Dimuat di Majalah Pendidikan Online, Sabtu/4 Mei 2013
http://mjeducation.co/jagongan-wagen-lestari-meruang-masa-memang-keren/
http://mjeducation.co/jagongan-wagen-lestari-meruang-masa-memang-keren/
Minggu malam (28/4) purnama tak lagi bersinar penuh, tapi cahayanya masih mampu menerangi para pengunjung Jagongan Wagen.
Perhelatan budaya yang rutin digelar di Padepokan Seni Bagong
Kussudiardja (PSBK), Yogyakarta itu gratis dan terbuka untuk umum. Tepat
di gerbang masuk tampak pihak tuan rumah menyapa dan menyambut dengan
penuh keramahan. Mereka pun mempersilakan hadirin menghangatkan badan
dengan menyeruput (meminum) wedang jahe dan wedang setup
(sari buah jambu biji) yang telah disediakan dalam 3 wadah besar. Aroma
wangi dupa juga menambah suasana nyaman dan sejenak mengendurkan urat
saraf.
Tepat
pukul 20.00 WIB acara pun dimulai. Ratusan penonton duduk lesehan
mengitari pendopo utama. Alhasil, seolah tak ada jarak antara para
hadirin dan pengisi acara. Sensasinya sangat berbeda dengan menonton
konser musik ataupun acara di televisi yang relatif berjarak. Malam itu
ada 6 penari muda berbakat yang mempersembahkan aneka tarian. Mereka
menampilkan kebolehannya mengolah gerak tubuh seturut irama musik untuk
menyampaikan pesan tertentu. Tema Jagongan Wagen edisi April
2013 ialah “Lestari Meruang Masa”. Selama sejam penuh, Aris, Punyk,
Anggoro, Ayu, Dhahana, dan Prita berkolaborasi dalam dua sesi tari yang
sarat inspirasi.
Menurut
Ayu, di sini ia merasakan sesuatu yang berbeda. Proses yang sangat
asyik, sangat mengejutkan baginya. Ia pun senang sekali bisa menjadi
salah satu anggota yang terlibat di Jagongan Wagen, yaitu
sebuah proses mencari ide untuk bergerak. Ternyata itu tidak sulit,
yang penting harus sadar dengan apa yang ada di dekat kita sehingga
dapat saling mengisi dan merespon. “Sungguh menarik dan menjadi
tantangan tersendiri dalam kreativitas khususnya lewat gerak dan tari,”
ujarnya.
Mbak Sulis yang bertindak sebagai MC (Master of Ceremony) di awal acara juga menjelaskan bahwa Jagongan Wagen
merupakan wahana untuk melestarikan seni tradisi. Karena di era digital
ini kesenian rakyat kian terpinggirkan. “Kenapa sih namanya Wagen? Karena berasal dari hari pasaran (kalender Jawa) Wage, kalau hari pasarannya Kliwon, ya namanya bisa jadi Jagongan Kliwonan,” ujarnya dan sontak disambut gelak tawa penonton.
Sekilas
kisah ihwal Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK), padepokan ini
berdiri pada 2 Oktober 1978. Pendirinya seorang seniman Yogyakarta yang
bernama Bagong Kussudiardja. Beliau pelaku seni dan budaya yang
konsisten malang-melintang nguri-uri kabudayan Jawi (melestarikan
budaya Jawa) sejak tahun 1950-an. Tidak mengherankan jika beliau lantas
mendirikan sebuah padepokan sebagai tempat pendidikan seni non formal.
Padepokan
yang beralamat di Dusun Kembaran RT 04 RW 21, Kelurahan Tamantirto,
Kecamatan Kasihan, Bantul ini merupakan satu impian besar dari beliau.
Sehingga siapa saja yang ingin berkreasi lewat seni dan budaya dapat
belajar dan berproses di sana. Secara geografis, PSBK berada di bawah
bukit Sempu. Suasananya relatif tenang dan masih asri karena banyaknya
pepohonan rindang dan taman yang ditata sedemikian rupa.
Fasilitas
pendukung padepokan ini adalah ruang pertunjukan utama dengan ukuran
12 m x 10,5 m. Selain itu, ada juga studio arena dan studio yang
berbentuk pendopo. Masih ada pula, ruang rekaman (audio digital), ruang
latihan karawitan, kantor, dan ruang pertunjukan yang mampu menampung
500 penonton lengkap dengan tempat khusus untuk tata lampu. Padepokan
ini pun dipakai sebagai studio permanen untuk 3 grup kelompok seni,
yakni Kua Etnika, Sinten Remen, dan Teater Gandrik.
Padepokan ini mempunyai 2 acara rutin, yakni Jagongan Wagen dan Among Sedulur. Among Sedulur
merupakan pembelajaran dan aktivitas seni yang mengangkat serta
melibatkan masyarakat sekitar dengan para seniman profesional. Among Sedulur sendiri terbagi menjadi 2 kegiatan utama, yaitu Anjangsana dan Among Seni. Anjangsana merupakan pertunjukan pergelaran yang mempunyai nilai edukasi terhadap masyarakat. Sedangkan Among Seni
merupakan kegiatan yang mengikutsertakan masyarakat dengan basis seni
untuk menciptakan kreativitas. Alhasil, masyarakat secara langsung dapat
mengolah dan menciptakan kreativitas seni mereka sendiri.
Padepokan
ini memang sering mengadakan beberapa pertunjukan yang sangat
menarik. Acara yang sering ditampilkan adalah tari-tari daerah, drama,
wayang kulit, wayang golek, wayang boneka, dll. Pak Bagong Kussudiardjo
wafat pada tahun 2004 – sebagai kelanjutan pengelolaan padepokan
tersebut – lalu dibentuklah Yayasan Bagong Kussudiardja yang salah
seorang pengurusnya adalah Butet Kertaredjasa, seorang monolog dan
presiden dagelan Indonesia.
Kehangatan
Dhanana,
salah seorang pengisi acara malam itu juga mengatakan bahwa ia
merasakan ada aura yang hangat di PSBK. “Saya merasa lebih terbuka dan
bisa memahami tentang pribadi seseorang pasca bertemu teman-teman yang
berbeda latar belakang. Ternyata perbedaan tidaklah menjadi masalah
untuk kita berkesenian,” ujarnya.
Menurut
pengamatan penulis, tarian malam itu termasuk genre kontemporer.
Karena tidak ada alur cerita yang baku. Semua mengalir mengikuti irama
dan dorongan gerak tubuh para penari. Tampak tersaji pula adegan
percintaan dua insan yang tengah dimabuk asmara, aneka laku permainan
tradisional, dan gerakan akrobatik yang relatif sulit dilakukan kaum
awam.
Pada saat jeda antara dua sesi yang ada, MC mengingatkan para penonton untuk mengisi saweran (sumbangan sukarela) sehingga Jagongan Wagen sungguh bisa lestari meruang masa. “Dana yang terkumpul akan dipakai untuk menyediakan wedang jahe dan wedang setup bulan depan,” ujar MC yang mengenakan pakaian mirip pemain Jathilan tersebut.
Seusai
pertunjukan, Mbak Sulis juga mewawancarai beberapa penari. Walau masih
terengah-engah napasnya, mereka “dipaksa” menjelaskan definisi
“Lestari Meruang Masa” bagi mereka sendiri. “Lestari berarti menjaga.
Meruang dapat dimaknai sebagai mengisi, memainkan, melompati, meniduri,
menutup, membuka ruang, dst. Sedangkan masa sama dengan waktu, bisa
jadi di masa lalu. Jadi “Lestari Meruang Masa” artinya mengambil
inspirasi dari masa lalu untuk mengisi, memainkan, melompati, meniduri,
menutup, membuka ruang sehingga lestari dan terjaga sampai ke masa
depan,” jawab Punyk yang telah berganti kostum pasca menari.
tersebut.
Ia meminta operator musik memainkan irama gamelan untuk mengiringinya
menari. “Saya dulu waktu kecil juga pernah belajar menari lho, tubuh
saya ini masih bisa lentur menari,” ujarnya dengan penuh percaya diri.
Tapi bukan irama gamelan yang terdengar melainkan musik dangdut.
Alhasil, ia batal menunjukkan kebolehannya menari Jawa. Kembali gemuruh
tawa dan tepuk-tangan riuh-rendah membahana memecah kesunyian malam.
Tak terasa Jagongan Wagen edisi April 2013 telah memasuki
penghujung acara, seluruh penari berkumpul di tengah pendopo. Mereka
mengucapkan terima kasih kepada seluruh penonton yang hadir. “Lestari
Meruang Masa!!!!” seru mereka sembari memberi salam penghormatan.
Bapak Puji salah seorang penonton yang
datang langsung dari Jalan Kaliurang Km.7, Kentungan, Sleman,
Yogyakarta menyampaikan kesan dan pesannya. Pria berusia 51 tahun
tersebut mengapresiasi generasi muda yang mau belajar dan melestarikan
kesenian tradisi. Tak hanya seni tari, tapi juga tembang Jawa
(macapat), karawitan, wayang, ketoprak, dll. Ketika ditanya apakah
beliau bisa menari juga, “Oh tidak saya hanya penikmat dan penonton
saja Mas. Pertunjukan tari harus ada penontonnya, semua jadi bisa
saling melengkapi,” ujarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar