UNCLOS (United Nation Convention on the Law of the Sea) mencatat Indonesia sebagai negara maritim terbesar di dunia. Kenapa? karena 3/5 wilayah NKRI berupa perairan. Dari Sabang sampai Merauke luas lautan mencapai 5,8 juta km2 lebih. Rinciannya 0,3 juta km2 perairan teritorial, 2,7 juta km2 Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) dan 2,8 juta km2 perairan pedalaman.
Selain itu, panjang bibir pantai kita 81 ribu km. Bahkan Indonesia memiliki lk. 17.508 pulau yang notabene kaya akan potensi kelautan. Harta karun terpendam tersebut menjadi basis material bagi pengembangan budaya bahari. Sehingga sungguh bisa dimanfaatkan demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Ironisnya, rasa cinta pada laut kian surut. Kasus Sipadan-Ligitan menjadi pukulan telak bagi kedaulatan bangsa. Padahal Deklarasi Juanda (13 Desember 1957) menandaskan, "Segala perairan di sekeliling dan di antara pulau-pulau di Indonesia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari daratan dan berada di bawah kedaulatan Indonesia."
Sejak dulu kala, Indonesia memiliki para pelaut ulung. Leluhur kita mengirim rempah-rempah sampai ke Madagaskar menggunakan kapal sendiri. Pada era kerajaan Sriwijaya dan Majapahit budaya maritim begitu kental dan disegani oleh para negri tetangga.
Dalam diskusi kebangsaan National Integration Movement (NIM) di One Earth Ciawi Bogor pada 29 November 2008 silam, Imam Sadjono, Direktur Akademi Maritim Jakarta mengatakan bahwa ada 3 aspek penting dalam pengembangan potensi kelautan. Pertama, aspek ekonomis, berupa hak eksplorasi hasil laut. Kedua, aspek ekologis, berupa pengelolaan potensi laut. Ketiga, aspek sosial-budaya, berupa pelestarian budaya bahari.
Secara ekonomis, masyarakat pesisir relatif belum sejahtera. Kenapa? karena jumlah peralatan milim. Mereka bahkan kesulitan solar untuk melaut. Padahal komunitas nelayanlah yang seyogianya mencicipi langsung anugerah kekayaan laut. Tak akan ada ikan gurih di meja makan, tanpa jerih payah nelayan.
Oleh sebab itu ke depan, kebijakan pemerintah perlu lebih berpihak. Perbankan juga harus berani memberi pinjaman kepada nelayan. Tentu dengan bunga rendah dan tanpa angunan. Saat ini total ekspor hasil perikanan kita mencapai US$ 2 miliar per tahun.
Lebih lanjut, potensi ekologis kelautan begitu menggiurkan. Menurut para ahli terumbu karang dunia, taman terumbu karang seluas 1 km2 bisa menghasilkan ikan sebanyak 40-60 ton atau setara dengan US$ 120 ribu.
Potensi lainnya ialah budidaya rumput laut. Tumbuhan keluarga algae tersebut memiliki banyak manfaat. Puding dan agar-agar sebagai penutup santap malam pun terbuat darinya. Rata-rata 1 hektar lahan tambak dapat menghasilakn 10-12 ton rumput laut basah atau setara dengan 1-1,2 ton rumput laut kering. Saat ini kebutuhan rumput laut dunia mencapai 382 ribu ton per tahun. Baru terpenuhi 80 presennya saja. Dan...117 ribu tonnya berasal dari Indonesia.
Mari melihat laut bukan semata sebagai hamparan air yang memisahkan satu pulau dengan pulau yang lainnya, tapi melihatnya sebagai perekat kepulauan Nusantara dan sumber kekayaan alama yang tak terkira.
Akhir kata, sinergi antara pemerintah, masyarakat pesisir dan swasta tak bisa ditawar lagi. Pengembangan potensi kelautan secara gotong-royong niscaya memberi sumbangsih nyata bagi perbaikan kehidupan berbangsa.
Selain itu, panjang bibir pantai kita 81 ribu km. Bahkan Indonesia memiliki lk. 17.508 pulau yang notabene kaya akan potensi kelautan. Harta karun terpendam tersebut menjadi basis material bagi pengembangan budaya bahari. Sehingga sungguh bisa dimanfaatkan demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Ironisnya, rasa cinta pada laut kian surut. Kasus Sipadan-Ligitan menjadi pukulan telak bagi kedaulatan bangsa. Padahal Deklarasi Juanda (13 Desember 1957) menandaskan, "Segala perairan di sekeliling dan di antara pulau-pulau di Indonesia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari daratan dan berada di bawah kedaulatan Indonesia."
Sejak dulu kala, Indonesia memiliki para pelaut ulung. Leluhur kita mengirim rempah-rempah sampai ke Madagaskar menggunakan kapal sendiri. Pada era kerajaan Sriwijaya dan Majapahit budaya maritim begitu kental dan disegani oleh para negri tetangga.
Dalam diskusi kebangsaan National Integration Movement (NIM) di One Earth Ciawi Bogor pada 29 November 2008 silam, Imam Sadjono, Direktur Akademi Maritim Jakarta mengatakan bahwa ada 3 aspek penting dalam pengembangan potensi kelautan. Pertama, aspek ekonomis, berupa hak eksplorasi hasil laut. Kedua, aspek ekologis, berupa pengelolaan potensi laut. Ketiga, aspek sosial-budaya, berupa pelestarian budaya bahari.
Secara ekonomis, masyarakat pesisir relatif belum sejahtera. Kenapa? karena jumlah peralatan milim. Mereka bahkan kesulitan solar untuk melaut. Padahal komunitas nelayanlah yang seyogianya mencicipi langsung anugerah kekayaan laut. Tak akan ada ikan gurih di meja makan, tanpa jerih payah nelayan.
Oleh sebab itu ke depan, kebijakan pemerintah perlu lebih berpihak. Perbankan juga harus berani memberi pinjaman kepada nelayan. Tentu dengan bunga rendah dan tanpa angunan. Saat ini total ekspor hasil perikanan kita mencapai US$ 2 miliar per tahun.
Lebih lanjut, potensi ekologis kelautan begitu menggiurkan. Menurut para ahli terumbu karang dunia, taman terumbu karang seluas 1 km2 bisa menghasilkan ikan sebanyak 40-60 ton atau setara dengan US$ 120 ribu.
Potensi lainnya ialah budidaya rumput laut. Tumbuhan keluarga algae tersebut memiliki banyak manfaat. Puding dan agar-agar sebagai penutup santap malam pun terbuat darinya. Rata-rata 1 hektar lahan tambak dapat menghasilakn 10-12 ton rumput laut basah atau setara dengan 1-1,2 ton rumput laut kering. Saat ini kebutuhan rumput laut dunia mencapai 382 ribu ton per tahun. Baru terpenuhi 80 presennya saja. Dan...117 ribu tonnya berasal dari Indonesia.
Mari melihat laut bukan semata sebagai hamparan air yang memisahkan satu pulau dengan pulau yang lainnya, tapi melihatnya sebagai perekat kepulauan Nusantara dan sumber kekayaan alama yang tak terkira.
Akhir kata, sinergi antara pemerintah, masyarakat pesisir dan swasta tak bisa ditawar lagi. Pengembangan potensi kelautan secara gotong-royong niscaya memberi sumbangsih nyata bagi perbaikan kehidupan berbangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar