November 29, 2013

Semarak Salawat Padang Bulan Bersama Cak Nun

Dimuat di TARGETABLOID.COM, Jumat/29 November 2013

Yogya,Targetabloid-Kamis malam, (21/11) ada yang tak biasa di tepi pantai Parangtritis, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Panggung luas lengkap dengan tenda dan terpal alas tempat duduk disiapkan sejak petang. Ternyata Emha Ainun Nadjib dan Kiai Kanjeng berkolaborasi dalam acara Salawat Padang Bulan bersama Kiai Muzammil.

Pada kesempatan itu hadir pula Habib Husein Assegaf. “Beliau ini habib tertua di Yogyakarta,” ujar Kiai Muzammil. “Tapi walau telah berusia 86 tahun, Habib Husein masih kuat lari berkeliling lapangan Kridosono sebanyak 5 kali putaran. Di Pondok Pesantren Sedayu, beliau memang mendampingi para santri belajar olah raga dan olah jiwa,” imbuhnya lagi.

Tepat pukul 21.00 WIB acara dimulai. Kiai Muzammil memaparkan harapannya atas acara kolaborasi Salawat Padang Bulan ini. Yakni agar manusia, makhluk yang bukan manusia, pasir, ombak, alam, laut pantai selatan bisa bersalawat bersama kepada Kanjeng Nabi Muhammad SAW sebagai bukti kebesaran Allah SWT.

“Selama ini pantai Parangtritis merupakan primadona tujuan wisata. Pendapatan terbesar Kabupaten Bantul berasal dari di sini. Tapi manusia selalu meminta dari alam dan mengambil manfaatnya saja. Oleh sebab itu, saatnya kita membalas kebaikan alam dengan bersalawat bersama,” ujar Kiai Muzammil dengan dialek Madura yang khas.

Ia memang mengundang Emha Ainun Nadjib dan Kiai Kanjeng secara khusus. Sehingga acara ini sampai harus dimundurkan 3 hari ke malam Jumat Kliwon ini agar jadwalnya pas.  

Menurutnya, Cak Nun merupakan titik temu antara kaum abangan dan kaum mutihan. “Ilmunya Cak Nun adalah ilmu hakikat, bahasanya ialah bahasa budaya dan sosial, bukan syariah. Walau kita memahami Islam dari berbagai sisi, toh kita semua sama-sama hamba Allah SWT,” ujar Kiai Muzammil sambil mempersilakan Cak Nun untuk berbagi cerita.

Setelah Kyai Kanjeng bersalawat bersama seluruh hadirin, Cak Nun turut menyampaikan siraman rohani. Ia berpendapat bahwa pulau Jawa ini merupakan perahu dunia. “Itulah sebabnya kenapa raja-raja Mataram bergelar Hamengku Buwono, Amangkurat, Paku Buwono, dll,” ujarnya.

“Di dekat pantai Parangtristis ini dulu juga ada keturunan Raja Brawijaya V dari Majapahit, namanya Syekh Belabelu. Sekarang makamnya ada di atas perbukitan sana. Beliau itu yang menyebarkan Islam di pantai utara Jawa,” imbuhnya lagi.

Cak Nun juga memaparkan kenapa Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat berdekatan dengan Masjid Agung Kauman dan Pasar Beringharjo. Yakni agar manusia memerhatikan hal-hal yang rohani dan duniawi. “Nak bojomu ra iso tuku beras ojo wiridan wae, iso-iso dipathok mertuo, kowe yo kudu bakulan neng pasar (kalau istrimu tak bisa membeli beras jangan hanya berdoa, bisa-bisa dimarahi mertua, jadi kamu ya harus bekerja - terjemahan bebas reporter),” ujar Cak Nun dengan bahasa Jawa ngoko yang merakyat.

Para peserta Salawat Padang Bulan yang sebagian besar ibu-ibu juga dihibur dengan suara emas Novia Kolopaking. Istri Cak Nun tersebut membawakan beberapa buah tembang. Berikut ini  petikan liriknya, “Duka derita duka laraku di dunia / Tak aku sesali dan aku tangisi / Sesedih apapun yang kurasakan dalam hidupku / Semoga kau tak kehilangan jernih jiwaku…

Andaikan dunia mengusir aku dari dunia / Tak akan aku merintih dan menangis / Ketidakadilan yang ditimpakan oleh manusia / Bukan alasan untuk membalasnya…

Asalkan karena itu Tuhan menjadi sayang padaku / Segala kehendak-Nya menjadi surga bagi cintaku / Bukanlah apa kata manusia yang kuikuti / Tetapi pandangan Allah Tuhanku yang kutakuti / Ada tiadaku semata-mata milik Allah jua…”

Pada akhir acara Habib Husein Assegaf memimpin doa bersama. Para hadirin yang semula duduk lesehan di tepi pantai serempak berdiri. Di depan panggung juga tersedia aneka tumpeng sebagai ucapan syukur kepada Allah SWT. Selepas tengah malam, pasca acara tumpeng-tumpeng tersebut dibagikan kepada seluruh peserta yang hadir untuk dibawa pulang ke rumah masing-masing.( Red )

Editor dan Foto : Nugroho A-Yogyakarta

November 27, 2013

Menjadikan Hidup Lebih Berdampak

Dimuat di Bernas Jogja, Kamis/28 November 2013

Judul: Top Words 2, Kisah Inspiratif dan Sukses Orang-orang Top Indonesia
Penulis: Billy Boen
Penerbit: B-first (PT. Bentang Pustaka)
Cetakan: 1/Juni 2013
Tebal: xii + 200 hlmn
ISBN: 978-602-8864-80-0
Harga: Rp 50.000

Hidup ibarat setangkai mawar, ada keharuman dan duri-duri tajam yang siap menusuk jemari. Terimalah dualitas kehidupan tersebut sebagai keniscayaan. Begitulah petuah bijak dari Anand Krishna.  Tak sekadar beretorika putri promotor musik Adrie Subono sungguh mengalaminya.

Pasca menerbitkan buku Cerita Segelas Kopi Melanie Subono tak hanya menerima pujian tapi juga kritik pedas. Tatkala peluncuran buku tersebut ada orang yang mengatakan di depan publik bahwa bukunya biasa-biasa saja, sama sekali tidak ada yang istimewa. Bagaimana tanggapan penyanyi yang sempat berkolaborasi dengan Slank dalam lagu (Mumpung) Lagi Gampang tersebut?

Melanie hanya tersenyum simpul. Karena kalau tampak biasa-biasa saja memang itulah tujuan penulisan bukunya, yakni untuk mengungkap kesederhanaan. Ia sekadar menyajikan hal-hal sepele yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

Misalnya tatkala Melanie terjebak kemacetan di Jakarta. Ia melihat ke sebelah kiri dan melihat sebuah mobil mewah. Di dalamnya terdapat alat hiburan lengkap. Sembari menunggu kemacetan pemiliknya bisa menonton televisi dan/atau mendengarkan lagu-lagu favorit. Melanie sempat merasa iri, jengkel, dan ingin mengeluh kepada Tuhan.

Syahdan saat ia melihat ke arah kanan, Melanie melihat ada satu gerobak sampah yang diisi oleh seorang ibu dan anak-anaknya. Sementara sang ayah mendorong gerobak itu dari belakang. Anehnya meskipun basah kuyup dan terguyur hujan lebat, mereka tampak bahagia di dalam gerobak. Alhasil, Melanie batal mengeluh karena merasa keadaannya jauh lebih baik daripada keluarga tersebut (halaman 100).

Melanie juga mengaku pernah dipermalukan oleh seorang pembicara publik. Laki-laki tersebut menyindir Melanie begini, “Perempuan layak disebut perempuan jika bisa masak, melayani suami, dan “bikin anak” Lalu, pembicara publik itu menambahi, “Lihat Melanie, jam segini masih diluar meninggalkan suami, tidak bisa masak, dan juga tidak punya anak. Anda seharusnya tak bisa disebut sebagai perempuan!”

Hebatnya, Melanie tetap tenang menanggapi “serangan” tersebut, “Walau saya tidak dilahirkan menjadi perempuan “seutuhnya” yang bisa masak dan “bikin anak”, saya lebih perempuan dibandingkan perempuan-perempuan yang membuang anaknya yang baru lahir atau bahkan mengaborsi sejak dalam kandungan. Perempuan-perempuan itu tidak mensyukri nikmat, anugerah yang mereka punya, sedangkan di luar sana banyak perempuan lain yang sulit memiliki anak, termasuk saya…” (halaman 103).

Kini selain terus menyanyi dan aktif menulis buku, Melanie juga menjadi penyiar di V Radio. Programnya bertajuk Life is Beautiful. Konsep acara tersebut ialah wahana saling berbagi antarsesama pendengar. Siapapun boleh curhat dan membantu mencari solusi bagi. Ia hendak menyebarkan “virus” bahwa semua perempuan Indonesia itu cantik dan cerdas, tak peduli warna kulitnya putih, kuning, kecoklatan, atau gelap.

Begitulah pengalaman nyata Melanie Subono dalam buku Top Words 2 ini. Masih banyak cerita dari 29 tokoh inspiratif lainnya. Mereka ialah anak-anak negeri yang berprestasi dan mengharumkan nama Ibu Pertiwi. Misalnya Riri Reza (Sutradara Film), Prabu Revolusi (Former Anchor Program “8-11”), Albert Luhur (General Manager Marketing PT Summarecon), dll. Tak heran jika banyak yang menyebut mereka sebagai ikon kreativitas, integritas, dan kegigihan.

Lewat buku setebal 200 halaman ini Billy Boen berhasil menceritakan kisah inspiratif dengan bahasa gaul ala anak muda. Layak dibaca oleh generasi penerus bangsa yang hendak menjadikan hidup lebih impactful. Dalam arti bisa berdampak positif bagi diri sendiri, keluarga, dan lingkungan sekitar.

Selanjutnya, kisah Andy F. Noya, lelaki kelahiran Surabaya, Jawa Timur pada 6 November 1960 silam. Ia tak pernah mengira bisa menjadi host kondang di negeri ini. Dulu ia sempat mengenyam pendidikan STM di Jayapura, Papua. Saat itu, ia berpikir bahwa pekerjaannya paling mentok menjadi kepala sekolah.

Menurutnya, beruntunglah anak-anak muda yang telah menemukan passion sejak masih belia. Sebab banyak mahasiswa yang sampai akhir kuliah menggarap skripsi masih bingung apa yang harus diraih. Tentu saja setiap orang tua ingin anaknya bahagia. Kalau anaknya sendiri tak yakin dengan pilihan jalan hidupnya maka orang tua justru mendikte hidup kita. Pada akhirnya hanya berujung pada penyesalan diri.

Sebaliknya, kalau sejak awal kita tahu apa yang kita sukai. Lalu, kita kerjakan dengan tekun dan sungguh-sungguh. Alhasil, setiap aktivitas pekerjaan dalam keseharian terasa seperti sebuah rekreasi saja. Itulah yang Andy F. Noya rasakan. Sejak kelas 4 SD, salah satu gurunya telah melihat kemampuan menulis dan melukisnya yang di atas rata-rata. Baginya, menulis selama 10 jam hanya terasa 2 jam (halaman 25).

Kendati demikian, secara rendah hati Andy F. Noya menyadari bahwa kesuksesannya sekarang tak lepas dukungan banyak pihak. Antara lain Rahman Toleng, Amir Daud, Fikri Jufri, dan Surya Paloh. Lewat buku ini, Andy berpesan kepada generasi muda Indonesia, “Banyak anak muda yang terjebak bahwa berkarier itu hanya bekerja sebagai karyawan di perusahaan yang mapan. Saya mengenal berbagai anak muda yang berpikir berbeda. Sejak kuliah sudah merintis usaha, bahkan ijasahnya pun tidak digunakan karena tidak berkaitan dengan usahnaya. Saya lebih suka anak-anak muda yang out of the box. Ciptakan usahamu sendiri, masa depanmu sendiri, pelajari kesuksesan dari orang-orang sukses, dan kesuksesanmu tinggal menunggu waktu saja.”(halaman 27). (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru Privat Bahasa Inggris di Yogyakarta)

13856031141841638302

November 26, 2013

Djaduk Ferianto Nobatkan Idang Rasjidi sebagai Jazzer Proletar

Dimuat di TARGETABLOID, Selasa/26 November 2013

Sabtu (16/11/2013) ada yang tak biasa di Desa Sidoakur, Kelurahan Sidokarto, Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Lima panggung musik berdiri di beberapa lokasi. Pemilihan nama panggung selaras dengan tagline Ngayogjazz 2013 “Rukun Agawe Ngejazz”.

Antara lain panggung tradisional, panggung wawuh (berdamai), panggung guyub (rukun), panggung sayuk rukun (nuansa penuh keakraban), dan panggung srawung (bergaul).  Peralatan sound system berpadu dengan setting bernuansa agraris. Misal di panggung sayuk rukun, latar belakangnya berupa rumah limasan. Penonton pun bisa berteduh di bawah pohon rambutan yang tumbuh di pekarangan luas.

Walau digelar di pelosok desa dan hujan mengguyur sejak jam 9 pagi, ratusan musisi dan penyanyi jazz dari dalam dan luar negeri tetap bersemangat menunjukkan kebolehannya hingga tengah malam. Menurut penanggungjawab Ngayogjazz,  Djaduk Ferianto, tahun ini ada total 260 orang dari 37 grup band.

Beberapa di antaranya ialah Monita Tahalea, Idang Rasjidi, Dony Koeswinarno Quintet, Jazz Ngisor Ringin Semarang, Komunitas Jazz Jogja, Gubug Jazz Pekanbaru, Baraka (Jepang), D’aqua (Jepang), Erik Truffaz (Prancis), Brink Man Ship (Swiss), dan Jerry Pellegrino (Amerika Serikat). “Jumlah tersebut jauh lebih banyak dibanding peserta Ngayogjazz 2012 di Desa Brayut yang didukung 180-an artis dari 27 grup band,“ ujarnya.

Warga setempat memanfaatkan hajatan budaya langka ini dengan beragam cara. Ada ibu-ibu yang membuka warung lesehan di beranda rumahnya. Aneka menu makanan dan minuman lengkap tersaji. Sehingga di sela-sela aktivitas menonton jazz, bila haus dan lapar para pengunjung tinggal menikmati bakso, mie ayam, sate, lotek, gado-gado, rawon, gudeg, gorengan, dan kuliner ala pedesaan lainnya.

Selama ini, musik jazz identik dengan masyarakat perkotaan dan kelas menengah ke atas. Bila hendak menontonnya harus berpakaian modis, berparfum wangi, bersepatu kinclong, beli tiket mahal, dan duduk manis di gedung ber-AC. Tapi saat menonton Ngayogjazz 2013, pengunjung boleh berkoas oblong, bersimbah peluh, bersandal jepit, gratis tanpa tiket masuk, dan bebas berkeliling dari satu panggung ke panggung lainnya. Jarak antar panggung rata-rata setengah kilometer. Sepanjang jalan pengunjung kadang terpaksa melintasi gang-gang yang becek.

Selepas maghrib, cuaca mulai bersahabat. Hujan tak lagi mengguyur. Rembulan mulai menampakkan wajahnya di langit malam. Panggung sayuk rukun menampilkan grup-grup jazz papan atas Indonesia, antara lain Chasiero dan Idang Rasjidi Syndicate. Sedangkan satu band lagi berasal dari Jepang, yakni Baraka. Alunan musik jazz membuncah, para menonton bergoyang mengikuti irama dan larut dalam jam session.

Pada beberapa lagu jazz yang populer, hadirin serempak bernyanyi bersama. Misal saat Jendry, vokalis muda dari grup band Idang Rasjidi Syndicate menyanyikan lagu karya Balawan bertajuk “Arti Kehidupan”. Sontak terdengar suara koor dari seluruh hadirin pada bagian refrain, “Engkau bukan yang pertama tapi pasti yang terakhir/ Di cintamu kutemui arti hidupku…”

Menurut Idang Rasjidi, Jendry itu anak dari keluarga sederhana di Bangka Belitung. Ayah Jendry seorang penyadap karet. “Ketika saya ajak dia ke Jakarta, saya tanya apakah ia mau menjadi vokalis?” Saat itu Jendry menjawab, “Iya Bang, saya mau menjadi vokalis yang baik untuk membahagiakan ayah dan ibu di desa.”

Kebersahajaan Jendry tetap tampak walau kini ia telah menjadi vokalis kondang. Ia pernah berduet dengan Tompi di panggung besar.  Uniknya, sebelum mempersembahkan lagu malam itu, Jendry tetap mencium tangan untuk menghormati Idang Rasjidi yang mengorbitkannya. Sebelum dan sesudah menyanyi ia pun mengucap salam takzim kepada seluruh hadirin. Suara emas Jendry begitu membius telinga para pendengar.

Di sela-sela acara, Idang Rasjidi yang memainkan keyboard berinteraksi aktif dengan para hadirin. Menurutnya, jazz merupakan “barometer of freedom”. “Musik jazz ialah sarana untuk mendisiplinkan diri sendiri agar seseorang tak harus didisiplinkan oleh orang lain. Dalam konteks kebangsaan, agar bangsa Indonesia tak harus diatur-atur oleh negara lain,” ujarnya dan disambut gemuruh tepuk tangan penonton.

Idang Rasjidi juga mengatakan bahwa ibarat pohon, rakyat adalah akar. Sedangkan pemerintah merupakan daunnya. Kalau mau berbunga dan berbuah lebat, akarnya harus diperhatikan. “Oleh sebab itu, ia mendukung penuh Ngayogjazz 2013 yang digelar di Desa Sidoakur ini,” imbuhnya lagi. 

Pada akhir penampilan grup band Idang Rasjidi Syndicate, Djaduk Ferianto turut naik ke atas panggung.  Ia lalu menobatkan Idang Rasjidi sebagai Jazzer Proletar. “Bung Idang Rasjidi ini selalu siap mendukung pentas musik jazz, mulai dari tingkat kabupaten di pelosok hingga tingkat internasional. Beliau juga selalu bersedia berbagi ilmu dan pengalaman dengan musisi jazz muda. Inilah spirit Indonesia!” pungkas Djaduk. (Reporter dan Fotografer: Nugroho Angkasa)

November 23, 2013

Memanfaatkan Barang Bekas sebagai Media Belajar

Dimuat di Suara Merdeka, Sabtu/23 November 2013

Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional pernah mengajarkan ihwal konsep 3 N. Yakni Niteni, Niroke, lan Nambahi atau dalam bahasa Indonesia berarti  Mengamati, Meniru, dan Menambahkan.

Filosofi tersebut tetap relevan diterapkan dalam konteks zaman modern. Terlebih saat ancaman pemanasan global (global warming) kian terasa.

Contoh konkretnya dengan membuat kerajinan tangan dari bahan bekas. Sebagai bagian dari praktik 3R (Reduce, Reuse, dan Recycle) alias Kurangi, Pakai Lagi, dan Daur Ulang.

Para guru bisa menunjukkan beberapa produk hasil kerajinan yang terbuat dari barang bekas. Salah satunya berupa tempat pensil/pena dari botol air mineral. Dokumentasi teknis cara pembuatannya dapat diamati, ditiru, dan ditambahi sendiri di http://www.youtube.com/watch?v=ckrBVVevvRA.

Bahan baku proses pembelajaran tersebut sangat mudah diperoleh dari lingkungan sekitar. Mulai dari botol bekas air mineral, kertas, lem, double tape, gunting, dan glitter warna-warni untuk aksesoris tambahan.

Langkah pertama, gunting botol air mineral setinggi tempat pensil yang hendak dibuat. Lalu, lapisi botol air mineral yang sudah dipotong tersebut dengan kertas menggunakan perekat double tape.  

Selanjutnya, latih kreativitas siswa dengan menggambar memakai glitter warna-warni. Sebagai sentuhan akhir, tempelkan alas di dasar botol agar tempat pensil/pena bisa berdiri tegak.

Aktivitas

John Medina, seorang pakar biologi molekuler mengisahkan temuan penting dalam buku Brain Rules (12 Principles for Surviving and Thriving at Work, School, and Home, 2008). Setidaknya ada 12 fakta unik ihwal cara kerja otak manusia. Salah satunya aktivitas/gerakan dapat melejitkan kemampuan inteligensia.

Ternyata otak manusia memang dirancang untuk aktif berjalan kaki. Bahkan bisa sampai mencapai 19 kilometer per hari. Tatkala seseorang bergerak, darah akan terpompa ke otak, mengalirkan oksigen dan glukosa. Intinya, aktivitas dinamis dapat memangkas resiko terkena dementia (penurunan kapasitas otak) sampai 60%.

Itulah kenapa para siswa cenderung merasa bosan duduk diam di dalam kelas. Tanpa aktivitas memadai, O2 yang mengalir ke otak akan berkurang. Sehingga otak menganggapnya sebagai sinyal untuk beristirahat. Alhasil, rasa kantuk mengampiri kalau terlalu lama duduk diam.

Kembali ke topik awal tulisan ini, membuat kerajinan tangan dari barang bekas ialah aktivitas  yang menarik bagi siswa. Selain agar tidak cepat merasa bosan, juga bisa melatih kreativitas, dan membantu bumi mendaur ulang sampah plastik. Khusus untuk kelas Bahasa Inggris, kita pun bisa menggunakan instruksi berbahasa Inggris. Selamat mencoba! (T. Nugroho Angkasa S.Pd, guru privat Bahasa Inggris di Yogyakarta)

Putri Salma dan Baju-Baju

Dimuat di Suara Merdeka, Minggu/10 November 2013

Kerajaan Wora-wari memiliki seorang tuan putri. Putri Salma suka sekali bersolek. Baginda raja juga sangat memanjakan anak perempuan satu-satunya tersebut. Segala keinginan tuan putri selalu dituruti. Bahkan untuk mengurus kebutuhan sehari-hari, baginda raja sampai harus mengupah seorang dayang khusus.

Tugas utama Mbok Inah - nama dayang tersebut - menyiapkan gaun dan pernak-pernik pakaian untuk Putri Salma. Ada satu sifat tuan putri yang merepotkan bibi dayang, yakni cepat bosan dan suka bergonta-ganti pakaian. Pakaian yang masih baru dalam hitungan hari sudah di “pensiun” kan ke dalam lemari kayu. Intinya, Putri Salma ingin selalu mengenakan baju model terbaru.

Alhasil, lemari pakaian di pojok kamar Tuan Putri cepat sekali penuh sesak. Sebagai solusi, Mbok Inah diam-diam membawa gaun dan baju-baju bekas tersebut ke desa terdekat. Letaknya di balik bukit, tepat di sisi utara Istana kerajaan Wora-wari.

Di desa tersebut banyak anak perempuan tak memiliki pakaian pantas pakai. Bagaimana bisa membeli pakaian, sedangkan untuk makan sehari-hari saja sulit. Biasanya mereka hanya mengenakan pakaian sederhana yang terbuat dari kain bekas karung gandum. Bahkan bila musim penghujan tiba, mereka jarang berganti pakaian. Kenapa? karena takut pakaian satu-satunya yang menempel di tubuh kalau dicuci tak bisa segera kering.

Setiap kali Putri Salma merasa bosan dengan pakaian lamanya, Mbok Inah selalu memasukkan ke karung khusus. Keesokan harinya, sebelum Tuan Putri bangun, dayang tersebut sudah berangkat ke desa terdekat untuk membagi-bagikan pakaian.

“Ini pakaian dari Tuan Putri, silakan dipilih sesuai ukuran kalian masing-masing, “ ujar Mbok Inah setiap kali membagi-bagikannya.

“Wow bagus-bagus sekali, ada yang hijau, biru, kuning dan semua pakaian ini masih baru-baru! Tolong sampaikan rasa terimakasih kami kepada Putri Salma,” sahut perwakilan dari warga desa.

“Kalau ada yang belum dapat tenang saja, esok saya akan kembali ke sini,” janji Mbok Inah.

Hari-berganti hari, bulan berganti bulan, Mbok Inah selalu mengumpulkan pakaian Tuan Putri yang tak terpakai lagi.

Tapi pada suatu pagi terjadi insiden mengejutkan. Ketika dayang tersebut sedang asyik memasukkan pakaian-pakaian Putri Salma ke dalam karung, ia ketahuan!

“Oh ternyata kamu yang mencuri pakaian-pakaianku, pantas saja lemari bajuku tak pernah penuh dan selalu kosong!” ujar Tuan Putri dengan suara meninggi sembari merebut kembali pakaian-pakaiannya.

“Maaf Tuan Putri, tapi bukankah Tuan Putri sudah tak mau memakai lagi baju-baju tersebut?“ sahut Mbok Inah.

“Aku mau menjadikannya koleksi. Walau tak pernah kupakai, aku hendak memamerkannya kepada teman-temanku,” sanggah Tuan Putri lagi.

Sebagai hukuman atas “pencurian” tersebut, Putri Salma meminta Baginda Raja memberhentikan si dayang tua. Seperti biasa Baginda Raja selalu meluluskan setiap keinginan putri kesayangannya tersebut.

Mbok Inah merasa sedih sekali, ia tak lagi mendapat upah untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Padahal anak-anaknya sangat membutuhkan sumber pemasukan sebab ayah mereka telah lama meninggal dunia. Tapi apa mau di kata, nasi kini sudah menjadi bubur.

**

Suatu sore, Tuan Putri bosan berada terus di dalam Istana. Lantas, ia berjalan-jalan mengelilingi wilayah kekuasaan Baginda Raja, dari ujung selatan menuju ke utara di balik bukit. Ia ditemani dayangnya yang baru dan sepasukan prajurit.

Di desa bagian selatan, warga biasa-biasa saja. Mereka tak begitu menyambut antusias kedatangan Putri Salma. Sebagian besar hanya mengintip dari balik jendela, saat Tuan Putri dan rombongan kerajaan melintasi jalan desa yang berdebu.

Tapi keadaannya berbanding terbalik ketika Tuan Putri sampai di desa di bagian utara kerajaan. Di sana warga masyarakat - dari tua dan muda, laki-laki dan perempuan - semua tumpah-ruah menyambut Putri Salma di pinggir jalan. Bahkan mereka sampai menggelar karpet merah, sebagai alas kaki Tuan Putri agar tidak kotor.

“Ada apa gerangan?” tanya Tuan Putri dalam hati.

“Hidup Tuan Putri, Hidup Putri Salma!!!” terdengar yel-yel membahana dari para penduduk desa tersebut.

Syahdan, Tuan Putri tersadarkan bahwa sebagian besar kaum anak perempuan di desa tersebut mengenakan pakaian-pakaiannya! Mereka tampak cantik dan bahagia sekali.

Setelah dijelaskan oleh perwakilan warga desa, Tuan Putri baru paham bahwa ternyata Mbok Inah tak mencuri pakaiannya. Beliau justru berbaik hati membagi-bagikan baju-baju Putri Salma kepada warga desa yang berkekurangan tersebut.

Memakai baju dari kain gandum memang sering membuat kulit gatal. Apalagi kalau jarang dicuci, toh bukan karena mereka malas tapi karena memang hanya punya satu pakaian yang melekat di tubuh.

Dalam hati Tuan Putri merasa menyesal telah memberhentikan dayangnya. Setiba di Istana kerajaan, ia menyuruh salah satu prajurit mendatangi rumah Mbok Inah. Beliau diminta bekerja kembali sebagai dayang kepercayaan Putri Salma.

Tentu saja Mbok Inah menyanggupi dengan penuh rasa syukur. Melayani keluarga kerajaan sungguh kesempatan langka. Selain itu, ia bisa mencukupi kebutuhan keluarga serta kembali membagi-bagikan pakaian untuk penduduk desa. Tak hanya yang tinggal di wilayah utara tapi juga di sisi selatan Istana Wora-wari. Agar kebahagiaan yang dirasakan rakyat bisa merata.

13852089831416454675

Menguak Keampuhan Terapi Doa

Dimuat di beritamoneter.com, Rabu/20 November 2013

Judul: Terapi Doa
Penulis: Dr. Joseph Murphy
Penerjemah: Slamat P. Sinambela
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I/2012
Tebal: xii + 202 halaman
ISBN: 978-979-22-7990-0

Walau penulisnya seorang tetua Divine Science buku ini tak banyak mengungkap kotbah. Dr. Murphy yang tercatat sebagai pendiri sekolah calon pendeta di St. Louis, Missouri, Amerika Serikat tersebut lebih banyak mengisahkan pengalaman riil.

Misalnya ia pernah memimpin kebaktian pemakaman seorang pria berusia 50 tahun. Almarhum hanya memiliki seorang putri yang masih berusia 13 tahun. Istrinya telah wafat ketika putri mereka baru lahir. Putri yang telah menjadi yatim piatu tersebut mengakui, “Ayah selalu mengatakan bahwa kematian bukan akhir, sebelum meninggal beliau berkata: Doakan saya, saya akan selalu bersamamu dan menjagamu.”

Lalu anak itu menambahkan, “Saya tahu ayah tidak ingin saya bersedih, menangis, atau merindukannya di makam. Ia ingin saya senang, gembira, masuk kampus, kuliah, dan belajar menjadi dokter yang baik. Saya tahu hal-hal tersebut akan membuat beliau bahagia. Saya tidak berutang kesedihan dan air mata kepada ayah, saya berutang kesetiaan, cinta, ketaatan pada kebenaran yang beliau ajarkan serta teladankan.” (halaman 184).

Menurut penulis, walau masih remaja si anak berhasil mengatasi tragedi kematian. Alhasil, kepergian sang ayah tak terlalu melukai batinnya. Ia merasakan penyertaan Ilahi yang senantiasa menghiburnya. Selain itu, ia memiliki prinsip hidup yang membangun yakni kebaikan, cinta, pertumbuhan, keyakinan, keramahan, serta rasa percaya pada hukum-hukum Allah dan kasih-Nya pada seluruh anak-anak Tuhan.

Ada juga kisah seorang ibu yang kehilangan kedua anaknya. Kendati demikian, responnya sangat bijaksana, “Saya tahu Allah itu adil dan baik ada-Nya. Ketika saya merindukan anak-anak saya, pada saat yang sama mereka sedang membangun rumah lain pada dimensi yang berbeda. Karena mereka mendapat tubuh dan pekerjaan baru untuk diselesaikan.

Oleh sebab itu, saya dapat menolong mereka dengan rajin berdoa. Anak-anak saya adalah pinjaman dari Allah, sumber dari segala kehidupan dan segala berkat. Saya tahu saya tak memiliki anak saya untuk selamanya. Suatu hari mereka akan meninggalkan saya, menikah, serta mungkin pergi ke negara lain. Saya mencintai mereka saat mereka berada di sisi saya. Saya memberikan segala yang dapat saya berikan dalam hal cinta, iman, keyakinan, dan kepercayaan kepada Allah.

Kini tugas saya adalah menolong mereka membangun rumah baru. Saya memancarkan kasih, damai, serta sukacita pada mereka lewat bait doa. Sehingga cahaya, kebenaran, dan keindahan Allah mengalir melalui mereka. Kedamaian-Nya pun mengisi jiwa mereka. Saya bersuka cita atas perjalanan mereka selanjutnya, sebab hidup terus bergerak maju. Setiap kali ingat mereka, saya berdoa begini, “Allah beserta mereka dan segala sesuatunya dalam keadaan baik.” (halaman 181).

Sistematika buku ini terdiri atas 13 bab. Benang merahnya ialah seputar terapi doa. Mulai dari “Doa Membentuk Pola Konstruktif”, “Teknik-Teknik Doa”, “Mempraktikkan Terapi Doa”, “Cara Kerja Doa”, “Kuasa Perubahan Doa”, “Cara Memaafkan Melalui Doa”, “Doa Mengalahkan Ketakutan”, “Doa Cara Menyelesaikan Masalah Pernikahan” sampai “Cara Berdoa dan Tetap Muda dalam Roh Selamanya.” Pengalibahasaan buku berjudul asli “Techniques in Prayer Therapy” ini relatif memuaskan. Slamat P. Sinambela memilih diksi yang mudah dipahami pembaca untuk konteks Indonesia.

Tesis utama buku ini sederhana tapi mendalam. Kesadaran, pikiran, perasaan manusia menciptakan takdirnya sendiri. Hal-hal eksternal bukan penyebab dan pembuat kehidupan seseorang di muka bumi ini. Berasumsi bahwa orang lain dapat merusak kebahagiaan kita tidak relevan lagi. Kenapa? Karena kita bertanggungjawab penuh atas kehidupan kita sendiri. Anda adalah raja, penguasa dunia anda karena anda satu dengan Tuhan (halaman 202).

Jodoh

Konkritnya ketika hendak mencari jodoh. Penulis mengajarkan doa untuk mendatangkan pasangan hidup yang tepat. “Saya tahu bahwa saya menyatu dengan Allah sekarang. Di dalam Dia saya hidup, bergerak, dan memiliki. Allah adalah kehidupan. Kehidupan itu termasuk kehidupan dari semua laki-laki dan perempuan. Kita semua adalah putra-putri dari satu Bapa.

Saya tahu dan percaya bahwa ada seorang laki-laki yang menunggu untuk mencintai dan menghargai saya. Saya tahu bahwa saya dapat berkontribusi untuk kebahagiaan dan kedamaiannya. Dia mengasihi cita-cita saya, dan saya mengasihi cita-citanya. Dia tidak ingin saya melebihinya, juga saya tidak ingin membuatnya melebihi saya. Ada saling mencinta, kebebasan dan rasa hormat (Doa Cara Menarik Suami Ideal, halaman 116).”

Tentu saja seperti pepatah Latin, ora et labora, manusia perlu berdoa sekaligus berusaha. Misalnya dengan menjadi anggota komunitas kontak jodoh. Kalau di kota Gudeg ada komunitas 2535, isinya muda-mudi dari usia 25-35 tahun yang hendak mencari partner untuk mengarungi samudera kehidupan dengan bahtera rumah tangga.

Dr. Murphy termasuk penulis produktif. Ia telah menelurkan 30 buku lebih, antara lain Telepsychics, The Magic Power of Perfect Living, Secrets of the I-Ching, The Cosmic Power within You, dan lain-lain. Pada 1950-an masih sedikit penerbit besar yang mau menerbitkan khasanah spiritual. Tapi ia dan istrinya berhasil menemukan penerbit kecil di Los Angeles. Lalu, mereka mencetak buku saku setebal 30-50 halaman dan dijual seharga 1,5 sampai 3 dolar.

Referensi karya-karyanya tak hanya dari litertur barat. Ia pernah juga melawat ke Asia dan India untuk mempelajari spiritualitas timur. Salah satu mentor Dr. Murphy bernama Dr. Thomas Howard. Beliau seorang hakim, filsuf, doktor, dan juga profesor. Saat pecah perang dunia II, Dr. Murphy menjadi relawan medis untuk divisi Infantri 88. Buku ini memuat juga pengalaman mati suri Dr. Murphy selama 72 jam (halaman 188).

Otosugesti

Salah satu teknik berdoa dalam buku ini ialah teknik Baudoin. Charles Baudoin seorang profesor di Rousseau Institute di Prancsis. Ia praktisi psikoterapis dan peneliti di New York School of Healing. Teknik Baudoin mulai dikembangkan pada 1910-an. Intinya masuk ke kondisi kantuk, “Cara paling sedrehana untuk memperoleh hal ini (mengisi pikiran bawah sadar) adalah memadatkan gagasan yang menjadi objek sugesti. Ringkaslah dalam frasa pendek yang siap digali dari dalam memori.”

Lalu, penulis menceritakan salah satu peserta di kelasnya. Ia mengalami perseteruan keluarga yang sengit dalam jangka waktu lama seputar harta warisan. Almarhum suaminya telah menyerahkan seluruh harta kekayaan kepadanya. Tapi putra-putrinya malah berusaha keras membatalkan surat wasiat itu lewat jalur hukum.

Teknik baudoin diuraikan secara terperinci. Caranya dengan meletakkan tubuh di kursi berlengan, masuki keadaan mengantuk, dan seperti yang disugestikan, ringkaslah ke dalam frasa yang terdiri dari 6 kata yang mudah digali dari dalam memori, “Telah selesai dalam perintah Ilahi.”

Ia mengulangi latihan ini setiap malam selama kira-kira sepuluh hari. Pasca masuk ke kondisi mengantuk, ia menegaskan dengan lambat, tanpa suara, di dalam hati, dengan penuh perasaan “telah selesai di dalam perintah Ilahi,” berulang kali sampai ia merasakan kedamaian batin dan ikhlas. Lalu, ia pun jatuh tertidur dalam keadaan rileks. Pada pagi kesebelas, pengacaranya menelpon dan mengatakan bahwa pengacara pihak lawan berniat menyudahi masalah itu. Kesepakatan harmonis dicapai, alhasil segala tuntutan hukum dibatalkan (halaman 15).

Tiada gading yang tak retak, begitupula buku ini. Karena latar belakang penulis sebagai pendeta Kristen, maka banyak kutipan ayat-ayat dari Alkitab. Alangkah lebih baik jika ada juga petikan ayat dari tradisi keagamaan dan aliran kepercayaan lainnya. Sehingga buku ini lebih bernuansa multikultural.

Terlepas dari kelemahan minor tersebut,  “Terapi Doa” mengandung nilai-nilai keutamaan adiluhung. Layak dijadikan referensi bagi siapa saja yang masih percaya pada kekuatan doa. Menyitir petuah para bijak, berdoalah sebelum kamu didoakan. Selamat membaca!

Peresensi T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru Privat Bahasa Inggris  di Yogyakarta, Blogger di http://local-wisdom.blogspot.com/)

1385115350375568688
Dok. Pri

Potret Kerukunan Umat Beriman di Cilacap, Mau Naik Haji Pun Minta Doa Restu Romo Carolus OMI


1384996717386949261
Narasumber dan Tamu Undangan Berfoto Bersama

Dimuat di TARGETABLOID, Selasa/19 November 2013

Cilacap,Targetabloid-Jumat (15/11/2013) cuaca kota Cilacap cerah. Pasca semalaman diguyur hujan, matahari pagi tersenyum ramah. Ratusan peserta dan tamu undangan telah memadati lantai II Aula SMA Yos Sudarso di Jl. Ahmad Yani No.54 sejak pukul 08.00 WIB. Yayasan Sosial Bina Sejahtera (YSBS) mengadakan acara peluncuran buku “Mafia Irlandia di Kampung Laut,  Jejak-jejak Kemanusiaan Romo Carolus OMI Memperjuangkan Kemanusiaan” karya Anjar Anastasia dkk.

Sebagai narasumber hadir Romo Carolus OMI selaku tuan rumah, Anastasia Anjar mewakili tim penulis buku dari Bandung, dan Nugroho Angkasa dari Yogyakarta sebagai peresensi buku di media massa. Stephanus Mulyadi, koordinator pelayanan bidang pendidikan YSBS bertindak sebagai moderator diskusi.

Tampak pula para tamu undangan, antara lain Wakil Bupati Cilacap, Akhmad Edi Susanto; Anggota DPRD Cilacap, Parsiyan; Ketua FKUB (Forum Kerukunan Umat Beriman) Cilacap, Taufick Hidayatulloh; Panglima Laskar FPI (Front Pembela Islam) Cilacap, Ustadz Suryo Haryanto; perwakilan warga Kampung Laut, Taryono; para dosen dan mahasiswa di AMN (Akademi Maritim Nusantara), para guru, siswa-siswi Jeruklegi, Pius, Yos Sudarso; dan lain-lain.

Menurut Anjar Anastasia menulis karya sosial kemanusiaan Romo Carolus OMI di Kampung Laut menyajikan tantangan tersendiri. “Sebab buku ini masuk kategori non fiksi, padahal biasanya saya menulis fiksi,” ujarnya. Kendati demikian, ia berpegang pada motonya dalam menulis, yakni menulis ialah berbagi hidup.

Saat ditanya oleh Suksma, salah satu siswa peserta diskusi, apakah ada kendala dalam proses penulisan buku “Mafia Irlandia di Kampung Laut,  Jejak-jejak Kemanusiaan Romo Carolus OMI Memperjuangkan Kemanusiaan” terbitan Gramedia Pustaka Utama ini, penulis kelahiran Bandar Lampung tersebut menjawab ada, yakni terkait jarak. “Saya berdomisili di Bandung sedangkan Romo Carolus tinggal di Cilacap. Puji Tuhan, syukurlah saya dibantu juga oleh tim penulis lainnya, yakni Mira dan Peter. Selain itu, saya sangat terbantu dengan materi, cerita, dan data-data yang diberikan oleh Romo Carolus dan YSBS,” imbuhnya.

Selanjutnya, Nugroho Angkasa, peresensi buku dari Yogyakarta mengatakan bahwa kekuatan buku  “Mafia Irlandia di Kampung Laut” terletak pada aspek human interest yang dikemas dengan bahasa sederhana. “Menyelami dokumentasi karya sosial peraih Maarif Award 2012 tersebut mengajak sidang pembaca untuk berefleksi. Nilai-nilai keutamaan yang terkandung di dalam buku setebal 180 halaman ini niscaya menyentil nurani kemanusiaan,“ ujarnya.

“Misalnya pasca ditasbihkan menjadi Imam dari ordo OMI (Oblat Maria Imaculata) di Biltown, Irlandia, Romo Carolus ingin ditempatkan di Brazil. Karena di negara benua Amerika Latin tersebut masih banyak kemiskinan. Beliau bertekad meringankan penderitaan kaum papa dengan apa yang ada di dalam dirinya. Tapi keputusan dari atasan menentukan lain, Romo Carolus justru ditempatkan di benua Australia untuk memperkuat Provinsi OMI di sana. Perasaan kecewa pastinya timbul dalam hati, tapi Romo Carolus taat dan meyakini itu sebagai bagian dari rencana Tuhan.”

Menurut Nugroho, awal perantauan Romo Carolus pada tahun 1971 sungguh unik. Sebab beliau tahu kalau biaya perjalanan dari Dublin ke Australia menyeberangi lautan luas dengan menaiki kapal sangat mahal. Ongkosnya mencapai Rp1.000.000 saat itu. Daripada pihak biara OMI harus mengeluarkan uang sebesar itu, Romo Carolus mendaftarkan diri sebagai imigran. Jadi beliau hanya perlu membayar Rp30.000. Sisa uang tersebut dapat dipakai untuk pelayanan sosial lainnya (halaman 133).

Selanjutnya, Romo Carolus OMI memaparkan alasan kenapa sampai saat ini tidak memiliki barang elektronik seperti laptop, HP, dll. Pria kelahiran 8 April 1943 tersebut berkelakar begini, “Saya tak memiliki laptop agar tidak membuka situs porno.” Jawaban tersebut sontak dijawab dengan tepuk tangan dan tawa riuh hadirin. Romo Antonius Rajabana OMI pun pernah menulis di bagian kata pengantar buku “Mafia Irlandia di Kampung Laut.” Intinya, Romo Carolus memang memiliki sense of humor yang tinggi.

Secara lebih mendalam, Romo Carolus mengatakan, “Dengan memainkan alat elektronik tersebut di depan orang yang saya jumpai berarti saya menomorduakan orang yang hadir di depan kita. “Padahal bisa jadi orang yang datang tersebut membutuhkan pertolongan yang mendesak,” imbuhnya.

Sebagai pastor OMI, beliau mengaku mengidolakan Yesus atau Nabi Isa. Romo Carolus hendak menjadi saksi Kristus di dunia dengan mengasihi semua orang. Bahkan, beliau juga menceritakan pengalamannya diundang KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) beberapa waktu lalu di Jakarta untuk memberikan ceramah tentang etika dan spiritualitas. Di hadapan Abraham Samad dkk, Romo Carolus menganjurkan agar tidak membenci para koruptor karena pencuri uang rakyat tersebut pasti tak bahagia. “Jadi sebenarnya mereka harus dikasihani. Tapi tentu saja proses melalui jalur hukum tetap harus dilaksanakan,” ujarnya.

Pada sesi kedua, dari floor, Taufick Hidayatulloh selaku Ketua (Forum Kerukunan Umat Beriman) Cilacap sangat mengapresiasi terbitnya buku ini. “Mafia Irlandia di Kampung Laut” bisa  menginspirasi para tokoh agama untuk menjalin kerukunan umat beriman di Cilacap dan juga di seluruh Indonesia. Ia lalu mengutip kata-kata Romo Carolus OMI di halaman 84, “Saya dari dulu tidak mau membedakan agama. Saya percaya semua orang masuk surga. Tanpa pengecualian. Allah mengasihi tanpa batas, tanpa syarat. Tidak membeda-bedakan orang.”

Ustadz Suryo Haryanto, Panglima Laskar FPI Kabupaten Cilacap mengisahkan pengalamannya mengawal Romo Carolus ke Sidareja. Karena aksinya tersebut, ia sempat dipanggil ke kantor FPI Pusat di Jakarta. Ia lalu mengatakan kepada Habib Rizieq Shihab bahwa karya Romo Carolus OMI tidak ada unsur Kristenisasi, intensinya murni untuk kegiatan sosial.

Taryono selaku perwakilan dari masyarakat Kampung Laut juga turut urun rembug ( partisipasi -Red ). Karya kemanusiaan di kampung halamanannya sangat bermanfat. Mulai dari pelayanan di bidang pendidikan dan kesehatan, pembangunan infrastruktur jalan, jembatan, bendungan, reklamasi, peternakan, pertanian, aksi tanggap darurat bencana, pelestarian lingkungan hidup, dll. “Saya adalah salah satu warga asli yang sudah naik haji. Sebelum berangkat saya pamitan dan mohon doa restu dari Romo Carolus,” ujar pria berkumis tebal tersebut .( Red )

Reporter: Nugroho Angkasa
Fotografer: Anjar Anastasia dkk

Menjaga Tradisi Gejog Lesung dari Kepunahan

Dimuat di Koran Sindo, Selasa/12 November 2013
 
“Menarik sekali, di negara saya tidak ada karena kami tidak makan nasi,” begitu komentar Alban, turis asal Prancis tatkala menyaksikan atraksi Gejog Lesung. Kesenian tersebut menjadi salah satu persembahan budaya nan unik dalam Pesta Rakyat Dhaup Agung Pernikahan GKR Hayu dan KPH Notonegoro pada Selasa, 22 Oktober 2013 di Yogyakarta.

Salah satu pengisi acara ialah Gejog Lesung Niti Budoyo dari Dusun Niti Prayan, Bantul. Personilnya terdiri atas 6 pemain lesung, 2 sinden yang menyanyikan tembang-tembang Jawa, 5 pemain angklung, 2 penabuh kendang dan 1 penari bertopeng.

Uniknya, mereka memiliki seorang pemain Gejog Lesung cadangan. Karena mayoritas sudah berusia lanjut. Jadi saat jeda antar lagu ada pergantian pemain seperti dalam sepak bola.

Di ujung pertunjukan, sang sinden berpromosi di hadapan ribuan hadirin yang memadati pelataran Monumen Serangan Umum 1 Maret 1949. Intinya, kalau ada yang ngunduh manten (acara pernikahan), supitan (khitanan), atau pun perayaan lain monggo silakan menghubungi mereka di nomor telpon 0274-371-438.

Gejog Lesung Niti Budoyo memang sering berkeliling “ngamen” dari satu hajatan ke hajatan lainnya. Selain untuk mencari tambahan nafkah juga untuk Nguri-uri Kabudayan Jawi (melestarikan kebudayaan Jawa).

Dulu ketika mesin penggilingan padi belum ditemukan, para petani desa masih mengandalkan cara manual. Caranya dengan menumbuki padi memakai alu dan lesung sampai menjadi gabah dan beras. Kini lapak penggilingan  bertebaran di mana-mana, bahkan ada mobil pick up berkeliling menawarkan jasa penggilingan padi.  Alhasil, Gejog Lesung sekadar diletakkan di pawon (dapur).

Dari situlah timbul inisiatif menjadikannya sebagai alat musik khas masyarakat agraris. Agar lebih semarak, kelompok kesenian Gejog Lesung kini berkolaborasi juga dengan sinden, penari, pemain angklung, dan penabuh kendang. Mereka pun mempersiapkan kostum secara khusus. Biasanya yang perempuan bersanggul, mengenakan jarik dan kebaya, sedangkan yang laki-laki menggunakan ikat/blangkon, celana tomprang hitam dan surjan/beskap.

Dalam teori sosial, Giddens berpendapat bahwa ada 3 matra penting peradaban umat manusia. Yakni negara (state), swasta (private) dan masyarakat madani (civil society) (The Third Way: The Renewal of Social Democracy, 1998). Kelompok Gejog Lesung Niti Budoyo merupakan salah satu elemen masyarakat madani. Secara khusus mereka berkarya lewat jalur budaya.

Kendati demikian, agar gaungnya lebih santer, negara dan swasta perlu mendukung pelestarian tradisi Gejog Lesung.

Belajar dari Jepang

Penulis pernah menyaksikan lawatan mahasiswa-mahasiswi calon guru dari Chiba University Jepang di SMAN 3 Yogyakarta. Pemerintah Dai Nippon begitu total dalam mempersiapkan calon pendidik. Total 15 calon guru yang datang ke sini. Kedatangan mereka difasilitasi Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada (UGM) pada Rabu, 25 September 2013.

Menurut Riasasi, salah satu panitia, sebelumnya mereka telah praktik mengajar di SMAN 6 Yogyakarta. Apa materi yang disajikan?  Ternyata mata pelajaran sains dan seni budaya.  Khusus untuk kelas seni budaya, 110 siswa-siswi SMAN 3 Yogyakarta dibagi menjadi 3 kelompok. Masing-masing diampu oleh 5 pengajar Jepang. Walau Jepang notabene tergolong negara maju, tapi budaya yang mereka ajarkan ialah Spochan (Sport Chanbara), Kendama dan Satoyama.

Hebatnya, itu semua merupakan seni bela diri khas Jepang, permainan tradisional Jepang (semacam dolanan anak) dan arsitektur rumah Jepang yang berwawasan ekologis. Tampak sekali mereka bangga dengan kearifan lokalnya (local wisdom). Bahkan calon guru muda yang perempuan sampai mengenakan Kimono, pakaian tradisional Jepang tatkala mengajar para murid di kelas.

Indonesia perlu belajar dari Jepang terkait apresiasi dan pelestarian budaya. Senada dengan pendapat Gus Mus, pada era Orde Lama Indonesia telah menjadikan politik sebagai panglima.

Lalu, pada era Orde Baru Indonesia pernah menjadikan ekonomi sebagai panglima. Pasca era reformasi, Indonesia kembali menjadikan politik dan ekonomi sebagai panglima. Kapan kebudayaan dijadikan sebagai panglima untuk memajukan bangsa?

Dalam konteks ini, Gejog Lesung merupakan simbol kearifan lokal budaya Nusantara. Pada hemat penulis, regenerasi lewat institusi pendidikan menjadi kebutuhan urgen. Kenapa? Karena sebagian besar seniman/seniwati Gejog Lesung sudah berusia lanjut. Sehingga perlu ada transfer ilmu, skill (ketrampilan) dan edukasi nilai filosofis terkait budaya warisan leluhur tersebut. Yakni sebagai seni yang merupakan bentuk ucapan syukur kepada Dewi Sri atas melimpahnya hasil panenan padi.

Di sekolah formal misalnya, selama ini sudah ada ekstrakurikuler Karawitan dan Gamelan. Alangkah lebih baik jika tidak ditambah dengan ekskul Gejog Lesung. Sehingga 10-20 tahun mendatang tradisi ini bisa tetap eksis. Selain itu, sosialisasi lewat media massa juga penting.

Media sebagai pilar keempat demokrasi dapat menyebarluaskan keunikan tradisi Gejog Lesung sebagai kebanggaan nasional (national pride) di dalam maupun luar negeri.

Secara lebih programatis, pemerintah dan swasta juga perlu mengupayakan Gejog Lesung menjadikan intangible cultural heritage seperti halnya Batik, Wayang Kulit, Keris, Angklung, Tari Saman dan Noken (Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/UNESCO_Intangible_Cultural_Heritage_Lists). Jangan sampai seni budaya adiluhung kita diklaim oleh negara tetangga.

Akhir kata ibarat tanaman, hanya yang akarnya menancap dalam ke tanah yang bisa bertumbuh, berkembang dan berbuah. Gejog Lesung merupakan  akar budaya bangsa yang perlu terus dipupuk, disirami dan dilestarikan. Sebab jika bukan kita, lantas siapa? Kalau bukan sekarang, lantas kapan? Salam budaya! (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru Privat Bahasa Inggris, Editor dan Penerjemah Lepas)

13847680841973263135
Dok. Pri

November 16, 2013

Merangkul Semua dalam Cinta

Dimuat di Kedaulatan Rakyat, Minggu/17 November 2013

 

Judul: Mafia Irlandia di Kampung Laut, Jejak-jejak Romo Carolus OMI Memperjuangkan Kemanusiaan
Penulis: Anjar Anastasia, dkk
Penyunting: Andi Tarigan
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: 1/Juli 2013
Tebal: xxvi + 180 halaman
ISBN: 978-979-22-9739-3

Khelmy dari Maarif Institut pernah mengunjungi Romo Carolus OMI di Kampung Laut, Cilacap, Jawa Tengah. Ia bertugas melakukan survei untuk calon penerima Maarif Award 2012. Sebagai duta lembaga, ia harus mengetahui siapa sebenarnya Romo Carolus. Khelmy terus mengamati keseharian hidup pria asal Irlandia tersebut. Pada suatu hari, Khelmy, Romo Carolus, Bupati Cilacap, dan dua orang lain berangkat ke Desa Kaumanten. Mereka membutuhkan waktu 3 jam untuk sampai ke sana. Romo Carolus hendak meresmikan jalanan yang dibangun dalam proyek padat karya.

Tapi belum lama mobil berjalan, mereka menghadapi kejadian yang sempat membuat jantung Khelmy deg-degan. Di sekitar mobil yang dikemudikan Romo Carolus, banyak pengendara sepeda motor mengepung mereka. Perasaan cemas dan penasaran menghantui Khemly. Ada apakah gerangan? Tepat di depan sebuah mesjid, mobil dan para pesepeda motor itu berhenti. Lantas, mereka memasuki rumah Ketua DPP FPI di dekatnya. Romo Carolus menyapa ramah satu-persatu. Ternyata mereka sudah lama saling kenal. Sebenarnya Ketua DPP FPI Cilacap itu ingin memperkenalkan Romo kepada seluruh anggota laskarnya.

Romo Carolus memang bisa merangkul semua dalam cinta. Tentu pengalaman inklusif tersebut menjadi catatan tersendiri bagi Khelmy dkk. Karena nyata sekali ada penerimaan dari kelompok agama lain terkait kiprah Romo Carolus selama ini. Apa yang telah ia perbuat bisa mensejahterakan semua pihak, bahkan yang berbeda keyakinan sekalipun.

Masih banyak kisah-kisah menggetarkan lainnya dalam buku setebal 180 halaman ini. Layak dibaca oleh siapa saja yang masih memiliki keyakinan bahwa persatuan dalam keberagaman itu bisa terjadi. Menyitir pendapat Ahmad Syafii Maarif dalam kata pengantar, “Karya sosial Romo Carolus dipersatukan oleh kecintaan yang mendalam dan tulus terhadap kemanusiaan. Ini merupakan upaya sadar mendidik masyarakatnya dalam semangat kebhinekaan.”

November 15, 2013

Menyemai Benih Kreativitas

Dimuat di Bernas Jogja, Kamis/14 November 2013


Judul: Yoris Sebastian’s 101 Creative Notes
Penulis: Yoris Sebastian
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: IV/ April 2013
Tebal: 207 halaman
ISBN: 978-979-22-9114-8

Bagaimana caranya agar menjadi lebih kreatif? Lakukan sesuatu yang belum pernah kita alami. Misalnya, belum pernah memakan sushi? silakan mencoba. Belum pernah naik bianglala di pasar malam? bergegaslah  beli tiketnya.

Yoris Setiawan selalu mencari kesempatan agar bisa melakukan hal baru. Dalam buku ini, pemenang International Young Creative Entrepreneur of the Year Awards 2006 dari British Council di London tersebut menceritakan perayaan pergantian tahun baru 2010-nya. Saat itu, ia tidur lebih awal. Karena bersama sang istri perlu bangun pukul 3 dini hari. Mereka berencana pergi ke Candi Borobudur, Magelang untuk melihat matahari terbit pertama kalinya di awal dekade.

Tatkala masih bekerja di Hard Rock Café, ia biasanya baru pulang ke rumah dan tidur pada pukul 3 dini hari. Tapi spesial untuk pergantian tahun baru 2010 tersebut, ia rela menjadi morning person (orang yang rajin bangun pagi). Keputusan tersebut berbuah manis, bersama istri tercinta ia berdecak kagum menyaksikan pemandangan nan mempesona di pelataran mandala terbesar buatan manusia tersebut (halaman 119)

Selain itu, penerima penghargaan dari Markplus untuk program musik mingguan rancangannya, I Like Monday juga mempunyai hobi baru. Ia suka mengunjungi kantor-kantor kreatif yang ada di seantero dunia. Sebut saja mulai Google, MTV, Facebook di Singapura sampai IDEO di Shanghai, dan bahkan Zappos di Las Vegas, Amerika Serikat.

Ternyata kantor-kantor tersebut selalu siap disambangi publik. Hampir semua pengalaman di sana mencerahkan dan menginspirasinya. Bahkan Zappos di Las Vegas bisa empat kali mengadakan office tour. Menurutnya, kita bisa juga menggalakkan program semacam itu di Indonesia. Terutama di perusahaan-perusahaan yang menjadikan kreativitas sebagai fondasi perusahaan. Kantor Facebook di Singapura pun memiliki semboyan unik, “Nothing is riskier than not taking the risk.” (Terjemahan bebasnya, resiko terbesar ialah tak berani mengambil resiko) (halaman 79)

Sistematika buku ini terdiri atas 101 catatan kreatif General Manager Hard Rock Cafe termuda di Asia saat masih berusia 26 tahun. Isinya mulai dari pemikiran (thought), pengamatan (observation), tindakan (action), mengajarkan ke orang lain (training others), refleksi perasaan pribadi (self reflection) dan tentu ditutup dengan doa syukur (gratitude) kepada Tuhan, Hyang Maha Kreatif.

Judulnya sebagian besar menggunakan bahasa Inggris antara lain, “Have a Good Sleep”, “A Broad Perspective”, “Watch Inspiring Movie”, “Tenacity”, “Listen”, “Initiate Conversation”, “Less Rule – Simple Rule,” dll. Pada setiap halaman genap tersaji foto, gambar, ilustrasi dan kata-kata mutiara. Tatkala pembaca membolak-balik lembaran buku ini, niscaya otak kiri dan kanan sama-sama terstimuli.

Pemenang Indonesian Young Marketers Awards 2003 dari Indonesian Marketing Association ini juga berbagi tips untuk menyemai benih kreativitas. Jangan pelit untuk mengajarkan atau menularkan semangat kreatif kepada orang lain. Ia pun mengakui dulu sangat kesulitan berbicara di depan publik. Keringat dingin jatuh bercucuran dan badan gemetaran tatkala harus berhadapan dengan khalayak ramai.

Lalu, Yoris belajar dari banyak buku tentang cara menyajikan pelatihan dengan menarik dan mudah dimengerti audiens. Sejak saat itu program trainers meeting di HRC Jakarta selalu dipenuhi para pegawai. “Di HRC-lah saya belajar bagaimana menjadi pelatih yang baik,” imbuhnya (halaman 151).

Buku setebal 207 halaman yang telah mengalami cetak ulang keempat ini kaya inspirasi positif bagi segenap anak negeri. Visi kreatif memang lebih penting ketimbang materi. Sebab senada dengan petuah Guy Laliberte, “Logika hanya bisa membawa kita dari A ke B, tapi imaginasi dapat membawa kita ke mana saja.”  Selamat membaca dan salam kreatif!

November 09, 2013

Meneruskan Cita-cita Pendiri Bangsa

Dimuat di Tribun Jogja, Minggu/10 November 2013
13840480532051283099
Sumber Foto: bentangpustaka.com

Judul: Ibu Pertiwi Memanggilmu Pulang
Penulis: Pepih Nugraha
Penerbit: Bentang Pustaka
Cetakan: 1/Agustus 2013
Tebal: xii + 268 halaman
ISBN: 978-602-7888-62-3
Harga: Rp54.000

Adakah perusahaan Indonesia yang membuka usaha di negara tetangga? Ternyata ada, yakni J.CO Donuts & Coffee. Usaha kuliner milik raja salon Johny Andrean tersebut telah memiliki beberapa gerai di Malaysia dan Singapura. Lewat buku ini, Pepih Nugraha mengekspresikan kebanggaannya karena perusahaan itu murni milik anak Ibu Pertiwi dan diciptakan oleh bangsa Indonesia sendiri.

Penetrasi produk Indonesia terhadap Malaysia memang tidak harus berupa teknologi canggih. Mulai dari mesin, alat transportasi hingga chip komputer. Menjual donat dan kopi  pun menciptakan rasa bangga juga.

Perintis situs jurnalisme warga tersebut juga berharap semakin banyak Johny-Johny lain yang mengibarkan sang saka merah putih di negeri seberang. Siapa tahu ada pengusaha kue serabi, comro, deblo, wajik, warung kopi Indonesia bertebaran di seluruh penjuru dunia. Tidak apa-apa sebatas makanan atau minuman, yang penting made in Indonesia asli.

Buku Ibu Pertiwi Memanggilmu Pulang ini juga mengungkap  kisah-kisah romantis yang menggelikan. Misalnya sewaktu Pepih masih duduk di bangku kelas satu SMA pada 1980-an. Guru Bahasa dan Sastra Indonesia-nya pernah menanyakan tentang konsep cinta. “Coba kamu deskripsikan apa itu cinta,” ujar Pak Guru dengan gaya kemayu.

Jawaban Pepih saat itu ngasal saja, “Cinta itu ya pacaran Pak!” Sontak seluruh kelas bergemuruh penuh tawa. Sang Guru pun tersenyum kecut, ia mengatakan jawaban Pepih tak terlalu keliru. “Hanya pengertian cinta tidaklah sesederhana itu,” imbuh Pak Guru. Kemudian beliau menjelaskan definisi, ungkapan, makna, maupun pengejawantahan cinta. “Wah rumit sekali,” pikir Pepih. Baginya, cinta itu ya lengket-lengketan dengan si dia jika ada kesempatan (halaman 180).

Kini Pepih baru menyadari bahwa ada cinta pada orang tua, cinta anak, cinta Tuhan, cinta rasul, cinta keluarga, cinta buta, cinta mati, cinta setengah mati, dan seterusnya. Ia bahkan mengakui secara jujur bahwa ada satu cinta matinya yang masih tersisa. Di penghujung hidupnya kelak, Pepih hendak berucap, “Aku mencintaimu sepenuh hati, wahai Ibu Pertiwi.” (halaman 183)

Sistematika buku ini terdiri atas 50 esai-esai singkat. Sebagian besar sudah dimuat di blog sosial Kompasiana.com. Dalam beberapa bagian penulis turut memasukkan komentar-komentar pembaca, misalnya terkait istilah “pulau terluar”.

Arif Rahadian berargumen begini, “Pulau terluar? Saya lebih setuju jika menyebutnya dengan pulau terdepan. Ibaratnya pulau-pulau itu pagar yang ada di depan rumah kita. Ini bukan hanya masalah konotasi, melainkan tentang cara berpikir.

Jika kita berpikir mereka “terdepan”, akan masuk prioritas untuk dipikirkan ibarat pagar halaman rumah kita yang melindungi penghuninya. Berbeda jika kita menyebutnya sebagai “terluar”, sama saja dengan memarginalkan. Sudut pandang mengubah mind set (halaman 94).

Menurut Pepih sendiri, mudah sekali kalau pemerintah berniat memperhatikan pulau-pulau terdepan kita. Indonesia memiliki 17.504 pulau yang tersebar di seluruh wilayah.  6.702 pulau di antaranya belum diberi nama. “Apa susahnya menamai ke-6.702 pulau itu? Kalau susah mencari nama, nama saya juga boleh dicatut tuh!” ujarnya.

Oleh sebab itu, pemerintah harus menyediakan dana untuk menandai pulau-pulau terdepan milik NKRI tersebut. Apa susahnya menacapkan kayu dan tiang bendera, mendirikan mercusuar, atau membangun tugu peringatan (prasasti) yang menandakan bahwa pulau-pulau itu milik NKRI. Di tengah santernya persiapan jelang pemilu para calon legislator dan pilpres 2014 mendatang. Adakah partai yang platform-nya menggugah kebangsaan dan nasionalisme dengan satu butirnya, yakni memelihara pulau-pulau terdepan di Indonesia?

Masih banyak renungan-renungan kebangsaan yang termaktub dalam buku setebal 268 halaman ini. Gaya bahasanya lugas menggunakan teknik reportase citizen journalism. Ibu Pertiwi Memanggilmu Pulang niscaya mengingatkan segenap anak bangsa untuk meneruskan cita-cita para pendiri bangsa atau founding fathers. Selamat membaca dan salam Indonesia!

1384048152559314993
Dok. Pri

November 06, 2013

Dari Kisah tentang Pak Sahid sampai Mbah Mozik

Dimuat di SESAWI.NET, Rabu/6 November 2013
http://www.sesawi.net/2013/11/06/dari-kisah-tentang-pak-sahid-sampai-mbah-mozik/

Judul: The Art of Educating, Cinta di Rumah, Kasih di Sekolah
Penulis: A. Mintara Sufiyanta, SJ
Editor: Indah Sri Utami
Penerbit: Kanisius
Cetakan: 1/April 2013
Tebal: 174 halaman
ISBN: 978-979-21-3532-9

PAK Sahid Surono guru mata pelajaran ketrampilan di sekolah. Lewat beliau penulis buku ini belajar nilai ketekunan. Kenapa? Karena guru yang satu itu sangat kreatif dalam mengajak muridnya untuk menjadi telaten (rajin).

Saat membuat prakarya 1 sulak (kemoceng) misalnya, dibutuhkan waktu  sampai 6 bulan. Proses pembuatannya sangat unik. Anak-anak kelas IV SD tiap hari sepulang sekolah pergi ke kandang-kandang ayam. Mereka berkeliling kampung untuk mengumpulkan bulu-bulu ayam dari warga setempat.

Bahkan kadang mereka harus menggertak atau mengejar ayam jago. Harapannya ayam itu bergerak, meloncat, dan mengepakkan sayap sehingga bulu-bulunya berjatuhan. Dengan demikian, mereka dapat memeroleh bulu segar yang warnanya belum memudar.

Mereka mengerjakan prakarya kemoceng tersebut secara berkelompok. Tatkala melihat pekerjaan kelompok lain sudah hampir selesai, mereka tertantang untuk bekerja lebih giat dan cepat. Bahkan mereka rela mengerjakannya sampai larut malam di rumah salah satu murid. Sehingga keesokan harinya ketika dibawa ke sekolah dapat dipajang. Caranya dengan diikatkan di dua batang pohon.

Dari pengalaman tersebut, penulis buku ini belajar bahwa untuk melakukan hal yang baik dan benar tak cukup berbekal pengetahuan. Ternyata latihan dan ketekunan mutlak diperlukan.

Selain menjadi wali kelas dan guru kreatif, Pak Sahid juga terkenal karena kendaraan dinasnya khas. Setiap hari beliau mengendarai motor Vespa warna biru. Suara knalpotnya benar-benar luar biasa, begitu menggelegar memenuhi jalan perkampungan menuju sekolah. Walau Pak Sahid masih jauh, suara knalpot Vespa beliau sudah terdengar. Badannya bergerak naik turun seirama irama jok Vespa yang berpegas.

Banyak kisah lain yang tak kalau menarik dalam buku ini. Instruktur Kursus Kepemimpinan Sekolah lulusan Loyola University Chicago, USA (2009) tersebut juga menimba kearifan dari lingkungan keluarga, terutama dari sosok ayah.

Saat masih duduk di bangku SD kelas II ia diajak Bapak naik sepeda motor Honda Merah C-70. Mereka menuju ke arah jalan Samas. Terus mengarah ke utara, lalu belok kiri melalu jalan berkelak-kelok, naik-turun di daerah Bukit Menoreh. Ternyata Bapak mengajaknya mencari Mbah Mosik.

Siapakah Mbah Mosik? Beliau adalah tetangga di rumah. Sosoknya tinggi besar. Sebenarnya ia sangat mudah dikenali karena selalu memakai celana pendek dan kaos oblong warna hitam. Secara intelektual Mbah Mosik memang terbelakang, tapi ia selalu siap sedia membantu orang lain.

Ia mau bekerja apa saja. Jika main ke rumah, ia selalu menolak makanan yang disuguhkan. Tapi kalau diminta membelah kayu bakar atau kerja lainnya, baru beliau mau menyantap makanan tersebut. Kalau dia belum bekerja, tiap kali ditawari makanan selalu menjawab, “Ora wae” (tidak usah).

Singkat cerita, karena kelemahan dalam intelektualitasnya Mbah Mosik sering tak tahu jalan pulang ke rumah. Misalnya ketika mengunjungi saudaranya di Jalan Parangtritis atau menonton pertunjukan wayang di malam hari. Mbah Mosik hilang bukan hanya sekali terjadi.

Seharian Bapak dan anak itu berkeliling mencari Mbah Mosik. Tapi hasilnya tetap nihil. Barulah 10 hari kemudian ada informasi dari seseorang. Orang tersebut melihat Mbah Mozik di sebelah barat jembatan sungai Progo arah ke Wates. Lalu mereka bergegas menjemput Mbak Mosik.

Berikut ini laporan pandangan mata penulis:
“Kulihat Mbah Mosik duduk di dingklik sebuah warung. Ia tampak sangat kurus, wajahnya tampak lusuh. Kami senang sekaligus haru menemukannya. Kasihah Mbah Mosik pasti malu dan tidak mau meminta makan dan minum dari orang-orang yang tak dikenal. Ia berjalan selama 10 hari tanpa kejelasan arah. Semua itu tentu menguras tenaganya. Karena ada kami, dan setelah dibujuk beberapa kali, akhirnya Mbah Mosik mau minum dan makan (halaman 49).”

Dari pengalaman mencari Mbah Mosik bersama sang ayah tersebut, Mintara belajar memberi perhatian kepada orang lain. Karena saat kita mencurahkan atensi kepada sesama terutama yang menderita, Tuhan pun menggerakkan orang lain untuk memberikan perhatian serupa kepada kita.

Rumusannya sederhana tapi mendalam, barang siapa memberi pasti menerima. Sebaliknya, barang siapa mengeruk untuk dirinya sendiri niscaya kehilangan segala-galanya. Terbukti dengan banyaknya pelaku tindak pidana korupsi yang berakhir tragis di penjara dan tak punya lagi harga diri.

Tak sekadar berkotbah, penulis buku ini juga memberi contoh dalam berbagi (sharing) dengan sesama. Seluruh royalti penjualan “The Art of Educating, Cinta di Rumah, Kasih di Sekolah” didonasikan untuk Yayasan Kanisius-Pendidikan Cabang Yogyakarta demi mencerdaskan anak bangsa. Selamat membaca.