Oktober 23, 2008

Mari Belajar dari Sudan

Dimuat di Rubrik Surat Pembaca, Kontan, 24 Oktober 2008

Terus menggelitik di benak penulis pertanyaan, "Apa sebab terjadinya pelbagai konflik ekonomi-politik berkedok SARA di bumi Nusantara tercinta ini?" Dari kontroversi seputar RUU Pornografi yang kian memanas di gedung parlemen maupun di akar rumput, sampai aksi penyerangan terhadap salah satu aliran Kejawen di Joga (Sapta Dharma) yang dicap "sesat" oleh ormas tertentu.

Saya khawatir di sini akan terjadi konflik seperti di Sudan. Konflik horizontal di Sudan terjadi antarwarga yang beragama sama, bahkan berasal dari sekte yang satu adanya. PBB mensinyalir perang saudara tersebut menewaskan 500.000 orang lebih dalam rentang waktu kurang dari lima tahun.

Tapi, ternyata penyebab pertempuran itu sungguh memiriskan. Menurut Ban Ki-moon, penanasan global (global warming) dan kekeringan akut ialah penyebab utama perang yang tak kunjung usai itu.

Selain itu, perlu kita ketahui bersama bahwa Sudan baru saja menyewakan lebih dari 800.000 hektare lahan subur ke Arab Saudi. Masa kontraknya tak tanggung-tanggung mencapai hampir satu abad (99 tahun). Sudan tampaknya menjadi tempat "pelarian" Raja Saud lantaran populasi penduduk yang begitu cepat, kelangkaan air, dan inflasi bahan pangan sehingga diperlukan pengembangan lahan pertanian di tanah sebrang.

Saat ini, begitu banyak pejabat kita melawat ke Timur Tengah. Mereka melobi pengusaha dan pejabat di negara teluk agar sudi mengalirkan dana ke negreri kita ini. Kompensasi dari kerajinan pejabat kita melobi ialah aliran deras petrodollar dalam bentuk inverstasi dan hibah.

Hanya, kita perlu berhati-hati, "Apakah Indonesia juga hendak dijadikan "lahan pertanian" sekaligus "medan pertempuran" seperti halnya kasus Sudan dengan memainkan sentimen di antara sesama putra-putri Ibu Pertiwi?" Only God Knows...Rahayu!

Oktober 21, 2008

Waspada Susu "Melamin"

Dimuat di Rubrik Jagongan, Harian Jogja, Rabu, 22 Oktober 2008

Jumlah bayi penderita keracunan susu bermelamin terus bertambah. Ironisnya, kita tak tahu persis melamin itu apa. Menurut ahli kedokteran, zat ini hanya dipakai untuk membuat keramik, triplex, dan perabot rumah lainnya. Melamin sama sekali tidak boleh dikonsumsi oleh manusia.

Kalau manusia mengkonsumsi melamin, maka ginjalnya akan rusak. Orang yang terkena batu ginjal sulit untuk buang air. Walau batu tersebut bisa dioperasi, tapi penderita musti cuci darah, kalau tidak bisa keracunan air seninya sendiri.

Tapi kenapa melamin bisa ada di susu bayi? Karena serbuk ini sangat mirip dengan susu bubuk. Lazimnya susu bubuk terbuat dari susu sapi yang kaya protein. Tapi dengan mencampurkan melamin ke susu bubuk bisa mengurangi biaya (cost) produksi. Sungguh keterlaluan! Nyawa manusia tersubordinasi oleh fulus.

Pada awal tahun 2007, makanan kucing dan anjing buatan (made in) Cina terdeteksi mengandung melamin. Bahkan pada tahun 2008, banyak bayi di sana masuk rumah sakit karena menderita batu ginjal. Dampak melamin pada bayi memang sangat berbahaya. Ginjalnya masih kecil dan asupan bayi setiap hari hanya susu. Saat ini di Cina tercatat 13.000 bayi keracunan melamin.

Kita wajib berhati-hati saat hendak mengkonsumsi produk susu impor dari Cina. Lebih baik menggantinya dengan Air Susu Ibu (ASI), susu kedelai, atau produk lokal lain yang relatif aman. Akhir kata, waspadailah produk-produk impor. Karena pihak asing acapkali menjual dengan harga semurah mungkin (dumping), tapi tanpa memperhitungkan aspek kesehatan konsumen. Rahayu!

Harmoni Hidup

Dimuat di Rubrik Surat Pembaca, Harian Joglosemar, Senin, 21-10-2008

Indonesia masih terbelit krisis ekonomi dan politisasi agama. Meminjam istilah Ki Hadjar Dewantara, Pancasila sebagai saripati budaya bangsa, kian tergerus arus neoliberalisme dan fundamentalisme berkedok kepercayaan. Kebinekaan ialah modal dasar kita untuk bangkit. Ironisnya, semua itu justru dipakai untuk memicu konflik horisontal. United Nation Support Facility for Indonesia (UNSFR) mencatat terjadi 3.608 kali tindak kekerasan bernuansa SARA sepanjang 1999-2003.

Sebelum agama Samawi masuk, leluhur kita sudah berbudaya. Mahasiswa Antropologi Univeristas Udayana Bali meneliti kromosom DNA sesepuh kita yang khas dan relatif cinta damai. Maha Patih Gajah Mada beragama Budha, sedangkan Raja Hayam Wuruk menganut ajaran Hindu, toh keduanya tidak saling gontok-gontokan.

Raja Sriwijaya Haji Sumatrani beragama Islam, padahal penduduknya lebih banyak yang memeluk Hindu dan Shiva Tantra. Relief Candi Sewu di dekat Prambanan bercorak Buddhis, sedangkan mayoritas penduduknya beragama Hindu. Toh tetap bisa hidup berdampingan. Borobudur peninggalan wangsa Sailendra, masyarakat di sekitarnya lebih banyak muslim, tapi mereka pun tetap saling mengapresiasi dan hidup dalam harmoni.

Oktober 20, 2008

Atasi Krisis

Dimuat pada Rubrik Surat Pembaca, Harian Joglosemar, Senin/20-10-2008

Trauma krisis ekonomi 1998 masih melekat di benak kolektif bangsa ini. PHK besar-besaran terjadi, banyak sektor riil terpaksa gulung tikar, sistem perbankan nasional kolaps. Ironisnya, saat ini tragedi tersebut berulang kembali. Kita musti bertindak segera agar tidak menjadi siklus 10 tahunan (2008, 2016, 2024, dan seterusnya). Berikut ini beberapa kiat sederhana untuk mengatasi krisis.

Bagi yang mempunyai deposito tak perlu mengambil simpanan tersebut. Kenapa? karena jika kita mencairkannya, maka akan terjadi bank rush. Sebaliknya, bagi pialang yang memiliki saham, tak usah menjual saham atau turunannya. Mengapa? karena kalau kita menjualnya, maka harga saham di bursa efek pasti semakin ambruk.

Selain itu, tak perlu latah memborong dolar. Dengan memborong dolar otomatis harganya akan naik, sehingga nilai rupiah kian terpuruk. Akibatnya, harga barang impor juga akan semakin tinggi, sehingga inflasi di dalam negeri kian tak terkendali.

Oleh sebab itu, mari kita menggunakan produksi dalam negeri saja. Langkah sederhana ini akan menyelamatkan sektor riil kita, sehingga usaha-usaha kecil bisa terus berkembang. Sesuai teori efek domino, pilihan-pilihan sederhana tersebut akan berdampak luar biasa. Bayangkan jika semua anak bangsa berfikiran sama tentu akan terjadi konversi modal besar-besaran di bumi Indonesia.

Oktober 19, 2008

Pembalakan Liar

Pembalakan liar ”menyulap” hutan hujan tropis menjadi lahan kritis. Paru-paru dunia yang berfungsi untuk mengubah CO2 menjadi O2 kian langka di bumi Nusantara. Ironisnya, pemerintah justru membiarkan mafia perusak alam titipan anak cucu tersebut. Padahal PBB menandaskan bencana alam di pelbagai penjuru dunia saat ini terjadi karena tingkah-polah manusia yang tidak bertanggungjawab.

Imbas pemanasan bumi (global warming) sungguh membuat bulu roma merinding. Sepuluh juta penduduk Indonesia yang tinggal di pesisir terancam nomaden karena abrasi pantai, bahkan 4.000-an pulau kita bisa tenggelam, last but not least 130 juta penduduk Asia-Afrika terancam kelaparan karena sinar UV (Ultraviolet) menjadikan tanah lebih kering.

Negara dunia ketiga tidak bisa lagi membiarkan negara adidaya seperti Amerika Serikat dan Cina menutup mata terhadap fakta di atas. Musti ada aliansi bangsa Asia-Afrika untuk mendesak Paman Sam dan Negeri Tembok Raksasa meratifikasi Protokol Kyoto untuk mengurangi emisi GHG (Green House Gases) yang mencemari atmosfer bumi.

Akhirkata, bersama kita mampu mengatasi ancaman pemanasan global yang melanda peradaban umat manusia saat ini. Mari memulainya dari diri sendiri di lingkar pengaruh masing-masing.

Oktober 17, 2008

Hemat Air

Saat ini ancaman pemanasan global (global warming) begitu nyata, sehingga urgen untuk kita sikapi bersama. Berikut ada beberapa fakta dan tindakan sederhana dalam keseharian hidup untuk menyelamatkan bumi.

Saat menyikat gigi apabila menggunakan air kran maka kita membutuhkan kurang lebih 6 liter air. Sedangkan kalau memakai gelas cukup menghabiskan setengah liter saja. Lantas untuk mencuci mobil/motor bila menggunakan ember, cukup dengan 30-75 liter air. Tapi bila memakai semprotan selang bisa menghabiskan 300 liter air.

Menurut statistik rata-rata orang Indonesia memakai 144 liter atau 8 galon air setiap orang per hari. Bahkan di kota besar setiap orang per hari bisa menghabiskan 250 liter atau 13 galon air lebih. Fakta lain membuktikan bahwa pemakaian shower lebih irit ketimbang penggunaan gayung air.

Khusus untuk alat listrik apabila tidak digunakan lebih baik dimatikan saja. Jangan membiarkan alat listrik tersebut berada pada kondisi stand by. Kenapa? karena pada kondisi on, alat elektronik masih menggunakan daya listrik sebesar 5 watt.

Air hujan bisa mengurangi dampak pemanasan global. Caranya dengan membuat sumur resapan atau sumur biopori, membuat bak penampung air hujan seperti yang banyak ada di Gunungkidul.

Oktober 16, 2008

Sriwijaya, Majapahit, dan Indonesia

Dimuat di Surat Pembaca, Radar Jogja, Jumat 17 Oktober 2008

Indonesia masih terbelit krisis ekonomi dan politisasi agama. Pancasila sebagai - meminjam istilah Ki Hajar Dewantara - saripati budaya bangsa kian tergerus oleh arus neoliberalisme dan fundamentalisme.

Kebhinekaan ialah modal dasar kita untuk bangkit. Ironisnya, itu justru dipakai untuk memicu konflik horisontal. United Nation Support Facility for Indonesia (UNSFR) mencatat terjadi 3.608 kali tindak kekerasan bernuansa SARA sepanjang 1999-2003.

Padahal leluhur kita sudah berbudaya. Mahasiswa Antropologi Univeristas Udayana Bali meneliti kromosom DNA sesepuh kita yang khas dan relatif cinta damai. Maha Patih Gajah Mada seorang Buddhis, sedangkan Raja Hayam Wuruk penganut Hindu, toh keduanya tidak saling gontok-gontokan.

Sebaliknya, relief Candi Sewu di dekat Prambanan bercorak Buddhis, sedangkan mayoritas penduduk di sana beragama Hindu. Toh tetap bisa hidup berdampingan. Raja Sriwijaya Haji Sumatrani beragama Islam, padahal penduduknya lebih banyak yang memeluk Hindu dan Shiva Tantra. Borobudur peninggalan wangsa Sailendra, masyarakat di sekitarnya lebih banyak Muslim, tapi mereka pun tetap saling mengapresiasi dan bisa hidup dalam harmoni hingga kini.

Sriwijaya berkuasa 1000 tahun lebih. Kehidupan rakyatnya relatif sejahtera. Hal itu bisa dilihat dari relief-relief di Muara Takus. Bahkan mereka mampu mengekspor rempah-rempah ke Madagaskar dengan armada pelayaran sendiri. Dari segi pengetahuanpun maju, rancangan Angkor Wat di Kamboja diarsiteki oleh insinyur Nusantara.

Segelintir orang yang "menyangsikan" kesaktian Pancasila musti belajar dari kegagalan Raden Patah. Saat itu Demak hanya bertahan seratus tahun dengan landasan agama/syariah. Kalau kita tidak belajar dari sejarah maka,"Those who do not learn from history will condemn to repeat it." Kita akan mengulangi pelajaran yang sama, ibarat berputar dalam lingkaran setan.

Dengan berdiri di atas landasan budaya, "Bhinneka Tunggal Ika - Tan Hana Dharma Mangrwa", berbeda tapi satu, tak ada dualitas dalam dharma bhakti bagi Ibu Pertiwi, sejarah membuktikan Sriwijaya mampu berjaya di abad ke-7. Lantas Majapahit pun berjaya di abad ke-14, dan last but not least sesuai siklus 7 abad Indonesia pun niscaya berjaya di abad ke-21 ini. Asalkan kita tetap bersatu di bawah naungan panji-panji Sang Saka Merah Putih. Rahayu!

Oktober 13, 2008

Bahagia Tanpa Narkoba

Dimuat di Koran Merapi, Rubrik Nguda Rasa, Senin 13 Oktober 2008

Badan Narkotika Nasional (BNN) menyatakan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebagai tiga besar dalam kasus penyalahgunaan narkoba. Bahkan dari total 3,3 juta pemakai Narkotika, Alkohol, Psikotropika, dan Zat Adiktif (NAFZA), 30 persennya masih duduk di bangku sekolah/universitas.

Fakta ini sungguh memprihatinkan karena bisa menurunkan kepercayaan (trust) orang tua untuk mengirim anaknya ngangsu kawruh di sini. Padahal banyak warga yang menyandarkan hidup pada usaha kost-kostan (bording house).

Secara lebih mendalam pelajar/mahasiswa yang menyalahgunakan narkoba sekedar untuk mencecap kenikmatan semu bisa kecanduan (adicted). Akibatnya, stamina menurun dan fungsi organ vital seperti hati, jantung dan paru-paru terganggu. Selain itu. Para pemakai juga rentan tertular penyakit hepatitis B/C dan HIV/AIDS. Bukan hanya itu kalau overdosis maka maut datang menjemput lebih awal.

Padahal sudah ada pasal hukum yang membatasi peredaran dan penyalahgunaan narkoba. Misalnya UU Psikotropika No. 22/1997. Pemakai heroin, kokain, dan ganja (golongan I) diancam hukuman 10 tahun penjara. Sedangkan untuk morfin, petidin, dan metadon (golongan II) pengedarnya dijerat hukuman 7 tahun penjara. Bahkan para bandar bisa dijatuhi hukuman mati. Tapi praktek penegakan hukum ibarat kata pepatah, jauh panggang daripada api.

Kapal Republik Indonesia nyaris karam dihantam badai "narkobaisasi." Modus operandi ini ialah konspirasi tingkat tinggi untuk menciptakan the lost generation di Bumi Nusantara tercinta. Perkembangan mental-emosional penerus bangsa tersendat. Sehingga kelak negeri nan elok lagi kaya ini mudah dikuasai dan dihisap.

"Virus" berbahaya tersebut tak pandang bulu, profesi, strata sosial, ataupun usia. Bahkan belakangan penyalahgunaan NAFSA telah merambah pula kalangan siswa-siswi SMP. Sebagai pengajar yang setiap hari berinteraksi dengan para murid, seyogyanya guru bisa mendeteksi gejala awal penyalahgunaan narkoba pada anak didiknya.

Berdasar pengamatan penulis, mereka acapkali menunjukkan prilaku menyimpang di kelas. Misalnya, malas menggarap Pekerjaan Rumah (PR), tapi bila ditegur, justru membalas dengan sikap membangkang. Bahkan dari tampilan fisik bisa kentara sekali. Yakni mata merah, wajah pucat, dan bibir kehitam-hitaman.

Dalam konteks ini peran guru "plus" menjadi penting. Yakni dengan meluangkan waktu dan energi untuk berbagi rasa bersama para murid. Yakinkan bahwa kita ingin ia bebas dari jeratan NAFZA. Pastikan bahwa kita akan senantiasa berada di sampingnya walau apa yang terjadi. Guru yang bisa di-gugu dan di-tiru signifikan pengaruhnya terhadap perkembangan pribadi siswa.

Sedikit sharing, penulis sempat menjadi relawan program "Menghindari Narkoba dengan Olah Raga Tawa" dalam rangka memperingati Hari Kesehatan Nasional yang digelar Pemkab Sragen bekerjasama dengan Anand Krishna Centre (AKC) Joglosemar. Terharu sekaligus bahagia menyaksikan 3.000 pelajar tumpah-ruah memadati GOR Diponegoro dan mempraktekkan senam tawa. Dari tawa Singa (Singamudra), Bebek, sampai senyum Silaturahmi.

Dokter Djoko Pramono MM asal Pati mengatakan tertawa lepas menciptakan hormon endogenous morphin (endorphin) di otak. Semenit tertawa mempunyai efek yang sebanding dengan 20 menit berolahraga ringan. Selain itu, tertawa juga bisa melancarkan aliran darah, mengurangi resiko penyakit jantung, meningkatkan daya tahan tubuh, memijat paru-paru dan jantung, menurunkan stress, meningkatkan kadar oksigen (O2) dalam darah, mengkontraksikan 80 titik saraf, melemaskan otot-otot tubuh, meringankan konstipasi (susah buang air besar), dan menurunkan tekanan darah. Itulah sebabnya saat ini di negri manca banyak bermunculan klub tawa ibarat cendawan di musim hujan.

Sebagai penutup, niscaya tanpa narkobapun putra-putri Ibu Pertiwi dari Sabang sampai Merauke tetap bisa hidup bahagia. Caranya sederhana, murah, dan universal. Tak ada diskriminasi berdasarkan SARA saat kita tertawa bersama dalam keceriaan. Yang ada hanyalah hahahahohohohehehehihihi. Menyitir jargon Warkop DKI, "Tertawalah sebelum tertawa itu dilarang!" Rahayu!

Oktober 10, 2008

Jerat RUU "Porno"

Rancangan Undang-undang (RUU) Pornografi sungguh “asusila”. Dalam pengertian, “ia” sama sekali tidak menghargai budaya luhur Nusantara. Candi Sukuh, Ceto, Lingga dan Yoni, bahkan Tugu Monas, semuanya bisa dianggap porno dan perlu ditutupi kain.

Bahkan seorang penari Jawa, Sunda, atau Bali bisa dituduh membangkitkan gairah seksual para penonton dan dijerat Pasal 1 yang berbunyi: “Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat.”

Slogan kita bersama ialah, “Katakan tidak untuk kejahatan terhadap budaya bangsa”. Saudara-saudara kita sebangsa dan setanah air yang kurang paham dan menganggap penolakan terhadap rancangan undang-undang ini sama sebangun dengan penerimaan terhadap pornografi mesti disadarkan segera. Mereka perlu dirayu untuk membaca dan mengkritisi seluruh isi RUU tersebut.

Akhir kata, katakan tidak untuk pornografi, tetapi juga tolak Rancangan Undang-undang ”Porno” yang notabene tuna dan buta terhadap budaya bangsa.

Oktober 07, 2008

Mengungkap Kebijaksanaan Air

Resensi buku ini dimuat di harian Kedaulatan Rakyat Minggu 4/9/05.

Judul : Mengungkap Misteri Air
Mengubah Dunia dengan Kesadaran Baru
Penulis Bersama : Ir. Triwidodo Djokorahardjo, M.Eng
Nina Natalia, Ir Gede Merada, Anand Krishna
Penerbit : PT One Earth Media Jakarta
Cetakan : I, 2005
Halaman : xxxiv + 96 halaman

"Saya teringat sebuah kebiasaan di zaman dahulu di Jawa. Saat itu, orang tua yang hendak memanggil anaknya yang berada di luar kota cukup melakukannya dengan memanggil-manggil nama sang anak lewat sebuah genthong berisi air. Lewat air komunikasi antar manusia dapat dilakukan. Itulah Handphone untuk zaman dahulu..." (halaman 6)

Begitulah salah satu uraian tentang kebijaksanaan air dari salah seorang pembicara, Ir Triwidodo Djokorahardjo, Kepala Sub-Dinas Kerjasama Sumber Daya Air, propinsi Jawa Tengah dalam diskusi bulanan di Padepokan Spiritual Lintas Agama (One Earth-One Sky-One Humankind) Ciawi, Bogor pada tanggal 12 Maret 2005 lalu.

Buku ini merupakan dokumentasi diskusi mendalam tentang temuan Dr. Masaru Emoto yang berjudul The Hidden Messages in Water. Melibatkan para ahli dibidangnya masing-masing, Nina Natalia Direktur Operasi Yayasan Bina Usaha Lingkungan yang concern dengan konservasi lingkungan, Ir Gede Merada yang pernah bekerja dalam bidang eksplorasi energi selama belasan tahun, dan Anand Krishna seorang Guru Spiritual lintas-agama yang bergelut mencurahkan energi selama 15 tahun terakhir dalam dunia pendidikan holistik.

Dr. masaru Emoto lewat bukunya Messages From Water memberikan kabar baik pada dunia, tentang temuannya yang luar biasa. Lewat sebuah rangkaian proses yang panjang, ia menemukan bahwa molekul-molekul dalam air dapat dipengaruhi oleh pikiran, perkataan dan perasaan manusia.

Pada awalnya, Dr Masaru Emoto dan tim penelitiannya melakukan percobaan itu dengan cara mengambil cawan petri yang kemudian dibekukan selama 3 jam dalam suhu yang mencapai-20 derajat celsius. Hasilnya adalah terbentuknya butiran es di permukaan cawan petri sebesar 1 milimeter. Kristalnya akan terlihat ketika ada cahaya yang diarahkan pada bagian mahkota dari butiran es tadi.

Tak semua cawan petri akan menghasilkan kristal yang sama. Kadang ada yang tidak membentuk kristal sama sekali. Air kran dari Tokyo, hasilnya begitu mengecewakan. Tak ada satupun kristal terbentuk, menurut Dr Emoto penggunaan chlorine dalam dosis tertentu dengan tujuan membersihkan air dari berbagai kotoran dan benih-benih penyakit, justru menghancurkan struktur alami air. Sebaliknya air dari sumber alami seperti air zam-zam, Lourdes, Sungai Gangga senantiasa menampilkan bentuk-bentuk kristal hexagonal yang utuh dan indah.

Salah satu percobaan yang lain adalah dengan memperdengarkan musik kepada sebotol air minum dalam kemasa yang dibeli dari sebuah toko, menempatkannya di atas meja yang diapit oleh dua pengeras suara(speaker) dan diputarkan musik dengan volume yang secara normal digunakan oleh setiap orang.

Hasilnya sungguh sangat mencengangkan. Pastoral Symphony karya Beethoven, dengan alunan nada yang jelas dan bening, menghasilkan kristal-kristal sempurna yang sangat indah. Begitu pula dengan Symphony No 40 karya Mozart, yang merupakan puji-pujian untuk keindahan, membentuk kristal-kristal yang halus dan sangat elegan. Sementara Etitude in E, Op. 10 no 3 karya Chopin menampilkan detai-detai yang sangat indah. Kesimpulannya musik-musik klasik karya para Maestro dunia senantiasa menghasilkan bentuk-bentuk kristal yang berbentuk sempurna. Sebaliknya, air yang diperdengarkan musik heavymetal menghasilkan bentuk-bentuk kristal yang jauh dari sempurna.

Mengingat bahwa komposisi terbesar yang membentuk manusia dan bumi terdiri dari air dampak dari temuan ini menjadi sesuatu yang sangat penting bahkan menjadi semacam "kunci" untuk menciptakan sebuah dunia yang lebih baik. "Kalau pikiran, perkataan, perasaan manusia dapat mempengaruhi air disekitarnya, bukankah kita bisa mengubah dunia dengan cara yang sama?

Masih banyak pemahaman dan kesadaran baru yang muncul ketika membaca lembar-lembar buku ini. Setelah membaca buku ini saya langsung menempelkan kertas bertuliskan Love and Gartitude di galon air minuman di kamar kost, karena saya menyadari bahwa air mampu merespon perasaan dan pikiran yang kita sampaikan kepadanya. Menurut penelitian Dr Emoto ungkapan cinta dan syukur menghasilkan bentuk kristal yang paling indah. Saya berharap rasa cinta dan syukurpun turut mewarnai kehidupan sehari-hari.

Buku ini wajib dibaca oleh setiap orang yang mau belajar kebijaksanaan dari air. Namun hindari buku ini, jika Anda belum siap mengubah cara pandang tentang kehidupan secara revolusioner.

Oktober 06, 2008

Menjadi Agen Perubahan

Dimuat di Suara Pembaruan, Minggu/7 Sept 2008. Semoga migunani. Bende Mataram...

Sumber: http://www.suarapembaruan.com/last/index.html

Judul: Be The Change, Menghidupi Kebijaksanaan Gandhi
Penulis: Anand Krishna
Pengantar: Sudharmadi WS, Dr H Hamim Ilyas, MA. dan Prof Dr Franz Magnis Suseno SJ
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun: Juli 2008
Tebal: 102 halaman

Dalam Be The Change Anand Krishna mengulas 10 butir kebijaksanaan Gandhi. Materi berbobot tersebut dikumpulkan oleh Hendrik Edberd. Seorang blogger muda (28) berbakat asal Swedia yang mengaku amat terpengaruh ajaran ahimsa Sang Mahatma (10 Tips from Gandhi's Words, http://www. positivityblog.com/index.php/2008/ 05/09/gandhis-top-10-
fundamentals-for-changing-the-world/).

Menurut Romo Franz Magnis SJ yang memberi pengantar buku ini, pertama kali istilah change dipopulerkan oleh Obama. Tapi, change yang dimaksud Gandhi berbeda sekali dengan yang dikampanyekan Barack. Si Obama melihat change sebagai perubahan sistem, sedangkan sang Mahatma menekankan perubahan dalam diri manusia (hal xix-xxii).

Para bijak pun mengatakan pesan serupa. Mereka tidak menuntut perubahan sistem. Kenapa? Karena ibarat Titanic, yang penting bukan melulu teknologi navigasinya, melainkan kemampuan nakhoda di balik kemudi kapal. Misal pada masa transisi demokrasi, dari Orde Baru ke era Refomasi di negeri ini, yang berubah hanya sistem, tapi tidak terjadi pergeseran paradigma dalam diri pejabat publik. Ada gurauan di kalangan aktivis, "Kalau dulu korupsi dilakukan di belakang meja, kini mejanya pun dimakan!"

Selain itu, masih hangat dalam ingatan kolektif bangsa ini Insiden Monas berdarah 1 Juni 2008. FPI menyerbu massa AKKBB yang tengah merayakan hari lahir Pancasila ke-63. Mereka yang menjadi korban beragama Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu, mereka semua ialah warga negara Indonesia. Tapi, ada hikmah di balik tragedi kemanusiaan di muka. Sebab anak bangsa yang tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Mereka membiarkan darah mengalir, tapi tidak sudi mengalirkan darah orang-orang yang menganiaya dan memukuli mereka hingga babak belur dan gegar otak.

Gandhi dan Ahimsa

Sebagai calon pengacara, Gandhi muda gemar melahap buku-buku penulis kondang, seperti Ruskin, Tolstoy, dan Thoreaou. Pada usia 23 tahun, ia telah menamatkan kuliah hukum, lantas hijrah ke Afrika Selatan. Sebelum naik kereta, temannya yang kebetulan beragama Islam bertanya, "Gandhi kamu sudah punya bacaan untuk di kereta?". "Belum", jawab Gandhi. "Bagaimana dengan Al Qur'an dalam bahasa Inggris?" tanya temannya lagi. "OK, that's fine with me, boleh saja", jawab Gandhi.

Malam itu dengan berbekal tiket kereta api dan Al Qur'an, Gandhi berangkat ke Afrika Selatan. Tapi di perjalanan dia ditendang keluar petugas stasiun, karena kulitnya hitam, sedangkan gerbong itu hanya diperuntukkan bagi penumpang berkulit putih. Gandhi bukan orang biasa, dia seorang pengacara lulusan Oxford University. Sehingga kerajaan Inggris memberi izin praktik di mana pun yang notabene hampir di separuh belahan dunia.

Saat ditendang ke luar gerbong, Al Qur'an yang turut bersama Gandhi ikut terlempar keluar dan terbuka. Tepat pada bagian yang terbuka itulah Gandhi mendapatkan inspirasi mendalam yang mempengaruhi seluruh sisa hidupnya dan konstelasi dunia. Surah An Nisa ayat 75, "Dan mengapa kamu tidak berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah dari laki-laki, perempuan dan anak-anak yang berseru, ya Tuhan kami, keluarkanlah dari negeri yang penduduknya zalim ini dan berilah kami pelindung dari sisi-Mu dan berilah kami penolong dari sisi-Mu."

Ironisnya, ayat yang sama bila dibaca orang fanatis, dia justru menjadi teroris. Yang membedakan Gandhi dengan para penjahat berdarah dingin itu ialah kesadarannya. Gandhi ngeh (memahami sepenuhnya) untuk meraih tujuan mulia dia musti menempuh jalan cinta dan Ahimsa.

Gaya bahasa dalam buku ini sederhana, gaul, dan fungky khas Anand Krishna. Be The Change layak menjadi bacaan wajib dan panduan bagi para aktivis yang tergerak untuk menjadi agen-agen perubahan pada zaman modern ini. Masih terngiang pesan Gandhi, "Ketika saya merenung dan rasa sedih menghantui, saya ingat bahwa sepanjang sejarah peradaban manusia cara-cara yang berpijak pada Kebenaran dan cinta selalu menang! Para tiran dan pembunuh selalu ada dan untuk sementara waktu tampaknya tak tertaklukkan, tetapi pada akhirnya, mereka semua hancur, pikirkanlah hal ini senantiasa!"

Hapus Kolom Agama pada KTP

Dimuat di Harian Jogja, 25 Sept 2008, Rubrik Aspirasi
http://www.harianjogja.com/web/index.php?option=com_content&view=article&id=2596:hapus-kolom-agama-pada-ktp-&catid=119:jagongan&Itemid=385

Banyak korban berguguran di Poso karena penyalahgunaan kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP) oleh kelompok yang bertikai. Identitas agama tersebut menjadi "senjata" untuk saling membunuh atas nama kepercayaan. Lebanon menghapuskan kolom agama di KTP paska perang saudara selama 16 tahun. Saat ini hanya ada 2 negara yang keukeuh mencantumkan kolom agama di ID Card. Salah satunya Indonesia.

Radikalisme memang acapkali berawal dari hal-hal kecil. Misal pemisahan anak-anak saat pelajaran agama di sekolah. Seorang anak yang berbeda agama dan keyakinan mendapatkan perlakuan diskriminatif dari para guru. Hal ini terjadi berulang-ulang dan menimbulkan bibit-bibit perpecahan dalam diri si anak. Oleh sebab itu, pengenalan nilai-nilai budi pekerti perlu kita galakkan kembali sejak usia dini.

Penghapusan kolom agama di KTP dan penanaman nilai-nilai budi pekerti niscaya mengurangi potensi terjadinya konflik dan pola pengkotak-kotakkan antar warga negara. Toh sejatinya kita semua - menyitir pendapat Anand Krishna - memiliki Satu Bumi, Satu Langit, dan Satu Umat Manusia (One Earth, One Sky, and One Humankind).

RUU Pornografi

Dimuat di Rubrik Surat Pembaca Harian Joglosemar 19 September 2008

http://harianjoglosemar.com/index.php?option=com_content&task=view&id=24970&Itemid=1

Thomas Paine mengatakan negara musti seminimal mungkin mencampuri urusan pribadi warga. Apalagi soal tingkah laku dan cara berpakaian, parameternya beragam dan tergantung pada konteks. Itu jelas bukan wewenang pelayan publik, yang lebih urgen ialah bagaimana memenuhi kebutuhan sembako rakyat dari Sabang sampai Merauke jelang perayaan Idul Fitri ini.

Rencana pengesahan RUU Pornografi pada 23 September 2008 mendatang terlalu tergesa. DPR perlu mendengarkan aspirasi warga Papua yang biasa bertelanjang dada dan berkoteka dalam aktivitas kesehariannya. RUU ini berpotensi mencederai kebinekaan bangsa.

Sebagai Nation State, Indonesia terdiri atas pelbagai suku, budaya, agama, dan golongan yang memiliki persepsi beragam terhadap nilai kesusilaan dan batasan pornografi. Sehingga tak perlu diseragamkan, apalagi dipatenkan lewat undang-undang.

Secara lebih mendalam, RUU Pornografi menganggap perempuan sebagai penyebab kemerosotan moral. Sebab kaum wanita tidak bertingkah laku sopan dan tidak menutup rapat tubuhnya. Pemahaman tersebut sungguh bias gender dan sangat patriarkal.

Kemiskinan di Indonesia

Dimuat dirubrik Bebas Bicara, BERNAS Jogja, Jumat/12 September 2008

Bank Dunia menetapkan garis batas kemiskinan secara internasional US$ 2 per hari. Akibatnya 50 % rakyat Indonesia masuk dalam kategori miskin. Mudah bagi para pejabat menasehati warga agar sabar menghadapi belitan krisis ekonomi. Karena selama ini memang rakyat sudah terkondisi hidup prihatin. Terlebih paska kenaikan harga elpiji, kaum Ibu-lah yang paling repot mengatur anggaran belanja bulanan. Ironisnya "kebijakan" tersebut diberlakukan setelah rakyat dipaksa secara sistemik beralih dari minyak ke gas.

Lantas bagaimana dengan kehidupan para wakil rakyat? Apakah mereka mewakili kemiskinan dan penderitaan sama-sebangun seperti yang dialami mayoritas rakyat di akar rumput?

Menurut data terkini Departemen Keuangan RI gaji pokok anggota DPR (hanya) Rp 4.200.000/bulan. Tapi masih ditambah aneka tips. Antara lain tunjangan jabatan Rp 9.700.000/bulan, uang paket Rp 2.000.000/bulan, dan beras Rp 30.090/jiwa/bulan bagi yang sudah berkeluarga.

Kemudian ada juga biaya operasional sehari-hari. Seperti untuk komunikasi intensif sebesar Rp 4.140.000/bulan, langganan listrik dan telepon Rp 4.000.000, rapat pansus Rp 2.000.000/undang- undang, dan fasilitas kredit mobil dinas Rp 70.000.000/orang/per periode (2004-2009).

Selain itu, bila tugas ke luar kota/daerah mereka memperoleh pula ongkos dan bekal perjalanan. Rinciannya ialah sbb, tiket pulang-pergi sesuai daerah tujuan masing-masing, uang harian untuk daerah tingkat I Rp 500.000/hari, sedangkan untuk daerah tingkat II Rp 400.000/hari.

Masih ditambah anggaran pemeliharaan Rumah Jabatan Anggota (RJA). RJA di bilangan Kalibata, Jakarta Selatan Rp 3.000.000/rumah/tahun dan RJA Ulujami di daerah Jakarta Barat Rp 5.000.000/rumah/tahun plus perabotan rumah lengkap (TV, Kulkas, Kipas Angin, Dispenser, Mesin Cuci, dll)

Menyaksikan nominal dan fasilitas di atas, tak heran bila banyak orang bernafsu mengikuti Pileg (Pilihan Legislatif) pada Pemilu 2009 mendatang. Tak terkecuali para selebriti. Para politisi dadakan tersebut tidak memikirkan kesejahteraan konstituen sama sekali. Yang penting ialah bagaimana gambar mereka dicoblos saat hari H dengan mengandalkan popularitas semu.

Padahal saat ini begitu banyak aset negara berpindah tangan ke pihak asing. Industri telekomunikasi kita sahamnya dikuasai Singapura, Malaysia, dan debutan baru Saudi Arabia. Raksasa RRC pun leluasa menggerus infrastruktur industri lokal dan pasar tradisional kita, yakni dengan mengekspor dari sayur-mayur, bolam lampu, kain batik, dan sampai celana dalam dengan harga dumping. Hal ini - menurut kesepakatan Millenium Development Goals (MDG) - termasuk kategori unfair trade.

Oleh sebab itu, ruh koperasi mesti dihidupkan kembali. Kita tidak membutuhkan Corporations (MNC/TNC) dengan mitos trickle down effect-nya. Kini zaman kebangkitan Coooperation, kesejahteraan seluruh warga negara musti menjadi tujuan bersama. Uni Eropa ialah turunan dari Cooperative Society-nya Bung Hatta.

Selain itu. secara lebih mendalam kita perlu menjalin kembali hubungan batin dengan Ibu Pertiwi. Menyitir pendapat Anand Krishna, negara ini bukan tanah dan air semata, tapi merupakan Bunda Nusantara.

Spirit Kemandirian

di Harian Joglosemar pada 10-09-2008
http://harianjoglosemar.com/index.php?option=com_content&task=view&id=24028&Itemid=1

Selama ini Amerika Serikat tidak pernah mencetak uang sendiri karena telah mendapat hibah dari konsorsium 14 bank swasta. Selain itu pajak dari rakyat tak sepeserpun masuk ke kas negara sebab semuanya mengalir ke kantong korporasi tersebut (Tonton: www.zeitgeistmovie.com).

Situasi ini bermula sejak 1929. Tepatnya saat krisis ekonomi ”malaise” yang oleh aktivis pergerakan nasional disebut zaman meleset. Amerika mengalami defisit anggaran sehingga terpaksa meminjam uang dari konsorsium. Ironisnya, yang menjadi jaminan ialah aset seluruh rakyat. Itulah sebabnya kenapa Bung Karno lantang mengatakan, “Go to hell with your aid!”. Karena Putra Sang Fajar tahu bahwa Amerika Serikat tak memiliki kas negara.

Pelajaran yang bisa kita tarik dari pengalaman Paman Sam ialah jangan bergantung pada korporasi dengan mitos trickle down effect-nya. Saatnya bangsa ini kembali ke budaya lokal nusantara. Yakni spirit gotong-royong dan kemandirian yang senantiasa menjadi landasan hidup leluhur kita.

Bung Hatta telah mewariskan konsepsi Cooperative Society. Tugas sejarah kita untuk membumikan visi Sang Putra Andalas demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sebab demokrasi bukan melulu pada ranah politik, melainkan juga perlu menyentuh urusan perut rakyat. Salam Indonesia!

Stop Kekerasan

dimuat di Harian Joglosemar pada 30-08-2008

Sumber: http://harianjoglosemar.com/index.php?option=com_content&task=view&id=23083&Itemid=1

Sudah menjadi concern kita bersama untuk mengawal eksistensi kedaulatan dan persatuan RI berdasarkan Pancasila dan Mukadimah UUD 1945 secara damai. Ironisnya masih ada segelintir kelompok yang tidak menginginkan Indonesia menjadi negara plural. Bahkan kehormatan hukum positifpun diinjak-injak seenaknya.

Misal pada persidangan Rizieq Shihab di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada Kamis (28/8) lalu. Pengadilan yang rencananya akan mendengarkan kesaksian dari tiga saksi Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah dinodai oleh kebringasan massa FPI. Tampak jelas dalam rekaman televisi (http://www.liputan6.com) mereka menyerang seorang wanita dan pengacara yang coba melerai.

Sri Sultan Hamengku Buwono X sebenarnya sudah mengantispiasi kecenderungan fasis-fanatis kelompok radikal tersebut, misal lewat pernyataan beliau tatkala menyikapi Insiden Monas Berdarah, “Kelompok-kelompok yang tidak bisa hidup berdampingan dengan kelompok lain yang berbeda agama, suku, ras, maupun golongan tidak boleh dibiarkan hidup dan berkembang di Negara Indonesia tercinta” (Bernas, 2 Juni 2008). Ironisnya pemerintah pusat cenderung melakukan pembiaran (omission) terhadap pelanggaran hukum yang terjadi.

Seruan Kampanye Damai

AJI Damai

(Aliansi Jogja untuk Indonesia Damai)

Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan 16 partai politik peserta pemilu 2004 dan 22 partai politik baru sebagai kontestan dalam pesta demokrasi tahun 2009 mendatang. KPU juga sudah menetapkan bahwa tahap awal masa kampanye Pemilu 2009 dimulai tanggal 12 Juli 2008 sampai 5 April 2009.

Perhelatan akbar lima tahunan ini niscaya menjadi media pembelajaran politik bagi rakyat Indonesia sekaligus menentukan akan seperti apa wajah RI ke depan! Apakah akan semakin muram karena krisis multidimensi yang menghimpit, ataukah akan cerah kembali karena kebangkitan kesadaran berpolitik segenap anak bangsa berlandaskan hati nurani dan cinta-bhakti bagi Ibu Pertiwi?

Kampanye Pemilu 2009 yang diikuti 38 parpol tersebut dibagi dalam 3 zona. Pertama, meliputi wilayah Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Kepulauan Bangka Belitung, Kep. Riau dan DKI Jakarta. Kedua, meliputi Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Banten, Bali, NTB, NTT, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Ketiga, meliputi Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat.

Pada tahap awal, kampanye dilakukan secara tertutup. Salah satunya dengan cara promosi parpol di media-media. Sementara kampanye yang melibatkan massa akan dimulai Maret 2009. Nah pada tahap inilah rentan terjadi gesekan horizontal di akar rumput. Namun demikian bukan berarti tahapan kampanye tertutup tidak memungkinkan lahirnya kekerasan. Sebab, bibit-bibit kekerasan bisa jadi sudah tersemai dalam tahapan ini hingga saat kampanye terbuka bibit kekerasan itu menjadi manifes. Artinya, ibarat api dalam sekam, bibit-bibit kekerasan yang tersemai di masa kampanye tertutup akan menemukan momentum dan bisa berlindung di balik kerusuhan massal yang akhirnya sulit diidentifikasi.

Masyarakat Jogja selama ini dikenal sebagai masyarakat toleran, berbudaya dan anti kekerasan yang terbukti tidak akan terpengaruh atas berbagai tindakan kekerasan yang terjadi di belahan daerah lain. Maka, sudah sepantasnya menjelang Pemilu 2009 ini, seluruh elemen masyarakat Jogja "Menolak upaya-upaya provokatif yang akan mencederai Jogja sebagai city of tolerance dan anti kekerasan".

Oleh sebab itu, kami dari AJI Damai menyerukan kepada:

1. Partai Politik

a. Melaksanakan kampanye secara santun, mendidik dan penuh tanggung jawab demi mengembalikan martabat bangsa di mata internasional, menjaga keutuhan NKRI, menunaikan amanah Mukadimah UUD 1945 serta melakoni nilai-nilai luhur yang termaktub dalam Pancasila!

b. Tidak melakukan black campaign antar calon anggota legislatif

2. Semua stakeholder (KPU, Panwaslu, Aparat kepolisian)

bertindak netral, proporsional dan profesional .

3. Masyarakat

a. Agar berjejaring untuk satu kata menolak segala bentuk kekerasan dalam bentuk dan dalih apapun di wilayah DIY.

b. Mempergunakan hak memilih dan dipilih secara bijaksana, dengan cara mengedepankan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok atau golongan.

c. Mengenali dengan baik dan selektif terhadap calon legislatif yang diajukan oleh parpol, dengan cara tidak memilih politisi busuk (terindikasi korupsi, kolusi, nepotisme)

Jogja, Agustus 2008

Menyikapi Rencana Eksekusi Mati Amrozi Cs

Dimuat di Rubrik Forum, Media Indonesia, 2 Agustus 2008

Kita percaya pada gerakan anti-kekerasan (non violence). Kita menolak kekerasan (ahimsa) dalam segala bentuk dan dengan dalih apapun, termasuk pemahaman sempi (baca:fanatik) agama. Namun, kita juga menyadari kadang kala masyarakat memerlukan shock therapy yang notabene melibatkan 'kekerasan' seperti halnya dalam operasi medis.

Kita tidak membenci para pelaku bom Bali, tapi kita juga tidak akan tinggal diam menyaksikan tindakan biadab yang memakan korban sesama anak bangsa dan warga dunia, serta mengkhinati nurani lembut kemanusiaan kita.

Sebab itu, kita mesti melihat hukuman mati bagi Amrozi dkk dalam jangka waktu dekat ini sebagai peringatan kepada para pendukung mereka dan penegasan bahwa kekerasan bukanlah suatu metode pemecahan masalah.

Eksekusi mati bagi mereka perlu dilaksanakan segera. Yakni dalam rangka menegakkan hukum positif di Indonesia dan menjaga ketentraman hidup bermasyarakat yang Bhineka Tunggal Ika dari Sabang sampai Merauke.

Kita mengajak segenap elemen bangsa untuk pada hari dan tanggal saat para pelaku bom Bali tersebut dieksekusi mati. Tepatnya di pagi hari, jam 9 WIB, bersama-sama kita akan berdoa sesuai agama dan keyakinan kita guna mengiringi arwah para penjahat tersebut dan juga demi perdamaian dunia.

Kita memohon kepada masyarakat Indonesia dan warga dunia untuk secara tulus bersama berdoa atas nama kasih, perdamaian dan harmoni. Sebab, kita mengamini bahwa satu langkah kecil tersebut niscaya menyadarkan para penganut aliran garis keras bahwa Cinta adalah satu-satunya solusi atas pelbagai problematika kemanusiaan di atas muka bumi dewasa ini.

Mbangun Tresno Anak Bangsa

Dimuat di Rubrik Bebas Bicara, Bernas Jogja, 29 Juli 2008

Hampir 63 tahun RI merdeka. Tapi sistem pendidikan nasional belum mampu memerdekakan jiwa anak bangsa. Bahkan selama beberapa dasawarsa terakhir pengajaran lebih bercorak pragmatis guna mencetak "tenaga-tenaga siap pakai". Tunas-tunas muda dibonsai menjadi "aset" dalam rangka mengejar indeks pertumbuhan ekonomi. Ruh pendidikan tersubordinasi oleh tujuan yang bersifat materialistik.

Akibatnya, pelbagai masalah datang silih-berganti. Berupa ancaman disintegrasi yang sejatinya murni ekonomi-politik tapi dibungkus dengan sentimen SARA, ketidakmandirian bangsa dalam bidang ekonomi karena belitan hutang, tata perpolitikan yang belum berorientasi pada rakyat, Senayan menjadi sarang penyamun, penuh luapan katarsis seksual, suap dan korupsi, last but not least sektor pendidikan terus dianaktirikan, anggarannya tak pernah mencapai 20 persen dari APBN.

Penulis merindukan kelahiran manusia Indonesia baru yang sudi bergotong-royong membangkitkan kembali bangsa ini dari segala keterpurukan di muka. Tapi faktanya, kini sekolah dan universitas lebih banyak mencetak individu yang hanya memikirkan diri sendiri. Padahal raison d' etre pendidikan ialah untuk meningkatkan derajat kemanusiaan kita sebagai mahluk sosial bahkan spiritual.

Sejatinya Ki Hadjar Dewantara telah mewarihkan landasan kuat bagi tujuan pendidikan nasional tersebut. Pengajaran tidak cuma untuk mencetak orang pintar, memiliki ketrampilan teknis serta sikap profesional tertentu. Tapi - sebagaimana didambakan para founding fathers - harus bersifat membebaskan atau meminjam istilah Romo Driyakara SJ "memanusiakan manusia!"

Praksis pendidikan macam itulah yang niscaya dapat membuat (jiwa) bangsa ini bangkit. Kita pernah memiliki dinasti yang paling lama berkuasa sepanjang sejarah peradaban manusia. Sriwijaya berjaya selama 800 tahun! Transformasi jagad pendidikan ialah anak tangga pertama menuju terwujudnya cita-cita universal yang digagas oleh tokoh humanis lintas agama Anand Krishna: Satu Bumi, Satu Langit, Satu Umat Manusia (One Earth, One Sky, One Humankind).

Oleh sebab itu, Departemen Pendidikan Nasional bersama dengan dinas-dinas terkait musti menggali dan mengangkat kembali nilai-nilai universal dari khazanah budaya Nusantara sendiri, yang terbukti mampu mempersatukan NKRI dari Sabang sampai Merauke dalam sebuah platform kebangsaan. Nilai-nilai Budi Pekerti musti mewarnai semua mata pelajaran di sekolah-sekolah kita.

Pemerintah juga harus lebih selektif memberikan izin bagi pendirian lembaga pendidikan. Surat izin semestinya diberikan pada sosok yang telah teruji visinya, bukan pada para pebisnis yang hanya ingin meraup fulus. Selain itu musti ada apresiasi lebih bagi para guru. Yakni dengan meningkatkan kesejahteraan mereka. Kenapa? karena guru yang tertekan jiwanya tidak mungkin memfasilitasi kelahiran kembali anak-anak didik yang berjiwa merdeka.

Akhirulkalam media massa, baik cetak maupun elektronik, musti menciptakan atmosfir yang kondusif guna menunjang mekarnya cinta anak bangsa.

Sesi Bedah Otak Politisi

Dimuat di Rubrik Opini, Radar Jogja, 6 Agustus 2008

"Brain is the home of your mind, your memory, your personality.
Brain is where you feel hunger and thirst,
exhaustion and excitement, fear and joy.
Brain is what makes you: YOU!"
(Your Amazing Brain, New York University and Brooklyn College, Daria Luisi PhD and Dr Tony Smith, 1995)

Krisis multifaset yang mendera bangsa ini dapat ditelisik akarnya dari struktur otak manusia. Selain otak kiri yang rasional dan kanan yang intuitif, ada satu bagian otak yang acapkali terlupakan namanya Lymbic Section.

Tatkala pusat insting hewani yang mengkoordinasi kedua batang otak tadi jarang dibersihkan, maka keliaran dalam diri manusia tetap eksis. Sehingga jangan heran bila ada anggota parlemen, yudikatif dan kabinet yang kelakuan di belakang meja menyimpang dari sumpah jabatan. Penuh intrik, suap dan korup, bahkan sampai meminta "bayaran" wanita.

Dokter Bambang Setiawan, seorang ahli bedah syaraf terkemuka mengatakan situasi ekonomi-politik bangsa ini begitu terpuruk karena mayoritas politisi melulu mengutamakan kepentingan kelompok/partainya sendiri. Mereka kurang peka (sensitive) terhadap amanah penderitaan konstituennya di akar rumput (Otak para Pemimpin Kita, PT One Earth Media Jakarta, 2005)

Ironisnya sistem pendidikan nasional kita pun cuma mengurusi otak kiri. Padahal penelitian medis di Barat memverifikasi kesuksesan seseorang 80 persen ditentukan oleh berkembangnya otak kanan yang intuitif, imaginatif dan inovatif. Ironisnya kini banyak sarjana yang minteri alias memakai ilmunya untuk menghisap orang lain dan lingkungan sekitar secara membabi-buta.

Parahnya lagi, bila kecenderungan egoistik tadi berkolaborasi dengan otak kanan. Egosentrisme dibungkus dengan kata-kata manis. Bukankah pola semacam ini yang acapkali diterapkan para politisi kita? Mereka mengumbar janji saat kampanye pemilu, tapi setelah berkuasa dan duduk di kursi empuk justru melik nggendong lali alias lupa pada tanggungjawab melayani rakyat tanpa pandang bulu.

Tapi mari kita berefleksi dan bertanya pada diri sendiri. Bukankah kita pula yang memilih atau bagi yang golput - memilih untuk tidak memilih - para pemimpin bangsa tersebut?

Konsekuensinya, kita pun musti bertanggungjawab dan bergotong-royong membongkar kebobrokan struktur mental tersebut. Mulai dari diri sendiri di lingkar pengaruh masing-masing sesuai kapasitas individu sejauh itu mungkin bagi makhluk yang berintelegensia.

Konkretnya ialah dengan telaten alias rajin membersihkan lymbic section dari sampah pikiran, karat emosi, trauma masa lalu, dan nafsu hendak menguasai yang terpendam dalam gudang subconcious mind alias bawah sadar kita.

Caranya meniti ke dalam diri dan mengenali jati diri kemanusiaan kita. Tujuannya, agar kita berhenti menjadi budak panca indra dan bisa menjadi tuan atas diri sendiri. Niscaya keberadaan kita menjadi berkah bagi sesama anak bangsa, warga dunia dan segenap titah ciptaan.

Akhirulkalam, mendiang Romo Mangun berpesan, "Semakin kita memberi, semakin kita kaya. Bila kita memberikan hati, pengorbanan dan segala yang indah pada orang lain, terutama kepada mereka yang miskin dan tertindas maka kita tidak akan pernah kekurangan lagi, tetapi sebaliknya kita akan senantiasa hidup dalam kelimpahan!"

Adakah mentalitas abundance macam itu sempat melintas dalam otak politisi negri ini?

Media Online, Wahana Memajukan Bangsa

Dimuat di Rubrik Opini Pembaca, Media Indonesia 18 Juli 2008

Ibarat cendawan di musim hujan kini marak bermunculan media online. Sebut saja www.detik.com, www.kabarindonesia.com, www.koraninternet.com, dll. Media lokal dan nasionalpun memiliki versi online, misalnya www.kr.co.id dan www.mediaindonesia.com. Perkembangan teknologi ICT (Information, Communication dan Telecomunication) menjadikan jagad jurnalistik lebih bercorak cyber.

Sebagai contoh Harian Online KabarIndonesia (HOKI). Saat ini media online bermoto, "dari kita, oleh kita, untuk kita" tersebut telah memiliki lebih dari 4.000 Citizen Reporters. Walau baru berusia satu setengah tahun, tapi jumlah kontributor dan pengunjungnya terus bertambah setiap hari.

Menurut Anand Krishna alam semesta ini terdiri atas 5 unsur/anasir. Yakni elemen air, api, angin, tanah dan ruang angkasa (ether). Sehingga penulis melihat media online ialah sebentuk upaya bersama manusia guna memanfaatkan zat - yang notabene tak tampak tapi eksis tersebut - sebagai wahana penyebaran informasi dan kesadaran ke seantero jagad demi kemajuan peradaban secara keseluruhan.

Memang sejatinya sejak beberapa tahun silam media online sudah tersebar dan melingkupi bumi yang satu adanya ini. Bahkan di dunia Barat telah dipakai untuk keperluan pendidikan dan pengajaran siswa di sekolah maupun universitas.

Lantas apa manfaat media online? Banyak sekali! Salah satunya ialah guru atau dosen bisa menyebarkan pengetahuan dan pengalamannya secara leluasa alias lintas batas, ruang dan waktu. Tadinya hanya mampu dikonsumsi 40-50-an murid atau mahasiswa di sebuah ruang kelas, tapi kini sembari duduk di selasar kampus, materi pengajaran tadi bisa disebar ke seluruh dunia dengan metode teleconference.

Di negara seperti Inggris dan Amerika, media online mampu merambah ke pelosok (sub urban area) dan daerah terpencil lainnya. Sehingga penduduk di sana tak terisolir dan tetap bisa memamah beragam informasi mutakhir yang berguna bagi aktivitas keseharian penghidupan mereka. Misalnya perihal teknik pertanian organik, itu bisa diakses secara mudah lewat www.google.com ataupun kamus online wikipedia.

Selain itu dengan hadirnya media online tersebut anak-anak dapat mengakses gambar, musik dan film yang berguna bagi pemekaran jiwa. Tapi tentu perlu pendampingan khusus.

Bagi masyarakat Indonesia media online niscaya bermanfaat pula. Kenapa? Karena hanya dengan bermodal perangkat komputer sederhana dan koneksi internet yang ke depan niscaya lebih murah, orang bisa mengakses informasi lowongan kerja, berita bisnis sains, filsafat dan perkembangan situasi terkini di pelbagai belahan dunia. Semuanya itu merupakan makanan bagi jiwa dan pikiran kita. Misal seputar aktivitas men-copas (copy-paste) gambar-gambar, mengunduh lagu-lagu dari multiply, berkomunikasi via friendster dengan sahabat dari Tionghoa, Jepang, Arab, Eropa, Afrika dst niscaya bisa memperdalam pemahaman lintas budaya (cross cultural undersatanding) sekaligus membuka cakrawala pandang anak bangsa sehingga tak terjebak dalam fanatisme berbau primordial dan sektarian.

Tapi selain memfasilitasi kita untuk menyebarkan informasi dan kesadaran, media online juga mengandung bahaya laten bila disalahgunakan oleh pihak yang tak bertanggungjawab. Misal dengan menyebarkan black campaign bernuansa SARA di milist-milist, film-film katarsis seksual via situs youtube, ancaman ataupun intimidasi lewat e-mail yang mendeskreditkan kelompok minoritas tertentu, dlsb.

Oleh sebab itu praktisi media online musti senantiasa mensortir dan memantau sajian berita sehingga perkakas tersebut tidak kontraproduktif dan justru merugikan kepentingan umum.

Secara khusus guru juga perlu terlibat aktif dalam dunia jurnalistik cyber tersebut. Misal dengan turut mengirimkan berita-berita yang menyejukkan, menyebarkan metode-metode pembelajaran yang membebaskan dan menceriakan. Sehingga para pendidik tak melulu berdiam dalam menara gading, tapi terjun pula menyebarkan ilmu sesuai kompentensi masing-masing di medan laga kehidupan. Inilah cara kita mendidik masyarakat dalam rangka menunaikan amanah Konstitusi, "...mencerdaskan kehidupan bangsa!"

Akhirulkalam, semoga para akademisi, aktivis LSM, ormas, pemuka masyarakat, tokoh agama, lembaga pers dan last but not least pemerintah lebih memperhatikan perkembangan media online di Indonesia dan memaknainya sebagai wahana untuk memajukan bangsa demi terwujudnya kembali kejayaan Nusantara lama. Amin!

Dekrit Kebangsaan 5 Juli 2008

Salam Indonesia,

Kami AJI DAMAI (Aliansi Jogja untuk Indonesia Damai) yang terdiri atas lebih dari 60 elemen masyarakat, kelompok akademisi, gerakan mahasiswa, ormas sosial, kepemudaan, dan keagamaan serta LSM se-Jogjakarta akan mengadakan aksi damai dalam rangka memperingati Dekrit Presiden 5 Juli 1959 guna membangkitkan kembali semangat kebangsaan, kedamaian dan cinta kepada Ibu Pertiwi.

Adapun aksi tersebut akan diadakan pada :

Hari / tanggal : Sabtu / 5 Juli 2008

Tempat : Pelataran Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara

Jam : 9.00 - 10.00 WIB

Acara : Menyanyikan lagu-lagu kebangsaan, mengheningkan cipta dan tabur bunga bagi arwah para pahlawan serta membacakan

DEKRIT KEBANGSAAN 5 JULI 2008

1. Tegakkan Pancasila dan UUD 1945!

2. Wujudkan prinsip-prinsip kebhinekaan dalam kehidupan bermasyarakat!

3. Galakkan upaya-upaya yang lebih preventif dan tidak represif terutama bagi aparat dan penegak hukum!

4. Usut tuntas tindakan kekerasan yang mengatasnamakan agama atau apapun!

5. Jamin kesetaraan dan pemenuhan hak-hak warga negara!

6. Wujudkan Kedaulatan dan Kemandirian Bangsa!

7. Turunkan harga kebutuhan dasar masyarakat!

Demikian surat edaran ini kami buat. Atas perhatian dan kesediaan rekan-rekan menyebarluaskan butir-butir dekrit kebangsaan tersebut kepada masyarakat luas kami mengucapkan banyak terimakasih. Indonesia Jaya!

Deklarasi Gerakan Umat Islam Anti Kekerasan

23-Jun-2008, 10:19:32 WIB - [www.kabarindonesia.com]

KabarIndonesia - Belakangan ini marak terjadi aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama tertentu. Puncaknya berupa penyerangan massa FPI terhadap peserta pawai damai AKKBB yang tengah memperingati hari lahir Pancasila ke-63 di Monas pada 1 Juni 2008 silam.

Puluhan orang terluka, baik secara fisik maupun mental, termasuk anak-anak dan kaum perempuan. Harkat dan martabat bangsa di dunia internasional semakin terpuruk karena nilai-nilai kebebasan, HAM dan demokrasi diinjak-injak oleh segerombolan "kriminal" berjubah.

Sedikit intermezo, penulis tidak menyebut kata "preman" berjubah karena sikap arogan, fanatis dan fasis FPI tak layak menyandang gelar preman sekalipun. Di pasar Tanah Abang, para premanpun tak akan main keroyokan, melukai wanita, apalagi membenturkan kepala anak-anak ke tembok. Kalaupun para preman itu bertarung di jalanan pasti "single' alias satu lawan satu. Mereka tak pernah pula membawa-bawa identitas keagamaan tertentu, menyuarakan nama Alllah yang Maha Rahman dan Rahim lantas membuat kepala orang (perempuan) gegar orak. Sungguh menjijikkan dan menodai jiwa ksatria sejati.

Ironisnya pemerintah tak kunjung bertindak tegas, dalam pengertian membekukan kelompok radikal yang besembunyi di balik kedok agama tersebut. Karena tersandera oleh kepentingan politis pragmatis berjangka pendek. Mereka lupa bahwa menjadi pemimpin berarti, meminjam istilah Bung Karno, satu untuk semua, semua untuk satu, dan last but not least semua buat semua!

UUD 1945 menjamin setiap warga negara bisa leluasa memilih keyakinan dan menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaannya tersebut. Pemerintah tak perlu campur tangan terlalu jauh mengurusi masalah privat seorang anak bangsa. Apalagi melakukan tindak kekerasan struktural untuk memberangus kebebasan dan hak asasi manusia tersebut. Tugas pokok negara ialah menyediakan pendidikan gratis, kesehatan murah, harga sembako terjangkau dan melunasi hutang LN.

Negara ini berlandaskan Pancasila, sehingga tak boleh tersubordinasi oleh akidah agama, atau tepatnya sekte tertentu (baca: wahabi, Sumber: www.pahamwahabi.bogspot.com)
konflik kekerasan di berbagai daerah yang bernuansa SARA sengaja diciptakan untuk memecah-belah sesama putra-putri Ibu Pertiwi. Itu politik lama "devide et impera".

Oleh sebab itu kini saatnya segenap elemen masyarakat madani, khususnya umat Muslim moderat menyuarakan pesan-pesan perdamaian dan apresiasi terhadap pelangi kebhinekaan di bumi Nusantara tercinta sebagai rahmatan'lil alamin. Teman-teman yang beragama Islam musti menunjukkan sikap yang tegas terhadap para radikal yang menodai ajaran agama atas nama agama itu sendiri.

Alhamdulilah upaya gotong-royong itu sudah dimulai. Yakni dengan mendeklarasikan GERAKAN UMAT ISLAM ANTI KEKERASAN pada 21 Juni 2008 lalu di Jakarta. Anggota gerakan non violence ini terdiri atas pelbagai elemen anak bangsa yang beragama Muslim. Mereka secara tegas menolak kekerasan yang dilakukan FPI serta disponsori oleh Ormas, anggota parlemen, politisi, bahkan partai politik tertentu.

Gerakan Umat Islam Anti Kekerasan ini merupakan gerakan moral yang berasal dari akar rumput sebagai cetusan nurani anak bangsa yang bhineka namun tetap menjunjung tinggi keikaan Indonesia. Sekaligus bersifat dinamis dan progresif tanpa menafikan kearifan budaya lokal Nusantara. Selamat berjuang kawan, Salam Indonesia!

Akhiri Polemik Ahmadiyah

Dimuat di Kontan, 9 Juni 2008

Lima bulan silam, MUI mengeluarkan fatwa Ahmadiyah sesat. Lantas, medio April 2008 Bakor Pakem merekomendasikan pembubaran kelompok itu. Menurut saya, hal ini menyalahi konstitusi. Hanya karena desakan segelintir kelompok yang melupakan keniscayaan Indonesia nan majemuk. Bila hal semacam ini terus dibiarkan konflik horizontal bernuansa SARA bisa kian merajarela.

UUD 1945 pasal 29 menjamin hak hidup setiap agama dan kepercayaan di Indonesia. Selain itu, UU HAM No. 39/1999 pasal 22 (ayat 2) menyatakan setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan negara wajib menjamin kemerdekaan setiap warganya untuk beragama dan berkeyakinan. Oleh sebab itu penuntasan polemik Ahmadiyah mesti berdasarkan konstitusi dan nilai-nilai HAM.

Ahmadiyah pernah turut berjuang bersama merebut kemerdekaan. Pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya W.R Supratman ialah warga Ahmadiyah. Saat ini tercatat lebih dari 2juta orang pengikutnya. Selain itu orang Ahmadiyah ialah putra-putri Ibu Pertiwi juga. Segenap elemen masyarakat madani mesti mendesak pemerintah agar taat pada konsensus nasional dan internasional sebagai cetusan semangat reformasi dan kemanusiaan universal.

Kekerasan dan pemaksaan kehendak dengan dalih apapun ialah penistaan terhadap nilai-nilai luhur yang terkandung dalam setiap agama dan aliran kepercayaan. Aparat keamanan seyogyanya juga bertindak tegas kepada pelaku kekerasan yang berlindung di balik dalil dan jubah agama.

Ambil contoh penyelesaian kasus Monas pada 1 Juni 2008. Aparat polri serta seluruh jajaran yang terkait mesti mengungkap aktor intelektual di baliknya. Kenapa? Agar Indonesia menjadi damai, rukun, dan utuh kembali.

Akhirulkalam, Republik Indonesia ini berlandaskan Pancasila, UUD, 1945, serta menjunjung tinggi nilai-nilai agung HAM. Kita terdiri atas pelbagai kelompok masyarakat yang bhinneka dari Sabang samapi Merauke. Negara ini tidak berdiri atau didasarkan pada akidah agama tertentu.

Mengecam Aksi Barbarian

Dimuat di KONTAN, 3 Juni 2008

Hukum positif di Indonesia telah dilecehkan oleh segelintir preman berjubah. Hal ini terbukti dari aksi barbarian FPI pada 1 Juni 2008 di Monas. Ironisnya aparat keamanan tidak bertindak tegas. Tak ada satupun pelaku tindak kekerasan tersebut yang ditangkap. Bandingkan dengan sikap represif mereka terhadap mahasiswa UNAS.

Puluhan anggota Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB), yang terdiri dari ICRP, NIM (National Integration Movement), Wahid Institue dan sekitar 50 organisasi lain berkumpul di Monas. Mereka hendak mengadakan aksi damai memperingati hari lahirnya Pancasila yang ke 63. Yakni dengan berdoa bagi persatuan dan kerukunan bangsa di Bunderan HI, yang rencananya diadakan pada pukul 14.00 WIB. Tapi mereka langsung diserang oleh massa FPI yang jumlahnya ratusan orang, menggunakan batu, bambu dan pentungan.

Menurut laporan saksi mata yang tak mau disebut namanya, batu yang digunakan bukan batu-batu kecil yang terdapat di sekitar Monas, tetapi batu-batu besar yang jelas-jelas telah dipersiapkan sebelumnya, demikian pula dengan senjata-senjatanya. Aksi kekerasan ini benar-benar dilakukan secara membabi buta, mereka tidak segan-segan menyerang perempuan, orang tua, bahkan ada beberapa anak kecil yang dipukuli dan sengaja dibenturkan ke tembok. Sedangkan dari pihak AKKBB tidak memberikan perlawanan sama sekali, namun massa dari FPI tetap menyerang. Akhirnya ada beberapa polisi yang datang membantu, tetapi korban terlanjur berjatuhan.

Beberapa teman dari AKKBB mengalami luka sobek di kepala dan memar-memar yang cukup parah. Aksi kekerasan ini memverifikasi bahwasanya FPI jelas telah menodai Islam, mereka sama sekali tidak berhak mengaku mewakili agama yang cinta damai ini. Selain itu mereka juga menyerang pedagang asongan dan masyarakat umum yang kebetulan berada di tempat kejadian.

Mari berdoa untuk teman-teman yang saat ini berada di rumah sakit. Mohon dukungan dan aksi solidaritas dari teman-teman semua yang masih menjunjung tinggi Mukadimah UUD 1945, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai landasan hidup berbangsa dan bernegara di Indonesia tercinta ini.

Memaknai Kembali Pancasila

Dimuat di Rubrik Surat Pembaca KONTAN, 26 Mei 2008

Menurut Bung Karno, Pancasila ialah meja statis sekaligus Leidsetar dinamis. Beliau meng-gogo saf-saf peradaban leluhur sejak zaman pra-Hindu hingga datangnya Imperialisme Barat. Buah kontemplasi tersebut ditetepkan sebagai Pancasila dan menjadi dasar negara.

Ironisnya, kini ada segelintir orang yang mau mengganti Pancasila dengan ideologi "impor". Padahal menurut Ki Hadjar Dewantara, Pancasila merupakan saripati budaya bangsa yang terbukti mampu mempersatukan segenap elemen masyarakat. Memang, dalam perjalanannya sempat ada penyelewengan. Misal pada zaman orde lama, Pancasila dijadikan 7 bahan indoktrinasi dan di masa orde baru terjadi penyeragaman pola pikir lewat penataran P4.

Kini perlu upaya konkret untuk membumikan nilai-nilai Pancasila, utamanya bagi kaum muda. Energi "darah muda" niscaya bisa ditranformasikan menjadi daya kreatif. Dan anak bangsa bisa memaknai lagi nilai-nilai Pancasila secara gaul dan fungky. Pancasila ialah jati diri bangsa ini.