Februari 19, 2009

Menggali Potensi Kelautan

Dimuat di Rubrik Bebas Bicara, Bernas Jogja, Jumat/20 Februari 2009

UNCLOS (United Nation Convention on the Law of the Sea) mencatat Indonesia sebagai negara maritim terbesar di dunia. Kenapa? karena 3/5 wilayah NKRI berupa perairan. Dari Sabang sampai Merauke luas lautan mencapai 5,8 juta km2 lebih. Rinciannya 0,3 juta km2 perairan teritorial, 2,7 juta km2 Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) dan 2,8 juta km2 perairan pedalaman.

Selain itu, panjang bibir pantai kita 81 ribu km. Bahkan Indonesia memiliki lk. 17.508 pulau yang notabene kaya akan potensi kelautan. Harta karun terpendam tersebut menjadi basis material bagi pengembangan budaya bahari. Sehingga sungguh bisa dimanfaatkan demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Ironisnya, rasa cinta pada laut kian surut. Kasus Sipadan-Ligitan menjadi pukulan telak bagi kedaulatan bangsa. Padahal Deklarasi Juanda (13 Desember 1957) menandaskan, "Segala perairan di sekeliling dan di antara pulau-pulau di Indonesia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari daratan dan berada di bawah kedaulatan Indonesia."

Sejak dulu kala, Indonesia memiliki para pelaut ulung. Leluhur kita mengirim rempah-rempah sampai ke Madagaskar menggunakan kapal sendiri. Pada era kerajaan Sriwijaya dan Majapahit budaya maritim begitu kental dan disegani oleh para negri tetangga.

Dalam diskusi kebangsaan National Integration Movement (NIM) di One Earth Ciawi Bogor pada 29 November 2008 silam, Imam Sadjono, Direktur Akademi Maritim Jakarta mengatakan bahwa ada 3 aspek penting dalam pengembangan potensi kelautan. Pertama, aspek ekonomis, berupa hak eksplorasi hasil laut. Kedua, aspek ekologis, berupa pengelolaan potensi laut. Ketiga, aspek sosial-budaya, berupa pelestarian budaya bahari.

Secara ekonomis, masyarakat pesisir relatif belum sejahtera. Kenapa? karena jumlah peralatan milim. Mereka bahkan kesulitan solar untuk melaut. Padahal komunitas nelayanlah yang seyogianya mencicipi langsung anugerah kekayaan laut. Tak akan ada ikan gurih di meja makan, tanpa jerih payah nelayan.

Oleh sebab itu ke depan, kebijakan pemerintah perlu lebih berpihak. Perbankan juga harus berani memberi pinjaman kepada nelayan. Tentu dengan bunga rendah dan tanpa angunan. Saat ini total ekspor hasil perikanan kita mencapai US$ 2 miliar per tahun.

Lebih lanjut, potensi ekologis kelautan begitu menggiurkan. Menurut para ahli terumbu karang dunia, taman terumbu karang seluas 1 km2 bisa menghasilkan ikan sebanyak 40-60 ton atau setara dengan US$ 120 ribu.

Potensi lainnya ialah budidaya rumput laut. Tumbuhan keluarga algae tersebut memiliki banyak manfaat. Puding dan agar-agar sebagai penutup santap malam pun terbuat darinya. Rata-rata 1 hektar lahan tambak dapat menghasilakn 10-12 ton rumput laut basah atau setara dengan 1-1,2 ton rumput laut kering. Saat ini kebutuhan rumput laut dunia mencapai 382 ribu ton per tahun. Baru terpenuhi 80 presennya saja. Dan...117 ribu tonnya berasal dari Indonesia.

Mari melihat laut bukan semata sebagai hamparan air yang memisahkan satu pulau dengan pulau yang lainnya, tapi melihatnya sebagai perekat kepulauan Nusantara dan sumber kekayaan alama yang tak terkira.

Akhir kata, sinergi antara pemerintah, masyarakat pesisir dan swasta tak bisa ditawar lagi. Pengembangan potensi kelautan secara gotong-royong niscaya memberi sumbangsih nyata bagi perbaikan kehidupan berbangsa.

Februari 15, 2009

Apresiasi Anand Krishna

Dimuat di Rubrik Surat Pembaca, Kompas Jateng-DIY, Senin/19 Januari 2009


Anand Krishna, tokoh spiritual lintas agama Nusantara, bersama 6 pengurus Yayasan Anand Ashram (berafiliasi dengan PBB) mengunjungi Sarnath, Senin (5/1), untuk memberi patung Buddha (terbuat dari batu setinggi 2,5 meter) kepada Yang Mulia Dalai Lama ke-14 Tenzin Gyatso, pemimpin spiritual dan pemerintahan rakyat Tibet di pengasingan Dharmasala, India.

Pasca diinaugurasi secara langsung oleh Dalai Lama ke-14, pada 8-10 Januari, patung itu akan diletakkan di Central Institute of Higher Tibetan Studies Deemed University, daerah Uttar Pradesh, India. Buah karya seniman Bali, Nyoman Alim itu terbuat dari batu yang sama dengan bahan baku Candi Borobudur yang dibangun abad ke-9 Masehi di Jawa Tengah.

Anand Krishna mengatakan persembahan ini untuk memperkuat ikatan spiritual dan budaya masyarakat Indonesia dan Tibet. "Saya, mewakili rakyat Indonesia, memberikan apresiasi kepada Yang Mulia Dalai Lama ke-14 atas upaya beliau yang tak kenal lelah dalam melindungi warisan budaya dan sejarah Tibet secara damai," ujar penulis produktif 120 buku itu. Dengan mempersembahkan patung dari Indonesia kepada Dalai Lama yang lalu diletakkan di tanah India, diharapkan rakyat Tibet, India, dan Indonesia bersatu dalam cinta, damai, dan harmoni.

Menurut catatan sejarah Tibet, terdapat hubungan erat antara Sriwijaya dan Tibet, yakni melalui Atisha, seorang biarawan Buddhis dari India. Ia ngangsu kawruh alias belajar selama 10 tahun dari Dharmakirti-Svarnadvipi, seorang guru spiritual yang hidup pada masa Sriwijaya, tahun 1012 Masehi. Selanjutnya, Atisha melawat ke Tibet dan mengajarkan teknik meditasi Tong-Len yang beliau pelajari dari Sang Master. Intinya bagaimana menarik negativitas dan mentransformasikannya jadi positivitas. Hingga saat ini, nama Dharmakirti-Svarnadvipi begitu lekat dalam hati Dalai Lama ke-14 dan masyarakat Tibet.

Maya Safira Muchtar, Ketua Yayasan Anand Ashram, mengatakan saat ini tak banyak orang Indonesia yang mengetahui hubungan sejarah antara Sriwijaya dan Tibet itu. Masyarakat Tibetlah yang mendokumentasikan dan mempraksiskan ajaran spiritual selama ratusan tahun. Pengiriman patung Buddha ini ialah ungkapan rasa terima kasih atas jasa besar tersebut. Rahayu!

Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/01/19/14075568/surat.pembaca

Februari 10, 2009

Pembatasan Jaipongan

Dimuat di Majalah Tempo, 10 Februari 2009

GUBERNUR Jawa Barat Ahmad Her­yawan menganjurkan para penari jaipong mengurangi 3G (goyang, gitek, dan geol). Bagaimana bisa, 3G adalah unsur dan ciri khas jaipong. Apakah Pak Gubernur lebih tergoda ketimbang menikmati keindahan tarian ini?

Kebijakan ini juga diskriminatif dan bias gender. Lebih celaka lagi, anjuran ini menggunakan dalil agama. Sayang faktanya tak sesuai dengan konteks geografis. Ibarat bermimpi di siang bolong, para agen neo-Wahabi hendak ”men-Ta­libanisasi” dan ”mem-Balkanisasi” Indonesia yang ”Bhinneka Tunggal Ika” ini. Ajaran agama toh menuntun kita melihat kebenaran (spirit) di balik badan (ritual) dan menemukan esensi spiritualitas. Dalam napas universal itulah kita semua bersatu dalam harmoni.

Mengatur gerakan ataupun cara ber­pa­­kaian para penari jaipong sungguh­ me­rendahkan inteligensi manusia dan me­nafikan kearifan leluhur yang meng­krea­sinya. Oleh sebab itu, mari katakan tidak untuk kejahatan terhadap budaya! Sebagai elemen bangsa, kita justru perlu melestarikan titipan anak-cucu, yakni­ budaya luhur Nusantara dari Sabang sampai Merauke.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/02/09/SRT/mbm.20090209.SRT129473.id.html