Mei 17, 2013

Membaca Puisi, Membaca Indonesia: Menjadikan Budaya Sebagai Penglima

Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Jumat/17 Mei 2013
http://mjeducation.co/membaca-puisi-membaca-indonesia-menjadikan-budaya-sebagai-penglima/

Selasa malam (14/5) Yogyakarta diguyur hujan rintik-rintik. Kendati demikian, kondisi cuaca tersebut tak menyurutkan kedatangan ratusan peserta dalam acara Pembacaan Puisi oleh sejumlah tokoh nasional di Tembi Rumah Budaya, Jl. Parangtritis, Bantul. Sederet nama beken siap menunjukkan kebolehannya dalam hajatan budaya bertajuk “Membaca Puisi, Membaca Indonesia” untuk memperingati Hari Kebangkitan Nasional ke-105 pada 20 Mei 2013 mendatang.

Para tokoh yang langsung hadir dari ibu kota ke kota gudeg antara lain Ketua Lembaga Penjamin Saksi dan Korban (LPSK), Abdul Haris Semendawai, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Siti Noor Leilla, dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud M.D. Selaku tuan rumah, Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X, Gubernur DIY rencananya juga hadir, tapi kemudian batal karena beliau ada kegiatan di Bali.

Kendati demikian, para pengunjung tak merasa kecewa, karena justru SBY bersedia rawuh (datang), eit jangan GR (Gede Rumangsa) dulu, SBY di sini singkatan dari Si Butet Yogya. Menurut Ons Untoro dalam situs http://www.tembi.net, Butet Kertaredjasa memang seorang seniman andal. Bahkan, oleh mendiang Romo Mangunwijaya, Butet diberi ‘gelar’ sebagai “Raja Monolog”. Pada tahun 1998 silam, Butet sering menirukan suara Presiden RI Soeharto dalam demo-demo mahasiswa di Yogyakarta. Tak pelak nama Butet kian dikenal luas dan dicintai oleh publik di Indonesia.

Penulis bersama istri hadir di lokasi acara di daerah pinggiran yang masuk wilayah Kabupaten Bantul tersebut pada pukul 19.30 WIB. Jarak tempuh dari rumah ke Tembi Rumah Budaya hanya sekitar 30 menit saja. Saat itu, parkiran motor dan mobil tampak telah penuh sesak oleh kendaraan. Uniknya, sebagian besar pengunjung ialah kaum muda. Bisa jadi mereka merupakan mahasiswanya Pak Mahfud, sebab pakar hukum dan tata negara tersebut memang Guru Besar di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.

Acara baru akan dimulai pukul 20.00 WIB, sembari menanti para tamu bisa menikmati sajian bakmi Jawa, suguhan angkringan, pisang rebus, kacang rebus, wedang secang, dan teh hangat. Khusus malam tersebut, hanya angkringan yang wajib membayar, sedangkan lainnya gratis karena sudah ditraktir oleh pihak penyelenggara. Sontak areal food court tempat makan tradisional tersebut diserbu oleh para pengunjung. Sebab sebagian besar adalah anak kost, sehingga mereka bisa memperbaiki gizi dan menghemat uang saku.

Hajatan budaya malam itu terbilang edisi spesial. Biasanya Tembi Rumah Budaya memang menggelar acara pembacaan puisi setiap bulan purnama, tapi khusus untuk memperingati Harkitnas 2013 Tembi bekerjasama dengan Komunitas Indonesia Bermartabat (KIM). KIM adalah kumpulan aktivis 1998 yang merasa gerah kenapa pasca 15 tahun reformasi, bangsa ini masih jalan di tempat, bahkan tak tahu harus melangkah ke mana.

Saat ditanya oleh Ons Untoro selaku MC (Master of Ceremony) di awal acara, apa saja aktivitas KIM? Kusumo menjelaskan, ”Gerakan menuju Indonesia bermartabat sekadar menyapa petani, nelayan, buruh, mengajak ngobrol dan memberdayakan rakyat yang selama ini sering diabaikan dan dipandang sebelah mata. Kami berharap dari membenahi yang keci-kecil ini, semoga dapat bermanfaat bagi Indonesia masa depan.” Selain itu, Kusumo juga mengucapkan terima kasih kepada para tamu dari Jakarta, rekan-rekan Tembi dan seluruh hadirin yang telah meluangkan waktu berkumpul pada malam tersebut.

Sebelumnya untuk menghangatkan suasana, Tembi juga mengundang Paguyuban Seni Tradisional Srandul untuk tampil dan mengisi acara di pendopo utama. Mereka adalah kelompok ketoprak asal Sleman. Menurut Ons Untoro, untuk membeli peralatan musik gendang, rebab, angklung, menyewa kostum, dll, Srandul didanai oleh Pak Mahfud. Ternyata. Ternyata selain ahli hukum, pria kelahiran Sampang, Madura, 13 Mei 1957 tersebut juga peduli pada seni tradisional. Malam itu, Srandul membawakan lakon bertajuk “Demang Ketendang”, isinya tentang suksesi kepemimpinan di Padukuhan Karang Wetan.

Ada kejadian unik ketika pentas ketoprak berlangsung, karena beberapa tamu dari Jakarta tak paham bahasa Jawa yang digunakan para pemain. Lantas, mereka berbisik-bisik bertanya pada teman yang asli dari Yogyakarta di sebelahnya, “Apa sih artinya?” Alhasil, muncullah penerjemah dadakan untuk menjelaskan alur cerita tersebut.

Intinya, warga Karang Wetan merasa resah dengan sikap Ki Demang yang mulai lupa pada amanah rakyat. Sebab, Ki Demang bergaulnya dengan koruptor, pengusaha nakal, bandar narkoba, mafia hukum, dll. Sedangkan penduduk setempat dibiarkan hidup sengsara dan terlunta-lunta. “Kita mencari uang Rp1.000 saja susahnya minta ampun, tapi para koruptor begitu mudah menjarah uang rakyat Rp 1 miliar lebih. Mereka pun dibiarkan berkeliaran bebas oleh Ki Demang,” ujar salah seorang pemain.

Ketika Ki Demang diingatkan oleh istrinya agar lebih memperhatikan rakyat dengan cara blusukan dan turun ke bawah, sang suami justru menjawab, “Lho saya kan sudah setiap malam Jumat kliwon mubeng (keliling) dusun Bu” “Itu bukan blusukan namanya, tapi tirakatan. Pak, seorang pemimpin itu harus siap tombok bondo, tombok arto, lan tombok roso (berkorban harta, uang, dan perasaan),” ujar Nyi Demang. Petuah bijak tersebut mendapat sambutan tepuk tangan meriah dari para penonton.

Lantas, para warga berdemonstrasi dan menuntut Ki Demang lengser keprabon dari jabatannya. Tapi beliau terus menolak karena modal awal untuk kampanye pemilihan demang dulu belum kembali. Kendati demikian, Maling Suko selaku pimpinan demonstran pantang menyerah dan terus memobilisasi massa. Akhirnya, Ki Demang bersedia turun dari tahta demi menjaga ketertiban dan keamanan Padukuhan Karang Wetan.

Uniknya simbol pelengseran Ki Demang ialah dengan pelucutan pakaian beskap oleh seluruh warga masyarakat. Lantas untuk merayakan kemenangan rakyat, seluruh pemain ketoprak dan para hadirin bernyanyi bersama diiringi tabuhan gendang, rebab, dan irama rancak angklung, “Sampun paripurno, sing salah mesti seleh, sura dira jayaningrat, lebur dening pangastuti!!!” Terjemahan bebasnya begini, “Usailah sudah, yang salah pasti kalah, yang benar pasti menang, jayalah kita semua.”

Menu Utama

Ibarat jamuan santap malam, persembahan ketoprak dari kelompok Srandul tersebut merupakan hidangan pembuka. Menu utamanya ialah parade baca puisi dan orasi budaya oleh para tokoh nasional dari Jakarta dan seniman lokal dari Yogyakarta. Kesempatan pertama jatuh pada Ketua Lembaga Penjamin Saksi dan Korban (LPSK), Abdul Haris Semendawai. Ia membacakan puisi karya Wiji Thukul dan Rendra.

Semendawai memilih salah satu puisi Wiji Thukul yang berjudul “Apa Penguasa Kira” untuk mengingatkan kita semua pada aktivis pro demokrasi asal Solo tersebut. Hingga kini keberadaan penyair “cadel” yang tak bisa mengucapkan huruf “r” tersebut masih misterius. Menurut pendapat LPSK, penghilangan orang secara paksa merupakan sebuah pelanggaran HAM berat. Selama ini, LPSK juga pernah mendampingi beberapa korban penculikan. “Ternyata mereka mengalami trauma, jadi perlu penanganan medis dan terapi psikis agar pulih seperti sedia kala,” ujar pria kelahiran Ulak Baru Oku, Sumatera Selatan, 28 September 1964 tersebut. .

Puisi kedua yang dibacakannya ialah karya Rendra, judulnya, “Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia”. Puisi tersebut dibuat di Jakarta pada 17 Mei 1998 silam dan dibacakan Rendra di DPR. Berikut ini kutipannya:
“Kitab undang-undang tergeletak di selokan
Kepastian hidup terhuyung-huyung dalam comberan.
O, tatawarna fatamorgana kekuasaan!
O, sihir berkilauan dari mahkota raja-raja!
Dari sejak zaman Ibrahim dan Musa
Allah selalu mengingatkan
bahwa hukum harus lebih tinggi
dari keinginan para politisi, raja-raja, dan tentara.
 
O, kebingungan yang muncul dari kabut ketakutan !
O, rasa putus asa yang terbentur sangkur !
Berhentilah mencari ratu adil !
Ratu adil itu tidak ada. Ratu adil itu tipu daya !
Apa yang harus kita tegakkan bersama
adalah Hukum Adil…”
Lalu berturut-turut dua penyair perempuan mempersembahkan puisi karya Dhenok Kristianti. Umi Kulsum, penulis cerita anak di pelbagai media massa membacakan puisi “Cinta pada Rama”. Sedangkan Choen Supriyatmi, Guru SMP 1 Imogiri, Yogyakarta membacakan puisi “Bergurulah pada Rajawali.”

Giliran selanjutnya jatuh pada Siti Noor Leilla, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tersebut membacakan puisi “Orang-orang Miskin” karya Rendra. Menurut perempuan kelahiran Pacitan, Jawa Timur, 30 November 1967 tersebut, acara ini semacam nostalgia. Dulu saat ia masih menjadi mahasiswa di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, ia sering mengikuti demonstrasi menuntut pergantian rezim. Puisi Rendra tersebut wajib dibacakan sebagai penyemangat dalam orasi-orasi di atas aspal jalanan yang panas. Berikut ini kutipannya:
“Gigi mereka yang kuning
akan meringis di muka agamamu.
 
Kuman-kuman sipilis dan tbc dari gang-gang gelap
akan hinggap di gorden presidena
dan buku programma gedung kesenian.
 
Orang-orang miskin berbaris sepanjang sejarah,
bagai udara panas yang selalu ada,
bagai gerimis yang selalu membayang.
 
Orang-orang miskin mengangkat pisau-pisau
tertuju ke dada kita,
atau ke dada mereka sendiri.
 
O, kenangkanlah :
orang-orang miskin
juga berasal dari kemah Ibrahim…”
 
(Yogyakarta, 4 Februari 1978)
Sebagai intermezo, Angger Jati turut membacakan puisi karyanya sendiri. Seharusnya, ia mendapat giliran membaca puisi dalam Sastra Bulan Purnama edisi Februari 2013 silam. Tapi karena ia berhalangan hadir ia diminta Ons Untoro untuk membayar “utang” puisinya tersebut sekarang.

“Mohon maaf sebenarnya saya tak siap untuk membaca puisi, sampai-sampai kacamata baca pun ketinggalan. Oleh sebab itu, saya akan membacakan puisi karya saya sendiri yang berjudul “Megatruh Indonesia,” ujar aktivis rekonsiliasi yang baru pulang dari Bima, NTB tersebut. Berikut ini kutipannya:
 “Benarkah negeri ini masih akan bertahan sedikit lebih lama
Setelah lagu kebangsaan kehilangan gema
Kepak sayap garuda tak sekokoh pada awalnya
Kibaran bendera dibiarkan kian tak berwarna
Dan anak anak kita tak lagi hapal pernyataan kemerdekaan negara
Ikrar sumpah pemuda dan wajah-wajah pendiri bangsa
 
Dengan cara apa kita kembalikan tanah ini
Pada wajah semestinya
Seluruh penjuru negeri
Tak lagi milik saudara kita sendiri
Tapi orang-orang tak bernama
 
Wajah wajah tak pernah bersapa
Rumah-rumah tanpa pintu dan jendela
Tempat para kekasih seharusnya di situ menunggu
Menggenggam  rindu di sekuntum bunga
Negeri ini hampir hilang dari gambar di peta dunia…”
 
(Yogyakarta, 2011)
Lantas, ia juga membacakan sebuah puisi karya Chairil Anwar yang berjudul “Prajurit Jaga Malam.” Itulah sajak favorit sejak kali pertama ia belajar membaca puisi. Berikut ini kutipannya:    
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam
 
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
kepastian
ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
 
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
 
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu……
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu !
 
1948
Siasat,
Th III, No. 96
1949
Setengah berkelakar Ons Untoro selaku MC menanggapi, “Sebenarnya Angger Jati itu bercita-cita menjadi tentara tapi tidak kesampaian. Ia hanya menjadi kamra. Toh keduanya sama-sama kerjanya jaga malam.” Dagelan tersebut sontak disambut tawa dan mencairkan suasana.

Kini giliran Butet Kertaredjasa untuk unjuk gigi lewat pembacaan puisi. Uniknya, ia tak sekadar membaca puisi tapi memberi interpretasi baru atas puisi Taufik Ismail yang berjudul “Kembalikan Indonesia Padaku”.

Sekilas tentang profil Butet. Menurut Ons Untoro dalam http://www.tembi.net Butet Kertaredjasa adalah aktor yang mempunyai kemampuan yang mengagumkan. Penampilan dia di panggung maupun di televisi acap mengundang rasa kagum bagi publik penggemarnya. Setiap minggu, sudah dua tahun lebih, bersama dengan aktor Slamet Raharjo, Butet tampil dalam acara Sentilan-Sentilun di Metro TV.

Teater memang dunia Butet sejak masih muda. Puluhan tahun yang lalu, Butet aktif di sejumlah grup teater di Yogykarta. Tahun 1977 Butet aktif di Teater Kita-Kita. Tahun 1978-1981 ia aktif di Teater SSRI. Pada tahun yang sama, Butet juga aktif di Sanggarbambu (1978-1981). Di Teater Dinasti, bersama Emha Ainun Najib, dan pimpinan teater dipegang Fajar Suharno dari Bengkel Teater pada tahun 1982-1985, Butet ikut aktif di teater ini.

Di Teater Gandrik, sejak tahun 1985 sampai sekarang, rasanya Butet tidak akan meninggalkan grup teater ini. Bahkan, kelompok teater ini memiliki penonton tersendiri, yang bukan dari kalangan teater saja, tapi mampu ‘menggoda’ beragam lapisan masyarakat untuk melihat pertunjukan teater Gandrik.

Kini usia Butet Kertaredjasa 52 tahun. Ia lahir di Yogyakarta 21 November 1961. Sejak usia belasan tahun sampai sekarang, Butet tidak pernah jauh dari kesenian, terutama seni peran. Selain itu Butet pernah menjadi reporter. Kalau kita main ke rumah Butet, di tangga lantai dua rumahnya, setiap tangga dipasangi guntingan wesel kiriman honor. Rupanya, Butet mendokumentasikan bukti penerimaan honor tulisan yang dikirim melalui wesel. “Untuk tidak melupakan hidup prihatin di masa lalu,” kata Butet Kertaredjasa.

Kini, jika sedang di Yogykarta, Butet kesehariannya selain bisa ditemui di rumahnya, bisa dikunjungi di Warung Bu Ageng miliknya di Jl. Tirtodipuran Yogyakarta. Di warung itulah, teman-temannya sering mampir menikmati menu masakan istrinya sekaligus bertemu dan ngobrol santai dengan Butet.

Menurut Butet, sebuah puisi yang baik harus bisa menyesuaikan diri dengan setting zamannya. Puisi karya Taufik Ismail “Kembalikan Indonesia Padaku” ditulis pada tahun 1971 di Paris. Selama rentang waktu 42 tahun banyak perubahan yang telah terjadi. Misalnya jumlah penduduk Indonesia tak lagi seratus juta tapi sudah duaratus juta lebih, jadi amblasnya sampai ke dasar lautan. “Nah itu yang saya tambahkan,” ujarnya yang sontak disambut tepuk tangan penonton. Berikut ini kutipan puisi asli karya Taufik Ismail:
“Hari depan Indonesia adalah seratus juta orang yang main pingpong siang malam
Dengan bola telur angsa di bawah sinar lampu 15 wat,
Hari depan Indonesia adalah pulau jawa yang pelan-pelan tenggelam
Lantaran berat bebannya kemudian angsa-angsa berenang-renang di atasnya,
 
Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga,
Dan di dalam mulut itu ada bola-bola lampu 15 wat,
Sebagian putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,
 
Hari depan Indonesia adalah angsa-angsa putih yang berenang-renang
Sambil main pingpong di atas pulau jawa yang tenggelam
Dan membawa seratus juta bola lampu 15 wat ke dasar lautan
 
Kembalikan
Indonesia
Padaku”
“Di sini saya memang merespon puisi tersebut, saya sudah minta ijin dan minta maaf kepada penciptanya. Kalian semua di sini menjadi saksi ya,” imbuhnya lagi. Dalam respon atas puisi Taufik Ismail tersebut Butet memasukkan kerisauannya ihwal tolerasi beragama di Indonesia yang kian pudar, polisi dan aparat keamanan yang tak tertib, pemimpin yang leda-lede dan memble, hakim korup yang doyan sogokan. “Kita merindukan hakim jujur yang berani menolak sogokan, sayang hakim MK-nya sudah mundur,” ujarnya sembari memandang ke Mahfud M.D. Sontak ekspresi tersebut disambut tepuk tangan meriah oleh penonton.

Orasi Budaya

Acara pamungkas ialah orasi budaya dari Mahfud M.D. Sebelumnya, beliau meminta maaf karena tak akan membaca puisi. “Malam ini saya mau agak serius guna merefleksikan apa yang dibaca, didengarkan, dilihat mengenai masalah bangsa,” ujarnya dengan logat Madura yang kental.

Ia mengaku bahwa orasi budaya ini terinspirasi dari kotbah Gus Mus di Balai Kartini, Jakarta dalam perayaan Harlah Ansor belum lama ini. Intinya, KH A Mustofa Bisri menjabarkan proses perjalanan republik ini. Pada masa orde baru, ekonomi pernah menjadi panglima, tapi kemajuan yang diperoleh secara ekonomi begitu cepat hilang akibat praktek KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Sebelumnya, pada masa orde lama Soekarno menjadikan politik sebagai panglima. Kendati demikian, kondisi masyarakat tetap tak stabil. Oleh sebab itu, menurut Gus Mus kini saatnya bangsa ini menjadikan budaya sebagai panglima.

Selanjutnya, Menteri Pertahanan pada era Gus Dur tersebut mengingatkan bangsa ini tengah berada dalam pusaran globalisasi. Sehingga sekat-sekat fisik antara negara yang satu dengan lainnya tidak ada lagi. “Dulu ada sungai, pagar, gunung, lautan dll yang memisahkan satu wilayah dengan wilayah lainnya. Kini, pembatas itu masih ada tapi semua bisa diatasi dengan pesatnya kemajuan sarana informasi, teknologi, komunikasi,” ujarnya. Mahfud memberi contoh dari kasus kejatuhan presiden ke-4 Mesir Hosni Mubarak. Para demonstran mengoptimalkan penggunaan sarana internet, BBM, dan sms untuk memobilisasi massa. Bisa jadi penggeraknya tak berada di lokasi kejadian, mereka ada di Amerika Serikat, tapi bisa leluasa memberi informasi penting lewat Facebook, Twitter, sms, Blackberry Messenger.

Mantan ketua Mahkamah Konsitusi (MK) itu juga memperkenalkan istilah baru, yakni lima Global Conciousness (5 Kesadaran Hati Nurani Global).

Pertama, perkembangan IT sungguh tak terbendung. Kita bisa berhubungan dengan siapapun dan di mana pun sejauh masih ada sinyal dan akses internet. Padahal 20 tahun lalu, sekitar tahun 1990-an itu semua belum mungkin. “Saat itu, saya masih ada di Amerika Serikat. Kalau mau menelepon istri di Indonesia harus janjian dulu, misalnya hari Senin, jam sekian. Lantas, di akhir percakapan lewat telepon tersebut kami harus janjian lagi kapan akan telepon-teleponan lagi,” ujarnya. Selain itu, dulu dalam ilmu politik dikenal ada istilah 3 pilar demokrasi. Tapi kini jumlahnya menjadi 5, yakni eksekutif, legislatif, yudikatif, media, dan sosial media. Sebab FB, Twitter, sms, BBM, dll begitu mudah diakses oleh siapa saja.

Kedua, demokratisasi di seluruh penjuru dunia tak terbendung. Ibarat air bah, demokrasi mampu membuka jalannya sendiri. Walau ada beberapa rezim penguasa yang menghalangi, pada akhirnya harus membuka diri dan memberi jalan bagi lahirnya demokrasi. Ketiga, gerakan pembelaan Hak Asasi Manusia (HAM) aktif berjuang di mana-mana. Bahkan satu pelanggaran HAM di satu penjuru dunia bisa menjadi sorotan seluruh komunitas internasional. Keempat, isu lingkungan hidup kian santer. Kini begitu marak gugatan-gugatan masyarakat sipil terkait pengrusakan lingkungan oleh negara dan korporasi berskala global. Kelima, pasar bebas tanpa batas. Perdagangan tak lagi secara sektoral tapi lintas batas, negara, benua, dan mencakup seluruh dunia.

Dalam konteks ini, menurut Mahfud, Indonesia perlu memiliki ketahanan budaya untuk menghadapi globalisasi tersebut. Ironisnya, bangsa ini justru mengalami 4D. Pertama, Disorientasi budaya. Indonesia memiliki budaya adiluhung di zaman Sriwijaya, Majapahit, dan lainnya. Tapi tetap saja kita tak bisa kembali ke masa-masa itu. Kendati demikian, menurutnya, semua nilai-nilai luhur tersebut telah tertuang dalam konstitusi. Kedua, Dismotivasi budaya, konsepsi adiluhung seperti menciptakan masyarakat adil makmur, rukun harmoni bersama kini mengalami guncangan serius. Karena globalisasi mendorong kita untuk bersikap kompetitif dan lebih individualis.

Ketiga, Disfungsi budaya, dewasa ini sajian seni tak lagi memberi tontonan, tuntunan, dan tatanan tapi sekadar industri komersial belaka. Keempat, Dependensi budaya, kita mengalami ketergantungan pada budaya luar, entah itu dari Amerika, Jepang, Korea, India, Arab, dll. Padahal kita memiliki jati diri bangsa sendiri.

Lalu sekarang kita hendak melangkah ke mana? Mahfud mengajak kita kembali ke jati diri bangsa. Sebab potensi historis Indonesia dan kepulauan Nusantara begitu kaya. Budaya-budaya lokal yang luhur perlu dikembangkan, misalnya dalam ranah hukum. Leluhur kita merancang hukum bukan untuk mempermalukan tapi untuk menciptakan harmoni. Dalam hukum modern, konsep itu disebut restorative justice. Seluruh pakar hukum dari penjuru dunia menjadikannya sebagai kajian mereka. Padahal konsep tersebut merupakan budaya kita sendiri.

Contoh lainnya, dalam kasus pencurian kakao. Memang unsur hukumnya terpenuhi dan bisa dijerat oleh pasal-pasal pidana dan masuk penjara. Rakyat tak punya pengacara yang mendampingi karena mereka tak punya uang. Tapi kalau mereka mencuri karena lapar, terpaksa, menurut konsep restorative justice, hukuman tak perlu ada. Sebaliknya, korupsi besar-besaran merajarela. Para tersangka yang diundang untuk diperiksa KPK juga tak mau segera datang. Mereka punya sederet pengacara karena punya banyak uang. Sedangkan rakyat, kalau tak datang langsung dijemput paksa.

“Artinya tak hanya dalam ranah budaya, penegakan hukum kita pun mengalami disorientasi. Mau menjadi restorative, normative, atau sekadar main-main? Tak jelas!” ujarnya. Padahal jika dibiarkan seperti ini terus-menerus bisa menimbulkan distrust alias ketidakpercayaan publik kepada para penegak hukum. Bahkan bila terus menumpuk ketidakpercayaan tersebut niscaya menjadi disobedience atau pembangkangan hukum. Hakim dilawan, dst. Muaranya ialah disintegrasi bangsa seperti yang terjadi di semenanjung Balkan. Hancurlah kita sebagai negara bangsa.

“Solusi selanjutnya, kita butuh strong leadership. Tapi jangan disamakan antara pemimpin yang kuat dan pemimpun yang kejam,” ujar anggota DPR periode 2004-2008 tersebut. Mahfud menjadikan budaya kita sendiri sebagai parameter kekuatan seorang pemimpin, yakni Hastabrata. Leluhur kita menjadikan instrumen-instrumen alam yang kita jumpai sehari-hari sebagai pedoman seorang pemimpin.

Ia konsisten seperti matahari (surya). Kapan terbit, di sebelah mana akan tenggelam, jelas apa yang dimau, bangsa ini akan dibawa ke mana. Bulan (candra), ia lembut mengayomi rakyat. Bumi (buana), ia menjadi tempat tumbuhnya harapan-harapan demi masa depan yang lebih baik. Bintang (kartika), ia menjadi penanda pergantian musim, menjadi acuan arah pagi pelaut di tengah lautan. Angin (bayu), ia menyejukkan seperti semilir angin, pada saat yang sama ia juga dapat menjadi lesus (puting beliung) dan topan yang merobohkan batang-batang pohon yang selama ini menjadi penghalang kemajuan. Air (banyu), ia mengalir dan menyuburkan daerah di sekitarnya. Api (geni), ia membakar angkara murka yang kini merajerela dan menyengsarakan rakyatnya. Angkasa (akasa), ia terbuka seluas cakrawala.

“Delapan pedoman kepemimpinan tersebut merupakan warisan nenek moyang kita. Lalu, para bapak bangsa (founding fathers) merumuskannya dalam konstitusi dan pembukaan UUD 1945. Isinya pun masih relevan untuk mengatasi tantangan zaman saat ini,” pungkas pria yang digadang-gadang menjadi kandidat Presiden RI pada Pemilu 2014 mendatang tersebut.

Tak terasa 2 jam telah berlalu, Ons Untoro menarik benang merah dari acara malam itu. Ternyata para penyaji pembacaan puisi dan orasi budaya bisa – meminjam istilah Anthony Giddens – mencabut ruang dari waktu. Hebatnya, seluruh pengisi acara sebagian besar bukanlah budayawan ataupun seniman, beliau-beliau berasal dari disiplin ilmu hukum dan tata negara. Semoga lewat acara sederhana ini, budaya tak lagi diletakkan di pinggiran oleh para pejabat, tapi bisa mewarnai dinamika keseharian hidup berbangsa. Salam budaya!

Sumber Foto: Dok. Pri

Tidak ada komentar: