Oktober 15, 2009

Eneagram untuk Anak


Dimuat di Majalah Nuntius Edisi September 2009

Judul: Eneagram of Parenting. Sukses Mengasuh Anank Sesuai dengan Sembilan Gaya Kepribadian
Penulis: Elizabeth Wagele
Penerbit: PT Serambi Ilmu Semesta
Cetakan: III, 2009
Tebal: 214 halaman

Secara harafiah Eneagram (baca: eni-e-gram) berarti gambar lingkaran bertitik sembilan. Ilmu kuno ini berasal dari Yunani. Awalnya diajarkan secara lisan, tapi kemudian pada awal 1970-an Oscar Ichazo dan Claudio Narajo mendokumentasikan ke-9 tipologi kepribadian anak tersebut secara lebih sistematis.

Eneagram meyakini bahwa setiap individu itu unik. Tidak ada anak yang lebih baik ketimbang anak yang lain. Dengan memahami prinsip dasar ini, para orangtua bisa mengapresiasi keberagaman prilaku dan memfasilitasi perkembangan psikis sang buah hati tercinta dengan lebih optimal.

Elizabeth Wagele menguraikan sembilan kecenderungan gaya prilaku anak (selanjutnya disingkat 9P).
1. Perfeksionis ialah anak yang cenderung ingin melakukan segala sesuatunya dengan sempurna.
2. Penolong, ialah anak yang cenderung suka membantu orang lain.
3. Pengejar prestasi ialah anak yang cenderung ingin selalu menjadi juara.
4. Peromantis ialah anak yang cenderung sensitif dan emosional.
5. Pengamat ialah anak yang cenderung diluputi oleh perasaan ingin tahu.
6. Pencemas ialah anak yang cenderung merasa was-was dan mencari keamanan diri.
7. Petualang ialah anak yang cenderung mengejar pengalaman baru.
8. Pejuang ialah anak yang cenderung berkarakter kuat dan agresif.
9. Pendamai ialah anak yang cenderung enggan terlibat konflikr (hlm 11-12).

Misalnya berkait ancaman ekologis pemanasan bumi (Global Warming). Saat ini cuaca begitu ekstrimakibat pembalakan liar yang "menyulap" hutan tropis penyaring CO2 menjadi lahan kritis yang gersang. Psikotherapis kondang tersebut memberi ilustrasi tangapan (respon) anak sesuai dengan tipe Eneagram-nya.

Perfeksionis akan berkata, "Kita harus menghentikan pembalakan liar sekarang juga!" Penolong tak mau ketinggalan, "Mari kita menyelamatkan umat manusia dari anacaman pemanasan global!" Pengejar prestasi menambahkan, "Mari kita jaga sumber daya alam yang masih tersisa." Peromantis merajuk, "Kalau bumi bersedih, akupun turut menangis." Pengamat memberanikan diri angkat bicara, "Bersikaplah bijak terhadap bumi ini!" Pencemas menimpali, '"Awas, bumi kita sedang dikutuk..." Petualang berseru, "Mari kita tentang perusak alam tersebut." Pejuang menantang, "Akan kulibas siapa saja yang menebang pohon di sinii!" sedangkan biasanya Pendamai nyantai aja lagi,"Mengapa sih ribut-ribut? Bumi kita ini baik-baik saja kok!" (hlm 154).

Pada hakikatnya setiap anak memiliki kesembilan unsur di atas. Tapi dalam kadar yang berbeda. Kemudian paska akil baliq dan menjelang remaja, ia mulai memutuskan untuk memandang dunia dari sisi mana, sekaligus fleksibel menyikapi pilihan orang lain yang berbeda sudut pandang.

Buku ini menyajikan pula metode pendampingan anak secara asah-asih-asih (nurture) dengan mencermati kesembilan gaya prilaku anak dalam kegiatan belajar, pola makan, tidur, dan pergaulan sehari-hari.

Sebagai ilustrasi, anak tipe 5 (Pengamat), dalam bermain ia cenderung berada di pinggiran dan menjadi penonton saja. Sehingga tatkala berbaur bersama teman-teman sebaya, ia justru merasa canggung karena saat mengalami memang berbeda dari sekedar mengamati. Nah…peran orang tua/Guru untuk memberi dukungan (support) dan pengertian (understanding).

Buku ini ilaha referensi berharga untuk memfasilitasi tumbuh kembang anak sesuai dengan kecenderungan watak dasarnya. Cocok dibaca oleh para orang tua maupun guru yang mencintai anak-anak. Dikemas secara sederhana dan ringan. Bahkan dilengkapi pula dengan gambar-gambar kartun yang lucu dan inspiratif.

Misteri Kehidupan Yesus


Dimuat di Majalah Nuntius, Edisi Agustus 2009

Judul: Christ of Kashmiris
Penulis: Anand Krishna
Pengantar: Prof. Fida Hassnain
Penerbit: Koperasi Global Anand Krishna
Cetakan: 1, 2008
Tebal: xxii + 249 halaman

"Natas, nitis, netes." - Dari Dia kita datang, dalam Dia kita hidup, dan kepada Dia kita kembali (Falsafah Kejawen).

Buku ini terdiri atas beragam kisah kehidupan tokoh penting dunia. Dari lakon Ashwatama putra resi Drona dalam perang dahsyat Bharatayuda sampai kepada Yeshe Tenzin Gyatso alias Yang Mulia Dalai Lama ke-14, pemimpin spiritual Tibet yang berjuang membebaskan rakyatnya dari invasi rezim komunis Tiongkok dengan metode tanpa kekerasan (non-violence).

Pada bab 2, Anand Krishna, penulis produktif 120 buku lebih ini memaparkan pula hikayat Nabi Khidir. Penduduk di sepanjang sungai Sindhu yang membentang dari Gandahar (kini Afganistan) sampai Astraley (sekarang Australia) biasa memanggil beliau Jind Pir. Konon Nabi Musa meguru alias berguru kepada orang suci ini. Para sesepuh setempat mengatakan kemanapun Sang Master menapakkan kaki, syahdan tempat itu menjadi hijau dan segar kembali (hlm 14).

Kendati demikian, tokoh utama buku ini ialah Yesus dari Kashmir (http://christofkashmiris.com/). Lazim dipanggil Yuzu Asaph oleh warga di daerah India utara. Pertapa Tibet menyebut beliau Santo Isa, sedangkan penganut aliran Shiva-Tantra menyapa beliau dengan tabik hormat Isha Putra.

Menurut Profesor Fida Hassnain, seorang Direktur Archeology Study Center di Kashmir, "...a prophet Yuzu Asaph came to the valley of Kashmir two thousand years ago from Egypt. He preached the same parables of Jesus." Terjemahannya, "…seorang Nabi bernama Yuzu Asaph pernah datang ke lembah Kashmir dari Mesir 2000 tahun yang lalu. Beliau mengajarkan perumpamaan yang sama seperti Yesus." (Sumber: A Search for the Historical Jesus)." Pertanyaannya, "Apakah tokoh tersebut identik dengan Isa Al Masih dari Nasaret?" Menyitir syair lagu Kids Rock, "Only God Knows..." Hanya Tuhan sendiri yang tahu.

Faktanya, saat ini penduduk Srinagar yang mayoritas beragama Islam senantiasa bergotong-royong merawat sebuah makam yang diyakini sebagai tempat peristirahatan terakhir Yuzu Asaph. Leluhur mereka, Raja Gopadatta membangun makam tersebut sebagai ungkapan terimakasih terhadap dedikasi Sang Guru. Nama tempat itu unik: Rozabal. "Roza" berasal dari bahasa Persia, artinya sakral dan "Bal" sinonim dengan tempat suci. Sehingga Rozabal berarti tempat bersemayam Ia yang Maha Suci.

Sekedar intermezo, tatkala Anand Krishna beserta kedua sahabatnya Liny Tjeris dan Maya Safira Muchtar melawat tempat itu pada tanggal 23 Agustus 2008 silam, pasukan bersenjata yang biasa mangkal di tapal batas India dan Pakistan itu amatlah minim. Barangkali aura magis Rozabal membuat para serdadu enggan menginjakkan kakinya di sana (hal 45-46).

Santo Thomas

Tokoh lain yang tak kalah menarik dalam buku ini ialah Santo Thomas. Ia dikenal sebagai The Doubting Thomas di Barat, karena saat Yesus menampakkan diri kepada para murid paska penyaliban (cruxification), ia meragukan fakta seputar kebangkitan (resurection). Uniknya, ia justru dihormati di Timur, bahkan dianggap sebagai penerus pertama ajaran esoterik Isa Sang Masiha.

Pria ini sempat mengunjungi India pada tahun 52 Masehi, ia menyebarluaskan ajaran cinta kasih guna menyatukan umat manusia. Eksperimennya dimulai di sebuah dusun kecil bernama Chennai. Berlokasi di pinggiran ibu kota Taminadu India. Ironisnya, ia dibungkam oleh sekelompok kaum radikal, yang tak ingin kehilangan dominasi atas tafsir ajaran agama. Lantas pengikut setianya mendirikan sebuah chapel (gereja kecil) tepat di atas tanah di mana darah Sang Martir terperecik.

Almarhum Paus Yohanes Paulus II sempat mengunjungi makam tersebut pada tanggal 5 Februari 1986 dan mengakhiri segala kontroversi panas seputar tokoh yang ini (Sumber: http://www.rediff.com/news/2006/nov/22pope.htm). Sampai sekarang makam Mylapore tersebut terus diziarahi oleh penganut Muslim, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, Sikh, Bahai, dlsb. Mereka biasa membawa pulang segenggam pasir. Karena konon akan membawa keberuntungan (hoki). Mirip dengan tradisi ngalap berkah dalam Grebeg Maulud di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Selain The Gospel of Mary Magdalene, ada juga Injil non-kanonik berjudul The Acts of Thomas. Keduanya amat terkenal dan menjadi referensi utama bagi kaum orientalis. Inti pesannya sederhana tapi mendalam. Yakni bagaimana membangitkan energi feminin dalam diri setiap manusia. "A woman is a man with a womb and a man is a woman without womb." Seorang wanita ialah pria dengan rahim dan seorang laki-laki ialah perempuan tanpa rahim. Dalam tradisi Timur Tengah, kata "Allah" berasal dari suku kata, "Illa." Sebuah panggilan sayang untuk Mahamaya, The Mother of Universe alias Bunda Alam Semesta.

Buku ini tak hanya penting dibaca oleh umat Kristiani, tetapi juga oleh pemeluk agama dan penganut aliran kepercayaan lainnya. Sehingga kita bisa saling mengapresiasi dan hidup berdampingan guyup rukun dengan tetangga sebelah yang berbeda isian kolom agama di KTP-nya. Salam Indonesia!

Pesan Damai dari Kali Code


Pada Senin (20/7) silam National Integration Movement (NIM) dan Komunitas SOS Desa Taruna terlibat dalam acara Terapi Ceria memperingati Hari Anak Nasional (HAN) tahun ini. Hajatan tersebut bertempat di bantaran sungai Code. Tepatnya di bawah Jembatan Gondolayu DIY. Di sanalah mendiang Romo Mangunwijaya pernah mendedikasikan hidupnya bagi pendampingan kaum marginal.

Acara berlangsung seharian penuh. Pada pagi hari digelar "Operasi Semut", yakni reresik alias membersihkan tepian kali Code. Ratusan anak yang berasal dari pelbagai kampung di Jogja tersebut mengumpulkan sampah yang berserakan. Mereka belajar memilah, sampah mana yang masih bisa didaur ulang (recycle), dipakai ulang (reuse) dan dikurangi (reduce) penggunaannya. Apresiasi dan rasa cinta terhadap lingkungan ditanamkan lewat praksis, bukan sekedar ceramah.

Generasi penerus bangsa yang berasal dari aneka ragam suku, agama, ras, dan golongan itu juga memanjatkan doa dan mengheningkan cipta bagi arwah korban pemboman Hotel J.W Marriot dan Ritz-Carlton. Semilir angin yang berhembus dan aliran lembut sungai Code meneruskan pesan cinta di antara sesama anak bangsa dan warga dunia yang gandrung pada perdamaian.

Tertawa

"Kekerasan yang terjadi di luar yang dilakukan oleh siapapun ialah proyeksi kekerasan yang ada di dalam diri kita. Oleh sebab itu, marilah kita membenahi diri." Begitulah nukilan SMS dari Anand Krishna. Aktivis spiritual itu mengajak seluruh elemen masyarakat "start from the person in the mirror". Mulai dengan orang yang ada di depan cermin, yakni diri kita sendiri. Senada dengan pesan Mahatma Gandhi, "Jadilah perubahan yang Anda inginkan terjadi diluar sana."

Para teroris barangkali merasa sengsara tinggal di dunia ini, mereka mencari pelarian di surga sana. Padahal ada terapi sederhana untuk mengatasi luka batin dan memupuk rasa syukur atas segala anugerah Ilahi, yakni tertawa. Sekat fanatisme yang selama ini memisahkan satu hati dengan hati yang lain karena perbedaan kolam agama di KTP, niscaya lumer tatkala anak manusia merayakan kebahagiaan bersama.

Menurut penelitian medis, 1 menit tertawa terbahak-bahak berbanding lurus dengan 20 menit berolahraga ringan. Seorang anak rata-rata tertawa 400 kali dalam sehari. Sedangkan, orang dewasa hanya tertawa 15 kali sehari. Saat tertawa, kelenjar Pineal di otak memproduksi enzim Seretonin dan Melatonin. "Nikotin" alami ini menciptakan rileksasi, rasa damai dan meningkatkan daya tahan tubuh.

Teori itulah yang diterapkan dalam Terapi Ceria NIM. Dr. Stephanus Hardiyanto dari RS Bethesda Lempuyanganwangi menjadi fasilitator latihan. Pertama: peregangan. Caranya dengan bertepuk tangan. Di kedua telapak tangan ini terdapat 99 titik acupressure yang berkaitan langsung dengan sel-sel syaraf di otak. Kedua: pemanasan. Caranya dengan berlari-lari kecil di tempat. Ini merupakan salah satu teknik Yoga yang sudah berumur ribuan tahun. Ketiga: klimaks, yakni tertawa bersama. Caranya dengan berdiri berhadap-hadapan.

Anak-anak berinteraksi dengan teman di sebelahnya. Mereka saling pandeng-pandengan alias menatap mata satu sama lain, kemudian menirukan gerakan Harimau yang mengaum, Bebek yang berkoek-koek, dan Monyet yang melonjak-lonjak. Gemuruh tawa memenuhi areal perkampungan yang menjadi tempat shooting film "Jagad X Code" tersebut.

Kompak

Semua anak bisa melatih teknik-teknik Terapi Ceria tersebut di rumah. Sangat bermanfaat bagi tumbuh-kembang fisik dan psikomotorik mereka. Bahkan para guru di sekolah bisa menjadikannya sebagai selingan "ice breaker" di sekolah untuk mencairkan suasana kelas. Sehingga proses belajar-mengajar bisa lebih menyenangkan dan interaktif.

Selain tertawa bersama, Yoga for Kids atau Yoga untuk Anak menjadi menu utama acara HAN. Lily Tanti Meilyawati, seorang Ibu rumah tangga asal Magelang menjadi fasilitatornya. Anak-anak berlatih Yoga bersama-sama. Tapi bukan postur Yoga untuk orang dewasa yang relatif rumit, melainkan gerakan Yoga yang khas anak.

Misalnya sekedar menirukan gaya Tupai yang sedang mengambil dan memakan buah Kenari. Ada juga postur Pohon, yakni berdiri dengan satu kaki untuk melatih keseimbangan. Lucu sekali menyaksikan seorang anak bergandengan dengan teman disebelahnya memperagakan pohon yang tertiup angin. Latihan Yoga sederhana ini sekaligus melatih kekompakan dan kerjasama tim (baca: gotong-royong).

Sebagai intermezo, aneka lagu dan tarian menjadi menu tambahan yang tak kalah seru. Walau tidak diadakan di hotel berbintang, sekedar di tepian kali Code, toh para peserta tetap bersemangat dan antusias mengikuti seluruh rangkaian acara. Setiap kali panitia meminta kesediaan mereka menjadi peraga di atas panggung, banyak anak berebutan menjadi sukarelawan. Bahkan para orang tua dan warga setempat turut mengintip dari balik gedheg warna-warni rumah mereka.

Syair lagu "Becak" karangan Ibu Sud, dimodifikasi dengan pesan kebangsaan. Berikut ini petikannya, "Kucinta Indonesia, kusuka Indonesia, walau kita berbeda, kita tetap saudara...
"Lestarikan budaya, budaya kita semua, Indonesia negriku tercinta....
"Sulawesi, Papua, Kalimantan, Sumt'ra, beribu-ribu pulau itulah Indonesia..."

Sebuah tembang "Lupa-lupa Ingat" dari grup band Kuburan yang saat ini sedang naik daun, juga diplesetkan menjadi,
"Cinta...Cinta...Cinta...Cinta....Cinta Indonesia,
Suka...Suka...Suka...Suka....Suka Indonesia,
Damai...Damai...Damai...Damai....Damailah Indonesia,
Jaya...Jaya...Jaya...Jaya....Jayalah Indonesia..."
Pada bagian reff, "C Am Dm ke G" diganti menjadi, "Hahaha Hihihi Huhuhu Hehehe Hohohoho..."

Juli 21, 2009

Sampah Plastik, Kertas, dan Organik.

Dimuat di Rubrik Bebas Bicara, Bernas Jogja, 17 Juli 2009

Begitulah tulisan yang tertera pada tiga macam tong sampah di Rumah Kompos, Dusun Tambakrejo, Sleman, Yogyakarta. Tujuannya agar saat menyortir sampah bisa lebih mudah. Sampah plastik dan kertas bisa dijual per kilo ke tukang loak untuk didaur ulang. Sedangkan sampah organik bisa diolah menjadi kompos untuk pupuk tanaman.

Awalnya terasa menjijikan sekali menyaksikan sampah-sampah berserakan. Aromanya begitu menyengat karena mengeluarkan gas metana (CH4). Tapi ternyata bila sabar dan telaten mengolahnya, sampah itu bisa menjadi sumber pemasukan sekaligus menjaga kesehatan lingkungan sekitar. Sarung tangan, sepatu boat, dan masker penutup hidung menjadi "senjata" wajib.

Biasanya sampah diperoleh dari komplek perumahan terdekat dan para tetangga sekitar. Tapi memang masih campur-aduk antara yang organik dan anorganik. Setiap dua hari sekali sampah itu diambil agar tak terlalu menumpuk, busuk, dan berbau. Sang empunya sampah justru amat berterimaksih bila ada orang yang mau mengambilnya. Bahkan tak jarang bersedia memberikan tips ala kadarnya.

Kompos ialah hasil penguraian parsial dari campuran bahan organik. Proses ini dapat dipercepat oleh mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembab, dan aerobik atau anaerobik (J.H. Crawford, 2003). Sedangkan pengomposan ialah proses mempercepat reaksi alam tersebut. Yakni dengan menyemprotkan air, mengatur aerasi (pengudaraan), dan menambahkan aktivator, seperti EM4 (Effective Microorganism) (sumber: kamus on line Wikipedia.com).

Composting alias pengolahan sampah menjadi kompos ternyata banyak sekali manfaatnya. Antara lain mengurangi polusi udara karena pembakaran limbah dan penumpukah sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA), meningkatkan kesuburan tanah secara alami, sehingga kualitas hasil panen dari segi rasa, nilai gizi, dan jumlah bisa bertambah dua kali lipat.

Selain itu, tingkat ketahanan tanaman petanian dari serangan hama penyakit juga semakin kuat karena ketersediaan unsur hara yang memadai di dalam tanah. Terakhir tapi penting, ketergantungan petani pada pupuk kimia dari pabrik juga bisa dipangkas.

Ke depan memang lebih tapat bila masyarakat sudi sedikit merepotkan dirinya. Yakni dengan memilah-milah sampah sejak dari dalam rumah tangga masing-masing dan juga di ruang-ruang publik lainnya. Caranya sederhana, cukup sediakan tiga jenis tempat sampah untuk plastik, kertas, dan organik. Salam cinta lingkungan!

Pancasila Rumah Kita

Dimuat di Rubrik Bebas Bicara, Bernas Jogja, 7 Juli 2009

Begitulah judul lagu Franky Sahilatua, berikut ini syair lengkapnya: Pancasila rumah kita / Rumah untuk kita semua / Nilai dasar Indonesia / Rumah kita semuanya / Untuk semua puji nama-Nya / Untuk semua cinta sesama / Untuk semua keluarga menyatu / Untuk semua bersambung rasa / Untuk semua saling membagi / Pada setiap insan / Sama dapat...sama rasa / Ooo Indonesiaku...

Pancasila ialah dasar yang sederhana tapi universal, migunani tak hanya bagi bangsa ini, tapi juga bagi umat manusia seluruhnya. Tak heran, jika Bung Karno mengusulkan untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar Piagam PBB pada Sidang Majelis Umum pada tahun 1960. Para pendiri bangsa ini merupakan orang-orang tercerahkan. Para spritualis yang tak lagi terkotak-kotak oleh perbedaan, tapi mampu melihat persatuan di baliknya. Bhinneka Tunggal Ika - Tan Hana Dharma Mangrwa. Berbeda tapi satu - tak ada dualitas dalam menunaikan dharma bhakti bagi Ibu Pertiwi.

Tembang di atas dibawakan secara live berduet dengan Garin Nugroho pada acara, "Dendang dan Dongeng Perubahan; Terpinggirkannya Pasar-pasar Tradisional." Bertempat di Kantor PP Muhamadiyah Yogyakarta pada Rabu (17/6/2009) lalu.

Turut Hadir bu Sri, seorang pedagang di pasar Gowok Yogyakarta. Ibu yang sudah berjualan selama 30 tahun tersebut mengisahkan bahwa saat ini para pembeli lebih memilih berbelanja ke hipermarket yang berada tak jauh dari pasar tradisional. Kalu dulu pasar masih ramai sampai jam 13.00 WIB, saat itu jam 09.00 WIB sudah lengang.

Idham Samawi yang menjadi narasumber juga memaparkan data terkini. Bupati Bantul itu menyebutkan bahwa tingkat pertumbuhan hipermarket di Indonesia mencapai +37 persen. Sedangkan, pasar tradisional justru mengalami kemunduran sampai pada angka -8 persen.

Oleh karena itu, di Kabupaten Bantul pemerintah setempat secara tegas melarang pembangunan mall dan hipermarket. Bupati incumbent tersebut berpendapat hipermarket dan pasar swalayan sudah memiliki jaringan luas dan modal yang memadai, sehingga malah perlu dibatasi. Warung kang Kromo, Dadp, Suto, Waru-lah yang perlu didukung agar lebih maju. Kalu mau ke mall silakan ke kota Yogyakarta saja, cukup berkendaraan motor 30 menit dari Bantul.

Pemerintah kabupaten mengucurkan dana Rp 20 miliar per tahun untuk merenovasi sebuah pasra tradisional agar tidak terkesna kumh, bau, campir aduk, dan reot. Bahkan, pedagang yang sudah berjualan di situ sejak dahulu kala mendapat kios baru secara cuma-cuma. Hasilnya, PAD (Pendapatan Asli Daerah) Bantul dan pasar tradisonal seperti Imogiri, Niten, dan Piyungan mencapai total 14 persen setiap tahunnya.

Juni 24, 2009

Makna di Balik Kata

Dimuat di Rubrik Keliling Kota, Kompas Jateng-DIY, Rabu/24 Juni 2009

J. Sumardianta, guru Sosiologi di SMU Kolese de Britto dan penulis resensi ulung kelahiran Kulon Progo menyelipkan sepenggal makna unik kampung Gemblakan dalam buku terbarunya Simply Amazing - Insiprasi Menyentuh Bergelimang Makna (PT. Gramedia Pustaka Utama, April 2009). Kampung Gemblakan itu tepat berada di selatan Jembatan Gowok Yogyakarta.

Gemlak artinya pria yang bertingkah laku seperti wanita. Masyarakat lazim menyebutnya banci. Stigma ini terlanjur berkonotasi negatif. Padahal, sejatinya leluhur kita telah mengapresiasi keberagaman pilihan seksual seseorang. Bahkan, di daerah Sulawesi, kaum Bissu, yang kebanyakan terdiri atas kaum gay, dipasrahi tugas menjaga pusaka kerajaan. Mirip dengan kaum Kasim di China.

Selanjutnya, nama kabupaten Sleman, ternyata berasal dari kata liman. Artinya, gajah. Daerah itu pernah menjadi areal angon atau menggembalakan gajah. Secara impilisit menyiratkan betapa leluhur kita relatif berkelimpahan hidupnya. Daerah-daerah yang berhasil ditaklukkan oleh kerajaan Mataram memberikan upeti gajah sebagai bukti loyalitas (sumber: Kota Baru Kota Lama, Sejarah Kota-Kota, Penerbit Ombak, 2005). Sebagai catatan kaki, tak semua wilayah tadi dikuasai dengan cara adu fisik, tetapi lebih banyak yang dirangkul lewat jalur diplomasi dan perkawinan politik.

Nama kampung Prawirotaman, Wirobrajan, Bugisan, Patangpuluhan, dan Jogokaryan ialah contoh nama pemukiman para prajurit Prawirotomo, Wirobrojo, Bugis, Patangpuluh, dan Jogokaryo yang mengabdi tanpa pamrih kepada Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Sedangkan, Siliran merupakan kediaman para silir yang bertugas menyalakan lampu penerangan di jalan. Dagen ialah tempat tinggal tukang kayu (dagen) dan Patehan merupakan pemukiman para pembuat teh.

Selain pangkat keprajuritan dan keahlian, ada juga nama daerah berdasarkan profesi. Nama Mantrigawen merupakan tempat tinggal abdi dalem yang berprofesi sebagai kepala pegawai (mantri). Pajeksan ialah kawasan yang didiami para jaksa (jekso). Gamelan ialah pemukiman warga yang bermatapencaharian sebagai pembuat gamel alias tapal kuda.

Kemudian, kampung Kranggan yang terletak di utara Tugu dan Pecinan yang berada di selatan Malioboro dulu didiami oleh komunitas Tionghoa. Sayidan dan Kauman menjadi tempat tinggal orang keturunan Arab. Sedangkan, Menduran ialah daerah pemukiman suku Madura. Kendati berbeda etnis dan kepercayaan tapi mereka toh tetap hidup guyup rukun. Multikulturalisme yang banyak diseminarkan saat ini, ternyata telah dipraksiskan sejak dulu oleh para leluhur kita.

Akhir kata, masih banyak nama daerah di bumi Mataram tercinta ini yang bila kita telusuri makna di baliknya, menyimpan mutiara kebijaksanaan hidup yang adiluhung.

Juni 10, 2009

Menguak Rahasia Sukses Lahir Batin


Judul Buku: Total Success, Meraih Keberhasilan Sejati
Pengarang: Anand Krishna
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: 1, April 2009
Tebal: 280 halaman
Harga: Rp53.000

Pertama dan utama, mari bertanya pada diri sendiri, apa ukuran sukses? apakah nominal jumlah rekening di bank? seperti yang dimiliki oleh 6 tokoh yang menjadi capres dan cawapres dalam Pilpres 2009, Prabowo tercatat sebanyak Rp1,7 triliun, SBY sebanyak Rp8,5 miliar, Boediono sebanyak Rp22,06 miliar, JK sebanyak Rp300 miliar, Wiranto sebanyak Rp81 miliar, dan Megawati sebanyak Rp8,1 miliar?

Jawabannya bisa iya, tapi bisa juga tidak. Kenapa? karena hak milik pribadi tersebut baru bermakna jika - dan hanya jika - berfungsi secara sosial. Tapi pada saat yang sama, bagaimana bisa berbagi dengan sesama kalau belum mampu - meminjam istilah Bung Karno - berdiri di atas kaki sendiri (berdikari).

Ada beberapa kriteria dasar keberhasilan hidup ala Anand Krishna, antara lain pengendalian diri dan kepuasan batin. Kekayaan yang diperoleh lewat korupsi tak akan langgeng, bahkan terasa hambar ibarat sayur tanpa garam. Keberhasilan sejati justru mendorong setiap putra-putri Ibu Pertiwi untuk berbagi tanpa pamrih dengan sesama anak bangsa yang masih hidup dalam jurang kemiskinan dan tertindas.

Secara ciamik, mantan pengusaha garmen yang banting setir menjadi aktivis spiritual dan penulis produktif 120 buku lebih, paska sembuh dari penyakit Leukemia pada tahun 1991 ini menganalogikan proses meraih kesuksesan total ibarat membangun rumah. Fondasinya harus kuat, tiang pancang penyangganya musti kokoh, dan bangunan utamanya sendiri mempunyai "isi" perabot yang memadai dan berkualitas.

Referensi utama buku ini ialah karya legendaris Napoleon Hill (Think and Grow Rich, 1937) yang menginspirasi lahirnya film dan buku laris di seantero dunia berjudul The Secret. Kemudian lebih surut ke belakang, Total Success juga memetik hikmah kebijaksanaan hidup dari wejangan Sang Maha Guru Adi Shankaracharya (abad ke-8) yang termaktub dalam kitab kuno Sadhana Panchakam.

Rumusan Hill

Orang bijak tak membangun rumah di atas gundukan pasir. Sebab, ibarat rumah kartu, bangunan tersebut akan mudah ambruk diterjang badai dan tersapu pasang-surut kehidupan.

Demikian pula dengan mendirikan bangunan keberhasilan sejati, anak manusia membutuhkan adonan landasan niat yang kuat (Will Power), imaginasi kreatif (Creative Vision), antusiasme tinggi (Enthusiasm), dan persiapan yang matang (Good Planning) (hlm 79-104).

Selanjutnya, ada 4 tiang penyangga utama rumah keberhasilan. Pertama, Mastermind alias orang-orang yang memiliki keahlian (skill) pada bidangnya. Oleh sebab itu, berendah hatilah dan belajarlah dari mereka yang lebih berpengalaman. Kedua, praktek (Applied Faith) atau dalam tradisi Kejawen disebut lelaku. Niat saja tidak cukup, ia musti dipraksiskan lewat tindakan.

Ketiga, kemampuan mengambil keputusan (Decision), cukup jelas seruan Napoleon Bonaparte, "Tak ada yang lebih sulit, dan karenanya lebih berharga daripada kemampuan untuk mengambil keputusan (hlm 129)." Penyesalan terbesar manusia ialah tak berani mengambil keputusan pada saat tepat. Keempat, ketekunan (Persistence). Tidak sudi menyerah sebelum mancapai apa yang diniatkan di awal.

Khusus untuk "isi" bangunan, sejatinya terdapat 11 prinsip (hlm 139-209). Tapi yang paling menarik ialah poin terakhir, last but not least yakni bagaimana mengubah energi seks (Transmutation of Sexual Energy). Dengan latihan secara tekun anak manusia bisa menggunakan energi seks untuk mengubah kegagalan menjadi keberhasilan (Sex for Success).

Otak manusia rata-rata memikirkan 60.000 hal setiap hari. Padahal pikiran-pikiran tersebut mayoritas tak perlu diperhatikan secara berlebihan. Saat mengalami orgasme seksual, pikiran terhenti seketika (no mind). Keadaan atau rasa pang rasa tersebut bisa merembesi keseharian aktivitas hidup. Turunannya berupa peningkatan daya imaginasi, produktivitas, dan kreativitas.

Pesan Shankara

Tiga modal utama manusia ialah waktu, ruang, dan nafas.

Bayi terlahir pada weton (waktu) tertentu dan menghembuskan nafas terakhirpun dalam pelukan Sang Maha Kala. Ada 3 matra imaginer dalam aliran kontinuitas waktu, yakni masa lalu (past), depan (future), dan kini (now). Suatu kali resensor melihat penarik becak di bilangan Jalan Affandi (Gejayan) Yogyakarta, ia mengenakan kaos oblong bergambar kijing (nisan). Tulisannya menarik untuk dicerna bersama, "Gunakan hidupmu, sebelum matimu!"

Memang selagi hidup managemen waktu begitu penting. Caranya, dengan membagi 24 jam sehari dalam 3 kuadran. Delapan jam pertama untuk bekerja, 8 jam kedua untuk pengembangan diri (memuai), dan sisa delapan jam ketiga untuk makan, minum, tidur, seks, dan MCK. Tapi yang utama ialah disiplin pemanfaatan waktu. Kenapa? karena setiap saat itu unik. Tuhan terlalu kreatif untuk menyutradarai 2 adegan yang sama dalam episode drama di panggung kehidupan ini.

Sejak keluar dari gua garba hangat Ibunda (26 derajat Celcius), Tuhan menganugerahi ruang tubuh bagi manusia. Bangunan rumah bisa porak-poranda digoyang gempa, ambruk diayak angin puting-beliung, dan tenggelam diterjang lumpur "Bakrie" Lapindo, tapi badan ini menjadi "aset" manusia selagi berhayat. Bahkan ahli biologi menaksir total harga organ tubuh manusia mencapai Rp3 triliun lebih. Nominal ini melebihi harta kekayaan Prabowo sekalipun.

Selanjutnya, nafas sebagai pertanda kehidupan (elan vital). Menurut penelitian medis, manusia rata-rata bernafas 21.600 kali sehari. Ini proses dahsyat tapi acapkali tak tersadari. Saat terserang asma atau jelang ajal menjemput, baru kita ngeh (paham) signifikasi proses tarik-buang nafas.

Dalam situasi kacau nafas manusia menjadi cepat, seperti monyet yang siklus nafasnya mencapai 32-36 kali permenit. Manusia lazimnya bernafas rata-rata 15 siklus permenit. Irama nafas berbanding lurus dengan keberhasilan seseorang. Kenapa? Karena kadar oksigen di neuron otak memadai, sehingga ia mampu mencerna informasi dengan jernih. Inilah magnet alami yang menarik kesuksesan sungkem mencium kaki Anda.

Akhir kata, buku ini bukan sekedar teori, karena ia terlahir dari pengalaman workshop dan pelatihan seni memberdaya diri di Jakarta, Yogyakarta, Bali, dan manca negara. Penting dibaca oleh siapa saja yang sungguh berniat untuk menjadi sukses lahir-batin. Mengutip Geogre S. Patton, "Saya tidak mengukur keberhasilan seseorang dari ketinggian yang telah ia daki, tetapi dari kemampuannya untuk bangkit kembali setiap kali jatuh dan menyentuh dasar."

http://news.okezone.com/index.php/ReadStory/2009/06/10/285/227922/menguak-rahasia-sukses-lahir-batin

Juni 02, 2009

Pancasila Bisa Gaul

Dimuat di Rubrik Bebas Bicara, Bernas Jogja, Rabu, 3 Juni 2009

"Pancasila ya gegen den teki hawya lupa" -
Pancasila harus dipegang teguh, jangan sampai dilupakan - (Mpu Tantular)

Baru kemarin kita merayakan 64 tahun lahirnya Pancasila. Ironisnya, Indonesia belum kunjung keluar dari jeratan krisis multifaset. Akar penyebabnya karena putra-putri Ibu Pertiwi cenderung melupakan jati diri bangsa tersebut. Para pedagang asing begitu leluasa menjajakan ideologi impor dari pelbagai penjuru dunia.

Secara ekstrim ada dua arus utama (mainstreams ). Pertama, Neowahabiisme dengan agenda terselubung "Talibanisasi". Memainkan sentimen keagamaan yang sejatinya bersifat amat pribadi dan tak tepat bila diangkat ke ranah publik. Turunannya berupa a.l: UU Pornografi, RUU Jaminan Produk Halal, dan RUU Zakat yang sedang dibahas Komisi VIII dan segera disahkan oleh DPR RI jelang Pilpres. Kedua, Neoliberalisme, istilah yang saat ini begitu populer, pembangunan "rumah kartu" struktur ekonomi di atas tumpukan utang. Dengan demikian, tingkat ketergantungan terhadap lembaga donor begitu tinggi. Akibatnya, pelbagai produk kebijakan publik lebih menghamba kepada pasar bebas. Data terkini dari Koalisi Anti Utang (KAU) menyebutkan setiap bayi yang terlahir di bumi Nusantara tercinta ini mewarisi hutang sebesar Rp 7,7 juta.

Obat mujarab bagi sembelit di atas ialah dengan kembali ke cita-cita awal para bapa bangsa (founding fathers) dan Pancasila. Tapi dengan catatan khusus, yakni dengan me-fungky-kan alias membuatnya lebih populis dan gaul. Sebab, kaum muda - yang notabene merupakan generasi penerus - perlu mengkaji, mengapresiasi, serta melakoni kembali falsafah warisan leluhur kita tersebut. Tentu sesuai dengan konteks zaman modern di abad ke-21 ini.

Pertanyaan utama yang mengemuka tatkala sidang Badan Persiapan Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) berlangsung ialah, "Apakah dasar bagi negara Indonesia Merdeka?" Lantas tepat pada tanggal 1 Juni 1945 Bung Karno berpidato tanpa teks dan seluruh peserta yang hadir bertepuk tangan gegap-gempita menyambutnya.

Putra Sang Fajar mengajukan landasan filosofis (filosofische grondslag) bagi cikal-bakal Republik Indonesia, walau sederhana tapi amat mendalam sekaligus universal, yakni (1) Ketuhanan (2) Kemanusiaan (3) Kebangsaan (4) Kerakyatan, dan (5) Keadilan Sosial.

Pendiri Taman Siswa, Ki Hadjar Dewantara dalam pelbagai tulisan-tulisannya acapkali menyebut Pancasila sebagai saripati budaya bangsa, yakni kompilasi puncak-puncak kearifan lokal yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara. Apakah itu? kiranya ialah praksis gotong-royong yang begitu mengakar kuat dalam pelbagai sendi kehidupan bermasyarakat. Terutama di dusun-dusun terpencil.

Ironisnya, semangat kolektifitas tersebut terabaikan. Pancasila justru dipolitisir oleh para rezim penindas untuk melanggengkan kekuasaan yang sentralistik dan korup. Pada era orde lama, turunannya berupa 7 bahan pokok indokrinasi. Lalu pada masa orde baru, terjadi pula - meminjam istilah Romo Mangun - "Persatean" pola pikir lewat penataran P4 secara masif dan terorganisir.

Padahal sejatinya Pancasila merupakan falsafah hidup yang dinamis. Ia membuka diri terhadap pelbagai penafsiran makna. Asal masih dalam koridor keutuhan NKRI dan spirit Bhinneka Tunggal Ika - Berbeda tapi tetap Satu.

Mei 27, 2009

Musisi Warungan atau Lesehan

Dimuat di Rubrik Bebas Bicara, Bernas Jogja, Kamis, 28 Mei 2009

Akhir pekan lalu penulis makan malam di warung lesehan Malioboro. Maklum baru dari kampung, sehingga ada rasa rindu untuk menikmati suasana khas kota Gudeg seperti dilukiskan dalam syair lagu Yogyakarta (KLA Project), “Pulang ke kotamu / ada setangkup haru dalam rindu / masih seperti dulu / tiap sudut menyapaku bersahabat / penuh selaksa makna / musisi jalanan mulai beraksi…”

Sepiring nasi, sepotong ayam goreng, dan segelas es tape menjadi sajian penawar lapar dan dahaga. Persis seperti tembang Mas Katon, tepat suapan pertama musisi jalanan mulai beraksi, begitu seterusnya hingga suapan terakhir. Total 6 pengamen menghampiri meja makan silih berganti dalam rentang waktu kurang dari 30 menit, jadi rata-rata 1 orang dalam 5 menit.

Ironisnya, bila tak diberi bukan sapaan bersahabat yang keluar, melainkan kata ”mutiara”. Seorang rekan yang berasal dari luar kota merasa risi dengan fenomena ini. Sehingga ia mengajak untuk lekas pergi dan kembali ke hotel. Tentu tak semua pengamen bersikap ganjil seperti itu. Ada juga yang sungguh mempersiapkan performanya, sehingga relatif lebih renyah didengar, santun, dan sedap dipandang.

Dulu para pedagang lesehan di kawasan Malioboro terkenal sering mathuk alias mematok harga sangat tinggi bagi pembeli, terutama bagi para wisatawan dari luar kota. Segelas es teh bisa mencapai harga Rp 10.000. Ini warung lesehan atau bar? Tapi syukurlah kini hal itu tak terjadi lagi, karena mayoritas pedagang dengan penuh kesadaran mencantumkan harga makanan dan minuman di daftar menu. Para konsumen tidak perlu lagi merasa was-was sebelum dan sesudah membeli karena tarifnya relatif terjangkau.

Selanjutnya tinggal bagaimana menata aksi para musisi jalanan di lesehan Malioboro dan kawasan lain di kota Yogya tercinta ini?

Penulis sekedar menyuguhkan fakta di lapangan. Warung Lotek di Jln. Moses Gatot Kaca, Mrican kini memiliki pengamen khusus, mereka menghibur para pengunjung dengan sajian tembang campur sari sampai Top 40. Begitu juga Warung Bakmi Jawa di bilangan Jln. Bintaran, Lesehan Belut Goreng di depan Pakualaman, Lesehan Gudeg di Jln. Samirono, Warung Bakso di Jln. Affandi (Gejayan), dll.

”Musisi jalanan” itu berubah menjadi ”musisi warungan/lesehan”. Dulu mereka berpindah-pindah, kini cukup mangkal di satu warung pada jam tertentu. Terutama pada saat ramai, seperti jam makan siang dan makan malam. Dalam sehari rata-rata mereka memperoleh pemasukan Rp 75.000 - Rp 100.000. Bahkan pada akhir pekan bisa melonjak sampai dua kali lipat.

Lantas bagaimana dengan musisi jalanan yang belum mendapat tempat mangkal? Ada satu hal yang patut dicermati dari para ”musisi warungan/lesehan” tersebut. Biasanya mereka berkelompok, ada yang bermain gitar, kendang/jimbe, bahkan komplit dengan seperangkat alat keroncong beserta bas betot. Intinya ialah teamwork alias kerjasama. Ketimbang beroperasi sendirian di jalanan rawan sekali resikonya, lebih baik bekerja bersama-sama. Seperti slogan dalam tembang Serikat Pengamen Indonesia (SPI), ”Belajar sama-sama / bernyanyi sama-sama / kerja sama-sama...”

Mei 24, 2009

Membangun Rumah Keberhasilan

Coretan singkat ini dimuat di Rubrik Resensi Buku, Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Minggu, 24 Mei 2009. Semoga migunani. Nuwun.

Membangun Rumah Keberhasilan

Judul Buku: Total Success, Meraih Keberhasilan Sejati
Pengarang: Anand Krishna
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: 1, April 2009
Tebal: 280 halaman
Harga: Rp 53.000

Pepatah Inggris mengatakan, "Happy go lucky." Orang bahagia relatif beruntung (bejo) dan disayang Tuhan. Setiap insan mau hidup seperti itu. Lewat buku ini Anand Krishna menyuguhkan cara mencecap keberhasilan. Baik secara batin maupun lahir dalam ziarah kehidupan ini.

Mulai dengan bertanya pada diri sendiri, "Apa ukuran sukses? Jumlah rekning di ATM-kah?" Jawabnya, "Ya dan tidak" Kenapa? karena hak milik baru bermakna bila berfungsi secara sosial. Sebaliknya, bagaimana bisa berbagi kalau belum sanggup - meminjam istilah Bung Karno - berdiri di atas kaki sendiri?

Ada beberapa kriteria umum seputar keberhasilan hidup ala Anand Krishna, yakni pengendalian diri dan kepuasan batin. Kemenangan semu lewat korupsi dan manipulasi tak akan langgeng, terasa hambar ibarat sayur tanpa garam. Keberhasilan sejati justru mendorong anak bangsa untuk berbagi tanpa pamrih dengan sesama putra-putri Ibu Pertiwi, warga dunia, dan segenap titah ciptaan yang belum berhasil.

Mantan pengusaha garmen yang banting setir menjadi aktivis spiritual dan penulis produktif 120 buku lebih, paska sembuh dari penyakit Leukemia pada tahun 1991 ini menganalogikan proses meraih kesuksesan total ibarat membangun rumah. Fondasinya harus kuat, tiang pancang penyangganya musti kokoh, dan bangunan utamanya sendiri mempunyai sirkulasi udara yang memadai.Referensi utama buku ini ialah karya legendaris Napoleon Hill (Think and Grow Rich, 1937), film The Secret yang salah satu kontributornya bernama Reverend Michael Beckwith, dan wejangan Sang Mahaguru Shankara yang termaktub dalam Sadhana Panchakam. Orang bijak tak membangun rumah di atas gundukan pasir. Sebab bangunan tersebut akan mudah ambruk diterjang badai kehidupan.

Sama halnya untuk meraih keberhasilan sejati, anak manusia membutuhkan landasan niat yang kuat (will power), imaginasi kreatif (creative vision), antusiasme tinggi (enthusiasm), dan persiapan yang matang (good planning) (hlm 79-104). Khusus poin terakhir, survei menyatakan 50 persen kesuksesan ditentukan oleh penentuan arah secara jelas sebelum memulai pekerjaan (definitive purposes).

Selanjutnya, ada 4 tiang penyangga utama rumah keberhasilan, yakni mastermind alias orang-orang yang memiliki keahlian (skill) pada bidangnya. Oleh sebab itu, berendah hatilah dan belajarlah dari mereka. Pilar kedua ialah praktik (applied faith) atau dalam tradisi Kejawen disebut nglakoni. Niat atau keahlian saja tidak cukup, keduanya musti dipraksiskan dalam laku alias tindakan.

Manusia lazimnya bernafas rata-rata 15 siklus permenit. Rumus matematisnya irama nafas berbanding lurus dengan keberhasilan seseorang. Semakin pelan dan ritmis nafas, kian sukses dan bahagia hidupnya. Kenapa? Karena kadar oksigen di syaraf-syaraf otak memadai, sehingga mampu mencerna informasi dengan jernih. Inilah magnet alami yang menarik kesuksesan sungkem mencium kaki Anda.

Buku ini bukan sekedar teori, karena ia terlahir dari pengalaman workshop di Jakarta, Yogyakarta, Bali, dan mancanegara. Rumus matematis keberhasilan sejati sederhana saja. Sukses Total = (Pikiran yang jernih + keyakinan yang kuat) x tindakan yang tepat. Akhir kata, salam sukses buat kita semua!

April 06, 2009

Menata Trotoar dengan Hati

Dimuat di Rubrik Bebas Bicara, Bernas Jogja, Selasa/7 April 2009

Saat ini pertumbuhan Pedagang Kaki Lima (PKL) kian tak terkendali. Senada dengan tembang "Bunga Trotoar"-nya Bung Iwan Fals, "Menggelar aneka barang, kaki lima makin menjalar..." Tentunya di sepanjang trotoar. Misal dari dusun Soropadan di Jln. Affandi (Gejayan) sampai dengan perpustakaan Universitas Sanata Dharma (USD) di Mrican. Trotoar di sana beralih fungsi menjadi areal lapak kaki lima, terutama pada malam hari.

Kalau kita perhatikan, hampir semua trotoar di Yogyakarta tak bersahabat dengan pejalan kaki. Padahal menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (W.J.S Poerwadarminta, Balai Pustaka, 1976) Trotoar ialah tempat orang berjalan kaki.

Sebagai bahan perbandingan, pejabat di kota-kota negara maju senantiasa menata trotoar secara apik. Sebab salah satu tolak ukur kinerja mereka ialah rupa trotoarnya. Lebar trotoar rata-rata 6-12 m. Permukaannya dilapisi batu-batu granit agar tidak licin saat hujan atau musim salju. Dan yang pasti, trotoar bukanlah lahan parkir ataupun tempat berdagang.

Pada kedua sisi trotoar ditanami pepohonan rindang dan aneka bunga warna -warni. Bayangkan saat Anda melintasi The Fifth Avenue di New York dan merasakan kedamaian saat jalan-jalan sore (JJS). Suasana nyaman tersebut kerap pula dibumbui dengan suara gitar dan harmonika yang membelai sukma (Sumber: Membangun Trotoar, Membangun Peradaban, Kompas (19/6/2008)).

Oleh sebab itu, para pedagang kaki lima perlu direlokasi ke tempat yang lebih memadai. Dulu dari perempatan Kolombo di Jl. Affandi (gejayan) sampai ke SMU Gama berjajar pedagang-pedagang kaki lima. Sekarang mereka dipindahkan ke Resto PKL di sisi timur Kampus USD Mrican. Hasilnya, PKL tetap laris manis dan trotoarnya pun menjadi lebih rapi. Bersih dan indah karena dihiasi lukisan mural pada sisi temboknya.

Akhir kata, trotoar dan pedagang kaki lima relasinya tak saling menafikan. Asalkan kita tata bersama dengan hati.

Maret 20, 2009

Membangkitkan Kembali Ruh Mpu Tantular

Judul: Sandi Sutasoma, Menemukan Kepingan Jiwa Mpu Tantular
Penulis: Anand Krishna
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, 2007
Tebal: vi + 312 Halaman
Harga: Rp50.000


"Indoktrinasi yang dilakukan terhadap anak-anak kita sejak usia dini menciptakan konflik di dalam diri mereka. Doktrin yang mereka peroleh - termasuk cara makan, berpakaian dan lain sebagainya - membuat mereka tertutup" (hal 255)

Mpu Tantular menulis Kakawin Sutasoma untuk mengkritik Gajah Mada. Saat itu fondasi yang dipakai oleh Sang Maha Patih guna menyatukan Nusantara begitu rapuh. Deklarator Sumpah Palapa tersebut menggunakan strategi militer, ekonomi dan agama. Sebagai alternatif, Sang Mpu menawarkan pendekatan budaya untuk mengatasi krisis multidimensi yang mendera Majapahit.
Pangeran Sutasoma lahir di India. Saat itu kepulauan Dwipantara masih menyatu dengan daratan Jambudwipa, sehingga wajar bila banyak kemiripan antara Indonesia dan India. Dari seni pewayangan sampai dengan teknik bercocok tanam. Kenapa? karena akar budayanya satu. Yakni peradaban subur di sekitar Sungai Sindhu yang membentang dari Gandhaar (sekarang Kandahar di Afganistan) hingga perbatasan Astraalaya (kini Australia).

Ibunya bernama Prajnadhari, seorang permaisuri kerajaan Hastina, sedangkan ayahnya bernama Mahaketu, raja bijak yang berkuasa atas sebagian besar wilayah Jambudwipa. Kelahiran Sang Putra Mahkota disambut gembira oleh keluarga, kerabat istana, dan seluruh rakyat. Yang mencolok ialah kulit si bayi mungil ini bersih nyaris tanpa noda. Suta berarti anak dan soma berarti bulan. Para astronom memprediksi kelak Sutasoma akan bertabiat ibarat rembulan nan lembut dan melembutkan (hal 65).

Anehnya begitu menginjak usia remaja Sang Pangeran enggan mendalami ilmu ekonomi-politik. Ia justru lebih suka mendengarkan wejangan para biku dan pertapa, baik yang menganut ajaran Budha maupun Tantra Shiva. Hingga akhirnya pada suatu malam tanpa bekal sepeserpun Sutasoma kabur dari istana menggembara untuk menemukan makna sejati kehidupan (sejatine urip).

Setelah keluar-masuk hutan Sutasoma bertemu dengan Biku Sumitra yang ternyata kakeknya sendiri. Dulu si eyang bernama Jayatsena, nama barunya itu hadiah dari Sang Guru. Su-Mitra artinya sahabat yang baik, beliau berusaha menjalin persahabatan dengan siapa saja tanpa pandang bulu.

Ada dua hal penting yang disampaikan, pertama Sutasoma kelak akan menikah dengan putri pamannya sendiri, Chandrawati akan menjadi pendamping setia sekaligus sumber inspirasi dalam pelayanan pada sesama. Kedua, ia musti "menaklukkan" Purushaada, raja lalim yang selama ini menindas rakyat.

Purushaada berasal dari kata purusha atau manusia yang belum sempurna (hal 181). Ia yang masih setengah-setengah. Purushaada merindukan kehadiran Sutasoma alias kehangatan belaian Rembulan. Kini pun masih banyak orang bertubuh manusia yang kelakuannya sub-human karena kerap menindas orang lain.

Akhirnya Keberadaan (baca: Tuhan) mempertemukan Sutasoma dan Purushaada, tepatnya di kuil Batara Kala. Tatkala insting hewani (ego) Purushaada larut dalam kehangatan cinta Sutasoma secara alamiah terjadi phenomena Kawula Manunggaling Gusti - Tauhid! Dalam bahasa Mpu Tantular berbunyi, "Rwaaneka dhaatu winuwus Buddha Wishwa bhineki rakwa ring apan kena parwanosen, mankaang Jinatwa kalawan Shivatatwa tunggal, bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa." (Kakawin Sutasoma atau Purushaada Shantaa, CXXXIX:5 diterjemahkan oleh I Gusti Bagus Sugriwa)

Buku ini ialah yantra atau alat untuk membangkitkan kembali ruh ke-empu-an dalam diri kita, sebagaimana Mpu Tantular pernah merasuki Bung Karno, Hatta, Dewantoro, dll. Kini tugas sejarah generasi abad ke-21 untuk mendengungkan kembali pesan persatuan, "Bhineka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa" di bumi Nusantara tercinta.

Sumber: http://news.okezone.com/index.php/ReadStory/2009/03/18/285/202518/membangkitkan-kembali-ruh-mpu-tantular
http://oase.kompas.com/read/xml/2009/03/18/11093748/resensi.membangkitkan.kembali.ruh.mpu.tantular

Maret 10, 2009

Merevitalisasi Kearifan Lokal

Dimuat di Rubrik Bebas Bicara, Bernas Jogja, 10 Maret 2008

"Hare gene ngomong pake basa Jawa, apa kata dunia?" Begitulah komentar kaum muda menyikapi ajakan pemakaian bahasa Jawa di abad ke-21 ini. Bahkan para generasi Music Television (MTV) itu lebih suka nongkrong di Mall ketimbang nonton Pasar Malam dan Perayaan Sekaten (PMPS) di Alun-alun Utara Yogyakarta.

Globalisasi melenakan kesadaran kolektif generasi muda. Akibatnya, kami tercerabut dari akar budaya lokal. Ada yang bergaya "kebarat-baratan" pada satu sisi dan "kearab-araban" pada sisi lainnya. Di antara kedua kutub tersebut, variannya pun beragam.

Padahal tradisi Kejawen - berasal dari nama tumbuhan kejawen, yakni sejenis rerumputan yang mirip batang padi - menyimpan khasanah luhur. Contoh konkret seni pewayangan, ia mengandung ajaran spiritual adiluhung. Mpu Kanwa menjadikan "tontonan" tersebut sebagai "tuntunan" sekaligus landasan "tatanan" masyarakat. Wayang dikenal luas oleh leluhur kita. Tepatnya sejak zaman Dinasti Airlangga di Kerajaan Singosari pada abad ke-12.

Ironisnya, saat ini hanya segelintir orang muda yang tergerak merenungkan makna filosofis di balik tokoh Wayang. Contoh konkret Panakawan. Panakawan berasal dari dua kata. Pana artinya bijak dan kawan sinonim dengan sahabat. Ki Semar, Gareng, Petruk dan Bagong ialah para sahabat bijaksana alias kesadaran yang bersemayam dalam diri setiap insan.

Contoh lainnya ialah tradisi kungkum di sumber mata air. Prosesi sederhana ini niscaya menyehatkan, baik secara lahir maupun batin. Menurut penelitian dr. Masaro Emoto, seorang ilmuwan kondang asal Jepang, terapi rendam bisa mendetosifikasi racun di dalam tubuh.
Air, terutama yang masih alami, berkhasiat melepaskan beban stres dan radikal-radikal bebas. Niscaya rasa pang rasa kita kembali ke titik indeferent (lepas-bebas). Situasi batin tersebut terproyeksi dalam bentuk kristal heksagonal yang indah (Lihat :http://wb4.indo-work.com/pdimage/84/329784_molek.gif)

Bahkan tatkala peradaban Barat baru mulai mengenal istilah IQ, EQ, SQ, IESQ, dll pada era 1970-an, lehuhur kita mendiang Sri Paduka Mangkunegoro IV telah mengajarkan laku sembah raga, cipta, rasa dan karsa dalam keseharian ziarah hidup. Ajaran esoterik tersebut termaktub dalam Geguritan (Tembang) Wedhatama (Baca: Wedhatama Bagi Orang Modern, Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2001)

Di kepulauan Nusantara ini, tercatat tak kurang dari 300 suku bangsa. Masing-masing memiliki - meminjam istilah Ki Hadjar Dewantara - unggulan budaya yang khas sekaligus saling memperkaya satu sama lain.

Antonius Herujiyato Ph.D mendokumentasikan dan menterjemahkan 99 filosofi Jawa ke dalam bahasa Inggris. Karena selama ini lebih banyak petuah yang diturunkan secara lisan. Judul thesis S3 tersebut Katrenanism Theory. Antara lain berisi ajaran andhap asor alias sikap rendah hati (being humble), 2. kraton nDalem alias melihat spirit di balik ritual, keraton bukan semata bangunan fisik, melainkan lebih merupakan simbolisasi lelaku manusia untuk mencapai kesejatian hidup (being spiritual), dll (Sumber: Panel Discussion on Katresnanism, Universitas Sanata Dharma, 2003)

Contoh lainnya ialah novel-novel karya Almarhum Romo Y.B Mangunwijaya Pr. Beliau menulis karya sastra yang kaya muatan filosofi Jawa, a.l: 'Lali-lali datan lali, lawan saya katon, upamakna wit-witan kang gedhe, mrajak saya semi, tresnaku ngrembuyung." Artinya, "Lupa, lupa tidak bisa lupa, semakin lama semakin tampak, ibarat pohon besar, berkembang kian bersemi, cintaku semakin rimbun. (Baca: Roro Mendut, PT. Gramedia Pustaka Utama, 1983, hal 352)

Nilai lokalitas ibarat ruh bagi "bangkai" peradaban modern. Perkembangan pesat laju Teknologi, Informasi dan Komunikasi (TIK ), baik lewat situs FB (Facebook), FS (Friendster) dan YM (Yahoo Mesenger) tak tuntas memuaskan dahaga anak bangsa untuk menemukan makna eksistensinya. Pada sisi lain interpretasi ajaran agama cenderung dogmatis dan ekslusif. Sepanjang 2000 tahun terakhir, anak-cucu Adam telah berperang dengan mengatasnamakan agama sebanyak 3000 kali. Akibatnya, umat manusia tak lagi leluasa menghirup universalitas kosmik.

Akhir kata, bumi Nusantara tercinta dari Sabang sampai Merauke toh masih menyimpan harta karun berharga. Saatnya kita menggali dan mempromosikan kembali khasanah kearifan lokal tersebut. Tentu secara elegan dan sesuai dengan konteks saat ini. Rahayu!

Februari 19, 2009

Menggali Potensi Kelautan

Dimuat di Rubrik Bebas Bicara, Bernas Jogja, Jumat/20 Februari 2009

UNCLOS (United Nation Convention on the Law of the Sea) mencatat Indonesia sebagai negara maritim terbesar di dunia. Kenapa? karena 3/5 wilayah NKRI berupa perairan. Dari Sabang sampai Merauke luas lautan mencapai 5,8 juta km2 lebih. Rinciannya 0,3 juta km2 perairan teritorial, 2,7 juta km2 Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) dan 2,8 juta km2 perairan pedalaman.

Selain itu, panjang bibir pantai kita 81 ribu km. Bahkan Indonesia memiliki lk. 17.508 pulau yang notabene kaya akan potensi kelautan. Harta karun terpendam tersebut menjadi basis material bagi pengembangan budaya bahari. Sehingga sungguh bisa dimanfaatkan demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Ironisnya, rasa cinta pada laut kian surut. Kasus Sipadan-Ligitan menjadi pukulan telak bagi kedaulatan bangsa. Padahal Deklarasi Juanda (13 Desember 1957) menandaskan, "Segala perairan di sekeliling dan di antara pulau-pulau di Indonesia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari daratan dan berada di bawah kedaulatan Indonesia."

Sejak dulu kala, Indonesia memiliki para pelaut ulung. Leluhur kita mengirim rempah-rempah sampai ke Madagaskar menggunakan kapal sendiri. Pada era kerajaan Sriwijaya dan Majapahit budaya maritim begitu kental dan disegani oleh para negri tetangga.

Dalam diskusi kebangsaan National Integration Movement (NIM) di One Earth Ciawi Bogor pada 29 November 2008 silam, Imam Sadjono, Direktur Akademi Maritim Jakarta mengatakan bahwa ada 3 aspek penting dalam pengembangan potensi kelautan. Pertama, aspek ekonomis, berupa hak eksplorasi hasil laut. Kedua, aspek ekologis, berupa pengelolaan potensi laut. Ketiga, aspek sosial-budaya, berupa pelestarian budaya bahari.

Secara ekonomis, masyarakat pesisir relatif belum sejahtera. Kenapa? karena jumlah peralatan milim. Mereka bahkan kesulitan solar untuk melaut. Padahal komunitas nelayanlah yang seyogianya mencicipi langsung anugerah kekayaan laut. Tak akan ada ikan gurih di meja makan, tanpa jerih payah nelayan.

Oleh sebab itu ke depan, kebijakan pemerintah perlu lebih berpihak. Perbankan juga harus berani memberi pinjaman kepada nelayan. Tentu dengan bunga rendah dan tanpa angunan. Saat ini total ekspor hasil perikanan kita mencapai US$ 2 miliar per tahun.

Lebih lanjut, potensi ekologis kelautan begitu menggiurkan. Menurut para ahli terumbu karang dunia, taman terumbu karang seluas 1 km2 bisa menghasilkan ikan sebanyak 40-60 ton atau setara dengan US$ 120 ribu.

Potensi lainnya ialah budidaya rumput laut. Tumbuhan keluarga algae tersebut memiliki banyak manfaat. Puding dan agar-agar sebagai penutup santap malam pun terbuat darinya. Rata-rata 1 hektar lahan tambak dapat menghasilakn 10-12 ton rumput laut basah atau setara dengan 1-1,2 ton rumput laut kering. Saat ini kebutuhan rumput laut dunia mencapai 382 ribu ton per tahun. Baru terpenuhi 80 presennya saja. Dan...117 ribu tonnya berasal dari Indonesia.

Mari melihat laut bukan semata sebagai hamparan air yang memisahkan satu pulau dengan pulau yang lainnya, tapi melihatnya sebagai perekat kepulauan Nusantara dan sumber kekayaan alama yang tak terkira.

Akhir kata, sinergi antara pemerintah, masyarakat pesisir dan swasta tak bisa ditawar lagi. Pengembangan potensi kelautan secara gotong-royong niscaya memberi sumbangsih nyata bagi perbaikan kehidupan berbangsa.

Februari 15, 2009

Apresiasi Anand Krishna

Dimuat di Rubrik Surat Pembaca, Kompas Jateng-DIY, Senin/19 Januari 2009


Anand Krishna, tokoh spiritual lintas agama Nusantara, bersama 6 pengurus Yayasan Anand Ashram (berafiliasi dengan PBB) mengunjungi Sarnath, Senin (5/1), untuk memberi patung Buddha (terbuat dari batu setinggi 2,5 meter) kepada Yang Mulia Dalai Lama ke-14 Tenzin Gyatso, pemimpin spiritual dan pemerintahan rakyat Tibet di pengasingan Dharmasala, India.

Pasca diinaugurasi secara langsung oleh Dalai Lama ke-14, pada 8-10 Januari, patung itu akan diletakkan di Central Institute of Higher Tibetan Studies Deemed University, daerah Uttar Pradesh, India. Buah karya seniman Bali, Nyoman Alim itu terbuat dari batu yang sama dengan bahan baku Candi Borobudur yang dibangun abad ke-9 Masehi di Jawa Tengah.

Anand Krishna mengatakan persembahan ini untuk memperkuat ikatan spiritual dan budaya masyarakat Indonesia dan Tibet. "Saya, mewakili rakyat Indonesia, memberikan apresiasi kepada Yang Mulia Dalai Lama ke-14 atas upaya beliau yang tak kenal lelah dalam melindungi warisan budaya dan sejarah Tibet secara damai," ujar penulis produktif 120 buku itu. Dengan mempersembahkan patung dari Indonesia kepada Dalai Lama yang lalu diletakkan di tanah India, diharapkan rakyat Tibet, India, dan Indonesia bersatu dalam cinta, damai, dan harmoni.

Menurut catatan sejarah Tibet, terdapat hubungan erat antara Sriwijaya dan Tibet, yakni melalui Atisha, seorang biarawan Buddhis dari India. Ia ngangsu kawruh alias belajar selama 10 tahun dari Dharmakirti-Svarnadvipi, seorang guru spiritual yang hidup pada masa Sriwijaya, tahun 1012 Masehi. Selanjutnya, Atisha melawat ke Tibet dan mengajarkan teknik meditasi Tong-Len yang beliau pelajari dari Sang Master. Intinya bagaimana menarik negativitas dan mentransformasikannya jadi positivitas. Hingga saat ini, nama Dharmakirti-Svarnadvipi begitu lekat dalam hati Dalai Lama ke-14 dan masyarakat Tibet.

Maya Safira Muchtar, Ketua Yayasan Anand Ashram, mengatakan saat ini tak banyak orang Indonesia yang mengetahui hubungan sejarah antara Sriwijaya dan Tibet itu. Masyarakat Tibetlah yang mendokumentasikan dan mempraksiskan ajaran spiritual selama ratusan tahun. Pengiriman patung Buddha ini ialah ungkapan rasa terima kasih atas jasa besar tersebut. Rahayu!

Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/01/19/14075568/surat.pembaca

Februari 10, 2009

Pembatasan Jaipongan

Dimuat di Majalah Tempo, 10 Februari 2009

GUBERNUR Jawa Barat Ahmad Her­yawan menganjurkan para penari jaipong mengurangi 3G (goyang, gitek, dan geol). Bagaimana bisa, 3G adalah unsur dan ciri khas jaipong. Apakah Pak Gubernur lebih tergoda ketimbang menikmati keindahan tarian ini?

Kebijakan ini juga diskriminatif dan bias gender. Lebih celaka lagi, anjuran ini menggunakan dalil agama. Sayang faktanya tak sesuai dengan konteks geografis. Ibarat bermimpi di siang bolong, para agen neo-Wahabi hendak ”men-Ta­libanisasi” dan ”mem-Balkanisasi” Indonesia yang ”Bhinneka Tunggal Ika” ini. Ajaran agama toh menuntun kita melihat kebenaran (spirit) di balik badan (ritual) dan menemukan esensi spiritualitas. Dalam napas universal itulah kita semua bersatu dalam harmoni.

Mengatur gerakan ataupun cara ber­pa­­kaian para penari jaipong sungguh­ me­rendahkan inteligensi manusia dan me­nafikan kearifan leluhur yang meng­krea­sinya. Oleh sebab itu, mari katakan tidak untuk kejahatan terhadap budaya! Sebagai elemen bangsa, kita justru perlu melestarikan titipan anak-cucu, yakni­ budaya luhur Nusantara dari Sabang sampai Merauke.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/02/09/SRT/mbm.20090209.SRT129473.id.html


Januari 26, 2009

Jalur Sepeda

Dimuat di Rubrik Surat Pembaca Harian Joglosemar, 24 Januari 2009

Kampanye Sego Segawe alias bersepeda ke sekolah dan kantor hanyalah angin lalu jika tidak diimbangi kebijakan konkret di lapangan. Misalnya dengan menyediakan jalur khusus bagi pengendara sepeda dan memberi akses parkir sepeda di mal, pasar tradisional, gedung pemerintah atau swasta, kampus, rumah sakit, dan sebagainya.

Berdasarkan pengalaman penulis, bersepeda memiliki banyak keuntungan. Ngepit itu ”ASIK”. Ngepit ialah bahasa Jawa, artinya mengendarai sepeda. Entah itu pit onthel, mountain bike, ataupun jenis kereta angin lainnya. “A” singkatan dari Antipolusi. Di saat pemanasan global menggejala, usaha sekecil apa pun untuk mengurangi efek rumah kaca patut diapresiasi. “S” kepanjangannya Sehat. Menurut penelitian medis, rutin bersepeda bisa memperlancar peredaran darah, meningkatkan kinerja jantung dan menjaga vitalitas tubuh.

“I” berarti Irit. Saat harga minyak dunia serba tak menentu, kita perlu beralih pada alat transportasi yang murah meriah. Seorang kawan di WALHI memaparkan rumus -1, -5. Bila hendak bepergian kurang dari 1 km lebih baik berjalan saja dan kalau di bawah 5 km silakan bersepeda. Terakhir, “K” ialah Klasik. Bersepeda adalah kebiasaan masa silam yang masih relevan, sehingga perlu terus dilestarikan.

Sumber: http://harianjoglosemar.com/index.php?option=com_content&task=view&id=32436&Itemid=1

Januari 22, 2009

Kualitas Penulis

Roy Peter Clark, pelatih penulisan di St. Petersburg Times mencatat 14 kesamaan kualitas para penulis yang baik setelah ia mewawancarai sejumlah wartawan terkemuka:

  1. Penulis yang baik melihat dunia bagaikan laboratorium jurnalisme mereka, sebuah gudang dengan gagasan cerita. Jika mereka ke lapangan, mereka pasti akan menemukan berita.
  2. Penulis yang baik lebih suka menemukan dan mengembangkan gagasan cerita mereka sendiri. Mereka menghargai kerja sama dengan editor yang baik tetapi sering menghindar dari editor buruk dan penugasan yang mereka anggap tidak berguna.
  3. Penulis yang baik adalah pengumpul informasi yang lahap. Ini biasanya berarti bahwa mereka mencatat semua yang mereka dapat. Mereka lebih menaruh perhatian pada mutu informasi daripada gaya yang berbunga-bunga dan sering menyebut diri sebagai wartawan daripada penulis.
  4. Penulis yang baik banyak menghabiskan waktu dan energi kreativitasnya untuk menulis kalimat atau paragraf pembukaan (lead) suatu cerita. Mereka tahu bahwa pembukaan ini merupakan bagian yang terpenting dari suatu tulisan, bagian yang mengundang pembaca untuk masuk ke dalam cerita dan mengingatkan tentang beritanya. Mereka cenderung menjelaskan bagaimana mereka berkali-kali menulis ulang kalimat atau pembukaan ini sampai mereka mendapatkan yang “pas.”
  5. Penulis yang baik berbicara tentang bagaimana mereka “membenamkan diri” dalam cerita mereka. Mereka hidup, bernafas, dan bermimpi bersamanya. Mereka merencanakan dan membicarakan dengan editornya dan selalu mencari arah baru dan informasi yang segar.
  6. Penulis yang baik adalah pekerja yang tekun daripada pekerja yang tergesa-gesa. Karena tuntutan standar yang tinggi mereka merasa naskah tulisan pertama mereka selalu tidak cukup baik sehingga perlu selalu diperbaiki. Tetapi bila menghadapi batas waktu penulisan (dead-line), mereka mampu bekerja cepat.
  7. Penulis yang baik mengerti bahwa bagian yang terpenting dari penulisan adalah mengatur atau mengorganisasikan bahan tulisan, suatu pekerjaan yang menjemukan. Saut Pett dari AP menyebutnya “pekerjaan keledai.” Mereka menanggapi ini dengan mengembangkan sistem kearsipan yang baik. Banyak di antara mereka yang mempunyai kebiasaan-kebiasaan (aneh) untuk membangun semangat dalam proses penulisan, seperti merokok, makan nyamikan, berjalan-jalan, melamun, atau sering ke kamar kecil.
  8. Seorang penulis yang baik menulis ulang. Mereka menyenangi komputer yang dengan leluasa bisa mengubah-ubah tulisan dengan memindahkan kalimat, paragraf atau kata karena mereka selalu merasa tidak puas dengan tulisan mereka.
  9. Dalam menilai pekerjaan mereka, penulis yang baik cenderung lebih mempercaya kuping dan perasaan daripada mata mereka. Ada yang menatap layar komputer sambil komat-kamit dengan harapan bahwa musik yang ada di sanubari akan mengalir melalui jari-jari mereka. Penulis ingin membuatnya menyanyi.
  10. Penulis yang baik senang bercerita. Mereka selalu mencari segi kemanusiaan dari berita, untuk suara-suara yang menghidupkan tulisan mereka. Bahasa mereka mencerminkan perhatian mereka pada bercerita. Daripada berbicara tentang 5 W, mereka lebih senang mendiskusikan anekdot, suasana, kronologi, dan narasi.
  11. Penulis yang baik terutama menulis untuk memuaskan diri mereka dan memenuhi standar berat mereka sendiri, tetapi mereka juga sadar bahwa menulis adalah suatu transaksi antara penulis dan pembaca. Tidak seperti kebanyakan wartawan, penulis yang baik yakin bahwa tulisan yang baik tidak akan ditinggalkan pembaca. Mereka menghargai pembaca dan ingin menghadiahkan dan melindungi mereka dan bertanggungjawab untuk apa yang pembaca dapatkan dari sebuah tulisan.
  12. Penulis yang baik mencoba berbagai kemungkinan dalam penulisan. Mereka senang dengan kejutan dan pendekatan yang tidak biasa dari suatu cerita. Dan mereka menyukai editor yang memberi kesempatan untuk bereksperimen tetapi yang akan menolong mereka dari kejatuhan.
  13. Penulis yang baik adalah pembaca seumur hidup, kebanyakn novel, dan mereka menyukai film.
  14. Penulis yang baik menulis panjang, dan mereka sadar itu. Tidak seperti banyak wartawan, yang berhenti mempedulikan pembaca setelah menyelesaikan bagian pembuka (lead), penulis yang baik berusaha agar tulisannya menarik sampai akhir sehingga pembaca tidak berhenti. Tulisan mereka begitu baik sehingga sulit dipotong dari bawah. Mereka menginginkan pembaca membaca setiap kata.
Sumber: Luwi Ishwara, Catatan-catatan Jurnalisme Dasar, hal 110-113, Kompas, 2005

Januari 05, 2009

Apresiasi terhadap Dalai Lama

Dimuat di Rubrik Jagongan, Harian Jogja, Senin/6 Januari 2008

Anand Krishna, tokoh spiritual lintas agama Nusantara, bersama 6 pengurus Yayasan Anand Ashram (berafiliasi dengan PBB) mengunjungi Sarnath pada Senin (5/1) untuk memberikan patung Buddha (terbuat dari batu setinggi 2,5 meter) kepada Yang Mulia Dalai Lama ke-14 Tenzin Gyatso, pemimpin spiritual dan pemerintahan rakyat Tibet di pengasingan India.

Pasca diinaugurasi secara langsung oleh Dalai Lama ke-14, patung tersebut akan diletakkan di Central Institue of Higher Tibetan Studies Deemed University, daerah Uttar Pradesh, India. Buah karya seniman Bali, Nyoman Alim itu terbuat dari batu yang sama dengan bahan baku Candi Borobudur yang dibangun pada abad ke-9 Masehi di Jawa Tengah.

Anand Krishna mengatakan persembahan ini untuk memperkuat ikatan spiritual dan budaya masyarakat Indonesia dan Tibet. Dengan mempersembahkan patung dari Indonesia kepada Dalai Lama yang kemudian diletakkan di tanah India diharapkan rakyat Tibet, India, dan Indonesia bersatu dalam cinta, damai, dan harmoni.

Menurut catatan sejarah Tibet, terdapat hubungan yang erat antara Sriwijaya dan Tibet, yakni melalui Atisha, seorang biarawan Buddhis dari India. Beliau ngangsu kawruh alias belajar selama 10 tahun dari Dharmakirti - Svarnadvipi, seorang guru spiritual yang hidup pada masa Sriwijaya di abad ke-11 Masehi.

Selanjutnya Atisha melawat ke Tibet dan mengajarkan teknik meditasi Tong-Len yang beliau pelajari dari Sang Master. Intinya bagaimana menarik negativitas dan mentransformasikannya menjadi positivitas. Hingga saat ini nama Dharmakirti-Svarnadvipi begitu lekat dalam hati Dalai Lama ke-14 dan masyarakat Tibet.

Maya Safira Muchtar, ketua Yayasan Anand Ashram, mengatakan saat ini tak banyak orang Indonesia yang mengetahui hubungan sejarah antara Sriwijaya dan Tibet tersebut. Masyarakat Tibetlah yang mendokumentasikan dan mempraksiskan ajaran spiritual selama ratusan tahun. Pengirimaan patung Buddha ini ialah sebentuk ungkapan rasa terima kasih atas jasa besar tersebut. Rahayu!