September 17, 2010

Journey from Death to Immortality


Published by Dialogue Magazine, 3/xxx/2008

Book's Title: Soul Quest
First published by: PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta (2003) also published in India (2005)
Author: Anand Krishna
Number of Pages: v + 232
Price: Rp 50.000

"Love will color your journey with confidence. With love, you are more comfortable. Now you can enjoy, celebrate, dance, sing, and laugh your way through life!" (iv)

This insightful definition of love was stated by Anand Krishna, an Indonesian national of an Indian descent. His critics and sympathizers acclaim this ex-Director and Shareholder of a Garment Factory as "phenomenal". His critics wonder, "What makes him popular? There is nothing extraordinary about him." On the contrary, his sympathizers appreciate his passion for promoting peace, love, and harmony among different sections of society and exclaim, "He comes from the Source of All Wisdom."

Soul Quest is Anand Krishna's first autobiographical novel. It talks about the crucial moment of his life. Anand was a young man who eager to gain wealth, possessions and prestige. He had almost everything. However, he still felt empty inside. The, he suffered from acute leukemia.

Anand was really afraid of facing a certain death in front of his nose. He also directly admitted it, "...when death stares at you, your body may or may not be in pain, but your mind surely trembles. The poor thing is afraid of losing its means of expression, the physical body with its sense organ. And the more "stuff" of memories, obsession and desires it has, the more afraid it gets. I could see myself apart from my mind. My body was in great pain, my mind was afraid, but I was neither of them. First I felt their pain and fear, later I could watch them." (154)

Unfortunately, Anand kept on running away from that fact; he was confused not knowing what he was looking for. First, he flew away to India, to consult his health with his beloved living Master. He stayed in Sai Baba's ashram at Prashanti Nilayam for one month full. However, his master kept on avoiding him. After that, he came to a Shuka Nadi (native healer). The Shuka "bible" said that no one can cure him. He himself should overcome this disease. Anand also came to a Buddhist monastery; through meditation practices he could see his sickness from a different point of view. Finally, in Leh he met a Lama who suggested he should accept death an live fully in love.

It may be said that the effort he made is actually the compensation of his lack of confidence. However, after a meeting with a Lama in Leh Himalaya, India, he realized that birth and death were two sides of one single coin. This total acceptance brought recovery from within. The Lama said (176): "...don't fly, and don't run away - face the challenges of life with a smile on our lips. We tend to forget that we are one hundred percent responsible for whatever happens to us. We create our problems; so we have to face them...solve them ourselves."

In Katresnanism Criticism: The Nature and Who Does it, Antonius Herujiyanto says that one's sickness is also a blessing. We are "Binerkahan" beings. It is not only in our healthy life, but also in the purifying process which is commonly called disease. Anand also experienced this deep insight in Leh when his heart already accepted the death. "This is indeed a right place to die" (174). At that time, there was no more conflict with death. He totally accepted both sides of life. This positive outlook gave an opportunity for him to know his true self and began to celebrate life.

Soul Quest - Journey from Death to Immortality is like a diamond, which has multi facets. It gives us insight to improve the quality of our life. Reading this novel, we can get some valuables information about human characters, interests, feelings, thoughts, and last but not least, experiences. Happy Reading!

Perjuangan Mengenyam Pendidikan

Dimuat di Kedaulatan Rakyat, Minggu/21 November 2010

Judul Buku: Orang Miskin Dilarang Sekolah

Penulis: Wiwid Prasetyo

Penerbit: Diva Press

Cetakan: IV, 2010

Tebal: 450 halaman

Dimuat di Kedaulatan Rakyat, 21 November 2010



“Banyak hal yang tak kita ketahui bahkan sampai kita mati pun kita tak pernah mengetahuinya…misteri itu mirip dengan energi yang tak dapat diciptakan dan tak dapat dimusnahkan. “ (Halaman 51)

Buku “Orang Miskin Dilarang Sekolah” ini terinspirasi oleh novel “Laskar Pelangi”-nya Andrea Hirata. Wiwid Prasetyo juga mengangkat tema pendidikan. Kemiripan kedua karya sastra tersebut ialah sama-sama mengambil perspektif wong cilik. Yang notabene harus pontang-panting untuk bisa sekedar mengenyam pendidikan dasar.

Menurut Wiwid sektor pendidikan dan jagat kepenulisan merupakan 2 matra yang saling berkelindan. Pendidikan tanpa keterampilan menulis niscaya menjadikan materi pembelajaran hilang tanpa bekas. Sebaliknya, sekedar paham tulis-menulis tanpa memiliki jiwa kependidikan menyebabkan proses pembelajaran tak memperoleh saluran yang tepat.

Cita-citanya Wiwid sederhana. Yakni menjadi seorang pendidik plus penulis. Di tengah kesibukannya sebagai redaktur di Majalah FURQON, PESANTrend, Si Dul, dan Tabloid Inflo Plus, alumnus Fakultas Dakwah UIN Walisongo Semarang tersebut masih menyempatkan diri menjadi tentor di Bimbingan Belajar Smart Kids (Anak Cerdas).

Kalau di dalam “Laskar Pelangi” kita menjumpai tokoh seperti Lintang, Ikal, Mahar, dan 7 bocah “ajaib” lainnya maka di dalam “Orang Miskin Dilarang Sekolah” kita akan berkenalan dengan 3 tokoh utama, yakni Pambudi, Yudi, dan Pepeng. Pambudi ialah anak seorang penyabit rumput alias tukang ngarit. Setiap hari ia membantu ayahnya memberi makan sapi-sapi di peternakan Yok Ben. Sedangkan Yudi merupakan anak seorang pembuat pisang goreng. Setiap sore ia berkeliling kampung menjajakan dagangannya. Terakhir, Pepeng, ibunya telah meninggal dunia, ia anak semata wayang seorang tukang becak. Setiap hari ia diajak ayahnya mengangkuti kelapa-kelapa dari pasar-pasar malam dengan mengendarai becak dan menempuh jarak (minimal) 25 km.

Semula ketiga bocah tersebut enggan menuntut ilmu di sekolahan formal. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu untuk bermain-main di alam selepas lelah bekerja membantu orang tuanya. Perjumpaan dengan tokoh “Aku” membuka mata mereka. Kendati terbatas secara finansial dan sudah terlambat dari segi usia, mereka tetap harus bisa bersekolah agar tidak hilang dari pusaran sejarah. Sebab, “…kalau menulis itu adalah upaya kita agar tetap kekal abadi, orang yang gemar menulis haruslah bisa membaca, sedangkan ilmu membaca diperoleh dari sekolah.” (Halaman 62)

Buku ini layak dibaca oleh siapa saja yang mencintai dunia pendidikan. Fakta di lapangan memang serba karut-marut. Tapi perjuangan ketiga bocah dalam novel ini niscaya menginspirasi kita untuk fokus pada solusi pembenahannya. Bukankah salah satu tujuan pendirian Republik ini ialah untuk mencedaskan kehidupan bangsa? Selamat membaca!

September 14, 2010

Ihwal Minat Baca

Makalah Bank Dunia (World Bank) bertajuk Educational in Indonesia - From Crisis to Recovery (1998) mencatat minimnya tingkat kemampuan baca anak Indonesia. Vincent Greanary menemukan bahwa kemampuan membaca murid kelas 6 SD rata-rata hanya 51,7. Padahal di Filipina angkanya mencapai 52,6, di Thailand 65,1, di Singapura 74 dan di Hongkong 75,5.

Sama sebangun dengan kebiasaan membaca orang dewasa. Jumlah pembaca koran menjadi salah satu indikator. Idealnya, setiap surat kabar dikonsumsi oleh sepuluh orang, tetapi di Indonesia perbandingannya hanya 1:45. Artinya, setiap 45 orang membaca satu koran. Padahal di Filipina angkanya 1:30 dan di Sri Lanka 1:38. Pada tahun 2003 Badan Pusat Statistik (BPS) juga melaporkan bahwa penduduk Indonesia berumur di atas 15 tahun yang membaca koran hanya 55,11 %.

Ketersediaan buku di Indonesia juga relatif terbatas. Bandingkan dengan Cina yang berpenduduk 1,3 miliar jiwa, setiap tahun mereka mampu menerbitkan 140.000 judul buku baru, Vietnam yang berpenduduk 80 juta jiwa, setiap tahun mampu menerbitkan 15.000 judul buku baru, Malaysia yang berpenduduk 26 juta jiwa, setiap tahun mampu menerbitkan 10.000 judul buku baru, sedangkan Indonesia yang berpenduduk 230 juta jiwa, hanya bisa menerbitkan 10.000 judul buku baru pertahun.

Di lapangan bisa kita saksikan dengan kasat mata tatkala menunggu angkutan di terminal, stasiun, atau bandara. Memang orang Indonesia jarang menggunakan waktu luangnya untuk membaca. Biasanya malah bergosip, merokok, atau sekedar melamun. Situasi ini berbanding terbalik dengan fakta di luar negeri, terutama di negara-negara maju seperti USA, Inggris, dan Jepang. Kemanapun mereka berada selalu membawa buku dan memanfaatkan waktu senggangnya untuk membaca. Misal tatkala bersantai di taman, menunggu bus di halte ataupun ketika menempuh perjalanan jauh.

Kenapa minat baca di Indonesia relatif rendah karena secara turun-temurun budaya leluhur yang dominan bukan membaca dan menulis (literacy) melainkan bercerita dan mendongeng (oralty). Ironisnya lagi, kini bangsa ini justru langsung meloncat ke kebisaan menonton TV. Pada tahun 2006 BPS mencatat bahwa penduduk yang membaca untuk mendapatkan informasi terkini hanya 23,5 %. Sedangkan, jumlah yang menonton televisi mencapai 85,9 persen.

Solusi

Menurut hemat penulis, perlu ada pembenahan alokasi dana. Misalnya soal kebiasaan rokok. Bila per hari menghabiskan minimal 1 bungkus. Berapa total biaya yang dikeluarkanse tiap bulannya? Bandingkan dengan alokasi anggaran untuk membeli buku atau berlangganan koran. Jauh sekali bedanya, padahal begitu besar manfaat buku dan surat kabar bagi masa depan generasi penerus bangsa.

Dalam konteks ini perpustakaan menjadi altenatif agar masyarakat tetap bisa membaca secara murah. Sebab perpustakaan menyediakan koleksi buku dan media lain dalam jumlah besar. Sehingga bisa dimanfaatkan oleh wong cilik yang memiliki daya beli relaif rendah. Memang salah satu tujuan pendirian perpustakaan ialah untuk memfasilitasi masyarakat bawah agar dapat mendidik dirinya sendiri, meningkatkan taraf hidup dan menggunakan waktu senggang dengan baik.

Mari menjadikan perpustakaan sebagai rumah kedua. Ajakan tersebut digagas oleh Prof. Dr. Frans Susilo, SJ. Istilah "rumah" di sini menyiratkan unsur kenyamanan. Kepala Perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta itu mendorong segenap civitas akademika untuk memanfaatkan perpustakaan secara optimal.

Alfons Taryadi mencatat dalam ”Buku dalam Indonesia Baru” terdapat: 1 perpustakaan nasional di Indonesia, 117.000 perpustakaan sekolah/universitas, dan 798 perpustakaan khusus. Sedangkan, perpustakaan yang disediakan untuk masyarakat umum hanya ada 2.583. Tapi sebelum menganjurkan masyarakat untuk sering berkunjung ke perpustakaan, kaum akademisi musti terlebih memberi teladan. Bukankah bahan acuan sekolah/kuliah dan informasi mutakhir tersedia melimpah di perpustakaan? Berupa koleksi book material seperti buku, kamus, ensiklopedia, majalah, koran, jurnal, dll serta koleksi non-book material seperti kaset, film, CD, slides, peta, globe, dll.

Kemampuan inteligensia sangat tergantung pada proses pembelajaran. Aktifitas membaca menjadi salah satu cara belajar yang mandiri dan efektif. Pengertian ”membaca” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ialah melihat serta memahami isi dari apa yang tertulis. Selain itu, membaca juga niscaya mengembangkan daya imajinasi, kreatifitas, serta membuka cakrawala pandang.

Lebih lanjut, Suwondo Atmodjahnawi memaparkan fungsi perpustakaan. Ternyata selain sebagai sarana pembelajaran (education), perpustakaan juga merupakan sebagai wahana rekreasi (recreation). Perpustakaan ialah gudang ilmu dan laboratorium penelitian (science and research). Terakhir tapi penting, perpustakaan menjadi sumber informasi dan dokumentasi (information and documentation)

Di lapangan upaya meningkatkan minat baca kini sudah banyak dilakukan. Misalnya pembuatan majalah dinding di sekolah/universitas, penerbitan buletin di komunitas seni dan budaya, pemasangan papan koran di desa-desa terpencil, dan pembangunan Taman Bacaan Masyarakat (TBM). Sehingga penduduk setempat bisa membaca secara beramai-ramai secara bergiliran. Satu buku/surat kabar bisa dinikmati bersama. Begitupula di warung burjo (bubur kacang ijo), mereka pun berlangganan koran sehingga para pelanggan bisa membaca informasi terkini sembari menikmati hidangan.

Segenap civitas akademika bertangungjawab untuk mempromosikan manfaat membaca kepada khalayak ramai. Sebab kita memiliki fasilitas dan akses informasi yang lebih memadai. Caranya dengan berbagi pemahaman dan pengalaman lewat tulisan di media massa. Misalnya menulis opini publik ihwal minat baca, meresensi buku-buku terbaru, dll.

Ada serangkaian penelitian menarik di Prancis. Para budak belian asal Alzajair diajari ketrampilan membaca. Lantas wajah mereka difoto. Ternyata mereka nampak lebih rupawan seiring proses pembelajaran. Kesimpulannya, ada korelasi erat antara ilmu dan keindahan paras seseorang.

September 06, 2010

Menafikan Segala Klasifikasi

Dimuat di RIMA NEWS

Subjek kita malam ini adalah Cinta, dan untuk besok malam pun sama. Sesungguhnya, aku tak mengenal subjek lain yang lebih baik untuk didiskusikan.” (Hafiz, Mistik Sufi)

Walau tergolek sakit dan terjerat dugaan kasus pelecehan seksual, Anand Krishna tetap menulis buku. ”The Ultimate Learning, Pembelajaran untuk Berkesadaran” ialah karya terkini aktivis spiritual kelahiran Surakarta tersebut. Senada dengan pendapat Pepih Nugraha,

”...menulis saat bahagia itu biasa, baru luar biasa jika bisa menulis dalam keadaan berduka, tertekan atau bahkan terluka. Biasakan menulis sekalipun dalam suasana hati yang ekstrem, dalam lara maupun suka. Bukankah susah dan senang hanyalah permainan rasa belaka...”

Buku ini memuat ulasan Shiksha Shatakam. Kitab tersebut ditulis oleh Shri Chaitanya Mahaprabu (1486 – 1534). Shiksha berarti learning alias proses pembelajaran. Sedangkan Shatakam sinonim dengan ayat. Lewat ke-8 butir The Ulimate Learning (Pelajaran Tertinggi) Chaitanya mengundang kita untuk belajar dan menyanyi bersama. Tujuannya ialah menemukan kesadaran dan kasih di dalam diri.

Istilah yang dipakai dalam buku ini terasa akrab. Sebab mengunakan kata panembah dan Gusti Pangeran, ”...Kiblat seorang penembah, fokusnya, seluruhnya tetaplah pada Gusti Pangeran. Ia tidak berpindah fokus. Segala sesuatu yang lain menjadi penting karena merupakan titipan Pangeran. Berarti: Aku tidak mencintai pasanganku karena dia adalah milikku, tapi karena dia dititipkan kepadaku. Aku melayani keluarga, kantor, bahkan dunia ini, bukan karena aku merasa memiliki semuanya, tetapi karena Pangeran adalah pemilik tunggal semuanya, dan aku mencintai Pangeran…” (hal 133). Pemilihan analoginya juga menarik. Ibarat berada di dalam pesawat terbang. Kita tidak bisa mengukur berapa tinggi gedung pencakar langit dan betapa reyotnya gubuk si miskin. Dualitas hanya tampak tatkala kita berada di bumi. Langit menafikan segala klasifikasi.

Lebih lanjut, menurut Anand secara garis besar ada 2 jalan menuju Pencerahan Diri. Yakni dengan cara Meditasi dan Bhakti. Yang satu mengandalkan logika dan lainnya mengolah rasa. Eks pengusaha garmen tersebut berpendapat bahwa kedua jalan di muka valid adanya. Silakan mengasah otak hingga menyadari ketidakmampuan kita untuk menguak segala misteri Alam Semesta. Monggo menyanyi, menari, dan berpuisi untuk melembutkan jiwa. Jalanmu bagimu – jalanku bagiku. Toh pada akhirnya kita pasti bertemu dalam sikap pasrah pada Ia nan Esa (pasrah sumarah dening Gusti Pangeran).

Uniknya, Anand tidak hanya memaparkan ihwal peziarahan jiwa dari ”aku” menuju ”Sang Aku”. Ia juga membahas isu perubahan iklim. Dulu dibutuhkan lebih dari 40.000 – 50.000 tahun untuk peralihan dari zaman es yang satu ke zaman es berikutnya. Tapi kini hanya dalam rentang waktu 14.000-15.000 tahun bumi dapat mengulangi fenomena tersebut. Bahkan kerusakan akibat eksploitasi alam dalam 200 tahun terakhir terasa begitu nyata. Belakangan pada mangsa ketiga (musim kemarau) seperti sekarang hujan masih saja deras mengguyur. Ini bukan lagi perubahan iklim (climate change) tapi merupakan penyimpangan iklim (climate deviation).

Akhir kata, buku ini tergolong bacaan rohani. Kendati demikian bahasanya ngepop sehingga mudah dipahami oleh khalayak ramai. Referensi berharga bagi sidang pembaca untuk meniti ke dalam diri. Sejenak merenung dan bertafakur di tengah hiruk-pikuk zaman yang – meminjam istilah Anthony Giddens – serba tunggang langgang. Selamat membaca!

____________________________

Judul Buku: The Ultimate Learning, Pembelajaran untuk Berkesadaran
Penulis: Anand Krishna

Peresensi: T. Nugroho Angkasa S.Pd, (Guru Bahasa Inggris SMP Fransiskus Bandar Lampung)
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: Agustus, 2010
Tebal: iii + 182 halaman