Mei 29, 2013

Guru yang Tahu yang Kita Mau, Liputan Acara Meet and Greet, Bentang Street Festival Bersama J. Sumardianta

Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Rabu/29 Mei 2013
http://mjeducation.co/guru-yang-tahu-yang-kita-mau-liputan-acara-meet-and-greet-bentang-street-festival-bersama-j-sumardianta/

Penolakan memang menyakitkan, tapi jangan pernah berputus asa sebab menyitir petuah mendiang Hellen Adams Keller (27 Juni 1880 – 1 Juni 1968), “Saat satu pintu tertutup niscaya terbuka banyak pintu lainnya.” Ternyata hal tersebut pernah dialami J. Sumardianta, penulis buku “Guru Gokil Murid Unyu” (Bentang Pustaka, 2013). Naskah GGMU sempat ditawarkan pada dua penerbit besar di tanah air, tapi dilepeh alias ditolak mentah-mentah. Uniknya, kini pasca GGMU meledak di pasaran dan menyedot minat banyak pembaca, kedua penerbit tadi meminta guru SMA Kolese De Britto, Yogyakarta tersebut menulis buku bergenre pendidikan juga untuk mereka.

Begitulah paparan inspiratif dari ayah 3 putri itu dalam acara Meet and Greet, Bentang Street Festival di Waterbank Cafe, Sagan, Yogyakarta pada Sabtu (25/5/2013) lalu. Walau acara baru dimulai pukul 14.00 WIB tapi sejak setengah jam sebelumnya telah berdatangan para peserta ke lokasi. Cuaca cukup bersahabat, matahari tak terlalu bersinar terik sehingga acara dapat digelar di luar ruangan (out door). Sembari menyimak, pengunjung juga boleh memesan minuman dan hidangan ala Cafe Waterbank. Tampak siswa-siswi dari SMAN 2 Yogyakarta yang mengambil ekstrakurikuler jurnalistik duduk di sisi barat. Mereka hendak mempraktikkan teori meliput berita. Ada yang memegang kamera dan ada juga yang tekun mencatat setiap materi yang disampaikan Pak Guru.

Tiada kebetulan dalam hidup ini (there is no coincidence in this life), ternyata Pak Guru juga merupakan alumni SMAN 2 Yogyakarta. Ia merasa senang sekali bertemu dengan para siswa dari almamaternya tersebut. “Saya sangat mengapresiasi kedatangan teman-teman dari  SMAN 2 Yogyakarta,” ujarnya dengan wajah berseri. Seperti biasa Pak Guru yang juga aktif menulis resensi buku dan esai pendidikan di media nasional tersebut mengawali presentasinya dengan bercerita (story telling). “Kalau menulis dan mengajar di kelas, saya memang selalu membukanya dengan kisah unik sebelum masuk ke bagian inti. Kenapa? Karena kultur orang Indonesia suka didongengi,” katanya.

Alkisah, seorang penebang pohon menangis di tepi sungai dengan air yang mengalir deras. Dewa turun dari kahyangan demi mendengar ratapan si penebang pohon. “Mengapa kamu begitu bersedih wahai penebang pohon?”
“Kapakku terlempar ke sungai. Dengan apa lagi aku harus menafkahi keluarga kalau kapak itu hanyut Dewa?”

Dewa langsung menceburkan diri ke sungai. Ditemukannya sebilah kapak dengan pegangan bersepuh emas. “Ini kapakmu? tanya Dewa.
“Bukan,” jawab penebang pohon.

Dewa menyelam lagi dan membawa sebilah kapak bersepuh perak. “Ini pasti kapakmu,” kata Dewa.
“Bukan juga,” ujar penebang.

Dewa terjun lagi ke sungai dan membawa kapak dengan pegangan kayu lusuh.
“Nah, ini kapak saya,” ujar penebang kegirangan.

“Kamu pekerja keras yang jujur. Ambillah kapakmu. Dua sisanya aku berikan sebagai hadiah gratis.” Betapa hati si penebang pohon bersukacita mendapat hadiah kapak emas dan perak.

Tiada yang abadi, termasuk kesenangan sekalipun. Beberapa minggu kemudian penebang itu bersedih lagi dan duduk termenung di tepi sungai. Kenapa? Karena istrinya tergelincir saat meniti jembatan gantung dan terseret arus banjir.

Dewa segera menyelam dan mengangkat Lady Gaga dari dasar sungai.
“Ini istrimu,” ujar Dewa.
Si penebang pohon dengan mantap menjawab,”Benar, Dewa!”

Dewa marah besar dan begitu naik pitam. “Ke mana perginya kejujuranmu?” hardik Dewa.
“Kalau aku berkata bukan, pasti Dewa menyelam lagi, lalu muncul dari air membopong Madonna. Karena dia bukan istri saya, pasti Dewa menyelam lagi. Mana kuat seorang penebang pohon miskin menafkahi lahir-batin tiga istri sekaligus?” ujarnya polos.

Dagelan (humor segar) tersebut mujarab untuk mencairkan suasana. Sebenarnya, Pak Guru hendak menulis tentang profil Butet Kertaredjasa. Seniman memang kadang perilakunya nyeleneh (tak lazim), bahkan ada yang memiliki istri lebih dari satu. Tapi sosok si Raja Monolog itu berbeda. “Ia seorang good parent (orang tua yang baik), salah satu putranya pun pernah bersekolah di SMA De Britto. Bahkan setiap kali pengambilan rapor, Butet yang sibuk selalu menyempatkan diri untuk datang,” ujar Pak Guru.

Selain itu, seniman yang terkenal karena kepiawaiannya menirukan suara almarhum Pak Harto tersebut juga menyiapkan warisan berharga (legacy) untuk anak dan istri. Salah satunya berupa Warung Makan Bu Ageng di Jalan. Tirtodipuran, Yogyakarta. “Saya ini seperti berada di pucuk pohon cemara, kalau jatuh bisa patah tulang. Oleh sebab itu, istri saya harus juga bangga dengan dirinya sendiri, bukan karena Bambang Ekalaya (nama depan Butet Kertaredjasa) ini,“ ujar Pak Guru menirukan pernyataan Butet.  

Anak-anak Butet juga mengenyam pendidikan tinggi hingga akhirnya menjadi sarjana dan dapat mapan bekerja. “Kalau saya jatuh miskin, kalian tetap bisa hidup. Seniman harus tetap punya manajemen, hidupnya harus temata (tertata),” imbuh Pak Guru masih tetap menirukan paparan Butet. Artinya, dalam konteks makro, menurut J. Sumardianta, ketika good parenting (pola pengasuhan anak yang baik oleh orang tua) bertemu dengan good schooling (pola pendidikan yang baik oleh para guru di sekolah) hasilnya tentu generasi masa depan yang jempolan.

Operasionalisasi Ide

Pada sesi tanya jawab, Elena dari SMAN 3 Yogyakarta bertanya kepada Pak Guru. Agar bisa lancar menulis seperti Bapak caranya bagaimana? Menurut guru gokil yang pernah diundang dalam acara Kick Andy itu caranya sederhana, yakni setiap ide harus dioperasionalisasikan. Ibarat seorang juru masak, kita harus belanja atau mencari bahan-bahannya terlebih dulu. Kalau sudah memperoleh bahan-bahan yang diperlukan, lalu kita baru memikirkan cara memasaknya, apa bumbunya yang pas, dan bagaimana cara menyajikannya agar memikat selera?

Menurut Pak Guru, perbendaharaan kata yang kaya raya berbanding lurus dengan kualitas tulisan-tulisan kita. “Saat menemukan sebuah ide, saya relatif mudah mengungkapkannya dalam bentuk cerita baik secara lisan atau tertulis karena saya memiliki perbendaharaan kosa kata yang beragam,” ujarnya. “Jadi kalau Elena dan teman-teman di sini  hendak menjadi penulis yang lancar harus memperkaya diri dengan perbendaharaan kata yang banyak. Salah satu caranya yakni dengan rajin  membaca buku,“ imbuhnya.

Secara lebih teknis, saat menulis yang penting tulis saja dulu. Ejaan, titik koma, struktur kalimat itu diurus belakangan. Banyak penulis pemula macet karena menulis sekaligus mengedit pada saat bersamaan. Nah baru setelah selesai, kita wajib melakukan proses editing. Kita perlu mencari koherensi alias keterhubungan antar kata, kalimat, dan alinea. Tahap akhir ialah memilih judul yang memikat mata pembaca. Dalam bahasa Pak Guru harus nyulek mata (eye catching).

“Intinya Elena, apa yang kita tulis merupakan Tuwuh Seko Pruntuling Ati, yakni segala hal yang bergejolak dalam hati,” imbuh Pak Guru. Tulisan yang baik adalah tulisan yang berasal dari relung hati terdalam. Tulis saja apa yang kita lihat, dengar, alami, dan rasakan. Misalnya kisah tentang cinta, kesetiaan, dan bahkan pengkhianatan sekalipun. Menurut J. Sumardianta, “Pengalaman setiap orang itu unik. Kalau dinarasikan lewat media tulisan bisa dibaca dan memberi inspirasi bagi banyak orang. Itu merupakan warisan paling berharga untuk anak-cucu kita.”

Langgeng

Pertanyaan selanjutnya datang dari Jacob, anggota Akademi Bercerita Bentang Pustaka. Secara khusus ia mengambil jurusan Non Fiksi. “Buku Guru Gokil Murid Unyu Bapak tersebut kalau dibaca 15 tahun mendatang, apakah masih “enak”? Lalu bagaimana agar tulisan kita tak cepat basi dan bisa langgeng?”

Menurut Pak Guru, ia banyak belajar dari Dr. Gabriel Possenti Sindhunata, S.J., walau tulisan budayawan dan Pemimpin Redaksi Majalah Basis tersebut sudah lama tapi kalau dibaca sekarang tetap gurih dan nendang. Contohnya, saat masih menjadi Frater (calon Pastor) Sindhunata pernah bertugas di pulau Buru. Ia sempat bertemu dengan Pramoedya Ananta Toer. Saat akan kembali ke Yogyakarta, Sindhunata berpapasan dengan rombongan tapol. Mereka sedang menyanyi diiringi grup band lengkap, judul lagunya Dream of Me karya Engelbert Humperdinck.

Beberapa tahun berlalu seiring bergulirnya waktu, tatkala sudah menjadi Romo dan memimpin misa di Gereja Kemetiran, Yogyakarta pada Minggu pagi, pukul 6.00 WIB, Sindhunata menceritakan pengalamannya di pulau Buru tersebut. Seusai perayaan Ekaristi, ia justru mendapati seorang bapak tua menangis tersedu-sedu di bangku barisan belakang. Ternyata ia adalah vokalis grup band di pulau Buru itu. Lagu Dream of Me memang berkisah tentang seorang yang merindukan sosok yang dicintai. Bapak itu dipisahkan dari anak dan istrinya karena konflik politik. Ia sangat ingin kembali berkumpul bersama keluarga.

Lalu, Pak Guru mengutip tesis Viktor Emil Frankl, MD, PhD (26 Maret 1905 – 2 September 1997). Menurut penulis buku Man's Search for Meaning tersebut, “Tahanan politik yang bisa tetap hidup di bawah tekanan kamp konsentrasi NAZI ialah orang-orang yang bisa menyalakan harapan, misalnya agar bisa bertemu seseorang yang ia kasihi. “Jadi Jacob, menulislah seperti itu. Kalau kita menulis dan melakukan apa saja berlandaskan tujuan-tujuan mulia (value led) maka setiap karya kita niscaya menjadi warisan berharga bagi kemanusiaan,’ ujar Pak Guru.

Seusai acara penulis sempat mewawancarai salah seorang peserta diskusi,  namanya Dwiananto Rizky, siswa kelas X SMAN 2 Yogyakarta. Menurut Rizky, “Acara ini menarik sekali karena kalau seorang guru kan biasanya suka berteori dan berceramah. Tapi Pak Guru (ber)beda, ia –seperti kata iklan – tahu apa yang kita mau. Ternyata ada ya guru gokil seperti itu. Keren!”
 
Sumber Foto: Dok. Pri

Mei 28, 2013

Pendidikan Pancasila lewat Media

Dimuat di Surat Pembaca, Suara Merdeka, Selasa/28 Mei 2013

Nilai-nilai Pancasila seakan tenggelam dalam pusaran arus zaman. Eksistensinya dianggap kurang relevan guna menjawab dialektika kehidupan. Bahkan Pancasila pun sekarang jarang dikutip dan diucapkan. Apalagi diterapkan dalam konteks ketatanegaraan, sosial, dan kemasyarakatan. Hasil survei BPS (Badan Pusat Statistik) yang dilakukan pada 27-29 Mei 2011 silam di 33 provinsi dari Sabang sampai Merauke sungguh mengejutkan. Ternyata dari 12.000 responden di 181 kota dan kabupaten, peran media dalam sosialisasi Pancasila hanya 2 persen.

Artinya, perlu ada upaya intensif merevitalisasi Pancasila lewat buku, tulisan, artikel, dan surat pembaca di koran. Isu-isu terkini dapat dibedah dengan pisau analisis kelima sila, yakni aspek Ketuhanan, Kemanusiaan, Kebangsaan, Demokrasi, dan Keadilan Sosial. Dalam konteks ini, penulis bersepakat dengan pendapat Sylvester Kanisius Laku. Menurut Dosen UNPAR tersebut, kebutuhan paling mendesak kita ialah bagaimana merespon pengalaman antikemanusiaan yang masih membelenggu. Mulai dari pemiskinan sistemik, kelaparan dan gizi buruk, nasib petani dan nelayan yang selalu terpuruk, kurikulum pendidikan dasar yang amburadul, kekerasan atas nama agama, kesewenang-wenangan para pemilik modal yang memerluas kerajaan bisnis dengan menggunakan instrumen keamanan dan politik, dll (Pancasila Kekuatan Pembebas, 2012).

Secara khusus penulis menyoroti masalah kekerasan dengan kedok agama. Sepanjang tahun 2011 The Wahid Institute mencatat ada 92 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Jumlah tersebut meningkat 18 persen dari tahun sebelumnya (2010) yang tercatat 62 kasus. Bahkan sampai pada medio Mei 2012, PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) menyatakan RI (Republik Indonesia) sebagai negara yang kehidupan beragamanya rentan konflik horizontal.

Padahal, sejak awal Bung Karno telah menandaskan, "Kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua. Bukan Kristen buat Indonesia, bukan Islam buat Indonesia. Bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia. Semua buat semua!" (Sejarah Pemikiran Pancasila, 1985)

Akhir kata, Pancasila tetap merupakan communis opinion (pandangan bersama) yang menyatukan - meminjam istilah Anand Krishna Ph.D - segenap putra-putri Ibu Pertiwi. Kemajemukan kultur, religi, etnis, dan adat istiadat bukan pemicu konflik melainkan kekayaan yang musti dikelola demi kemakmuran bersama. Pun nilai multikultural semacam itu perlu diperkenalkan oleh para guru sejak dini mulai dari ruang-ruang kelas. Salam Indonesia!

Sumber Foto: http://gaul.solopos.com/tuntut-tegakkan-pancasila-199413.html

Mei 27, 2013

Corat-coret Seragam? No Way! Yuk Rayakan Kelulusan dengan Cara Elegan

Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Senin/27 Mei 2013

“Akulah Putera SMA De Britto
gagahlah cita-citaku
Murni sejati jiwaku,
jujur semangat hatiku
Itulah rencana hidupku,
itulah tujuan niatku
Agar dapat menuang tenagaku,
bagi Tuhan dan Bangsaku…”

Lagu Mars De Britto ciptaan Romo L. Moerabi, S.J tersebut membahana di Tugu Yogyakarta pada Jumat (25/5/2013) lalu. Kendati matahari tepat berada di atas ubun-ubun dan panasnya begitu menyengat, toh tidak menyurutkan semangat 234 siswa (semuanya pria) SMA Kolese De Britto merayakan kelulusan 100 % mereka.

Uniknya, tak ada satu pun seragam putih abu-abu mereka yang dicorat-coret dengan cat semprot. Semua bersih dan masih terlihat rapi. Menurut Kelvin dan Stephanus Gregi, 2 siswa kelas XII IPS 2, “Sayang Mas kalau baju bagus-bagus dicorat-coret, kan kalau sudah tidak terpakai lagi bisa diberikan ke orang yang membutuhkan.”

Danang Wahyu Prasetyo S.Or, salah satu guru yang mendampingi mengatakan bahwa mereka berangkat dari Jl. Laksda Adisucipto No. 161 Yogyakarta pukul 11.30 WIB.  Lalu, rombongan tersebut menyusuri Jl. Solo menuju Tugu Yogyakarta. Agar tidak menyebabkan kemacetan, mereka berjalan di sebelah kiri dan membuat barisan 3 saf. “Memang sudah tradisi, setiap kali usai pengumuman kelulusan kami pasti bersama-sama ke Tugu karena situs bersejarah tersebut merupakan ikon kota Yogyakarta,” imbuh Frater Antonius Eko Andriyanto SJ selaku pendamping lainnya.

Sekilas info tentang Tugu Yogyakarta, dulu Sultan Hamengku Buwono I, raja Kesultanan Yogyakarta menyebutnya Tugu Golong-Gilig. Tingginya mencapai 25 meter lebih. Tugu tersebut melambangkan kesatuan tekad cipta, rasa, dan karsa. Selain itu, dalam konteks relasi sosial menyimbolkan kerja sama antara raja dan rakyatnya dalam perjuangan mengusir penjajah.

Ironisnya, pada 10 Juni 1867 terjadi gempa tektonik di Bumi Mataram. Kerusakan pun terjadi di mana-mana. Lalu, Tugu yang ikut roboh diperbaiki oleh Opzichter van Waterstaat (Kepala Dinas Pekerjaan Umum) JWS van Brussel. Pasca proses renovasi selesai, tugu yang baru itu diresmikan oleh Sri Sultan HB VII pada 1889. Pemerintah Belanda menyebutnya tugu De Witte Paal (Tugu Putih). Ketinggian bangunan Tugu hanya 15 meter.

Kendati demikian, hingga kini Tugu Yogyakarta tetap menjadi destinasi wisata favorit. Saat liburan tiba, banyak masyarakat maupun wisatawan mengabadikan dirinya dan Tugu lewat jepretan kamera ataupun rekaman video.

Selanjutnya, berikut ini sekilas profil SMA Kolese De Britto Yogyakarta yang dikutip dari situs http://www.debritto.sch.id. Sekolah khusus pria dan mengijinkan siswanya berambut gondorong ini lebih dikenal dengan nama “JB” (kependekan dari Johanes de Britto). Visi, Misi, dan Nilai yang mendasari SMA JB ialah:

Visi
Kolese De Britto sebagai komunitas pendidikan berjuang untuk membantu proses pembentukan pribadi siswa menjadi pemimpin-pemimpin pelayanan yang kompeten, berhati nurani benar, dan berkepedulian pada sesama demi kemuliaan Allah yang lebih besar.

Misi
Dilandasi semangat kristiani dan spiritualitas Ignasian, komunitas Kolese De Britto bertekad untuk:
1. membentuk siswa menjadi pemimpin yang humanis, melayani, berani berjuang bagi sesama, dan berwawasan kebangsaan, serta menghayati nilai-nilai luhur bangsa Indonesia;
2. membantu siswa menjadi pribadi yang berkembang secara utuh, optimal, dan seimbang;
3. mengembangkan siswa menjadi pribadi yang jujur, disiplin, mandiri, kreatif, dan mau bekerja keras.

Nilai-nilai yang Mendasari

1. Kasih
Nilai kristiani yang paling mendasar adalah kasih. “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu” (Yohanes 15:12) dan St. Ignasius menegaskan bahwa kasih itu harus lebih diwujudkan dalam perbuatan daripada dengan kata-kata (LR 230). Atas dasar kasih itulah, pendidikan Kolese De Britto membentuk para siswanya menjadi manusia yang sedia untuk melayani dan berjuang bagi sesamanya demi kebenaran dan keadilan.

2. Kebebasan
Pendidikan Kolese De Britto sangat menekankan nilai kebebasan yang merupakan perwujudan konkret dari kebebasan anak-anak Allah (Roma 8:21). Para siswa dididik dalam suasana kebebasan menjadi manusia yang bebas, yaitu yang mampu mengambil keputusan dan bertindak sesuai dengan hati nuraninya yang benar, tidak terbelenggu oleh gengsi, materi, atau kecenderungan untuk ikut-ikutan saja. Manusia yang bebas adalah manusia yang mandiri dan bertanggungjawab atas pilihan dan tindakannya.

3. Keterbukaan dan Keanekaragaman

Pendidikan Kolese De Britto dilaksanakan dalam suatu komunitas yang terdiri atas beraneka ragam suku, budaya, agama, dan latar belakang sosial-ekonomi. Dalam komunitas inilah para siswa dibantu untuk berkembang menjadi manusia dewasa yang terbuka dan menghargai keanekaragaman sebagai bagian dari persiapannya untuk kelak menjadi pemimpin yang melayani dalam masyarakat.

Menurut J. Oei Tik Djoen, S.J di makalahnya tertanggal 29 Mei 1976, “Dalam pendidikan di SMA Kolese De Britto, dimensi kebebasan sungguh diprioritaskan. Menjadi demikian bukanlah sesuatu yang timbul begitu saja, tetapi merupakan suatu proses bertahun-tahun yang diilhami oleh pengamatan dan pengalaman terhadap gejala-gejala, kejadian-kejadian di dalam masyarakat.

Intinya sebagian besar berkisar pada kebebasan manusiawi ini serta merupakan kesadaran/panggilan profesi para pendidik SMA Kolese De Britto bahwa sekolah harus merupakan wadah dan sarana yang menuju ke “pemanusiaan” masyarakat. Panggilan profesi inilah yang memberikan kekuatan, harapan, kebahagiaan, dan kegembiraan pada kami, pendidik, melaksanakan tugas membantu “membentuk” warga negara yang mempunyai kesadaran menegara yang bebas merdeka.”

Pendapat Siswa

Pasca seluruh siswa berfoto bersama, penulis sempat mewawancarai salah seorang siswa dari kelas XII IPA 5 yang baru saja lulus. Menurut Bondan Brahmantya, ia merasa senang dan gembira karena tahun ini JB (Johanes de Britto) lulus 100%. Selain itu, “Untuk tingkat Kabupaten Sleman, kami dari jurusan IPA berada di peringkat pertama untuk nilai rata-rata UN,” ujarnya.
Siswa JB yang sudah diterima di Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) jurusan Teknik Industri lewat jalur prestasi tersebut juga berpendapat bahwa untuk meluapkan kegembiraan lulus UN tak perlu dengan cara-cara anarkistis, mencorat-coret seragam, konvoi dengan kendaraan bermotor yang justru memboroskan BBM dan rawan kecelakaan. “Kita tadi jalan kaki dengan rapi dari sekolah ke Tugu sini, “ ujarnya sambil duduk dan meluruskan kaki.

Lalu ketika ditanya tentang bocoran soal, “Apakah terjadi peredaran kunci jawaban saat UN berlangsung?” Bondan menjawab bahwa kalau pun ada, ia lebih memilih percaya pada kemampuannya sendiri. “Ternyata hasilnya juga bagus, kami duduk di peringkat VI untuk nilai rata-rata UN dari seluruh SMA se-DIY,” imbuhnya lagi.

Akhir kata, para siswa sekolah menengah atas yang bermoto “Intelligent, Creative, Self-Fulfilled” itu membuktikan bahwa jujur tak selamanya ajur (hancur). Sebaliknya, sikap jujur niscaya menyuburkan mekarnya nilai-nilai luhur. Masih terngiang lanjutan syair Mars De Britto dari generasi muda harapan bangsa tersebut:

Ayolah Putera SMA De Britto
kuatkanlah hubunganmu
Selalu tetap bersatu
dengan semua kawanmu
Meskipun terpencar hidupmu
dikelak kemudian waktu
Ingat selalu di dalam hatimu
ialah De Britto contohmu!

13696626041449893897
Sumber Foto: Dok. Pri

Mei 23, 2013

Menjadikan Lembaga Pendidikan Berlandaskan Kasih, Sebuah Kuliah Umum dan Diskusi Publik bersama Mgr. Johannes Pujasumarta

Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Kamis/23 Mei 2013

Mother Teresa (26 Agustus 1910 – 5 September 1997) merupakan simbol kasih dan pelayanan tanpa pamrih. Biarawati dari ordo Missionaries of Charity tersebut berkeliling menyusuri gang-gang sempit perkampungan kumuh di Kalkuta, India untuk menemani kaum miskin papa pada saat-saat terakhir kehidupan mereka (sakratulmaut). Tujuannya tak lain agar para orang miskin tersebut menyadari bahwa masih ada orang-orang yang peduli. Semboyan hidup peraih nobel perdamaian tahun 1979 tersebut sungguh menggetarkan, “Lakukan hal-hal kecil dengan cinta yang besar”.

Begitulah salah satu paparan yang disampaikan Bu Rosa dalam acara diskusi publik dan kuliah umum “Konsep dan Implementasi Pendidikan Berbasis Kasih di Indonesia” di lantai 3, gedung Perpustakaan Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Senin (20/5/2013) silam. “Semangat one to one service Bunda Teresa tersebut perlu diterapkan dalam sektor pendidikan di Indonesia juga,“ imbuhnya.
13693184121958521855



Sebelum sesi sharing, diskusi dan tanya-jawab, Mgr. Johannes Maria Trilaksyanta Pujasumarta, Uskup Keuskupan Agung Semarang turut menyampaikan pendapat beliau terkait gerakan awam, dinamika pastoral, dokumen Gereja sebagai acuan pendidikan humanis, dan harapan-harapan ke depan seturut butir-butir Surat Gembala tertanggal 21 April 2013.
Misalnya dari aspek iman, Tuhan telah membentuk hati manusia agar memiliki kehendak kuat untuk mewujudkan cita-cita kehidupan. Tuhan juga telah menganugerahkan sumber kekuatan yang memberdayakan untuk menjadi manusia dewasa. Oleh sebab itu, guru, pengajar, pendidik serta pamong harus menjadi teladan bagi para muridnya. Sehingga kita dapat sungguh saling mengasihi. “Dalam konteks ini, sinergi antara keluarga, komunitas, dan sekolah menjadi penting untuk mewujudkan pendidikan berlandaskan kasih di lingkungan masing-masing,” ujarnya.

Satu hal lain yang menjadi keprihatinan Romo Uskup ialah praktik ketidakjujuran dalam dunia pendidikan kita. Menurutnya itu bisa terjadi karena saat bersekolah anak hanya mengejar nilai akademis. Alhasil, segala cara digunakan termasuk dengan menyontek. “Padahal ketidakjujuran merupakan benih korupsi dan kebohongan publik dalam kehidupan bermasyarakat,” imbuh pria kelahiran Surakarta, 27 Desember 1949 tersebut.

Acara kuliah umum dan diskusi publik ini memang cenderung cair dan informal. Dalam pengertian terjadi dialog antara narasumber dan para peserta. Pak Sigit, Dosen Ekonomi yang telah bekerja selama dua puluh tahun lebih di UAJY (Universitas Atma Jaya Yogyakarta) pun menyampaikan tawaran solusi atas maraknya praktik contek-menyontek dan ketidakjujuran tersebut. Selama ini ada kebijakan di kelasnya, siapa saja yang ketahuan menyontek dalam ujian otomatis tiga mata kuliah yang lainnya gugur. Oleh sebab itu, si mahasiswa harus mengulang kembali semester depan alias see you next semester.

Selain itu, ia bersama rekan-rekan praktisi pendidikan lainnya di seluruh Indonesia mendirikan GANN (Gerakan Anti Nyontek Nasional). Pada tahun 2011 silam, mereka sempat menggelar aksi besar-besaran di Bundaran Hotel Indonesia (HI) di Jakarta. “Kami juga membagikan stiker secara cuma-cuma, harapannya agar stiker-stiker anti nyontek tersebut ditempel di kelas-kelas sehingga para murid dan mahasiswa yang hendak menyontek akan berpikir dua kali sebelum melakukan perbuatan tak terpuji tersebut,” ujarnya.

Ternyata Romo Uskup mengapresiasi inisiatif tersebut. Menurut alumnus Universitas St. Thomas Aquinas, Roma, Italia ini,  gerakan komunitas basis semacam itu niscaya membawa perubahan, seperti telah terbukti keampuahannya di Amerika Latin, Filipina, dan berbagai belahan dunia lain. “Memang harus ada creative minority (minoritas kreatif) yang berjuang di tengah arus besar yang inhuman (tidak manusiawi),” imbuhnya.

Selanjutnya, minoritas kreatif yang kecil-kecil tersebut akan bergabung menjadi satu kekuatan besar yang dinamai critical mass (massa yang kritis). Bila kerja sama, dialog, sinergi tersebut terus dilakukan secara konsisten maka akan tercipta sebuah kultur sekaligus struktur yang saling mendukung. Alhasil, terciptalah masyarakat yang memiliki habitus baik.


Dari aspek para pendidiknya sendiri, Pak Hariadi turut memberikan sumbang saran. Menurutnya perlu ada semacam pemurnian motivasi internal dalam diri para guru (di sekolah) dan dosen (di universitas). “Sebab selama ini, masih sedikit sekali jumlah pendidik yang sungguh berniat mengabdi. Sebagian besar mentalnya masih berlindung pada institusi pendidikan tempat ia bekerja, bisa jadi itu pun termasuk saya,” akunya yang disambut tepuk tangan peserta lain.

Tak ketinggalan salah satu orang tua murid menceritakan pengalamannya yang cukup mengusik kenyamanan. Anaknya yang masih duduk di bangku SD kelas 2 harus membayar SPP Rp280.000 per bulan, bahkan setiap tahun nominal tersebut terus naik. “Saya terus terang keberatan kalau terus naik seperti itu, karena saat kelas 6 SD bisa jadi jumlah SPP-nya semakin besar,” ujar ibu tersebut.

Ironisnya, tatkala ibu tadi bertanya kepada Kepala Yayasan sekolah tempat anaknya menuntut ilmu. Sang Kepala Yayasan tersebut malah menjawab dengan ketus, intinya kalau memang tak kuat membayar SPP tak usah bersekolah di sini. “Di mana implementasi konsep pendidikan berlandaskan kasih tersebut Romo Uskup?” tanya ibu tersebut.

Menurut Romo Uskup, pendidikan berbasis kasih memang tak cukup diucapkan tapi harus dilaksanakan. Bahkan ungkapan-ungkapan tak semestinya dari Kepala Yayasan semacam itu juga termasuk kategori kekerasan secara verbal. Sebagai solusinya, beliau mengusulkan adanya code of conduct, etika atau aturan dasar yang disepakati bersama antara pihak yayasan, sekolah, para pendidik, dan orang tua murid. Alhasil, lembaga pendidikan berlandaskan kasih sungguh dapat menjadi kenyataan.

Secara lebih mendalam, Mgr. Johannes Pujasumarta juga mengatakan bahwa esensi pendidikan ialah melatih kemampuan discernment (memilah) siswa. Sehingga anak didik dapat membedakan apa yang menjadi sarana dan apa yang menjadi tujuan. Konkritnya terkait gadget atau alat komunikasi. “Kalau menggunakan satu model HP selama setahun penuh, itu berarti menempatkannya sebagai sarana komunikasi. Tapi kalau terus bergonta-ganti HP sesuai mode keluaran terbaru, maka itu sudah menjadikan sarana sebagai tujuan,” ujarnya.

Masih terkait sarana komunikasi modern seperti HP, iPad, internet, dll, salah seorang peserta dari floor menyampaikan tesisnya. “Semua peralatan modern tersebut memang bisa mendekatkan orang yang jauh tapi justru menjauhkan orang-orang yang dekat.” Misalnya kini jarang kita menjumpai anggota keluarga bisa berkumpul bersama menyantap telo (singkong) goreng di sore hari sembari menikmati teh hangat. Mengapa? Karena semua sibuk dengan gadget-nya sendiri-sendiri.

Ternyata fenomena keterasingan tersebut juga terjadi di sekolah. Hubungan antara guru dan murid lebih bersifat transaksional karena jeratan materialisme yang sedemikian kuat. Padahal dulu bila seorang siswa sakit, seorang guru sampai menyempatkan diri untuk datang ke rumah siswa tersebut. Ternyata si anak tak masuk sekolah karena malu tak bisa membayar SPP. “Kamu harus tetap masuk sekolah, urusan SPP tak usah dipikirkan yang penting kamu bisa terus sekolah,” tutur salah satu peserta dari floor menirukan ungkapan tulus gurunya semasa di SMA Kolese De Britto Yogyakarta.

Tak terasa diskusi selama kurang lebih satu setengah jam tersebut telah usai. Sebagai kata penutup, Romo Uskup mengakui bahwa ia banyak terinspirasi dari Romo Utomo, rekan biarawan yang fokus pada pemberdayaan masyarakat pedesaan dan pertanian organik di Bantul, Yogyakarta. Analoginya mirip seperti bercocok tanam, “Jika kita menabur benih-benih kebencian di kelas maka di masa depan kita akan menuai kehancuran, sebab seperti kata pepatah barang siapa menabur angin maka ia akan menuai badai. Tapi sebaliknya, kalau kita menabur benih-benih kasih maka kelak akan bertunas, tumbuh dan berbuah lebat.  Habitus baik itulah yang akan mengubah struktur dosa menjadi struktur rahmat untuk kita semua.” Salam pendidikan!

Sumber Foto: Dok. Pri

Mei 21, 2013

UN Berbasis Teori Multi Inteligensia

Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Rabu/22 Mei 2013

Saat pengumuman UN (Ujian Nasional) telah menjadi hari penghakiman (judgement day).  Betapa tidak, saat itulah “nilai” diri seorang siswa diverifikasi oleh otoritas bernama negara. Anehnya proses evaluasi bukan dilakukan oleh para guru tapi oleh Kemendikbud (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan). Bukankah yang mengajar para pendidik di kelas, tapi kenapa yang menguji seluruh siswa dari Sabang sampai Merauke justru kaum birokrat di pusat sana?

Jika untuk tingkat SMP dan SMA mungkin (walau dengan berat hati) masih bisa ditolerir. Sebab para siswa sudah menginjak usia remaja bahkan mulai beranjak dewasa. Sehingga mereka relatif dapat mengolah beban stres dan belajar menentukan pilihan yang tepat bagi masa depannya. Tapi kalau untuk anak-anak setingkat SD (Sekolah Dasar)/MI (Madrasah Ibtidaiyah), menurut penulis UN sama sekali belum perlu. Sebab mereka masih asyik menikmati indahnya masa kanak-kanak untuk belajar sambil bermain. Mata pelajaran yang diujikan dalam UN seperti Bahasa Indonesia, Matematika, IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) perlu disampaikan lewat cara-cara yang menyenangkan, bukan lewat drilling latihan pilihan ganda.

Lewat opini ini, penulis sekadar melontarkan sederet pertanyaan reflektif. Logikanya sederhana, jawaban normatif merupakan hasil dari pertanyaan normatif. Ibarat puncak gunung es, itu hanya 12 persen yang tampak di permukaan lautan. Padahal jauh di bawah laut masih tersembunyi 88 persen gugusan badan dan kaki gunung es tersebut. Dalam konteks ini, pertanyaan-pertanyaan reflektif menemukan relevansinya, yakni untuk “mengguncang” sistem keyakinan (belief system) Mendikbud, M. Nuh yang berasumsi bahwa UN 2013 baik-baik saja. Jadi keberlangsungan UN harus tetap dilestarikan. Kalau toh ada sedikit kendala di tingkat SMA itu hanya soal teknis di percetakan.

Apakah sungguh demikian? Menurut petuah bijak, sebelum seseorang berbicara - terlebih bagi seorang pejabat publik - seyogianya THINK. Apakah itu Truth (benar), Helpful (menolong), Inspiring (menginspirasi), Necessary (bermanfaat), dan Kind (baik). Uniknya, kalau sesuatu itu benar otomatis menolong, menginspirasi, bermanfaat (migunani), dan baik/indah. Faktanya kenapa UN justru begitu merepotkan? TNI (Tentara Nasional Indonesia) sampai harus turun tangan mendistribusikan soal dan LJUN (Lembar Jawaban Ujian Nasional).

Pertanyaan selanjutnya, apakah tepat membuat soal beserta lembar jawab UN (LJUN) dengan begitu banyak variasi? Kalau tujuannya sekadar mengantisipasi kebocoran dan praktik contek-menyontek,  betapa mahal ongkos produksi yang harus dibayar. Dalam pepatah Jawa memang ada peribahasa “jer basuki mawa bea”, tapi alangkah lebih baik jika pendidikan karakter dan budi pekerti lebih diutamakan. Dalam konteks ini, Kemendikbud dan segenap jajarannya - harus menyitir petuah Ki Hadjar Dewantara - “Ing Ngarso Sung Tulodho” di depan memberi contoh untuk mengutamakan kejujuran, menyatukan kata dan tindakan.

Bagi kalangan yang pesimis barangkali langsung menyanggah, apakah itu mungkin di tengah mentalitas koruptif dewasa ini? Jawabannya mungkin sekali. Arita Gloria Zulkifli  (Arita Kiefl) layak disebut sebagai pelopor transformasi dunia pendidikan di republik tercinta. Ia siswi kelas XII SMA Charitas Jakarta yang berani berbicara blak-blakan ihwal karut-marut pelaksanaan UN tingkat SMA. Wawancara eksklusif dengan pemudi yang masih berusia 16 tahun ini ditayangkan live oleh MetroTV pada Jumat malam (19/4). Rekamannya pun kini beredar luas di Youtube.

Semula Arita menulis di sebuah portal jurnalisme warga pada Senin siang (15/4). Ia baru pulang merampungkan UN hari pertama dan langsung menumpahkan isi hati di http://edukasi.kompasiana.com/2013/04/15/keluhan-ljun-curahan-hati-seorang-pelajar-551326.html. Ihwal nilai kejujuran ia menulis begini, “Tak bisa dipungkiri kecurangan UN memang ada dimana-mana, bahkan aku ditawari bocoran secara cuma-cuma, dan bukan munafik teman tercinta pun banyak yang mengandalkannya. Syukur, teman-teman yang aku maksud bukan teman sekolah, kami semua bersih. Sampai mati aku gak bakal pakai ‘contekan’, aku bukan pecundang. Lebih baik aku gagal karena prinsip, keteguhan hati, nurani dan akhlak, daripada berhasil karena curang. Bukan idealis, hanya realistis.”

Tapi kalau seumpama pemerintah hendak meneruskan model soal dan LJUN beragam tersebut. Ada baiknya riset intensif Prof. Howard Gardner dari Harvard University dijadikan referensi. Prof. Gardner ialah penemu 8 jenis kecerdasan anak. Tipe musikal lebih suka belajar sambil mendengarkan musik. Tipe visual-spasial lebih suka memperhatikan media gambar warna-warni. Tipe logis-matematis lebih suka bergelut dengan angka. Tipe linguistik kaya perbendaharaan kata dan bahasa. Tipe kinestetik lebih suka belajar menggunakan gerakan. Tipe intrapersonal rajin mencatat di buku harian. Tipe interpersonal menikmati proses belajar bersama teman-teman. Tipe naturalis biasanya suka belajar di bawah langit di tengah alam terbuka.

Artinya, orang tua dan para guru perlu memperhatikan anak secara cermat. Sehingga dapat mengenali kecenderungan gaya belajar mereka. Alhasil, proses pembelajaran menjadi aktivitas yang mudah, lancar, dan menyenangkan. Prinsipnya sederhana tapi universal. Tidak ada anak bodoh di dunia ini. Mereka hanya perlu diberi kesempatan untuk mengeluarkan potensi diri secara optimal. Nah dalam konteks ini teori Multiple Intelligent sungguh menemukan relevansinya. Jika tahun depan UN 2014 masih akan tetap diadakan, Kemendikbud perlu membuat UN seturut teori multi inteligensia di atas. Salam pendidikan!
1369196245779655354
Source: http://classroomchoreography.wordpress.com/2010/05/10/dance-and-multiple-intelligences/

Membentangkan Ilmu Bersama Buku, Reportase Perayaan Hari Buku Nasional di Bentang Pustaka Yogyakarta

Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Selasa/21 Mei 2013
http://mjeducation.co/membentangkan-ilmu-bersama-buku-reportase-perayaan-hari-buku-nasional-di-bentang-pustaka-yogyakarta/


Setiap orang butuh makan untuk mengenyangkan perut. Tapi bagaimana untuk “mengenyangkan” jiwa? Ternyata aneka ragam bacaan merupakan asupan bergizi untuk mengembangkan inteligensi. Menurut J. Sumardianta, kualitas kehidupan seseorang  lima tahun ke depan dapat diprediksi. Caranya dengan meneliti apa saja buku yang biasa ia baca dan dengan siapa ia bergaul dalam keseharian. Artinya, seseorang memang perlu selektif dalam memilih bacaan dan lingkungan pergaulan.

Begitulah salah satu poin penting dalam bincang santai Klub Baca Bentang di halaman belakang kantor Penerbit Bentang Pustaka, Jalan Kalimantan, Yogyakarta, Jumat (17/5) lalu. Acara sederhana tersebut untuk memperingati Hari Buku Nasional 2013. Ada tiga narasumber yang berbagi inspirasi dan pengalaman mereka, yakni Salman Faridi selaku CEO Bentang, Arif Zulkifli selaku aktivis Ikapi (Ikatan Penerbit Indonesia) Yogyakarta, dan J. Sumardianta, seorang Guru Sosiologi SMA Kolese De Britto sekaligua penulis buku GGMU (Guru Gokil Murid Unyu).


Sebelum acara dimulai, para peserta boleh menyantap aneka minuman dan makanan di warung angkringan, misalnya seperti wedang jahe, teh hangat, es jeruk, nasi kucing, tempe goreng, krupuk, slondok, tahu bacem, dll. Semua gratis dan prasmanan, para peserta memesan langsung ke bakul yang biasanya mangkal di Jalan Timor-Timur. Khusus Jumat malam tersebut, seluruh dagangannya telah diborong oleh pihak tuan rumah. Lantas, peserta boleh lesehan di atas tikar atau duduk di bangku panjang sembari menikmati alunan musik live. Malam itu, kelompok musik Suara Minoritas membawakan tembang-tembang lawas karya Franky Sahilatua dan Iwan Fals.


“Musik memang sempurna untuk menciptakan suasana romantis,” ujar Nurjannah Intan selaku MC (Master of Ceremony). Intan juga menjelaskan bahwa bincang santai Klub Baca Bentang ini merupakan edisi kedua. Bulan April 2013 lalu yang menjadi narasumber ialah dari Persia. Kemudian, tak lupa ia menyapa para tamu undangan dari Radio Buku, Pro2 RRI, Akademi Bercerita, dan Ikapi (Ikatan Penerbit Indonesia) Yogyakarta.

Pada sesi pertama, Salman menyampaikan orasi kebudayaan singkat, judulnya, “Buku Masa Depan Indonesia”. Menurut CEO Bentang tersebut keberadaan buku sangat penting karena usianya sama tua dengan peradaban manusia itu sendiri. Bahkan pada 5000 tahun sebelum masehi, bangsa Mesir telah mengenal huruf Hieroglyph.  Lalu, ayah dua anak tersebut juga meredefinisi makna buku. Buku ialah apa saja yang bisa dibaca, bukan sekadar apa yang tertulis di atas kertas. Nabi Musa pun telah membaca perintah Allah walau saat itu masih tertulis di atas lempengan batu.


Selanjutnya, pria yang telah bertahun-tahun berkecimpung di dunia penerbitan ini mengakui, “Saya memang bukan seorang aktivis yang suka berdemonstrasi di jalanan dan berani berhadap-hadapan dengan aparat, tapi bagi saya menerbitkan dan menyebarluaskan buku juga  sebuah perjuangan, yakni perjuangan agar wacana dibaca mahasiswa dan publik sehingga bisa menggerakkan mereka demi melakukan perubahan yang lebih baik.” Pernyataan tersebut sontak disambut tepuk tangan para hadirin sekalian.

Saat giliran Arif Zulkifli tiba, ia menggunakan cara berbeda untuk berbagi rasa cintanya pada buku. Aktivis Ikapi (Ikatan Penerbit Indonesia) itu Yogyakarta sekadar mau mendongeng saja. “Pada suatu hari, saya bertemu dengan para ahli di bidangnya masing-masing, ada yang Profesor Ahli Matematika, Doktor Sosiologi, Pakar IT, Politisi, Peneliti Maritim, dan Praktisi Manajemen,” ujarnya mengawali cerita.

Lantas, kami berdiskusi tentang acara apa yang paling mengasyikkan untuk dilakukan? Salah satu orang mengusulkan agar bagaimana kalau kita berpetualang ke masa depan saja. Mengapa? “Sebab bernostalgia ke masa lalu dan berjalan-jalan di masa kini itu sudah biasa dan suatu keniscayaan. Sedangkan, berpetualang ke masa depan sangatlah mengasyikkan, luar biasa, dan misterius (tak pasti),” imbuhnya.

Pertanyaannya kini ialah bagaimana cara berpetualang ke masa depan? Ternyata sangat mudah, yakni dengan berimajinasi. Masing-masing segera berpetualang ke masa depan. Singkat cerita, pasca puas mengekplorasi, kami pun kembali ke masa kini. Uniknya, cara pandang kami dalam menyikapi masa kini pun berubah sepulang bepergian tadi.

Sang Doktor Sosiologi misalnya, ia mengatakan bahwa ternyata di masa depan ruang publik menjadi virtual. Sehingga tak diperlukan lagi pertemuan fisik face to face. Kemudian Profesor Ahli Matematika turut memaparkan teori himpunan. Intinya, garis adalah himpunan titik-titik. Lalu, bidang merupakan himpunan garis-garis. Nah ruang merupakan himpunan bidang. Tapi ternyata di masa depan ruang tak lagi tiga dimensi melainkan multi dimensi.


“Terkait momentum Hari Buku Nasional saat ini, bagaimana nasib buku di masa depan?” tanyanya kepada peserta secara retoris. Menurut Arif, segala kemungkinan masih bisa terjadi. “Bisa jadi buku cetak mati karena kehadiran e-book seperti banyak diprediksi publik. Tapi sesungguhnya – maaf kepada teman-teman IT – dunia buku cenderung menumpang pada produknya teman-teman IT. Padahal semestinya, aktivis perbukuan harus berani berimajinasi tentang masa depannya sendiri,” ujarnya dan kembali disambut tepuk tangan meriah segenap hadirin.

Tibalah saat yang ditunggu-tunggu, narasumber utama J. Sumardianta siap berbagi pengalamannya di dunia buku dan pendidikan humanis. Guru SMA Kolese De Britto itu setuju dengan hukum Pareto, ternyata 80 persen pendidik tergolong mediocre, superior, dan good (terpuji). Sedangkan hanya 20 persen pendidik yang masuk kategori guru hebat (inspiratif). “Guru Gokil merupakan istilah untuk menyebut para pendidik yang 20 persen tersebut,” ujarnya.

Dari pengalamannya untuk menjadi Guru Gokil seorang pendidik harus mengenal dirinya terlebih dulu. “Menurut teori kecerdasan jamak ala Howard Gardner, saya termasuk man of letters, yakni orang yang kecerdasan utamanya ialah berbahasa. Oleh sebab itu, saya relatif tekun kalau disuruh membaca dan menulis, karena aktivitas tersebut memang berurusan dengan semak belukar kata dan huruf-huruf,” ujar ayah tiga putri tersebut.


Kebiasaan membaca dan menulis (reading and writing habit) itu yang ditularkannya juga kepada para siswa SMA Kolese De Britto. “Di kelas saya memiliki agenda unik, namanya Silent Reading Habit alias program membaca senyap. Selama 45 menit seluruh siswa diam dan membaca dengan tekun. Kegiatan itu dalam rangka memperkenalkan kebiasaan membaca buku kepada generasi gadget,” ujarnya.

Lantas, apa saja materi bacaan mereka? Ternyata beraneka ragam, misalnya novel City of Joy, Tetralogi-nya Andrea Hirata, biografi Barack Obama, dan novel-novel petualangan back packer karya Agustinus Wibowo. Uniknya, Pak Guru bertekad agar setiap angkatan materi bacaannya selalu berbeda, agar cerita dan refleksi mereka pun beragam. “Oleh sebab itu, saya harus terus belajar dan mengikuti perkembangan dunia buku,” ujarnya.

Secara khusus terkait teknik menulis, kolumnis di aneka media nasional tersebut berbagi tips sederhana bagi para hadirin yang sebagian besar kaum muda. Pertama, pilihlah judul yang unik. “Misalnya saat saya memilih judul untuk buku “Guru Gokil Murid Unyu”, Pak Salman dari Bentang langsung searching di Google, ternyata judul tersebut belum ada,” ujar penulis yang memang dikenal piawai mereproduksi istilah-istilah baru dan segar.

Kedua, alinea pertama (untuk artikel) dan kata pengantar (untuk buku) harus nyulek mata, bahasa kerennya eye catching. Sehingga menarik minat pembaca untuk mendalaminya lebih lanjut. Ketiga, tubuh tulisan harus sintal dan berbobot. “Saya bukan tipe penulis 10 senti, yang hanya berbicara dari leher sampai 10 cm ke atas, tapi penulis yang mengeksplorasi dari ujung kaki sampai ujung rambut. Oleh sebab itu, tulisalah apa yang kita lihat, alami, dengar, dan rasakan. Tulisan yang berasal dari hati niscaya sampai ke hati pembacanya juga,” tandasnya.

Keempat, alinea terakhir harus menendang. Oleh sebab itu, ada program di salah satu stasiun televisi swasta berjudul, “Kick Andy”. Andy F. Noya memang berniat memberi kesan mendalam kepada jutaan pemirsa lewat “tendangannya”.


Dalam sesi yang dimoderatori Mbak Eva tersebut, Pak Guru juga mengatakan bahwa ia lebih suka bercerita, bahkan termasuk lewat tulisan-tulisannya. “Di sekolah tempat saya bekerja, De Britto ada program Imersi setiap tahunnya. Para murid wajib hidup bersama orang miskin selama 1 minggu penuh. Sehingga murid-murid yang sebagian besar berasal dari kelas menengah ke atas tersebut juga bisa merasakan kesulitan hidup kaum marginal,” ujarnya.

Dari Yogyakarta menuju Jakarta mereka tak berangkat dengan bis AC seperti dalam acara study tour yang marak dewasa ini, melainkan dengan bis ekonomi. Salah satu anak yang hobi main basket dan berwajah orientalis seperti artis Korea, Suju mendapat tempat di daerah Kebun Nanas Jakarta. Ia tinggal bersama keluarga tukang penggali kubur.

Pada hari Senin malam, ia dibangunkan oleh induk semangnya tersebut karena ada orang meninggal yang akan dimakamkan besok pagi. Malam ini, mereka harus menggali kubur. Ternyata dari pengalaman tersebut, si murid belajar nilai-nilai multikultural. Bukan dari mendengar ceramah di kelas tapi dari refleksi pengalaman riil di lapangan.

Dalam buku “Tapal Batas”, si murid tadi menulis, “Saya seorang Katolik, sedangkan keluarga induk semangnya yang berprofesi sebagai penggali kubur menganut agama Islam, orang yang meninggal dunia juga Muslim. Saat menggali dan menutup liang kubur, saya sempat khawatir kalau saya ikut dalam upacara pemakaman tersebut, bisa melanggar syariah. Tapi ternyata asal tidak memegang tubuh jenazah dan tidak ikut membopongnya, itu tetap afdol dan sah secara agama.“Orang Jakarta (dan bisa jadi kita semua) baru bisa rukun dalam upacara kematian,” imbuhnya.

Sumber Foto: Dok. Pri

Mei 19, 2013

Gelombang Otak dan Proses Pembelajaran

Dimuat di Surat Pembaca, Suara Merdeka, Senin/20 Mei 2013

Menurut penelitian Hans Berger  pada tahun 1924, gelombang otak dapat dipakai untuk mendeteksi pendarahan otak, in­feksi otak, gangguan jiwa, penyakit epilepsi, stroke, bahkan kanker otak. Ahli syaraf asal Jerman tersebut berhasil mencetak grafik ge­lombang otak manusia dalam selembar kertas. Caranya dengan menggunakan perlengkapan radio untuk memperkuat impuls listrik sebesar sejuta kali lipat lebih di sel syaraf jaringan otak. Alat tersebut merupakan cikal bakal EEG alias Electro Encephalo Graph (Guru­nya Manusia, Munif Chatib, 2013).

Seiring bergulirnya waktu, kini temuan itu bermanfaat pula bagi proses pembelajaran di kelas. Dalam keadaan Delta (0,5-3,5 Hz) sangat tidak mungkin anak didik belajar. Kenapa? Karena ini merupakan saat tidur tanpa mimpi. Tak mungkin seorang guru mengajar di hadapan para murid yang sedang lelap tertidur bukan? Selanjutnya, gelombang Teta (3,5-7 Hz) merupakan kondisi tidur dan bermimpi.

Dalam konteks ini, dongeng sebelum tidur menemukan relevansi dan signifikasinya. Menurut Taufiq Pasiak, dongeng yang disampaikan secara menarik dan tulus niscaya diingat sampai anak beranjak dewasa. Bahkan petuah bijak dalam balutan cerita itu terus diwariskan secara turun-temurun. Kenapa? Karena dongeng menjadi kenangan pertama yang diunduh (download) oleh bawah sadar ketika buah hati tercinta mulai terlelap.

Kendati demikian, saat tepat untuk belajar ialah pada gelombang Alfa (7-13 Hz). Dalam kondisi ini manusia bersikap santai tapi waspada. Neuron (sel syaraf) otak sedang dalam keadaan harmoni. Dalam pengertian, ketika menembakkan impuls listrik secara bersamaan (kompak), demikian pula saat beristirahat (rileksasi).

Terakhir tapi penting, gelombang Beta (13-25 Hz) yakni ketika sedang kondisi jalan macet, lantas ada motor nyelonong menyalip serampangan. Lazimnya, timbul rasa marah, jengkel, stres, ingin teriak, dan seterusnya. Kondisi ini tercermin lewat fenomena anak yang berbicara sendiri, ribut, enggan mendengarkan, berlari-larian, serta memasang mimik wajah yang tak bersahabat. Jika seorang guru bersikukuh melanjutkan proses pembelajaran, niscaya sia-sia saja.

Lantas bagaimana solusinya? Kembalikan gelombang otak ke kondisi Alfa. Caranya dengan memberikan stimulus tambahan. Antara lain berupa ice breaking (aktivitas permainan untuk mencairkan suasana), fun story (cerita lucu), musik, dan brain gym (senam otak).

Akhir kata, apa indikator kalau anak didik sudah siap belajar lagi? Ketika wajah sumringah, sorot mata berbinar, bibir mengulas senyum termanis, dan bahkan bisa tertawa ceria. Ini saat tepat melanjutkan pembelajaran.

T Nugroho Angkasa SPd
Guru bahasa Inggris
di PKBM Angon (Sekolah Alam) http://www.angon.org/
Ekskul English Club di SMP Kanisius Sleman dan TK Mata Air Yogyakarta
136901428849777910
Sumber Foto: http://brmlab.cz/project/brainmachine

Memperjuangkan Nilai Kejujuran di Dunia Pendidikan Nasional yang Lebay

Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Minggu/19 Mei 2013

Jika dunia pendidikan nasional dianalogikan sebagai hutan rimba, aneka ragam satwa hidup di sana. Mulai dari semut, kelinci, kancil, trenggiling, monyet, harimau, sampai gajah. Anehnya, ujian kelulusan mereka diseragamkan, semua harus bisa memanjat pohon selincah monyet. Sama seperti Ujian Nasional (UN), walau kemampuan inteligensia anak didik majemuk dan kondisi geografis daerah dari Sabang sampai Merauke berbeda-beda, metode evaluasinya seragam, yakni dengan cara mengisi kolom pilihan ganda.

Selain itu, masih banyak ditemukan fakta kecurangan dalam praktik UN. Para guru, kepala sekolah, dan kepala dinas berlomba mengejar kelulusan 100 persen. Mereka menghalalkan segala macam cara, termasuk membocorkan jawaban UN kepada anak didik. Ada yang membagikan kertas-kertas kecil, ada yang mengirimkannya lewat sms dan blackberry messenger, bahkan ada juga yang membacakan kunci jawaban di depan kelas tepat 30 menit sebelum ujian berakhir.

Mau menjadi apa generasi masa depan bangsa ini? Dampaknya baru akan terasa 10-20 tahun mendatang. Bisa jadi para koruptor yang kini mengumbar senyum di depan kamera ialah produk model pendidikan tanpa hati nurani semacam itu di masa lalu. Ironisnya, status quo lingkaran setan pembodohan kehidupan bangsa secara sistemik tersebut terus dilanggengkan oleh pengampu kebijakan publik, terutama institusi yang bernama Kemendikbud (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) Republik Indonesia (RI).

Kendati demikian, mendiang Cak Nur pernah berpesan agar kita selalu bersikap optimis. Walau berada dalam lingkaran setan masalah yang seolah tak kunjung usai sekalipun. Mengapa? Karena kalau kita berada dalam lingkaran setan maka dari titik mana pun - tepat di mana kita berdiri – setiap anak negeri dapat berbuat sesuatu dan berkontribusi bagi transformasi sosial dan proses pencerdasan kehidupan bangsa.

Sacred mission alias misi mulia tersebutlah yang menggerakkan ratusan orang untuk menghadiri acara nonton bareng (nobar) film, “Temani Aku Bunda” di Ruang Driyarkara, Gedung Pusat lantai 4, Universitas Sanata Dharma (USD), Mrican, Yogyakarta pada Kamis siang (16/5) pukul 14.00-16.00 WIB lalu. Walau biasanya saat-saat tersebut merupakan jam istirahat (leisure time) dan makan siang (lunch), toh tak menyurutkan tekad mereka untuk menjadi saksi perjuangan seorang anak bernama Abrar.

Alkisah, pada hari pertama UN 2011 di SDN 06 Petang Pesanggrahan, Jakarta Selatan 2 tahun silam, Muhammad Abrary Pulungan (14) dipaksa berbuat curang oleh gurunya. Dua hari sebelum UN, tepatnya hari Jumat, ia harus menandatangani perjanjian tertulis di atas kertas. Intinya para murid harus memberi tahu teman sekelas yang tak bisa menjawab soal. Tapi mereka dilarang mengatakan itu kepada orang tua, keluarga, dan orang lain sampai dewasa. Jika melanggar kesepakatan tersebut, hukumannya sangat berat, yakni tidak lulus UN.

Saat proses ujian berlangsung, Abrar merasa gelisah menyaksikan teman-temannya bebas berkeliaran bertukar kunci jawaban padahal ada guru pengawas di kelas. Ternyata kesepakatan untuk memberikan jawaban UN kepada teman alias praktik contek massal sungguh terjadi. Bagi Abrar, itu merupakan kesepakatan tolol yang digagas oleh sebuah lembaga yang semestinya menjunjung tinggi kejujuran.

Karena tidak tahan dan merasa kecewa akhirnya Abrar menceritakan pengalaman UN hari pertama tersebut kepada sang bunda, Irma Winda Lubis. Air mata tiada henti mengalir dari kedua matanya saat berbagi rasa dengan  sang bunda. Padahal selama ini Abrar dikenal sebagai anak yang tabah. Tentu saja ibunya geram dan kesal mendengar kesaksian tersebut. Keesokan harinya, Winda mendatangi sekolah Abrar. Ia membawa kamera dan merekam aktivitas di kelas selama ujian berlangsung.

Film dokumenter berdurasi 77 menit ini menyuguhkan rekaman suara dan gambar percakapan seorang orang tua murid dengan kepala sekolah dan seorang guru yang telah membuat kesepakatan contek massal tersebut. Sebenarnya, Winda sekadar ingin menyampaikan protesnya kepada pihak sekolah. Ia meminta guru dan kepala sekolah yang bersangkutan meminta maaf secara terbuka agar tidak menjadi preseden bagi para murid bahwa berlaku tidak jujur itu baik.

Kendati demikian, pihak sekolah mengabaikannya. “Arusnya memang begini Bu, ya kita juga harus ikut arus,” ujar guru tersebut. Alhasil, kejujuran Abrar justru membuatnya dikucilkan oleh para guru dan teman-temannya di sekolah. Berikut ini puisi karya Elvira Yanti Mahyor, guru privat Abrar. Abrar selalu membacanya untuk mengobati luka batin dan membangkitkan semangat:

Temani Aku Bunda

Bunda,
aku ingin menangis di pelukanmu,
aku ingin bercerita kepadamu.
Karena saat ini aku sendiri, bunda.

Semua kawan menatapku penuh benci,
mengejekku sebagai anak yang sok jujur.
Aku tidak melakukan apa-apa.
Aku hanya melakukan apa yang seharusnya.
Aku hanya melakukan apa yang selalu dinasihatkan oleh orang tua,
yaitu JUJUR.

Bunda,
aku tidak pernah menyangka jujur butuh keberanian baja,
butuh kekuatan hati yang luar biasa,
butuh kerja keras dan air mata
Aku hampir tidak kuat, bunda.

Bunda,
kini aku sedih melihat engkau,
orang yang melahirkan aku ke dunia,
orang yang membesarkan aku dengan penuh cinta,
orang yang selalu hadir di saat aku terluka,
harus menerima ejekan dari mereka,
hanya karena aku ingin JUJUR saja,
padahal JUJUR membuatku lega, bunda.

Maafkan aku, bunda
Salahkah sikapku?
Apakah aku tidak usah jujur saja?
Agar engkau tak lagi terluka.
Aku bingung, aku gelisah, aku cemas, aku takut.
Tolong temani aku, bunda.
Tolong lindungi aku, bunda.
Aku hanya ingin jujur, karena jujur membuatku lega.

Merasa tidak puas dengan sikap lepas tangan sekolah, Winda memilih jalur hukum dan melaporkan kasus contek massal tersebut. Selain itu, ia juga mendatangi satu persatu instansi yang diharapkan bisa menolong, mulai dari Kemendiknas, Pemprov DKI Jakarta, hingga LBH. Pemerintah kemudian membentuk tim investigasi untuk mengungkap kebenaran dari kasus tersebut, tapi sampai sekarang belum ada hasilnya, bahkan seolah diabaikan demi “kebaikan bersama”.

Dalam konteks ini pendapat psikolog anak, Silmi Kamilah Risman menjadi relevan. Apa pun risikonya, orang tua harus selalu menanamkan nilai-nilai kejujuran pada anak sejak dini karena begitu keluar rumah, anak  mulai mengikuti contoh-contoh yang ada di sekolah dan masyarakat. Orang tua perlu tetap kritis meski harus menentang arus. "Suara-suara yang kritis itu seperti suara sumbang dalam tim koor yang kompak," tandasnya.

Film yang diproduseri oleh Yayasan Kampung Halaman tersebut disutradarai oleh Tedika Puri Amanda, Irma Winda Lubis dan Komunitas Roda. Proses produksinya sendiri memakan waktu 1 tahun.  “Temani Aku Bunda” telah ditayangkan di Malang Film Festival pada 6 April 2013, 7 April 2013 di ITB (Institut Teknologi Bogor), IPB (Institut Pertanian Bogor), dan di Cinema 21 di beberapa wilayah Indonesia. Acara pemutaran di Universitas Sanata Dharma (USD) kali ini hasil kerja sama dengan ICW (Indonesian Corruption Watch) dan IRB (Ilmu Religi Budaya) Program Pascasarjana USD Yogyakarta.

Tak terasa sejam lebih ruangan sunyi senyap, para hadirin khusyuk menyaksikan adegan demi adegan serta meresapi setiap percakapan dalam film tersebut. Tampak pula beberapa guru membawa murid-muridnya untuk ikut nobar. Menurut Sisilia Maharani selaku Direktur Yayasan Kampung Halaman (YKH), “Temani Aku Bunda” memang diperuntukkan bagi segala umur.

Kepedulian

Acara selanjutnya adalah diskusi, tapi peserta boleh rehat sejenak untuk ke kamar kecil ataupun menyantap donat yang telah disediakan oleh panitia. Sembari menunggu, Sisilia Maharani memanggil dan memperkenalkan dua narasumber yang telah hadir sore itu.

Pertama, J. Sumardianta, Guru Sosiologi di SMA Kolese De Britto, Yogyakarta. Selama 20 tahun aktif mengajar di kelas, J. Sumardianta juga sering menulis di media massa nasional. Sebagian besar temanya tentu saja tentang dinamika pendidikan di Indonesia. Beberapa minggu lalu, ayah 3 putri tersebut baru saja meluncurkan sebuah buku baru, judulnya, “Guru Gokil Murid Unyu” (Bentang, 2013).  Kedua, Ibu Anna, Ketua Laboratorium DED (Dinamika Edukasi Dasar), Yogyakarta. Lembaga yang fokus pada pelatihan dan penelitian seputar dunia pendidikan tersebut didirikan oleh almarhum Romo Mangunwijaya.

Merespon film yang baru saja diputar, J. Sumardianta berpendapat itu bisa terjadi karena kita telah melupakan ajaran Ki Hadjar Dewantara. Pendiri Taman Siswa tersebut mendasarkan proses pembelajaran dalam 3 prinsip. Pertama, “Ing Ngarsa Sung Tuladha” (di depan memberi contoh) tapi yang kini  terjadi “Ing Ngarsa Golek Banda” (di depan mengumpulkan harta). Kedua, “Ing Madya  Mbangun Karsa” (di tengah memberi motivasi dan semangat) tapi yang kini terjadi “Ing Madya Waton Sulaya” (di tengah keras kepala dan mau menang sendiri). Ketiga, “Tut Wuri Handayani” (di belakang memberi dukungan) tapi yang kini terjadi “Tut Wuri Hanjegali” (di belakang menjegali langkah).

Lantas, pria kelahiran 23 November 1966 tersebut menawarkan solusi untuk menghindari praktik contek massal. Selama dua dasawarsa menjadi Guru Sosiologi di tingkat SMA, ia lebih suka memberi ulangan lisan. Sehingga tidak ada kesempatan bagi siswa untuk menyontek seperti halnya dalam tes tertulis. Bahan yang diujikan ialah kemampuan membaca dan daya nalar murid, sebelumnya para siswa diminta membaca buku-buku inspiratif setebal 750 halaman. Setelah itu, baru ditanyakan ihwal kondisi sosiologi masyarakat dalam novel tersebut. Misalnya dalam City of Joy karya Dominique Lapierre terungkap kondisi India pada era 1970-an,  yakni 3S: Sickness (orang sakit-sakitan), Stolen (banyak pencuri), dan Sex (marak terjadi seks bebas).

Alternatif model evaluasi lainnya ialah dengan presentasi kelompok. Tujuannya agar siswa tidak individualis dan mau bekerjasama. Sebelumnya mereka mencari bahan (browsing) di internet. “Saya mengizinkan para siswa membawa gadget di kelas, tapi bukan untuk chatting, update status Facebook dan twitter-an,“ ujarnya. Hasilnya sungguh menakjubkan, para siswa bila diberi kepercayaan dan kesempatan bisa menunjukkan bakat terpendamnya. Bahkan mereka sampai menggunakan slide film, program PowerPoint dan aneka tampilan visual yang memikat.

Selanjutnya, Bu Anna turut berbagi pengalamannya berkecimpung di dunia pendidikan. Ibu dua anak tersebut mengutip tesis Romo Mangun, sejatinya pendidikan harus bisa membebaskan anak dari rasa takut. “Selain itu, kita orang dewasa cenderung tak sabar dengan proses tumbuh kembang anak. Ibarat kepompong yang harus keluar dan menjadi kupu-kupu. Tapi dengan dalih “kasih sayang” orang tua dan guru justru menggunting kepompong tersebut. Misalnya dengan memberi bocoran kunci jawaban seperti di film tadi,” ujarnya.

Alhasil proporsi antara bobot tubuh dan rentangan sayapnya tak seimbang. Oleh sebab itu, biarkan anak-anak berjuang untuk mengatasi masalah-masalahnya sendiri, sebab itu sangat berguna bagi pendewasaan. “Intinya pendidikan adalah proses, bukan sekadar hasil,” pungkasnya.

Dari floor ada satu orang penanya, namanya Pak Jati. Beliau seorang orang tua murid. Menurutnya selama ini anak diteror dengan UN. Padahal kondisi daerah pusat dan wilayah pinggiran berbeda. Semestinya, anak yang kurang mampu didampingi secara khusus oleh guru-guru bidang studi. Tapi yang terjadi, banyak sekolah di daerah pedalaman yang gurunya harus mengampu banyak mata pelajaran di lebih dari satu kelas. “Bagaimana mungkin mereka bisa mendampingi masing-masing siswa secara intensif?” tanyanya.

Bu Anna menanggapi dengan nada lebih optimis, “Upaya membenahi dunia pendidikan di Indonesia memang sebuah perjuangan panjang. Saya pernah berkunjung ke daerah Wamena, Papua, untuk mencapai lokasi harus masuk hutan selama 3 jam dengan mobil Jeep. Bahkan kalau mau menyeberangi sungai hanya menggunakan 2 bilah balok yang dijajarkan sebagai tumpuan roda-roda. “Oleh sebab itu, seluruh komponen masyarakat harus peduli pada perbaikan mutu pendidikan di tanah air,” ujarnya.

Sumber Foto: Dok. Pri