Mei 30, 2012

Menggalakkan Produk Pangan Lokal

Dimuat di Suara Karya, Kamis/31 Meil 2012
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=304395

Hingga kini Indonesia masih mengimpor gandum. Data Asosiasi Produsen Tepung di Indonesia (Aptindo) mencatat angka impor gandum naik 6 persen. Pada 2012 impor gandum bisa mencapai 6,6 juta ton. Padahal, tahun 2011 hanya 6,2 juta ton. Sungguh ironis, bukan? Karena, sejatinya bumi Nusantara menyimpan aneka ragam produk pangan lokal.

Pelbagai jenis umbi-umbian tumbuh subur di kawasan pedesaan. Antara lain uwi, ganyong, gembili, suwek, rondo sluku, punuk banteng, garut, kimpul, dan lain-lain. Semua anugerah alam tersebut dapat menjadi subtitusi tepung gandum. Begitulah paparan Pak Kemin, Minggu (27/5) lalu. Beliau adalah Ketua Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Mekarsari, Dusun Gegunung, Sendangsari, Kecamatan Pengasih, Kulon Progo, Yogyakarta.

Penulis berkunjung ke sana bersama puluhan anggota Fokal (Forum Keluarga dan Anak Cinta Lingkungan) asuhan Ning Raswani. Salah satu pemenang Perempuan Inspiratif Nova 2012 yang menjuarai kategori 'perempuan dan lingkungan hidup'. Sejak awal 2000-an, dusun Gegunung dan sekitarnya memang dikenal sebagai sentra umbi dan pangan lokal.

Hebatnya, produk-produk mereka tak hanya dipasarkan di Jateng dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Namun, merambah pula ke Jakarta, Bogor, Semarang, Surabaya, dan kota-kota lainnya. Dari emping garut, keripik keladi, tepung ketela ungu, hingga gula aren kristal. Semuanya alami, sehat dan dengan harga terjangkau.

Pak Kemin mengisahkan lika-liku perjuangan mereka. Pada awalnya usaha menanam kembali umbi-umbian itu di pekarangan rumah dipandang sebelah mata. Namun, perlahan tapi pasti, banyak pihak mendukung. Termasuk, aparat pemerintah desa setempat. Caranya dengan mengajak mereka bercermin pada para leluhur tercinta.

Kenapa dulu simbah-simbah (kakek dan nenek) kita, giginya masih utuh? Bahkan, tatkala sudah meninggal dan hendak dikubur sekalipun. Karena, memang mereka mengkonsumsi makanan sehat. Selain itu, alam dan tanah belum banyak terpapar racun kimia seperti sekarang," ujarnya.  

Cocok untuk Perut

Mutiara Nugraheni membenarkan tesis tersebut. Mahasiswa S-3 Program Studi Ilmu Pangan Fakultas Teknologi Pertanian UGM Yogyakarta ini menilai umbi-umbian lebih cocok untuk perut orang Indonesia. Sedangkan gandum kurang begitu sesuai. Karena, banyak mengandung gluten. Zat itu memang dibutuhkan orang Barat yang bergaya hidup dinamis. Tapi, kalau kita konsumsi, justru menyebabkan anak menjadi autis alias hiperaktif.

Lebih lanjut, dosen Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) tersebut menguraikan manfaat umbi-umbian dari segi kesehatan fisik. Bagi penderita maag, silakan mengkonsumsi pati garut. Tepung tersebut dapat diolah menjadi kue dan roti agar lebih nikmat. Sedangkan bagi penderita diabetes dapat mengganti nasi putih dengan uwi ungu.

Kanker pun bisa disembuhkan dengan rajin mengkonsumsi kentang kleci. Tapi, umbi bernama Latin 'Coleus Tuberosus' ini harus direbus dengan kulitnya. Sebab, menurut penelitian di laboratorium, lapisan kulit ari itu kaya dengan kandungan Antioksidan Ursolic Acid (UA) dan Oleanolic Acid (OA) yang nota bene bisa menjinakkan tumor ganas.

Temuan penting ini telah dipublikasikan di 3 jurnal mancanegara. Yakni, International Food Research Journal, African Journal of Food Science, dan Journal of Medicinal Plants Research (2012).

Selanjutnya, dari segi perawatan tanaman umbi juga lebih mudah. Terutama dibandingkan kalau petani menanam padi atau gandum. Kedua tanaman tersebut memang rakus asupan air. Sedangkan umbi-umbian, bisa bertahan di musim kemarau sekalipun. Mereka mengalami masa dormansi alias istirahat. Mirip seperti pohon jati yang meranggas daunnya. Tapi begitu musim hujan tiba, bisa cepat tumbuh kembali dan siap dipanen.

Agus Purwanto, salah satu pemuda Karang Taruna Dusun Gegunung juga menguraikan fakta menarik. Tanaman umbi yang tak beracun batangnya menjalar searah jarum jam. Sedangkan yang beracun menjalar berlawanan arah jarum jam. Sehingga, suatu saat, bila tersesat di hutan atau di gunung, pilihlah yang jenis pertama.

Pada hakikatnya, sebagian besar tumbuhan menyediakan umbi/akar, batang, dan daunnya untuk dikonsumsi manusia. Umbi Garut bisa mengobati diare karena kaya kandungan serat. Uniknya, batang tanaman talas juga bermanfaat. Menurut para peneliti India yang sempat berkunjung ke sana, bila direbus dan disayur dapat menurunkan kadar kolesterol dalam tubuh. Bahkan daun muda tanaman bambu bisa dijadikan keripik lezat nan kaya gizi.

Ternyata kalau kita kreatif mengolah potensi lokal, bangsa ini tak akan menderita kelaparan. Mari menggalakkan kembali produk pangan lokal di lingkungan masing-masing. Selain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sekaligus untuk melestarikan tanaman warisan leluhur demi masa depan anak-cucu. Sehingga mereka pun tetap dapat tetap menikmati makanan sehat dan alam nan asri. ***

 Penulis adalah guru Sekolah Alam Angon Yogyakarta. 

Foto aneka umbi-umbian ini dari Mbak Yuri Agata

Mei 29, 2012

Terobosan Dahlan Iskan di PLN

Dimuat di Rimanews.com, Selasa/29 Mei 2012
Sumber: http://www.rimanews.com/read/20120529/64158/terobosan-dahlan-iskan-di-pln


Judul: Indonesia, Habis Gelap Terbitlah Terang. Kisah Inspiratif Dahlan Iskan, Gaya Wartawan Mengelola Kelistrikan
Penulis: Kumpulan Tulisan
Editor: Ishadi S.K
Penerbit: Bentang Pustaka Yogyakarta
Cetakan: IV/Februari 2012
Tebal: xviii + 202 halaman
Harga: Rp39.500
ISBN: 9786028864442   

Ibarat meteor Dahlan Iskan melesatkan Jawa Pos (JP). Begawan media Jakob Utama pun mengamini. JP mengingatkannya pada tamsil, “Matahari selalu terbit dari timur." Jawa Pos menjadi Koran Nasional dari Jawa Timur.

Tak berpuas diri pada pangsa pasar Jawa Timur, JP pun merambah wilayah Indonesia Timur. Bahkan "menyerbu" pula ke Ibu Kota. Jawa Pos berhadapan langsung dengan barisan media raksasa yang terlebih dahulu menasional dari Jakarta. JP menelikung balik, menjadi nasional dari yang lokal.

Jujur saya tertarik membaca buku setebal 202 halaman ini karena terpikat gambar sampulnya. Sungguh artistik. Ternyata, lukisan rona wajah Dahlan Iskan tersebut hanya dibuat dalam 3 hari. Pelukis ulung asal Bandung, Basuki Bawono kilat menggoreskan kuasnya.

Semula buku ini sebuah proyek rahasia. Menurut Ishadi S.K, tak ada yang tahu kalau mereka hendak menerbitkan buku “Si Raja Koran dari Surabaya” itu. Bahkan dari lingkungan intern Perusahaan Listrik Negara (PLN) hanya beberapa direksi yang diberi kabar.

Kalau Ishadi mewawancarai sang konseptor pengalihan pemakaian BBM ke BBG dan tenaga surya (solar cell) di PLN ini, ia berdalih sekadar mau belajar bisnis model apa yang dikembangkan Dahlan Iskan. “Ya, sebagai bahan mengajar Ilmu Managemen di Program Pascasarjana UI,” ungkap Ishadi (hal ix).

Inisiator awal penggarapan buku "Indonesia, Habis Gelap Terbitlah Terang. Kisah Inspiratif Dahlan Iskan, Gaya Wartawan Mengelola Kelistrikan" memang Ishadi S.K. Namun kemudian, komisaris Trans TV dan Trans7 tersebut melibatkan darah-darah muda. Semua berusia di bawah 30 tahun.

Punggawanya ialah Willy Sakareza, jebolan teknik telekomunikasi (Elektro) ITB. Dalam waktu seminggu, mereka tuntas merampungkan konsep, daftar isi, para penulis, format, ukuran, jumlah buku yang akan dicetak, launching, marketing, budget, lengkap dengan nama percetakan dan penerbit bukunya.

Semua pihak yang diminta menulis ihwal man of action - yang notabene mampu mengatasi kemacetan listrik selama 65 tahun hanya dalam 1 tahun kepemimpinan di PLN - langsung menyatakan kesanggupan. Total ada 21 orang yang buah penanya termaktub dalam buku ini.

Para penulis berasal dari lintas strata sosial, ekonomi, dan profesi. Mulai dari pakar komunikasi politik, Effendi Gazali; aktivis/politikus, Budiman Sudjamiko; teknisi kelistrikan di pelosok Kaimana dan Manokwari Papua, Alvin Edison Woisiri; pengusaha muda, Sandiaga Uno, sampai "seteru" Dahlan Iskan yang sempat berpolemik keras ihwal capping (tarif listrik khusus untuk industri), Sofyan Wanandi. Pun tak ketinggalan dari kalangan media; Sabam P. Siagian, Proyambodo R.H turut menyumbang perspektif mereka.

"Kalau rapat jangan lama-lama, jangan lebih dari satu jam. Kalau terlalu lama, kita nanti susah mengerjakannya. Lebih baik lama bekerja daripada berlama-lama rapatnya," inilah semboyan hidup Dahlan Iskan. Sudah menjadi kebiasaannya sejak masih menjadi reporter muda di Samarinda.

Tatkala pejabat di pusat ramai-ramai menghimbau ihwal pola hidup hemat untuk mengurangi pengeluaran negara. Sosok nyeleneh - yang memiliki 190 koran daerah (Radar) dan 34 televisi lokal; percetakan; bisnis listrik, dan perkebunan ini - enggan sekalipun mengambil gaji selaku Direktur Utama (Dirut) PLN.

Buku ini juga mengungkap secuil masa lalu Dahlan Iskan. Ia tak tiba-tiba turun dari langit. Lika-liku hidupnya sungguh membumi. Ia berasal dari keluargan miskin. Sang ayah hanya seorang buruh tani dan tukang kayu di Magetan, Jawa Timur. Sampai SMA keinginan pria kelahiran 17 Agustus 1951 tersebut untuk punya sepeda tak kesampaian. Ia biasa pergi-pulang sekolah dengan berjalan kaki sejauh 12 kilometer.

Kesederhanaan itu tetap terpancar hingga kini. Walau ia bos bisnis properti, punya mobil mewah, dan bahkan helikopter, alumnus Pesantren Sabili Muttaqien ini lebih suka berpenampilan wartawan lapangan. Baju lengan panjang digulung separuh, celana jin, dan sepatu keds. Pak Dahlan juga biasa menyelipkan sebotol air mineral di balik baju. Katanya dengan tetap ditempelkan di dada (hasil cangkokan di Tiongkok, Ganti Hati, 2008), air dalam botol tetap hangat.

Terobosan

Satu dari segudang prestasi Dahlan Iskan di PLN sebelum naik pangkat menjadi Mentri BUMN ialah sistem listrik prabayar. Ia tak latah ikut-ikutan operator telekomunikasi telepon genggam. Tapi memang karena kondisi obyektif di lapangan menuntut demikian.

Selama ini, banyak pelanggan yang menunggak angsuran. Terobosan tersebut “memaksa” konsumen agar mampu mengontrol pemakaian listrik mereka. Kalau tidak berhemat, otomatis “pulsa” listik di rumah cepat ludes. Secara tidak langsung, Dahlan mendidik rakyat untuk bertanggung jawab atas hidupnya sendiri.

Di sisi lain, PLN juga banyak berbenah. Sehingga bisa menghapus sterotipe sebagai Perusahaan Lilin Negara. Kenapa? karena sering terjadi byar-pet alias pemadaman listrik. Selain itu, Dahlan juga mencanangkan program GRASS (Gerakan Sehari Sejuta Sambungan).

Menurut Marthen Entama, sebelum GRASS diluncurkan, ribuan masyarakat di daerahnya harus masuk daftar tunggu (waiting list). Junior Officer Administrasi PT PLN (Persero) Cabang Manokwari ini merasa bersyukur. Kini calon pelanggan nasional yang mencapai 2,5 juta termasuk di wilayah “kekuasaan”nya bisa menikmati energi listrik (hal 87).

Selain itu, pada masa kepemimpinan singkat Dahlan Iskan di PLN semboyan “3459” begitu terkenal. Artinya, 3 jam padam dalam setahun, 45 menit waktu respon, dan 9 kali padam dalam setahun per pelanggan.

Ia memang biasa memasang target yang jelas. Sehingga ibarat memanah, bisa tepat sasaran dan terukur akurasinya. Sungguh brilian bukan? Namun Dahlan selalu mengatakan bahwa angka-angka itu bukan idenya. Tapi dari salah satu pegawai PLN yang hebat.

Untuk menularkan passion-nya, Dahlan mencanangkan program pembinaan dan pengembangan diri bagi para karwayan di PLN. Pada April 2011, tak kurang 20.000 karyawan diikutsertakan dalam uji kompetensi. Dalam lembaran sejarah PLN, baru kali pertama hal semacam itu dilakukan. Sehingga anggota direksi dapat menempatkan setiap karyawan sesuai posisi the right man on the right place. Mulai dari jajaran manajemen sampai teknisi di daerah terpencil (hal 34).

Yang paling menonjol dari gaya kepemimimpinan ayah 2 anak ini ialah sisi manusiawinya. Menurut Sofjan Wanandi, mungkin karena ia orang media, jadi banyak baca. Sehingga enak diajak bicara, luas pengetahuannya, dan joke-joke-nya juga ada-ada saja (halaman 136).

Salah satu humor yang acap kali disiarkan di beberapa stasiun televisi swasta sbb, “PLN ialah tempat berkumpul orang-orang hebat! Karyawannya lulusan SMA jurusan terhebat, Fisika! Jurusan yang dianggap paling pintar! Lalu, masuk Fakultas Teknik Elektro ITB, yang terhebat! Lulus ITB, diseleksi lagi masuk PLN oleh senior-senior yang hebat! Tidak diragukan lagi, PLN adalah kumpulan orang-orang terhebat dan terpintar di negeri ini! Jadi dibutuhkan manusia bodoh seperti saya..."

Lelucon tersebut dapat mencairkan suasana. Sekaligus sebuah sindirin bagi kaum birokrat. Secara jeli, Don Kardono melihat jurus jurnalistik Dahlan di ranah jurnalist(r)ik. Ia memang otentik, lugas tanpa basa-basi, mendasar, dan mendalam. Spiritnya membuat semua hal menjadi lebih baik.

Kendati demikian, petuah Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) layak menjadi umpan balik. Tak hanya bagi Dahlan tapi siapa pun penerusnya di PLN. Agar menjawab persolan utama mayoritas BUMN di Indonesia. Bagaimana membalik neraca keuangan dari defisit menjadi untung. Sehingga tak perlu lagi disubsidi negara. Pun bahkan justru (ber)gantian dapat menyumbang dana APBN.

Buku ini dapat menjadi sumber inspirasi bagi sidang pembaca. Ternyata, melakukan sesuatu dengan lebih cepat, lebih baik, dan lebih efisien itu mungkin. Sepakat dengan pendapat Ishadi S.K, "Asal kita menemukan seorang pemimpin yang tepat." Semoga bermunculan sosok pemimpin sekaliber Dahlan Iskan yang notabene berhasil memangkas kerugian sampai Rp2,7 triliun selama masa pengabdian singkatnya di PLN. Selamat membaca! (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru Bahasa Inggris di PKBM Angon (Sekolah Alam) dan Ektrakurikuler English Club di SMP Kanisius, Sleman, Yogyakarta)

Mei 22, 2012

Membangkitkan Nasionalisme Kaum Muda

Dimuat di Koran Jakarta, Rabu/23 Mei 2012
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/91550
Pada 1945, ayah Pandji masih berumur 7 tahun. Dia sempat bertanya kepada ibunya (nenek Pandji), "Apa itu merdeka?" Awalnya, nenek Pandji kebingungan menjawab. Namun kemudian, dituturkan, artinya semua ini (sembari menunjuk ke lingkungan sekitar) jadi milik kita. Bocah itu bertanya lagi, semua milik kita? Berarti naik kereta api nggak bayar, dong? Nenek kembali menjawab, iya (hlm 103). Mana ada gratis di negeri ini, tapi itulah cara penulis menyindir.

Kendati demikian, rapper penggubah tembang "Angkat Tanganmu untuk Indonesia" ini juga mengapresiasi sumbangsih para pahlawan yang berjuang merebut kemerdekaan. Dulu (1945-1948), rumah mendiang ayahnya di Yogyakarta terbuat dari bambu. Tingginya sepinggang orang dewasa. Kurang lebih sama seperti pembatas rumah di serial film Unyil dan Pak Raden.

Pada suatu hari, ketika nenek hendak mendorong pagar ke luar, ternyata rasanya seperti tertahan, ada yang mengganjal. Dia menemukan seorang anak yang tersambar peluru nyasar. Tubuhnya terbujur kaku dan tak bernyawa lagi. Umur anak itu seusia ayah Pandji saat itu. Ia masih menggenggam lemper di tangannya (hlm 104).

Buku ini semula berbentuk e-book. Versi online-nya sudah diunduh tak kurang dari 14.955 kali. Proses peluncuran buku Nasional.Is.Me berbarengan dengan Pesta Buku Jakarta 2011. Hingga kini, telah mengalami cetak ulang ke-4. Hebatnya, Nasional.Is.Me juga mengusung misi altruistik. Penyiar radio Hardrock ini menerapkan konsep berbagi. Dengan membeli satu buah buku, otomatis satu eksemplar buku diberikan secara gratis kepada anak muda Indonesia yang berdomisili di daerah pedalaman. Program ini terselenggara berkat dukungan Bentang Pustaka dan Putera Sampoerna Foundation.

Sistematika buku ini terdiri atas tiga bagian: Kenali Indonesiamu, Temukan passion-mu, Berkaryalah untuk masa depan bangsamu. Total ada 10 bab. "Dari Sebuah Permintaan Sampai Sebuah Permenungan" hingga "Dari Kalimat Pembuka hingga Kalimat Penutup." Buku setebal 330 halaman ini semacam manifesto, rangkuman jawaban atas pertanyaan yang sering dilontarkan kepada Pandji ihwal kecintaannya kepada Indonesia.

Salah satu analisis presenter acara TV Proactive Provocative tatkala mengurai perbedaan antara nasionalisme Amerika Serikat dan Indonesia. Menurut penggemar kopi ini, di negara para imigran itu dipersatukan lewat olah raga. Saat dunia mempunyai football (sepak bola), Amerika menciptakan American Football. Kenapa? karena sepak bola modern itu dikenal besar di Inggris. Yang asli Amerika adalah basketball (bola basket). Lewat kedua olah raga tersebut, semua imigran berpartisipasi lewat "produk bersama" sehingga persatuan pun tercipta.

Lantas pertanyaannya, "Di Indonesia sendiri wujud nasionalismenya seperti apa?" Menurut Pandji, "Pancasila!" Ini adalah dasar negara, tempat di mana semua suku, agama, keragaman berpijak. Landasan nan mempersatukan perbedaan antara aku dan kamu di dalam wadah kekitaan.

Dalam buku ini, Pandji juga menelisik sejarah peradaban manusia. Alumnus SMA Gonzaga Jakarta tersebut melihat Pancasilalah yang menjadikan Indonesia tidak bernasib seperti India. Negara itu terpecah dengan Pakistan pascabebas dari Inggris. Masyarakat Islam (minoritas di India) takut tidak akan diakomodasi hajat hidupnya sehingga terjadilah perang saudara di India, yakni antara Islam dan Hindu karena kepentingan politis.

Saat itulah Mahatma Gandhi menggelar mogok makan. Sang Mahatma akan berpuasa sampai kekerasan di India berhenti. Akhirnya, seluruh India menyudahi perang saudara, dan Gandhi pun kembali menyantap sesuap nasi. Namun, pecahnya India tak terelakkan. Masyarakat muslimnya kemudian mendirikan Pakistan. Migrasi penduduk Islam dan Hindu ke daerah India dan Pakistan tercatat sebagai tragedi kemanusiaan nan memilukan. Keluarga serumah terpaksa berpisah karena perbedaan agama dan keyakinan.

Dalam konteks inilah, Pancasila membuat Indonesia diakui relatif demokratis. Pancasila memang pemersatu Indonesia. Pandji tak menulis berdasarkan asumsi. Ia menarik kesimpulan pascaberkeliling Nusantara.

Kebetulan pekerjaan Pandji memungkinkan safari tersebut. Ia menjelajah dari Padang, Belitung, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Manado, Makassar, Kupang, Bali, hingga Jayapura. Keindahan itulah kesan yang menggores dalam. Ia menuliskan pengalaman tak terlupakan di Kupang (hlm 155), "Melihat anak-anak di sana, mendengar mereka bernyanyi Kuan Kefa sebuah lagu daerah tentang rindu kampung halaman...lalu mendengar ibu-ibu bernyanyi tentang persatuan berjudul Lais Manekat sambil duduk di bawah pohon. Setengah tidak percaya, persis seperti di film-film, suara anginnya tidak berembus, tapi bersiul...."

Buku ini menyulut nyala optimisme di tengah awan pekat politik nan korup. Sebuah ajakan altruistik untuk mengubah republik ini, mulai dari diri sendiri di lingkar pengaruh sesuai profesi masing-masing. Barangkali kita tidak akan sempat melihat masa depan cerah itu. Tetapi, anak-cucu kita niscaya mengalaminya. Tanggung jawab setiap anak bangsa untuk memastikan generasi penerus hidup di Bumi Pertiwi yang lebih baik dari hari ini.

Diresensi Nugroho Angkasa, tinggal Yogyakarta

Judul : Nasional.Is.Me
Penulis : Pandji
Penerbit : Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetakan : iv/Maret 2012
Tebal : xiv 330 halaman
Harga : Rp54.000
ISBN : 978-602-8811-53-8

Mei 21, 2012

Opini Publik ini dimuat di Suara Pendidikan, Edisi 136, 30 April-14 Mei 2012

Berikut ini versi awal sebelum diedit Yth. Redaktur Suara Pendidikan:



“Melaporkan bahwa 10 bulan ke depan, bumi akan memanas sebanyak 4 derajat Celcius dari sekarang. Kini glasier es Himalaya mencair dengan cepat. Iklim kita juga berubah drastis dan memburuk. Jadi, untuk kebaikan bumi kita, mari bersama mengantisipasi pemanasan global.

Yakni dengan melakukan: Tanam lebih banyak pohon. Jangan menyia-nyiakan air, air sangat berharga. Gunakan kantung kain, jangan plastik. Jangan membakar plastik. Kurangi penggunaan AC. Kurangi penggunaan parfum. Jangan menggunakan kendaraan yang masih berasap/2 tak/belum lulus uji emisi. Kurangi penggunaan listrik jika tak digunakan, terutama lampu.

Tolong jangan hapus sms ini sebelum meneruskannaya, setidaknya teruskan pada 1 orang. Tolong lakukan hal ini. Bantu menyelamatkan bumi, daripada melihat kehancuran bumi ini? Go Green and Love Our Earth, Save Our Planet!”

Begitulah isi sms panjang dari seorang sahabat (Yulia Loekito, 2012) pada awal April lalu. Kendati sudah lewat beberapa hari, tapi masih sangat relevan. Ketimbang meneruskan sms ini lewat telepon seluler, saya menjabarkannya dalam rubrik Opini di Suara Pendidikan ini. Sehingga dapat dibaca khalayak ramai di seluruh Indonesia. Terutama dalam rangka memperingati hari Bumi (22/4) pekan lalu.

Peringatan Hari Bumi (Earth Day) diselenggarakan pertama kali pada 22 April 1970 di Amerika Serikat. Penggagasnya ialah Gaylord Nelson, seorang senator dari Wisconsin yang juga dosen mata kuliah lingkungan hidup.

Gaylord Nelson berjuang sendirian sejak 1969. Saat itu, Gaylord Nelson memandang perlunya isu-isu lingkungan hidup masuk dalam kurikulum resmi perguruan tinggi. Benih gagasan ini kemudian menuai dukungan luas.

Puncaknya terjadi pada 22 April 1970. Saat itu, jutaan orang turun ke jalan, berdemonstrasi dan membanjiri Fifth Avenue di New York. Mereka mengecam korporasi dan pejabat publik yang merusak bumi. Majalah TIME mencatat bahwa 20 juta manusia turun ke jalan meneriakkan pesan cinta lingkungan.

Momentum ini kemudian menjadi tonggak sejarah lahirnya Hari Bumi. Gerakan massif untuk meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap planet biru ini. Hari Bumi telah menjadi sebuah gerakan global yang mendunia hingga kini. Pelaksanaannya di seluruh dunia dikordinasi oleh Earth Day Network’s, sebuah organisasi nirlaba beraggotakan berbagai LSM di seluruh dunia.

Pemanasan Global

Dalam 100 tahun terakhir, memang suhu bumi – baik di dalam laut maupun di permukaan tanah - tercatat meningkat 0,75 derajat Celcius. Sehingga salju abadi (permafrost) di belahan kutub Utara dan Selatan lebih cepat mencair. Otomatis permukaan laut pun naik.

Beberapa daerah pesisir dunia mulai was-was mengantisipasi ancaman banjir. Kepulauan Nusantara terancam kehilangan 200 pulau kecil dan menengah. Pesisir kita di Jawa, umtra dan pulau besar lainnya akan bergeser.

Dalam konteks ini, perlu ada antisipasi terhadap kenaikan suhu yang diprediksi mencapai 4 derajat Celcius pada akhir 2012 menang. Sebab seperti kata pepatah, “Lebih baik mencegah daripada mengobati.”

Selain itu, masyarakat dunia juga terancam defisit air bersih. Akibatnya, produksi pertanian pun melorot drastis. Rawan pangan menjadi momok menakutkan. Michael Gorbachev mengatakan, "Jika terjadi perang dunia ketiga (PD III) itu bukan karena rebutan wilayah, tapi karena rebutan air dan makanan."

Pun mewabahnya virus, mikroba, ulat bulu, flu burung (H1N1), dan tomcat  merupakan efek samping perubahan iklim. Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) melaporkan bahwa 90 persen kerusakan ini terjadi karena perbuatan manusia yang cenderung tak bersahabat dengan lingkungan alam sekitar.

Salah satu biang keladi dalam skala makro ialah Revolusi Industri (1800-1830). Kenapa? Karena saat itu dimulailah penggunaan bahan bakar fosil. Residu dari proses produksi massal berupa karbondioksida (CO2), methan (CH4), nitros oksida (NOx) dan ozone (O3). Hingga kini, gas-gas rumah kaca itu bertebaran di atmosfer bumi dan menjadi penyebab peningkatan suhu secara global.

Cara efektif untuk mengurangi dampak pemanasan global ialah melakukan penghematan energi dalam kehidupan sehari-hari. Matikan peralatan listrik yang tak dibutuhkan. Penggunaan listrik secara berlebih, selain memboroskan biaya listrik rumah tangga  juga membebani PLN. Sehingga pemerintah terpaksa membangun lebih banyak Pembangkit Listrik atau meningkatkan kapasitas produksinya.

Akibatnya, penggunaan bahan bakar fosil untuk menjalankan Pembangkit Listrik tersebut bertambah. Panas yang dihasilkan otomatis menaikkan suhu di sekitarnya. Pun polusi CO2 tak terelakkan. Terobosan Dahlan Iskan mengganti BBM ke BBG dan tenaga surya (solar sell) di PLN layak diacungi 2 jempol.

Solusi lainnya ialah mengganti peralatan elektronik dengan yang hemat energi. Lampu rumah yang masih menggunakan jenis dop perlu diganti dengan lampu fluorescent. Menurut penelitian para ilmuwan, penggunaan lampu fluorescent di seluruh dunia dapat mengurangi emisi CO2 lebih dari 20 milyar kg. Nominal ini setara dengan pengurangan 2 juta mobil di jalan/tahun.

Kilas Balik

Dalam artikel yang dimuat di The Jakarta Post (18/8/2007) Anand Krishna menulis sebuah kisah kilas balik (flashback). Ternyata, 12.000 tahun silam, dunia kita mengalami krisis lingkungan yang mirip seperti di abad ke-21 ini. Fakta tersebut terefleksikan dalam epik masyarakat Bali berjudul Mandhara Giri.

Saat itu, dunia terpecah menjadi 2 kubu. Keduanya bersaing untuk berkuasa, yakni kelompok Sura (yang selaras dengan alam) dan kelompk Asura (yang tidak selaras dengan alam). Persaingan kedua kelompok ini mencemari bumi dan seluruh kehidupan di dunia terancam musnah.

Akhirnya, mereka bersepakat untuk berdamai. Sehingga dapat bekerjasama menyelamatkan bumi ini. Sura mewakili kelompok seniman yang mengandalkan hati. Asura merepresentasikan kelompok ilmuwan yang menggunakan pikiran. Bila sura dan asura bersatu dalam rengkuhan Kasih niscaya tercipta kedamaian dan harmoni dalam alam.

Oleh sebab itu, kebiaasaan buruk di rumah juga musti dikurangi. Misalnya sering membuka-tutup lemari es hampir setiap jam. Secara matematis, kulkas yang sering dibuka-tutup melonjakkan penggunaan listrik sampai 10-30 Watt. Angka yang relatif kecil memang, tapi kalau dilakukan 100 juta rumah tangga, maka nominalnya menjadi signifikan.

Saiful Rizal menulis artikel menarik berjudul, "Wajib Bank Sampah di Kantor Pemerintah" (SH, 1 Maret 2012). Tatkala membaca ulasan tersebut, penulis membayangkan bagaimana kalau tak hanya di kantor pemerintah, tapi di sekolah-sekolah pun mulai didirikan Bank Sampah.

Dalam konteks ini, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) bisa bergandengan tangan dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Yakni, untuk mengajak pegawai negeri sipil dan sivitas akademika belajar mengelola sampah secara kreatif.

Balthasar Kambuaya, selaku Menteri LH menargetkan 100 kantor pemerintahan di seluruh Indonesia pada 2013 telah memiliki Bank Sampah (BS). Menurutnya, saat ini sudah ada 471 BS yang tersebar di 24 kota. Besaran volume sampah non-organik mencapai 753 ton. Dengan nilai ekonomis tak kurang dari Rp 1,6 miliar. Remah sisa makanan pun dapat diolah menjadi pelet untuk pakan ikan.

Setiap sekolah/universitas niscaya menghasilkan sampah dari operasional kantor, proses pembelajaran, dan transaksi di kantin. Berupa kertas, plastik pembungkus, dan sisa makanan. Para guru/dosen, karyawan, dan siswa dapat menyimpannya di Bank Sampah. Sebelum, diolah menjadi kerajinan tangan ataupun kompos.Bahkan kalau memungkinkan, para wali murid/mahasiswa boleh membawa sampah non-organik dari rumah masing-masing untuk dikumpulkan.

Kami di PKBM Angon awal April ini pun mulai belajar mengolah sampah. Sebelumnya, beberapa fasilitator ngangsu kawruh (belajar) dari warga di Desa Sukunan, Kelurahan Banyuraden, Kecamatan Gamping, Sleman. Sampah dapur yang organik, mereka olah menjadi kompos. Di depan setiap rumah terdapat komposter. Ada yang terbuat dari gentong tanah liat maupun wadah plastik.

Di Sukunan, bungkus plastik detergen bisa disulap menjadi aneka kerajinan tangan. Seperti sarung HP, tas laptop, dan dompet warna-warni. Produk inovatif dari sampah plastik tersebut dijual dengan harga relatif terjangkau. Mulai dari Rp5.000 hingga Rp100.000, tergantung model, bentuk, dan jenisnya.

Menurut ibu-ibu di sana, sampah plastik memang sulit untuk didaur-ulang secara alami dalam tanah. Oleh karena itu, resiko sampah plastik untuk dibuang secara sembarangan lebih besar ketimbang sampah organik yang relatif cepat terurai.

Akibatnya, sampah plastik hanya berakhir sebagai limbah. Kebanyakan bahkan justru dikubur dan dibakar. Padahal, sampah plastik di dalam tanah tidak akan terurai hingga lebih dari 1000 tahun. Sedangkan, kalau sampah plastik dibakar akan menghasilkan racun yang berbahaya bagi manusia yang mengirupnya.

Sebuah sindiran halus, kalau ibu-ibu di Desa Sukunan saja memiliki kesadaran ekologis semacam itu maka segenap elemen masyarakat, pemerintah, dan pihak swasta perlu menimba inspirasi dari mereka. Intinya, bagaimana kita mulai berpikir kreatif. Sehingga piawai mengubah sesuatu yang tiada harganya, menjadi produk yang migunani alias bernilai guna tinggi.

Terakhir tapi penting, mari mulai menggunakan batik ke kantor. Alih-alih mengenakan jas dan dasi. Apa korelasinya dengan pemanasan global? Sederhana saja, dengan menaikkan AC dari 18 derajat Celcius menjadi 26 derajat niscaya menghindari pemborosan listrik. Selamat hari bumi dan salam cinta lingkungan! (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru bahasa Inggris di PKBM Angon (Sekolah Alam) dan Ektrakurikuler English Club di SMP Kanisius Sleman, Yogyakarta)

Mei 16, 2012

Belajar Berdebat secara Cerdas


Dimuat di Rubrik Peduli Pendidikan, KR, Rabu/16 Mei 2012

Sebuah acara diskusi, yang notabene bernuansa akademis di sebuah tempat dibubarkan secara paksa beberapa waktu lalu. Insiden itu sempat mewarnai media massa, termasuk di Kedaulatan Rakyat. Peristiwa tersebut bisa menjadi preseden buruk bagi Kota Pelajar tercinta ini. Kenapa? karena daya nalar dan pendekatan dialogis tersubordinasi oleh kekuatan okol (otot).

Pada hemat penulis, akar masalahnya terletak pada ketidakmampuan menerima multikulturalisme. Boleh dan bahkan lumrah berbeda pendapat. Namun pantang menggunakan cara anarkistis dan mengangkat pedang untuk merampungkan masalah. Bila tak suka dengan pemikiran seseorang, debatlah ide tersebut dengan analisis tajam. Sehingga terjadi dialektika gagasan dan lahirlah sintesis segar.

Menurut Ashadi Siregar (LP3Y, 1998), setidaknya ada 2 macam analisis. Pertama, analisis bagian (struktur). Kedua, analisis proses (tahapan). Analisis bagian mengeksplorasi komponen dari suatu benda/pemikiran seseorang. Sedangkan analisis proses lebih terkait dengan dimensi waktu. Di sini ada lokus untuk perencanaan, persiapan, pelaksanaan, dan eksekusi akhir.

Cara mudah mengasah kemampuan analisis ialah berdebat secara cerdas. Di kelas ekstrakurikuler English Club, penulis acapkali mengajukan sebuah tema kepada para murid. Kemudian kami membagi diri menjadi 2 kelompok. Ada pihak pro dan yang kontra. Masing-masing kelompok berembug mencari argumentasi yang paling tepat dan kuat. Kemudian menyampaikannnya secara lisan. Tentu dengan bahasa Inggris.

Kalau tidak setuju dengan pemikiran "lawan", bantah saja dengan argumentasi yang sahih berbekal validitas data. Ini lebih fair ketimbang main hakim sendiri dan melarang-larang dengan cara kekerasan, Sepakat dengan pendapat Syafii Maarif, "Pemikiran orang tidak mesti seragam. Kita hargai saja. Menghargai bukan berarti setuju, tapi kebebasan berpendapat harus tetap dijunjung tinggi."

Akhir kata, semoga kita sedikit bersikap lebih dewasa. Bahwasanya yang kita tolak ialah pemikirian semata, bukan orangnya. Mari belajar dari para murid saya di bangku SMP. Pasca sesi debat berakhir, pihak-pihak yang semula "berseberangan" pun kembali berdamai. Pun bisa bersenda-gurau dan jajan bersama di kantin sekolah. Sungguh indah dan elagan. (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru Ektrakurikuler Bahasa Inggris di SMP Kanisius Sleman)

Mei 06, 2012

Listen to the Inner Voice

Published at Aspensi.com, Sunday/6 May 2012
Source: http://aspensi.com/views/2012/05/06/2158/1140000-listen-to-the-inner-voice-a-book-review#comment-7963

Title: Guru Yoga, the Way Within.
Author: Anand Krishna, Ph.D.
Editor: Gerard Barrie and Ma Anand Bhagawati.
Publisher: Anand Krishna Global Cooperation, Bali, Indonesia.
Edition: 1/February 2012.
Number of pages: xxii + 85.
Price: IDR 30,000.
ISBN: 978-602-95405-6-7.

Pater Mangunwijaya Pr (RIP) has ever said that religiosity connected with our heart. The ripples of this awareness vibration reflected through someone’s attitude. Therefore, its process is relatively mysterious. Since, it coped with the intimacy of the soul.

Moreover, religiosity covered upon personal depth totally. In addition, it was also beyond any rituals and formalities. It’s engaged more with non formal community or gemeinschaft (see, for example, Literature and Religiosity, 1988).

Unfortunately, the religiosity value or borrowing a local term from Ki Hadjar Dewantara, budi pekerti (universal values) tends to be denied nowadays. Especially, in the realm of education for children in their early age at school.

This book, Guru Yoga, revealed a fact. Anand Krishna has ever given a task from his spiritual mentor, Sai Baba. He must conduct some interviews with 300 men and women from various social and cultural backgrounds worldwide.

It was just a very simple question, “Do you remember having been taught that God is not only outside but also dwell within?” (p.41). The result was no body had ever taught to remember this.

Thus, people tend to look outside. It is like pointing an index finger. Only a single finger leads toward other person. The three other fingers are pointing to our selves.

One shortcut method to divert the attention within is by closing our eyes. Since, the research found than 70 percent of energy comes out from the sense of our sight. When a person clenched his/her eyelids, automatically the focus is flowing into the inner self.

It was medically justified also. The endhorpin enzym (natural morphine) and serotonin were produced by the pineal gland in our brain stem. Those substances were only produced during a deep sleep or while we are lying down in a dim room.

Indeed, this book is severe. Meaning that it contained a very depth philosophy. However, the author is able to choose some metaphors to simplify readers’ understanding.

For example, when Sai Baba was asked by a young journalist, “You do not want to be called as a Guru, but you seem to enjoy the show of respect by your disciples, why?” The answer is direct to the point, “That is their business, and my business is to maintain my own awareness”.

We all are fish swimming in a same ocean. A fish bowing down to another fish, a fish respecting another fish, or laughing at another fish’s folly – what difference does it make? It is a fishy business my friend. Let us concentrate on swimming and living, not on what are other fish are doing (p.17).

Moreover, Anand Krishna has also introduced a new term here. The readers will not find it even in the Oxford dictionary. The word is “egosin” (p.5). When we thought that ourselves as nothing, this is a “sin”. Since, we are created by God, aren’t we?

How could the Higher Existence creates such as meaningless creatures? A high quality producer shall undoubtedly create a high quality product as well. In line, with the opinion from a great spiritual leader from India, Swami Vivekananda, “The greatest sin is to think that yourself as a sinner“.

Conversely, when a man/woman considers him/herself to be the highest entity, this is a “sin” as well. Why? Because we are positioning ourselves equally to God. Can we create a Mount Everest, or at least Mount Merapi in Java Island?

Can we can paint a red chili fruit, or at least create a tinny fly? If not, then do not ever think that you are the most powerful person who has right to force others people by some violent actions. Even, it is in the name of religion.

At the beginning of this 85 pages book, Paul Brunton (1898-1981) interviewed Ramana Maharishi (1879-1950). This legendary dialogue has ever published at PEACE magazine in Pradesh, India (September 1931) and reprinted by Mountain Path magazine on April 1966 in Ramanasramam, India. Nevertheless, its teaching is remains relevant to the readers in the 21st century.

Hurst (the original name of Paul Brunton) was a British philosopher. He likes to explore Eastern mysticism, especially in the mainland of India. Here is an excerpt of the legendary interview. Hurst asked, “Is it necessary to be in physically contact with the Guru, and if so, for how long?” Ramana Maharshi answered, “It depends on the maturity of a disciple. Gunpowder catches fire in an instant, while it takes time to ignite coal“.

This book does not only contain many theories, it also presented a practical exercise. Ken Wilber (b. 1941), a famous American author shared a secret recipe here. This trans-personal psychology pioneer always wakes up early at 3.00-5.00 in the morning. He meditated for 1 until 2 hours, then, go to work at his desk to 1.00 pm.

In details, what kind of meditation technique that used by Wilber? Indeed, it is quite simple. Like a kid who is cheerfully fishing in the pond of the mind. By asking a short question, “Who am I?” When we are looking for the answer, the self was transcended.

Its narrow minded was swallowed by the radiation of the Sacred Emptiness. Our awareness is taking a rest for a while on the lap of Mother Nature. She is infinite, invisible and last but not least mysterious (p.74).

For me, this book is a manual to discover the True Master (Sadguru) within. Indeed, it is our awareness. In line, with the 8th habits of Stephen R. Covey who appealed us to listen to the inner voice.

Only then, we can see God’s face in all beings and creations in this universe. I can not agree more with Saraswaty Dewi, M. Hum’s opinion, “Guru Yoga is a reminder that amidst all kinds of confusions and chaos, peace is still possible. We can live blissfully, if we want are willing to listen to our inner voice and tread the path within that leads us to total freedom“.

Happy reading!
===
Notice: This opinion article was sent specifically by the author via e-mail to: aspensi@yahoo.com

T. Nugroho Angkasa S.Pd. is an English Teacher in PKBM (Pusat Kegiatan Belajar-Mengajar) Angon, or Nature School, in Yogyakarta, Indonesia. He can be reached at: nugroho.angkasa@gmail.com

Menyelami Universalitas Ajaran Baba

Dimuat di Rubrik Oase, Resensi, Kompas.com, Sabtu/5 Mei 2012
Sumber: http://oase.kompas.com/read/2012/05/05/22511089/Menyelami.Universalitas.Ajaran.Baba
13362891861695311941 
Judul: Sai Anand Gita, Kidung Mulia Kebahagiaan Sejati
Penulis: Sai Das
Kata Pengantar: Dr. Ketut Arnaya, S.E., M.M.
Penerjemah: Putu Harumini Waras, SIP
Penerbit: Koperasi Global Anand Krishna
Cetakan: 1/Februari 2012
Tebal: xxvi + 190 halaman
Harga: Rp42.000
ISBN: 978-602-95405-7-4

“Cinta sebagai pikiran adalah Kebenaran / Cinta sebagai perbuatan ialah Kebajikan / Cinta sebagai pengertian adalah Kedamaian / Cinta sebagai perasaan ialah Tanpa Kekerasan.” (Halaman 145)

Setiap orang itu unik. Pengertian khas di sini mengacu pada kombinasi ketiga kualitas internal seorang individu. Masing-masing mengikuti pola tertentu (pattern). Perbedaan 0,000001 % dalam struktur DNA niscaya melahirkan karakter yang berbeda 180 derajat. Kendati demikian, ternyata sungguh paradoksal. Pada saat yang sama, setiap orang pun identik alias sama. Bahan baku manusia terdiri atas 3 anasir. Tak ada kualitas keempat. Semua bersumber dari trio yang satu ini.

Lantas, apa saja ketiga hal tersebut? Menurut Sai Das dalam buku ini, materinya ialah Satva, Rajas, dan Tamas (halaman 43). Satva bersifat tenang dan meneduhkan. Kondisi batin ini memungkinkan seseorang rehat sesaat. Sehingga, ia dapat berefleksi dan meninjau ziarah kehidupannya selama ini. Sedangkan, Rajas merepresentasikan dinamisme, kemandirian, dan agresifitas. Tapi perlu berhati-hati, sebab kualitas ini pun dapat melorot menjadi iri dengki, kecerobohan, dan sikap plin-paln.

Selanjutnya, Tamas ibarat virus yang membuat manusia malas, tumpul, dan tergantung pada orang lain (dependent). Berbanding terbalik dengan unsur Satva. Secara harfiah, arti kata Tamas memang kegelapan. Sedangkan, Satva ialah cahaya, terang, dan kualitas kelas yahud. Pada hakikatnya, setiap manusia merupakan racikan ke-3 bahan tersebut. Kalau Satva yang dominan, maka seseorang menjadi bijaksana, tetapi juga cenderung bersikap pasif. Sehingga, manusia membutuhkan sedikit bumbu Rajas. Tanpa kehadiran dinamisme, putaran roda evolusi menjadi tersendat.

Di sisi lain, terlalu banyak Rajas akan membuat seseorang cenderung mementingkan diri sendiri. Dalam konteks ini, secercah Satva selalu bermanfaat. Bahan baku terakhir ialah Tamas. Inilah penghalang kemajuan. Kendati demikian, seseorang pun tetap membutuhkannya dalam porsi kecil. Sehingga manusia menjadi malas melakukan perbuatan yang tak menunjang perkembangan diri.

Buku ini merupakan redefinisi atas kidung pujian Sai Baba (23 November 1926 - 24 April 2011). Beliau dikenal sebagai  tokoh mistik lintas agama asal India. Salah satu muridnya yang terkenal ialah Isaac Tigrett, pendiri Hard Rock Café (HRC). Baba juga menggagas pembangunan sekolah, rumah sakit, dan museum budaya Chaitanya Jyoti (Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Sathya_Sai_Baba).

Terkait kata AUM ada pemaknaan baru yang menarik. “A” ialah representasi Tuhan sebagai Creator (Pencipta). Dalam tradisi Hindu disebut Dewa Brahma. Sedangkan secara ilmiah, mengacu pada Positron. “U” merupakan simbolisasi Tuhan sebagai Operator (Pemelihara). Dalam tradisi Hindu dinamai Dewa Wisnu. Sedangkan dalam fisika modern disebut Elektron. Terakhir tapi penting, “M” ialah representasi Tuhan sebagai Destroyer (Pendaur-ulang). Dalam tradisi Hindu disebut Dewa Shiva. Sedangkan para ilmuwan peneliti atom menyebutnya Neutron (halaman 106). Dalam konteks ini, dikotomi antara tradisi agama dan kajian ilmiah menjadi nisbi.

Sai Anand Gita menyajikan pula pemaknaan ulang atas istilah halal. Menurut Rumi, seorang Sufi asal Turki, definisi halal bukan hanya merujuk pada jenis makanannya. Tapi juga bagaimana cara seseorang bekerja dan mendapatkan uang. Sehingga akhirnya ia dapat membeli makanan halal. Artinya, para koruptor yang merampok hak rakyat - walau sama-sama menyantap nasi putih - tapi jelas mereka (me)makan uang haram.

Kemudian Sai Das menguraikan kembali makna Namah Shivayah. Mantra ini terdiri atas 5 nilai keutamaan. “Na” ialah Satya (Kebenaran), “Ma” merupakan Dharma (Kebajikan), “Shi” ialah Shanti (Perdamaian), “Vaa” merupakan Divya/Prema (Kasih), dan “Ya” ialah Ahimsa (Tanpa Kekerasan). Dengan melakoni kelima prinsip tersebut, jiwa kecil manusia (aatmaa) niscaya bersatu dengan Jiwa Agung (Paramaatmaa). Dalam bahasa Sufi, gelombang khud, menyatu dengan Samudera Khuda. Mahatma Gandhi, Martin Luther King Jr, Nelson Mandela, Dalai Lama, Romo Mangunwijaya, Aung San Suu Kyi dll ialah sederet tokoh yang menerapkan nilai-nilai keutamaan tersebut lewat tindakan.

Secara lebih mendalam, Sai Anand Gita memuat juga akar penyebab kelahiran kembali (rebirth). Yakni, ketika seseorang, selagi hidup, mengidentifikasikan diri dengan sesuatu yang terbatas. Badan ini, pikiran, emosi, dan bahkan jiwa manusia pun masih berbatas. Rupanya, hanya semangat yang melingkupi segala. Ini tiada berbatas (sky is the limit). Oleh sebab itu, menurut Anand Krishna, spirit di balik ritual menjadi signifikan. Itulah kenapa disebut Spiritual (Mawar Mistik: 2008).

Dalam konteks ini, kita perlu melatih pemahaman yang tepat (right identification). Hanya Tuhan yang mengetahui secara pasti, sudah berapa kali kita lahir dan mati dalam samudera kehidupan yang sama ini. Prosesnya ibarat menyaksikan pasang-surut gelombang di bibir pantai. Dalam tradisi Kejawen disebut Mirsani alias menjadi saksi. Sedangkan dalam bahasa NLP (Neuro Linguistic Programming) dinamai Perceptual Position.

Manusia dapat mengakhiri ilusi dualisme tersebut kini dan di sini. Caranya ialah dengan menyadari kesucian dalam diri. Menyitir petuah Baba, “God is in You, within You, Above You, around You, And behind You…(halaman 94). “ Tuhan ada di dalam dirimu, di atasmu, di sekitarmu, dan di belakangmu…” Sai Das berpendapat bahwa kehadiran para bijak semata untuk menyembuhkan kita. Tapi bukan dari penyakit fisik melainkan dari penyakit batin.

Parahnya, karena seseorang terlalu lama menderita. Terutama akibat digerogoti virus ganas ketidaksadaran. Manusia menjadi mati rasa. Secara unik, buku ini menguraikan akronim FEAR, yakni False Emotion Appearing Real (hal 93). Artinya Emosi Palsu yang Terkesan Nyata. Misalnya, saat bermimpi dikejar-kejar macan, nafas kita menjadi kacau, jantung berdetak kencang, dan bahkan sekujur tubuh mengeluarkan keringat dingin. Walau cuma mimpi tapi terasa seperti sungguh terjadi dalam kenyataan. Cara untuk mengatasinya sederhana, yakni dengan bangun!

“Kidung Mulia Kebahagiaan Sejati” dapat pula diterapkan dalam lokus bisnis. Kesuksesan bukan melulu pencapaian prestasi pribadi. Sejatinya, keberhasilan seseorang tergantung dari para atasan maupun bawahan. Kata kuncinya ialah kesalingtergantungan (interdependency) dan kerjasama (co-operation). Seorang pengusaha tekstil contohnya, ia harus memastikan produk sesuai pesanan para konsumen. Pada saat yang sama, ia juga membutuhkan pasokan bahan baku yang memadai. Sehingga dapar memenuhi spesifikasi dan tenggat waktu pengiriman sesuai jadwal.

Selain itu, Sai Anand Gita juga menyinggung ihwal isu pemanasan global (global warming). Di abad ke-21 ini, menurut Baba, perusahaan harus beralih dari greed based business (usaha berdasarkan keserakahan/eksploitasi) menuju green based business (usaha berdasarkan semangat cinta lingkungan). Bagaimana caranya? yakni dengan memproduksi barang yang tak membahayakan keselamatan Ibu Bumi. Satu contoh kecil ialah inovasi siswa SMKN 3 di Madiun. Putra-putri Ibu Pertiwi tersebut berhasil mengolah sampah plastik menjadi bahan bakar minyak (plastic oil destilator). Alih-alih menunda kenaikan harga BBM, pemerintah dan pihak swasta dapat mendukung proyek ekologis tersebut.

Selanjutnya, nama “Sai Baba” sendiri merupakan sebuah sandi. “Sai” mengacu pada unsur feminin. Sedangkan “Baba” sebagai representasi maskulinitas. Analoginya, Sai ialah Sang Penari. Kemudian, tariannya itu ialah Baba. Dalam konteks ini, dualisme makrokosmos dan mikrokosmos menjadi kadaluarsa. Menurut tradisi Muslim, kesadaran itu disebut Tauhid. Sedangkan, dalam tradisi Hindu dinamai Ekagraata (One Pointedness). Sang Buddha menyatakan itu sebagai Kekosongan (Sunya). Kemudian, umat Kristiani menyebutnya Ekaristi. Dalam tradisi Kong Hu Chu, dinamakan sebagai Tao. Sebuah pengalaman tertinggi akan Ketuhanan yang Maha Esa. Tak bisa dijelaskan dengan nalar, namun dapat dirasakan oleh kalbu.

Buku setebal 190 halaman dapat menjadi cermin diri. Dengan menyelami setiap lembarnya, sidang pembaca niscaya menemukan benang merah ajaran Baba yang menyatukan umat manusia dengan segenap titah ciptaan. Sepakat dengan pendapat Sai Baba, “Hanya ada satu agama, agama cinta kasih. Hanya ada satu bahasa, bahasa hati. Hanya ada satu kasta, kasta kemanusiaan. Hanya ada satu hukum, hukum sebab-akibat. Hanya ada satu Tuhan, Ia Hyang Maha Hadir.” Selamat membaca! (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru Bahasa Inggris di PKBM Angon (Sekolah Alam) dan Ekskul English Club di SMP Kanisius, Sleman, Yogyakarta)

Mei 02, 2012

Memperhatikan yang Kecil agar Menjadi Hebat

Resensi Buku ini dimuat di Rubrik Perada Koran Jakarta, Kamis/3 Mei 2012
Sumber: http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/89998
1336014480147070382
“Cinta bisa berbicara meskipun mulut tertutup.” ( halaman 44).

Apa manfaat sebutir kacang tanah? Sekilas tampak tiada berarti. Namun, ternyata, hanya dari kulitnya, kacang dapat diracik menjadi plastik, cat, minyak, dan aneka produk lain. Sebelumnya, George Washington Carver harus meneliti anasir pembentuk kacang itu di laboratorium. Ia menemukan ratusan elemen alami dalam benih dan kulit kacang. Tokoh ini menjadi pelopor revolusi agraria di Amerika dengan penemuannya tersebut (halaman 139).

Begitulah salah satu kisah reflektif yang termaktub dalam buku ini. Sidik Nugroho menyampaikan satu fakta unik. Sesuatu yang sekilas dipandang sebelah mata bisa menjadi luar biasa. Guru SD Pembangunan Jaya 2 Sidoarjo tersebut mengutip wejangan gitaris favoritnya, Eric Johnson, “The smallest thing makes the hugest difference.” Terjemahan bebasnya, “Kesederhanaan menyimpan potensi menakjubkan.”

Buku 366 Reflections of Life memuat pengalaman pribadi penulis. Saat itu, Sidik akan memberi kado ulang tahun ke-57 untuk ayahnya. Ia mencari buku rohani di sebuah toko buku. Setelah menemukan yang dirasa sesuai, Sidik membeli kertas kado. Tapi, dia justru memilih pembungkus yang paling murah, tanpa memperhatikan motifnya.

Sesampai di rumah, dia baru menyadari bahwa kertas kado tersebut bergambar para tokoh Meteor Garden seperti Ming Tse. Untung, dia masih menyimpan beberapa kertas kado di kamar. Ia dulu membeli untuk wanita idaman yang ingin direbut hatinya. Saat itu, Sidik begitu teliti memilih motif dan warnanya agar pas.

Bagi seseorang yang telah membesarkan dengan keringat dan kerja keras, Sidik merasa lupa mempersembahkan yang terbaik. Ini memang terlihat sepele, hanya masalah kertas kado. Namun, lewat kisah di atas, Sidik Nugroho mengingatkan diri sendiri bahwa momen penting-ulang tahun seorang bapak-sepantasnya disikapi dengan lebih cermat. Sebagai bentuk apresiasi kepadanya (halaman 198).

Sebagai seorang pendidik, Sidik banyak berinteraksi dengan para murid di kelas. Keseharian pembelajaran itu menjadi sumber inspirasinya. Ia bersepakat dengan pendapat seorang teman. “Menjadi guru anak-anak kecil membuat tidak stres karena melihat kepolosan dan kelucuan apa adanya, tidak dibuat-buat.” Tan Malaka pernah mengucapkan bahwa mendidik anak usia dini adalah pekerjaan paling mulia.

Suatu hari, saat mengajar, Sidik berjanji memberi beberapa bungkus cokelat untuk para murid yang menghargai temannya yang bernyanyi di depan. Inisiatif ini dipilih karena mereka kerap gaduh setiap ada teman yang maju. Hasilnya, kelas yang biasanya seperti pasar tumpah mendadak sunyi. Akhirnya, semua siswa makan cokelat bersama-sama (halaman 111).

Dalam pandangannya, ancaman, sanksi, atau hukuman tidak efektif untuk menanamkan perilaku baik pada diri anak. Para guru dan orang tua menghukum karena lelah menghadapi “keliaran” anak. Padahal, bila mereka mau sedikit kreatif, metode pemberian hadiah dan pujian justru lebih ampuh. Ini senada dengan ungkapan, “Nilai suatu pemberian harus dilihat maksudnya, bukan harga atau kemewahannya.”

Buku ini juga mengungkap pentingnya keluasan suatu visi. Analoginya menarik sekali. Jangan saklek menjawab pertanyaan karena harus dapat menjelaskan lebih menarik.

Sidik mengutip pendapat P Korter, “Visi adalah gambaran realitas akan masa depan yang logis dan menarik.” Tingkat kelogisan dan keunikan sebuah visi berbanding lurus dengan keterlibatan banyak orang dalam mewujudkannya (halaman 175). Seseorang yang piawai menjelaskan hal-hal menarik dalam suatu perjalan, misalnya, dari Yogyakarta-Jakarta, dia berpotensi menjadi pemandu wisata jempolan.

Buku setebal 384 halaman ini memang lebih bernuansa rohani. Pembaca perlu meluangkan waktu sejenak di tengah rutinitas hidup, misalnya, pagi hari, setelah jeda makan siang, ataupun malam hari menjelang tidur. Dalam kata pengantar, Sidik Nugroho mengakui mayoritas renungan ini lahir justru ketika dia tak berencana untuk menulis. Ia sekadar ingin berbagi hasil pengamatan, pendengaran, pembacaan, tontonan, dan perasaan.

Diresensi Nugroho Angkasa, guru bahasa Inggris di PKBM Angon (sekolah alam), tinggal di Yogyakarta

Judul : 366 Reflections of Life, Kisah-kisah Kehidupan yang Meneduhkan Hati
Penulis : Sidik Nugroho
Editor : Leo Paramadita G
Penerbit : Bhuana Ilmu Populer (BIP)
Cetakan : 1/Februari 2012
Tebal : x 384 halaman
ISBN : 979-978-074-893-0
Harga : Rp54.000

 

Menanamkan Benih Cinta Lingkungan via Pelatihan Fotografi

Yogyakarta - Belajar mencintai alam dapat dilakukan dengan cara unik dan menyenangkan. Seperti kegiatan FOKAL di PKBM Angon (29/4/2012). Forum Keluarga dan Anak Cinta Lingkungan yang diprakarsai Ning Raswani tersebut menggelar Pelatihan Fotografi untuk anak dan remaja.

Awalnya, Pratanda NR menjelaskan ihwal teori dasar potret-memotret. Misalnya apa itu ISO/AHA, Eksposure, dll. Fotografer advertising beberapa produk terkemuka itu memberi tips agar hasil jepretan sedap dipandang. “Banyak-banyaklah berlatih, kemudian baru dalami jenis fotografi apa yang paling adik-adik sukai,” begitu ujar aktivis Greenpeace, Asia Tenggara, Chapter Indonesia tersebut.

Tak sekadar berpanjang-lebar, fotografer Tlatah Bocah Merapi ini juga mengajak seluruh peserta praktek langsung di lapangan. Kali ini karena lokasinya di sekolah alam, maka objeknya sebagian besar bertemakan lingkungan. 

Kemudian pada akhir sesi diadakan presentasi hasil foto seluruh peserta. Hasilnya bagus-bagus!
Bunga karya Brenda
Bebek karya Dira
Pancuran air karya Ifa
Pepaya karya Nabila
Menyentuh bunga karya Nara
Bunga di tepi kolam karya Nungky
Bunga merah jambu karya Willy
Capung Merah karya Suryo
Markisa karya Salwa
Pratanda karya Vina
Sebagai souvenir, selain mendapat piagam, para peserta juga boleh memilih tunas tanaman untuk dibawa pulang dan ditanam di pekarangan rumah. Ada sirsak, alpukat, dan sawo. Terimakasih dan sampai jumpa lagi di PKBM Angon.
Sumber Foto: http://www.angon.org/

 



1335376281576901136

Menanam Rumput di Kebun Sayur Organik?

Yogyakarta - Selasa  (24/4/2012) merupakan hari pertama penggarapan kebun sayur organik di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Angon yang bertempat di Dusun Mustokorejo, Dukuh Setan, Maguwoharjo, Sleman (sebelah barat Pasar Setan). Mas Joko, Mas Andi, Mas Tri, Mas Ninok, Mas Totok, dan Mas Leman menyiapkan wahana bermain, belajar, dan bercocok tanam ramah lingkungan ini.
Langkah pertama ialah membuat bedengan (petak-petak). Tujuannya, agar kesuburan tanah tetap terjaga. Selain itu, pada sisi pinggir bedengan ditanami rumput gajah. Lho bukankah rumput itu selama ini dianggap tanaman perusak. Ternyata, tidak demikian, rumput justru bermanfaat untuk menahan tepian bedengan agar tak longsor ketika hujan turun. Saya pun baru mudeng. Nuwun penjelasannya Mas Joko.

Fotografer: Bu Susan
Sumber: http://www.angon.org/

Mencicipi Meditasi Gratis di AKC Joglosemar

 Yogyakarta - Menghidupkan kembali Indonesia dan dunia yang damai menjadi impian Anand Krishna Ph.D. Ia dikenal sebagai tokoh humanis, aktivis spiritual lintas agama, dan  penulis lebih dari 150 buku yang diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama, PT Gunung Agung, Koperasi Global Anand Krishna, Global Vision Press, dan Sri Sathya Sai Books and Publications Trust (SSSBPT), India.

Selain produktif dan kreatif menulis buku, impiannya tersebut diwujudkan lewat pelbagai kegiatan. Salah satunya, pada 1991, Anand mendirikan Padepokan Anand Ashram (berafiliasi dengan PBB, 2006) di Jakarta, sepuluh tahun kemudian pada 2001, mendirikan pula Retreat Centre One Earth, One Sky, One Humankind di Ciawi, Jawa Barat.

13348105531297082659
Yang memotivasi Anand Krishna mendirikan Anand Ashram ialah pengalaman kedamaian yang dirasakan pada masa kecil yang notabene sekarang jarang sekali terjadi, “Ketika saya masih kecil dan tinggal di Solo, seingat saya perbedaan agama tidak pernah menjadi masalah. Tiba-tiba, sekitar tahun 80-an, perbedaan itu menjadi begitu tajam sehingga mengucapkan “selamat hari raya” kepada seorang teman yang beragama lain pun dianggap “haram”. Saya ingin menghidupkan kembali “pengalaman krishna kecil” - Indonesia yang damai. Menerima perbedaan dengan lapang dada, dan bersatu dalam Kesadaran Ilahi. Karena Tuhan satu adanya.”

Sejak 1998, pembaca buku Anand Krishna di daerah sering berkumpul di tempat masing-masing. Sehingga kemudian pada 2004, Anand Krishna Centre (AKC) didirikan di pelbagai kota di Indonesia. Antara lain di Bali dan Yogyakarta. Yakni, sebagai Network dan Sentra GPS Energi Kedamaian di seluruh Nusantara dan bahkan dunia.

Anand Krishna Centre merupakan tempat latihan untuk memberdaya diri dan menemukan kedamaian di dalam diri. Diperuntukkan bagi semua orang dari pelbagai latar belakang status sosial, profesi, suku, budaya, dan agama. Pun tempat ini peduli terhadap potensi disintegrasi bangsa yang dapat terjadi akibat kemajemukan kita. Sehingga tempat ini juga menjadi wahana untuk belajar saling mengerti dan mengapresiasi pelangi perbedaan.

Tempat ini tidak berpretensi mengubah kepercayaan/agama seseorang. Bahkan banyak peserta merasakan bahwa materi dan latihan yang diberikan sangat membantu mereka dalam memahami dan menghayati ajaran agama masing-masing. Di AKC dilakukan latihan secara bersama, paling tidak satu kali dalam 1 minggu, serta dipandu oleh para fasilitator yang telah mendapatkan training khusus sebagai fasilitator meditasi di Yayasan Anand Ashram.

133481075778885211
Neo Self Empowerment (NSE) merupakan pelatihan dasar di Anand Krishna Centre. Program ini akan memperluas cara pandang Anda dalam menghayati kehidupan. Anda akan belajar bagaimana melepaskan konsentrasi dan mencapai taraf dekonsentrasi. Sehingga kesadaran diri pun dapat meningkat. Demikian, kita akan mampu mengendalikan stres dan menjadi lebih percaya diri.

Monggo silakan mencicipi meditasi gratis di Anand Krishna Centre (AKC) Joglosemar. Yakni pada Sabtu/21 April 2012, jam 19.00-20.30 WIB. Alamatnya di Perum Dayu Permai P-18, Jalan Kaliurang Km, 8,5 Yogyakarta. Terbuka untuk umum. Ajak keluarga, teman, kolega, dll. Mohon hadir 15 menit sebelum acara. Kontak Person Sdri. Mira di 081805844014. Terimakasih dan sampai jumpa :-)

133481020864451772