Mei 04, 2013

Mengolah Rasa Keindahan Anak

Dimuat di Jateng Pos/Minggu, 5 Mei 2013
 
Judul: Tuhan Tidak Menciptakan Sampah, Pola Baru Pendidikan Anak
Penulis: Paulus Subiyanto
Editor: Tarsisius Afirman
Penerbit: Fidei Press
Cetakan: 1/November 2012
Tebal: 133 halaman
ISBN: 978-602-8670-68-5

Proses meniru atau imitasi ternyata merupakan langkah awal menuju kreativitas yang otentik. Semula para seniman besar dunia pun mempunyai role model atau tokoh panutan sebagai acuan untuk diteladani sampai kemudian mereka menemukan gayanya sendiri. Begitu pula halnya dalam diri seorang anak, ketika melihat ibunya berdandan misalnya, bibir si anak perempuan tiba-tiba sudah belepotan lipstick (halaman 104).

Kendati demikian, ada juga asumsi yang mempertentangkan tindakan meniru dengan kreativitas. Alhasil mereka cenderung meremehkan dan memandang sebelah mata terhadap anak-anak yang suka mengimitasi. Padahal menurut penulis buku ini, meniru ialah tindakan kreatif yang paling sederhana. Setiap anak gemar memperagakan hal-hal yang ada di sekitarnya, saat penyanyi atau penari berdansa misalnya, ia juga otomatis ikut bersenandung dan bergoyang.

Secara lebih mendalam, buku ini juga mengungkap fakta bahwa anak piawai meniru secara mental. Mereka merekam di alam bawah sadar setiap peristiwa yang dialaminya. Pasca proses inkubasi, potensi kreativitas itu akan menemukan saat tepat untuk mekar dan berkembang. Oleh sebab itu, Dosen Politeknik Negeri Bali ini menyarankan untuk mewarnai lingkungan rumah dan sekolah dengan nuansa seni.

Caranya mudah, yakni dengan menggantungkan lukisan-lukisan di dinding. Selain itu, hiasi rumah atau ruangan kelas dengan alat-alat musik. Perdengarkan juga lagu dan simfoni yang berkualitas. Secara alamiah, semua perkakas artistik tersebut akan beresonansi dengan potensi kreativitas dalam diri anak. Selain itu, ajaklah para siswa mengunjungi galeri, pentas seni, atau konser sehingga mereka belajar mengolah kepekaan dan rasa keindahan.

Buku “Tuhan Tidak Menciptakan Sampah, Pola Baru Pendidikan Anak” ini tidak berpretensi mencetak seniman, tapi sekadar mengembangkan empati anak. Sehingga sikap dan perilaku mereka dalam keseharian pun jadi lebih manusiawi. Menurut pengamatan penulis, kini banyak orang sukses secara material, intelektual, dan status sosial tapi tak punya stok apresiasi dan alpa cita rasa seni. Padahal menurut pria kelahiran Bantul, Yogyakarta 22 Juli 1961 ini, kepekaan estetik berbanding lurus dengan sense of humanity (rasa kemanusiaan).

Misalnya, remaja modern cenderung hanyut dalam gaya hidup konsumtif. Ia sekadar mengekor mode, suka keluar-masuk mal, atau sebaliknya justru mengurung diri dalam kamar bermain PS (Play Station). Alhasil, mereka kehilangan sentuhan seni (touch of art). Kendati bergelimang materi, jiwanya merintih dan tetap merasa hampa. Narkoba, seks bebas, kehidupan malam menjadi jalan pintas untuk mengubur rasa kesepian (halaman 106). Bagaimana solusinya? Simak di Bab 2 “Memandang Cakrawala Baru.”

Sistematika buku ini terdiri atas 6 bagian, dari Pengantar, Pendahuluan, “Potret Buram Pendidikan Anak”, “Menumbuhkan Potensi Anak”, dan Penutup “Anak-anak yang Bahagia.” Isinya sintesis antara refleksi dan pengalaman hidup sehari-hari penulis sebagai guru TK Multi-Q di Badung, Bali. Referensinya beragam, dari Daniel Goleman dengan Emotional Intelligence-nya, Howard Gardner dengan Multiple Intelligence-nya, John Gray, Thomas Armstrong, Richards Carlson hingga Romo Mangun, Anand Krishna Ph.D, dan Prof. Dr. Conny Semiawan.

Penulis juga menyajikan riset sederhana. Ia meminta anak-anak kelas 1 SD mengungkapkan perasaan sedih dengan pertanyaan singkat, “Kapan kamu sedih?” Ternyata hampir mayoritas anak bersedih hati ketika merasa jauh dari orang tuanya. Misal, “Ketika Papa seharian tidak pulang”, “Mama tugas di luar kota”, “Ketika di rumah tidak ada siapa-siapa”, dll. Itulah sebabnya kata present dalam bahasa Inggris memiliki 3 makna: ‘hadir”, “hadiah”, dan “sekarang”. Artinya, kehadiran orang tua merupakan hadiah terbaik yang dibutuhkan anak-anak saat ini  (halaman 24).

Pengasuh rubrik Konsultasi Keluarga di Pulau Dewata ini kemudian memaparkan sebuah temuan ilmiah. Ternyata kepekaan telapak tangan manusia dapat mendeteksi benda yang berukuran 3 mikron (bandingkan dengan sehelai rambut yang berukuran 100 mikron). Ada jutaan sensor halus tersebar di permukaan kulit, 2.000 reseptor di antaranya ada di ujung jari-jari tangan. Oleh sebab itu, dengan menyentuh dan disentuh manusia mengkomunikasikan cinta kasih. Pola pengasuhan bayi dengan mengenakan kaus kaki dan sarung tangan malah memiskinkan daya peraba mereka. Biarlah tangan-tangan dan kaki-kaki mungil itu merasakan beragam tekstur. Belaian, pelukan, ciuman, dan tepukan lembut dapat melatih kepekaannya sejak dini.

Buku setebal 133 halaman ini menyadarkan pentingnya mendidik dengan hati. Layak dibaca oleh orang tua, para guru, pemerhati dunia pendidikan, serta pejabat pengampu kebijakan kurikulum yang menyangkut masa depan generasi penerus bangsa. Sebab, menyitir pendapat Adrian Wagner, “Anak-anak bukan sekadar makhluk kecil. Mereka adalah orang-orang istimewa. Tak ada yang seperti mereka di dunia.” Selamat membaca!

1367720812338966537

Tidak ada komentar: