Juli 21, 2009

Sampah Plastik, Kertas, dan Organik.

Dimuat di Rubrik Bebas Bicara, Bernas Jogja, 17 Juli 2009

Begitulah tulisan yang tertera pada tiga macam tong sampah di Rumah Kompos, Dusun Tambakrejo, Sleman, Yogyakarta. Tujuannya agar saat menyortir sampah bisa lebih mudah. Sampah plastik dan kertas bisa dijual per kilo ke tukang loak untuk didaur ulang. Sedangkan sampah organik bisa diolah menjadi kompos untuk pupuk tanaman.

Awalnya terasa menjijikan sekali menyaksikan sampah-sampah berserakan. Aromanya begitu menyengat karena mengeluarkan gas metana (CH4). Tapi ternyata bila sabar dan telaten mengolahnya, sampah itu bisa menjadi sumber pemasukan sekaligus menjaga kesehatan lingkungan sekitar. Sarung tangan, sepatu boat, dan masker penutup hidung menjadi "senjata" wajib.

Biasanya sampah diperoleh dari komplek perumahan terdekat dan para tetangga sekitar. Tapi memang masih campur-aduk antara yang organik dan anorganik. Setiap dua hari sekali sampah itu diambil agar tak terlalu menumpuk, busuk, dan berbau. Sang empunya sampah justru amat berterimaksih bila ada orang yang mau mengambilnya. Bahkan tak jarang bersedia memberikan tips ala kadarnya.

Kompos ialah hasil penguraian parsial dari campuran bahan organik. Proses ini dapat dipercepat oleh mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembab, dan aerobik atau anaerobik (J.H. Crawford, 2003). Sedangkan pengomposan ialah proses mempercepat reaksi alam tersebut. Yakni dengan menyemprotkan air, mengatur aerasi (pengudaraan), dan menambahkan aktivator, seperti EM4 (Effective Microorganism) (sumber: kamus on line Wikipedia.com).

Composting alias pengolahan sampah menjadi kompos ternyata banyak sekali manfaatnya. Antara lain mengurangi polusi udara karena pembakaran limbah dan penumpukah sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA), meningkatkan kesuburan tanah secara alami, sehingga kualitas hasil panen dari segi rasa, nilai gizi, dan jumlah bisa bertambah dua kali lipat.

Selain itu, tingkat ketahanan tanaman petanian dari serangan hama penyakit juga semakin kuat karena ketersediaan unsur hara yang memadai di dalam tanah. Terakhir tapi penting, ketergantungan petani pada pupuk kimia dari pabrik juga bisa dipangkas.

Ke depan memang lebih tapat bila masyarakat sudi sedikit merepotkan dirinya. Yakni dengan memilah-milah sampah sejak dari dalam rumah tangga masing-masing dan juga di ruang-ruang publik lainnya. Caranya sederhana, cukup sediakan tiga jenis tempat sampah untuk plastik, kertas, dan organik. Salam cinta lingkungan!

Pancasila Rumah Kita

Dimuat di Rubrik Bebas Bicara, Bernas Jogja, 7 Juli 2009

Begitulah judul lagu Franky Sahilatua, berikut ini syair lengkapnya: Pancasila rumah kita / Rumah untuk kita semua / Nilai dasar Indonesia / Rumah kita semuanya / Untuk semua puji nama-Nya / Untuk semua cinta sesama / Untuk semua keluarga menyatu / Untuk semua bersambung rasa / Untuk semua saling membagi / Pada setiap insan / Sama dapat...sama rasa / Ooo Indonesiaku...

Pancasila ialah dasar yang sederhana tapi universal, migunani tak hanya bagi bangsa ini, tapi juga bagi umat manusia seluruhnya. Tak heran, jika Bung Karno mengusulkan untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar Piagam PBB pada Sidang Majelis Umum pada tahun 1960. Para pendiri bangsa ini merupakan orang-orang tercerahkan. Para spritualis yang tak lagi terkotak-kotak oleh perbedaan, tapi mampu melihat persatuan di baliknya. Bhinneka Tunggal Ika - Tan Hana Dharma Mangrwa. Berbeda tapi satu - tak ada dualitas dalam menunaikan dharma bhakti bagi Ibu Pertiwi.

Tembang di atas dibawakan secara live berduet dengan Garin Nugroho pada acara, "Dendang dan Dongeng Perubahan; Terpinggirkannya Pasar-pasar Tradisional." Bertempat di Kantor PP Muhamadiyah Yogyakarta pada Rabu (17/6/2009) lalu.

Turut Hadir bu Sri, seorang pedagang di pasar Gowok Yogyakarta. Ibu yang sudah berjualan selama 30 tahun tersebut mengisahkan bahwa saat ini para pembeli lebih memilih berbelanja ke hipermarket yang berada tak jauh dari pasar tradisional. Kalu dulu pasar masih ramai sampai jam 13.00 WIB, saat itu jam 09.00 WIB sudah lengang.

Idham Samawi yang menjadi narasumber juga memaparkan data terkini. Bupati Bantul itu menyebutkan bahwa tingkat pertumbuhan hipermarket di Indonesia mencapai +37 persen. Sedangkan, pasar tradisional justru mengalami kemunduran sampai pada angka -8 persen.

Oleh karena itu, di Kabupaten Bantul pemerintah setempat secara tegas melarang pembangunan mall dan hipermarket. Bupati incumbent tersebut berpendapat hipermarket dan pasar swalayan sudah memiliki jaringan luas dan modal yang memadai, sehingga malah perlu dibatasi. Warung kang Kromo, Dadp, Suto, Waru-lah yang perlu didukung agar lebih maju. Kalu mau ke mall silakan ke kota Yogyakarta saja, cukup berkendaraan motor 30 menit dari Bantul.

Pemerintah kabupaten mengucurkan dana Rp 20 miliar per tahun untuk merenovasi sebuah pasra tradisional agar tidak terkesna kumh, bau, campir aduk, dan reot. Bahkan, pedagang yang sudah berjualan di situ sejak dahulu kala mendapat kios baru secara cuma-cuma. Hasilnya, PAD (Pendapatan Asli Daerah) Bantul dan pasar tradisonal seperti Imogiri, Niten, dan Piyungan mencapai total 14 persen setiap tahunnya.