Dimuat di Sesawi.net, Jumat/17 Mei 2013
DALAM konsep long life learning, proses pembelajaran tak
melulu terjadi di ruang kelas tapi juga dalam dinamika kehidupan
sehari-hari. Durasinya pun berlangsung seumur hidup, selama hayat masih
dikandung badan. Lewat buku ini, Yotam Sugihyono dan dr. Alvita Dewi
berbagi kisah-kisah inspiratif kepada sidang pembaca. Isinya
mengungkapkan perjuangan dan kerja keras orang-orang yang berhasil
mengubah gunung masalah jadi lumbung berkah.
Antara lain kisah seorang anak kecil yang marah kepada ibunya. Sebab
sepatunya rusak dan sang ibu belum mampu membelikan yang baru.
Berhari-hari anak tersebut ngambek dan tak mau berbicara kepada ibunya.
Hingga pada suatu hari, ia melihat seorang anak kecil yang tak lagi
memiliki kaki, anak tersebut sedang meminta-minta uang recehan di
pinggir jalan. Kemudian anak yang marah tadi sadar, ia pun meminta maaf
kepada ibunya dan mengucap syukur karena hanya sepatunya saja yang
rusak bukan kedua kakinya (halaman 87).
Selanjutnya, kisah seorang ibu rumah tangga. Ia suka uring-uringan
kepada suami dan anak-anaknya karena mereka sering membuat onar di
rumah. Mulai dari anak-anak yang enggan membersihkan diri sebelum tidur
padahal tubuh mereka masih belepotan lumpur usai bermain
hujan-hujanan di halaman, sampai suami yang langsung tidur di atas
ranjang sepulang dari kantor padahal pakaian masih bersimbah peluh.
Tiada hari tanpa omelan ibu tersebut. Sampai suatu hari sang suami
tugas ke luar kota, anak-anak yang sedang libur juga diajak. Ibu rumah
tangga tersebut merasa lega karena rumahnya jadi bersih dan rapi.
Tapi dalam hati ia merasakan kesepian. Ternyata kebahagiaan sejati
ialah saat bersama dengan orang-orang tercinta (halaman 88).
Cerita ketiga tentang seorang ibu tua yang sedang terapung-apung di
tengah lautan lepas. Kapal yang ia tumpangi karam dan sebentar lagi
akan segera tenggelam. Uniknya, wajah ibu tua itu tampak tenang dan
tidak terbersit ketakutan seperti para penumpang lainnya. Lantas,
salah seorang penumpang yang penasaran bertanya kepada ibu tua itu
mengapa ia dapat bahagia walau nyaris tewas. Ibu tua itu menjawab
begini, “Saya punya dua anak laki-laki, yang pertama telah meninggal
beberapa tahun yang lalu dan yang kedua hidup dengan keluarga yang
baik dan telah memiliki pekerjaan yang baik pula. Kalau saya selamat,
saya bahagia karena dapat berjumpa dengan anak kedua saya. Tapi
kalaupun saya harus mati tenggelam, saya juga akan berbahagia karena
saya akan berjumpa dengan anak pertama saya di surga.” (halaman 88).
Artinya dari ketiga kisah di atas, cara pandang seseorang niscaya
mengubah seluruh prilaku seseorang. Paradigma yang tepat sesuai konteks
dapat menolong dalam keseharian aktivitas hidup dan akhirnya
menentukan kualitas seluruh ziarah kehidupan kita di dunia ini. Senada
dengan petuah Kahlil Gibran, “Orang-orang pesimis memandangi duri dan
mengabaikan mawarnya. Orang-orang optimis memandangi mawar bukan
sekadar durinya.”
Tak sekadar beretorika, Alvita Dewi pun telah membuktikan perubahan cara pandang (paradigm shift) tersebut. Ia pernah diundang sebagai narasumber dalam Talk Show populer Kick Andy karena
berhasil menaklukkan kanker sebanyak dua kali. Saat ini, dr. Alvita
sedang mengambil Program Pendidikan Dokter Spesialis Bagian Ilmu
Kedoktean Nuklir di Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung.
Sebelum menulis “School of Life”, dr. Alvita berduet dengan suami tercinta telah menulis buku “Menggapai Bintang-bintang Harapan” dan “Warrior of Life”. Buku kedua khusus memuat perjuangan para penyandang disabilitas yang mampu menjadi legenda hidup.
Lantas apa rahasia kesuksesan mereka? Ibarat kata pepatah Melayu, “Ala
bisa karna biasa.” Dalam hidup ini pun banyak hal dapat dilakukan
secara terus-menerus. Sehingga lama-kelamaan menjadi sebuah kebiasaan.
Nah pada akhirnya, habit tersebut otomatis menjadi keahlian (skill).
Dalam buku ini dikisahkan tentang kepiawaian seorang penjual minyak.
Ia mengambil gayung yang penuh berisi minyak dan menuangkannya dari
tempat yang cukup tinggi tepat ke arah mulut botol yang begitu kecil
diameternya. Ternyata tak ada satu tetespun minyak yang tumpah dan
terbuang percuma (halaman 59).
Tapi bagaimana kalau seseorang belum tahu apa skill-nya?
Kuncinya satu, yakni menyitir petuah Paul Hersey – temukan sesuatu yang
paling kau sukai dan jadikan itu karirmu. Latihan tekun selama
bertahun-tahun niscaya menghasilkan seorang juara. Sebab senada dengan
tesis Aristoteles, “Kita adalah apa yang kita lakukan berulang-ulang.
Kemahiran bukanlah tindakan sporadis tapi sebuah kebiasaan yang
dinamis.”
Buku setebal 133 halaman ini merangkum aneka peristiwa kehidupan yang
sarat makna. Membaca setiap lembarnya niscaya membuat kita lebih bijak
dalam menentukan langkah ke depan, dibuka dengan “Beranjak dari Titik
Nol” dan dipungkasi dengan “Berkarya di Usia Tua”. “School of Life” merupakan referensi berharga untuk mengoptimalkan anugerah kehidupan yang telah diamanahkan-Nya. Sehingga sungguh dapat migunani (bermanfaat) bagi diri sendiri, sesama, dan segenap titah ciptaan. Selamat membaca!
Identitas buku:
Judul: School of Life, 30 Pelajaran Kehidupan Inspiratif dari Tokoh dan Kisah Mendunia
Penulis: Yotam Sugihyono dan dr. Alvita Dewi
Penerbit: Visi Press
Cetakan: 1/2012
Tebal: 133 halaman
ISBN: 978-602-8073-68-4
Harga: Rp30.000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar