama, bernaung di bawah langit yang sama, sesama umat manusia. Apa yang kita perbuat pada orang lain dan lingkungan niscaya berdampak kepada diri kita sendiri.

Akhir kata, buku ini ialah sarana untuk hidup damai dalam cinta dan harmoni. Bukankah itu yang dibutuhkan dunia kita saat ini? mengutip petuah bijak Hazrat Inayat Khan, pendiri Sufi Order, "The Sufi does not call a person away from a bleief, it calls one to live it." Ajaran Sufi tidak mengajak orang meninggalkan agama atau kepercayaannya, melainkan untuk mempraktekkan ajaran luhur yang terkandung dalam setiap agama di dunia dan kepercayaan lokal setempat dalam keseharian ziarah hidup ini.

More Than A Monkey


More Than A Monkey

Title: The Hanuman Factor
Author: Anand Krishna
Publisher: PT Gramedia Pustaka Utama
First published: January 2010
Pages: 206
Price: Rp 40.000

"Ambeg utama, andhap asor" (Be the first in learning, but never show up) - Javanese saying

“Nalikane Alengka diobong, diobong, diobong...” (Once upon the time, Alengka was burned, burned, burned...). This song is very popular in Java island, especially in the sub-urban area. Hanuman is a figure from Ramayana epic. He was Rama's ambassador saving Sinta who was kidnapped by Rahwana. His appearance is almost similar like Sun Go Kong.

Hanuman's mother is Anjana, a beautiful goddess from heaven. The father is wind god, named Bayu. Therefore, in the east he was called Bayu's son. When he was still a baby, Hanuman has ever swollen the sun. For, its shape is like his favorite candy. Adult Hanuman is very powerful. He is able to fly crossing the ocean to save his Master's wife. Alone this mighty monkey burned Alengka.

In this "Hanuman Factor" Anand explained the 8 skills owned by the Rama's servant (page 140-141). For examples, Anima (the ability to be so small, like an atomic form), Mahima (the ability to be huge, like a giant), Garima (the ability to be so weight), Laghima (the ability to be so bright), Prapti (the ability to exist in two different places in the same time), Prakamya (the ability to manifest any wills), Isitva (the ability to enter others' body) and Vasittva (the ability to control any circumstances).

This spiritual activist interprets those abilities from the modern psychological point of view. For instances, Anima is Hanuman's skill to life without any burdens. Prapti is his ability to be in tune with the human's progress by reading a lot. Maya Safira Muchtar, a famous therapist said that the word "Book" stands for broad ocean of knowledge.

Page 26-27 mentions a unique diagram. Showing 4 ways in finding the "center" in ourselves. First is Kama or strong will. Second is Arta, not only related with wealth but also with human's life value. Third is Darma or Rightfulness. Last but not least is Moksa or ultimate freedom. Freedom from and freedom to.

Unfortunately, people tend to combine Kama with Arta, which are in a line. Therefore, we only have a strong will to collect money. Similar with the combination of Darma and Moksa, we do something good only to get reward (heaven) and to avoid punishment (hell). What is our different with a donkey? who just want to eat carrot and avoid stick.

The ideal meeting is in diagonal line. Meaning that we have Kama or strong will to gain Moksa or ultimate freedom, not after the death but during our life time right here right now. Than, we collect wealth to
be shared with the oppressed people. It's our Darma. In tune with John Lennon's imagination, "Imagine all the people, sharing all the world..."

Hanuman is more than a monkey. In Javanese culture he was called "budha - budhi". An unlighted being that applied his/her enlightenment in daily life. Hopefully, reading this 206 pages book will color our life with the same spirit.

Source: http://hiburan.kompasiana.com/group/buku/2010/08/12/more-than-a-monkey/