Juni 24, 2009

Makna di Balik Kata

Dimuat di Rubrik Keliling Kota, Kompas Jateng-DIY, Rabu/24 Juni 2009

J. Sumardianta, guru Sosiologi di SMU Kolese de Britto dan penulis resensi ulung kelahiran Kulon Progo menyelipkan sepenggal makna unik kampung Gemblakan dalam buku terbarunya Simply Amazing - Insiprasi Menyentuh Bergelimang Makna (PT. Gramedia Pustaka Utama, April 2009). Kampung Gemblakan itu tepat berada di selatan Jembatan Gowok Yogyakarta.

Gemlak artinya pria yang bertingkah laku seperti wanita. Masyarakat lazim menyebutnya banci. Stigma ini terlanjur berkonotasi negatif. Padahal, sejatinya leluhur kita telah mengapresiasi keberagaman pilihan seksual seseorang. Bahkan, di daerah Sulawesi, kaum Bissu, yang kebanyakan terdiri atas kaum gay, dipasrahi tugas menjaga pusaka kerajaan. Mirip dengan kaum Kasim di China.

Selanjutnya, nama kabupaten Sleman, ternyata berasal dari kata liman. Artinya, gajah. Daerah itu pernah menjadi areal angon atau menggembalakan gajah. Secara impilisit menyiratkan betapa leluhur kita relatif berkelimpahan hidupnya. Daerah-daerah yang berhasil ditaklukkan oleh kerajaan Mataram memberikan upeti gajah sebagai bukti loyalitas (sumber: Kota Baru Kota Lama, Sejarah Kota-Kota, Penerbit Ombak, 2005). Sebagai catatan kaki, tak semua wilayah tadi dikuasai dengan cara adu fisik, tetapi lebih banyak yang dirangkul lewat jalur diplomasi dan perkawinan politik.

Nama kampung Prawirotaman, Wirobrajan, Bugisan, Patangpuluhan, dan Jogokaryan ialah contoh nama pemukiman para prajurit Prawirotomo, Wirobrojo, Bugis, Patangpuluh, dan Jogokaryo yang mengabdi tanpa pamrih kepada Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Sedangkan, Siliran merupakan kediaman para silir yang bertugas menyalakan lampu penerangan di jalan. Dagen ialah tempat tinggal tukang kayu (dagen) dan Patehan merupakan pemukiman para pembuat teh.

Selain pangkat keprajuritan dan keahlian, ada juga nama daerah berdasarkan profesi. Nama Mantrigawen merupakan tempat tinggal abdi dalem yang berprofesi sebagai kepala pegawai (mantri). Pajeksan ialah kawasan yang didiami para jaksa (jekso). Gamelan ialah pemukiman warga yang bermatapencaharian sebagai pembuat gamel alias tapal kuda.

Kemudian, kampung Kranggan yang terletak di utara Tugu dan Pecinan yang berada di selatan Malioboro dulu didiami oleh komunitas Tionghoa. Sayidan dan Kauman menjadi tempat tinggal orang keturunan Arab. Sedangkan, Menduran ialah daerah pemukiman suku Madura. Kendati berbeda etnis dan kepercayaan tapi mereka toh tetap hidup guyup rukun. Multikulturalisme yang banyak diseminarkan saat ini, ternyata telah dipraksiskan sejak dulu oleh para leluhur kita.

Akhir kata, masih banyak nama daerah di bumi Mataram tercinta ini yang bila kita telusuri makna di baliknya, menyimpan mutiara kebijaksanaan hidup yang adiluhung.

Juni 10, 2009

Menguak Rahasia Sukses Lahir Batin


Judul Buku: Total Success, Meraih Keberhasilan Sejati
Pengarang: Anand Krishna
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: 1, April 2009
Tebal: 280 halaman
Harga: Rp53.000

Pertama dan utama, mari bertanya pada diri sendiri, apa ukuran sukses? apakah nominal jumlah rekening di bank? seperti yang dimiliki oleh 6 tokoh yang menjadi capres dan cawapres dalam Pilpres 2009, Prabowo tercatat sebanyak Rp1,7 triliun, SBY sebanyak Rp8,5 miliar, Boediono sebanyak Rp22,06 miliar, JK sebanyak Rp300 miliar, Wiranto sebanyak Rp81 miliar, dan Megawati sebanyak Rp8,1 miliar?

Jawabannya bisa iya, tapi bisa juga tidak. Kenapa? karena hak milik pribadi tersebut baru bermakna jika - dan hanya jika - berfungsi secara sosial. Tapi pada saat yang sama, bagaimana bisa berbagi dengan sesama kalau belum mampu - meminjam istilah Bung Karno - berdiri di atas kaki sendiri (berdikari).

Ada beberapa kriteria dasar keberhasilan hidup ala Anand Krishna, antara lain pengendalian diri dan kepuasan batin. Kekayaan yang diperoleh lewat korupsi tak akan langgeng, bahkan terasa hambar ibarat sayur tanpa garam. Keberhasilan sejati justru mendorong setiap putra-putri Ibu Pertiwi untuk berbagi tanpa pamrih dengan sesama anak bangsa yang masih hidup dalam jurang kemiskinan dan tertindas.

Secara ciamik, mantan pengusaha garmen yang banting setir menjadi aktivis spiritual dan penulis produktif 120 buku lebih, paska sembuh dari penyakit Leukemia pada tahun 1991 ini menganalogikan proses meraih kesuksesan total ibarat membangun rumah. Fondasinya harus kuat, tiang pancang penyangganya musti kokoh, dan bangunan utamanya sendiri mempunyai "isi" perabot yang memadai dan berkualitas.

Referensi utama buku ini ialah karya legendaris Napoleon Hill (Think and Grow Rich, 1937) yang menginspirasi lahirnya film dan buku laris di seantero dunia berjudul The Secret. Kemudian lebih surut ke belakang, Total Success juga memetik hikmah kebijaksanaan hidup dari wejangan Sang Maha Guru Adi Shankaracharya (abad ke-8) yang termaktub dalam kitab kuno Sadhana Panchakam.

Rumusan Hill

Orang bijak tak membangun rumah di atas gundukan pasir. Sebab, ibarat rumah kartu, bangunan tersebut akan mudah ambruk diterjang badai dan tersapu pasang-surut kehidupan.

Demikian pula dengan mendirikan bangunan keberhasilan sejati, anak manusia membutuhkan adonan landasan niat yang kuat (Will Power), imaginasi kreatif (Creative Vision), antusiasme tinggi (Enthusiasm), dan persiapan yang matang (Good Planning) (hlm 79-104).

Selanjutnya, ada 4 tiang penyangga utama rumah keberhasilan. Pertama, Mastermind alias orang-orang yang memiliki keahlian (skill) pada bidangnya. Oleh sebab itu, berendah hatilah dan belajarlah dari mereka yang lebih berpengalaman. Kedua, praktek (Applied Faith) atau dalam tradisi Kejawen disebut lelaku. Niat saja tidak cukup, ia musti dipraksiskan lewat tindakan.

Ketiga, kemampuan mengambil keputusan (Decision), cukup jelas seruan Napoleon Bonaparte, "Tak ada yang lebih sulit, dan karenanya lebih berharga daripada kemampuan untuk mengambil keputusan (hlm 129)." Penyesalan terbesar manusia ialah tak berani mengambil keputusan pada saat tepat. Keempat, ketekunan (Persistence). Tidak sudi menyerah sebelum mancapai apa yang diniatkan di awal.

Khusus untuk "isi" bangunan, sejatinya terdapat 11 prinsip (hlm 139-209). Tapi yang paling menarik ialah poin terakhir, last but not least yakni bagaimana mengubah energi seks (Transmutation of Sexual Energy). Dengan latihan secara tekun anak manusia bisa menggunakan energi seks untuk mengubah kegagalan menjadi keberhasilan (Sex for Success).

Otak manusia rata-rata memikirkan 60.000 hal setiap hari. Padahal pikiran-pikiran tersebut mayoritas tak perlu diperhatikan secara berlebihan. Saat mengalami orgasme seksual, pikiran terhenti seketika (no mind). Keadaan atau rasa pang rasa tersebut bisa merembesi keseharian aktivitas hidup. Turunannya berupa peningkatan daya imaginasi, produktivitas, dan kreativitas.

Pesan Shankara

Tiga modal utama manusia ialah waktu, ruang, dan nafas.

Bayi terlahir pada weton (waktu) tertentu dan menghembuskan nafas terakhirpun dalam pelukan Sang Maha Kala. Ada 3 matra imaginer dalam aliran kontinuitas waktu, yakni masa lalu (past), depan (future), dan kini (now). Suatu kali resensor melihat penarik becak di bilangan Jalan Affandi (Gejayan) Yogyakarta, ia mengenakan kaos oblong bergambar kijing (nisan). Tulisannya menarik untuk dicerna bersama, "Gunakan hidupmu, sebelum matimu!"

Memang selagi hidup managemen waktu begitu penting. Caranya, dengan membagi 24 jam sehari dalam 3 kuadran. Delapan jam pertama untuk bekerja, 8 jam kedua untuk pengembangan diri (memuai), dan sisa delapan jam ketiga untuk makan, minum, tidur, seks, dan MCK. Tapi yang utama ialah disiplin pemanfaatan waktu. Kenapa? karena setiap saat itu unik. Tuhan terlalu kreatif untuk menyutradarai 2 adegan yang sama dalam episode drama di panggung kehidupan ini.

Sejak keluar dari gua garba hangat Ibunda (26 derajat Celcius), Tuhan menganugerahi ruang tubuh bagi manusia. Bangunan rumah bisa porak-poranda digoyang gempa, ambruk diayak angin puting-beliung, dan tenggelam diterjang lumpur "Bakrie" Lapindo, tapi badan ini menjadi "aset" manusia selagi berhayat. Bahkan ahli biologi menaksir total harga organ tubuh manusia mencapai Rp3 triliun lebih. Nominal ini melebihi harta kekayaan Prabowo sekalipun.

Selanjutnya, nafas sebagai pertanda kehidupan (elan vital). Menurut penelitian medis, manusia rata-rata bernafas 21.600 kali sehari. Ini proses dahsyat tapi acapkali tak tersadari. Saat terserang asma atau jelang ajal menjemput, baru kita ngeh (paham) signifikasi proses tarik-buang nafas.

Dalam situasi kacau nafas manusia menjadi cepat, seperti monyet yang siklus nafasnya mencapai 32-36 kali permenit. Manusia lazimnya bernafas rata-rata 15 siklus permenit. Irama nafas berbanding lurus dengan keberhasilan seseorang. Kenapa? Karena kadar oksigen di neuron otak memadai, sehingga ia mampu mencerna informasi dengan jernih. Inilah magnet alami yang menarik kesuksesan sungkem mencium kaki Anda.

Akhir kata, buku ini bukan sekedar teori, karena ia terlahir dari pengalaman workshop dan pelatihan seni memberdaya diri di Jakarta, Yogyakarta, Bali, dan manca negara. Penting dibaca oleh siapa saja yang sungguh berniat untuk menjadi sukses lahir-batin. Mengutip Geogre S. Patton, "Saya tidak mengukur keberhasilan seseorang dari ketinggian yang telah ia daki, tetapi dari kemampuannya untuk bangkit kembali setiap kali jatuh dan menyentuh dasar."

http://news.okezone.com/index.php/ReadStory/2009/06/10/285/227922/menguak-rahasia-sukses-lahir-batin

Juni 02, 2009

Pancasila Bisa Gaul

Dimuat di Rubrik Bebas Bicara, Bernas Jogja, Rabu, 3 Juni 2009

"Pancasila ya gegen den teki hawya lupa" -
Pancasila harus dipegang teguh, jangan sampai dilupakan - (Mpu Tantular)

Baru kemarin kita merayakan 64 tahun lahirnya Pancasila. Ironisnya, Indonesia belum kunjung keluar dari jeratan krisis multifaset. Akar penyebabnya karena putra-putri Ibu Pertiwi cenderung melupakan jati diri bangsa tersebut. Para pedagang asing begitu leluasa menjajakan ideologi impor dari pelbagai penjuru dunia.

Secara ekstrim ada dua arus utama (mainstreams ). Pertama, Neowahabiisme dengan agenda terselubung "Talibanisasi". Memainkan sentimen keagamaan yang sejatinya bersifat amat pribadi dan tak tepat bila diangkat ke ranah publik. Turunannya berupa a.l: UU Pornografi, RUU Jaminan Produk Halal, dan RUU Zakat yang sedang dibahas Komisi VIII dan segera disahkan oleh DPR RI jelang Pilpres. Kedua, Neoliberalisme, istilah yang saat ini begitu populer, pembangunan "rumah kartu" struktur ekonomi di atas tumpukan utang. Dengan demikian, tingkat ketergantungan terhadap lembaga donor begitu tinggi. Akibatnya, pelbagai produk kebijakan publik lebih menghamba kepada pasar bebas. Data terkini dari Koalisi Anti Utang (KAU) menyebutkan setiap bayi yang terlahir di bumi Nusantara tercinta ini mewarisi hutang sebesar Rp 7,7 juta.

Obat mujarab bagi sembelit di atas ialah dengan kembali ke cita-cita awal para bapa bangsa (founding fathers) dan Pancasila. Tapi dengan catatan khusus, yakni dengan me-fungky-kan alias membuatnya lebih populis dan gaul. Sebab, kaum muda - yang notabene merupakan generasi penerus - perlu mengkaji, mengapresiasi, serta melakoni kembali falsafah warisan leluhur kita tersebut. Tentu sesuai dengan konteks zaman modern di abad ke-21 ini.

Pertanyaan utama yang mengemuka tatkala sidang Badan Persiapan Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) berlangsung ialah, "Apakah dasar bagi negara Indonesia Merdeka?" Lantas tepat pada tanggal 1 Juni 1945 Bung Karno berpidato tanpa teks dan seluruh peserta yang hadir bertepuk tangan gegap-gempita menyambutnya.

Putra Sang Fajar mengajukan landasan filosofis (filosofische grondslag) bagi cikal-bakal Republik Indonesia, walau sederhana tapi amat mendalam sekaligus universal, yakni (1) Ketuhanan (2) Kemanusiaan (3) Kebangsaan (4) Kerakyatan, dan (5) Keadilan Sosial.

Pendiri Taman Siswa, Ki Hadjar Dewantara dalam pelbagai tulisan-tulisannya acapkali menyebut Pancasila sebagai saripati budaya bangsa, yakni kompilasi puncak-puncak kearifan lokal yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara. Apakah itu? kiranya ialah praksis gotong-royong yang begitu mengakar kuat dalam pelbagai sendi kehidupan bermasyarakat. Terutama di dusun-dusun terpencil.

Ironisnya, semangat kolektifitas tersebut terabaikan. Pancasila justru dipolitisir oleh para rezim penindas untuk melanggengkan kekuasaan yang sentralistik dan korup. Pada era orde lama, turunannya berupa 7 bahan pokok indokrinasi. Lalu pada masa orde baru, terjadi pula - meminjam istilah Romo Mangun - "Persatean" pola pikir lewat penataran P4 secara masif dan terorganisir.

Padahal sejatinya Pancasila merupakan falsafah hidup yang dinamis. Ia membuka diri terhadap pelbagai penafsiran makna. Asal masih dalam koridor keutuhan NKRI dan spirit Bhinneka Tunggal Ika - Berbeda tapi tetap Satu.