Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Senin/27 Mei 2013
“Akulah Putera SMA De Britto
gagahlah cita-citaku
Murni sejati jiwaku,
jujur semangat hatiku
Itulah rencana hidupku,
itulah tujuan niatku
Agar dapat menuang tenagaku,
bagi Tuhan dan Bangsaku…”
Lagu Mars De Britto ciptaan Romo L.
Moerabi, S.J tersebut membahana di Tugu Yogyakarta pada Jumat
(25/5/2013) lalu. Kendati matahari tepat berada di atas ubun-ubun dan
panasnya begitu menyengat, toh tidak menyurutkan semangat 234 siswa
(semuanya pria) SMA Kolese De Britto merayakan kelulusan 100 % mereka.
Uniknya, tak ada satu pun seragam
putih abu-abu mereka yang dicorat-coret dengan cat semprot. Semua
bersih dan masih terlihat rapi. Menurut Kelvin dan Stephanus Gregi, 2
siswa kelas XII IPS 2, “Sayang Mas kalau baju bagus-bagus
dicorat-coret, kan kalau sudah tidak terpakai lagi bisa diberikan ke
orang yang membutuhkan.”
Danang Wahyu Prasetyo S.Or, salah satu
guru yang mendampingi mengatakan bahwa mereka berangkat dari Jl.
Laksda Adisucipto No. 161 Yogyakarta pukul 11.30 WIB. Lalu, rombongan
tersebut menyusuri Jl. Solo menuju Tugu Yogyakarta. Agar tidak
menyebabkan kemacetan, mereka berjalan di sebelah kiri dan membuat
barisan 3 saf. “Memang sudah tradisi, setiap kali usai pengumuman
kelulusan kami pasti bersama-sama ke Tugu karena situs bersejarah
tersebut merupakan ikon kota Yogyakarta,” imbuh Frater Antonius Eko
Andriyanto SJ selaku pendamping lainnya.
Sekilas info tentang Tugu Yogyakarta,
dulu Sultan Hamengku Buwono I, raja Kesultanan Yogyakarta menyebutnya
Tugu Golong-Gilig. Tingginya mencapai 25 meter lebih. Tugu tersebut
melambangkan kesatuan tekad cipta, rasa, dan karsa. Selain itu, dalam
konteks relasi sosial menyimbolkan kerja sama antara raja dan
rakyatnya dalam perjuangan mengusir penjajah.
Ironisnya, pada 10 Juni 1867 terjadi
gempa tektonik di Bumi Mataram. Kerusakan pun terjadi di mana-mana.
Lalu, Tugu yang ikut roboh diperbaiki oleh Opzichter van Waterstaat
(Kepala Dinas Pekerjaan Umum) JWS van Brussel. Pasca proses renovasi
selesai, tugu yang baru itu diresmikan oleh Sri Sultan HB VII pada
1889. Pemerintah Belanda menyebutnya tugu De Witte Paal (Tugu Putih).
Ketinggian bangunan Tugu hanya 15 meter.
Kendati demikian, hingga kini Tugu
Yogyakarta tetap menjadi destinasi wisata favorit. Saat liburan tiba,
banyak masyarakat maupun wisatawan mengabadikan dirinya dan Tugu lewat
jepretan kamera ataupun rekaman video.
Selanjutnya, berikut ini sekilas profil SMA Kolese De Britto Yogyakarta yang dikutip dari situs http://www.debritto.sch.id.
Sekolah khusus pria dan mengijinkan siswanya berambut gondorong ini
lebih dikenal dengan nama “JB” (kependekan dari Johanes de Britto).
Visi, Misi, dan Nilai yang mendasari SMA JB ialah:
Visi
Kolese De Britto sebagai komunitas
pendidikan berjuang untuk membantu proses pembentukan pribadi siswa
menjadi pemimpin-pemimpin pelayanan yang kompeten, berhati nurani
benar, dan berkepedulian pada sesama demi kemuliaan Allah yang lebih
besar.
Misi
Dilandasi semangat kristiani dan spiritualitas Ignasian, komunitas Kolese De Britto bertekad untuk:
1. membentuk siswa menjadi pemimpin
yang humanis, melayani, berani berjuang bagi sesama, dan berwawasan
kebangsaan, serta menghayati nilai-nilai luhur bangsa Indonesia;
2. membantu siswa menjadi pribadi yang berkembang secara utuh, optimal, dan seimbang;
3. mengembangkan siswa menjadi pribadi yang jujur, disiplin, mandiri, kreatif, dan mau bekerja keras.
Nilai-nilai yang Mendasari
1. Kasih
Nilai kristiani yang paling mendasar
adalah kasih. “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi,
seperti Aku telah mengasihi kamu” (Yohanes 15:12) dan St. Ignasius
menegaskan bahwa kasih itu harus lebih diwujudkan dalam perbuatan
daripada dengan kata-kata (LR 230). Atas dasar kasih itulah,
pendidikan Kolese De Britto membentuk para siswanya menjadi manusia
yang sedia untuk melayani dan berjuang bagi sesamanya demi kebenaran
dan keadilan.
2. Kebebasan
Pendidikan Kolese De Britto sangat
menekankan nilai kebebasan yang merupakan perwujudan konkret dari
kebebasan anak-anak Allah (Roma 8:21). Para siswa dididik dalam
suasana kebebasan menjadi manusia yang bebas, yaitu yang mampu
mengambil keputusan dan bertindak sesuai dengan hati nuraninya yang
benar, tidak terbelenggu oleh gengsi, materi, atau kecenderungan untuk
ikut-ikutan saja. Manusia yang bebas adalah manusia yang mandiri dan
bertanggungjawab atas pilihan dan tindakannya.
3. Keterbukaan dan Keanekaragaman
Pendidikan Kolese De Britto
dilaksanakan dalam suatu komunitas yang terdiri atas beraneka ragam
suku, budaya, agama, dan latar belakang sosial-ekonomi. Dalam
komunitas inilah para siswa dibantu untuk berkembang menjadi manusia
dewasa yang terbuka dan menghargai keanekaragaman sebagai bagian dari
persiapannya untuk kelak menjadi pemimpin yang melayani dalam
masyarakat.
Menurut J. Oei Tik Djoen, S.J di
makalahnya tertanggal 29 Mei 1976, “Dalam pendidikan di SMA Kolese De
Britto, dimensi kebebasan sungguh diprioritaskan. Menjadi demikian
bukanlah sesuatu yang timbul begitu saja, tetapi merupakan suatu
proses bertahun-tahun yang diilhami oleh pengamatan dan pengalaman
terhadap gejala-gejala, kejadian-kejadian di dalam masyarakat.
Intinya sebagian besar berkisar pada
kebebasan manusiawi ini serta merupakan kesadaran/panggilan profesi
para pendidik SMA Kolese De Britto bahwa sekolah harus merupakan wadah
dan sarana yang menuju ke “pemanusiaan” masyarakat. Panggilan profesi
inilah yang memberikan kekuatan, harapan, kebahagiaan, dan
kegembiraan pada kami, pendidik, melaksanakan tugas membantu
“membentuk” warga negara yang mempunyai kesadaran menegara yang bebas
merdeka.”
Pendapat Siswa
Pasca seluruh siswa berfoto bersama,
penulis sempat mewawancarai salah seorang siswa dari kelas XII IPA 5
yang baru saja lulus. Menurut Bondan Brahmantya, ia merasa senang dan
gembira karena tahun ini JB (Johanes de Britto) lulus 100%. Selain
itu, “Untuk tingkat Kabupaten Sleman, kami dari jurusan IPA berada di
peringkat pertama untuk nilai rata-rata UN,” ujarnya.
Siswa JB yang sudah diterima di
Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) jurusan Teknik Industri lewat
jalur prestasi tersebut juga berpendapat bahwa untuk meluapkan
kegembiraan lulus UN tak perlu dengan cara-cara anarkistis,
mencorat-coret seragam, konvoi dengan kendaraan bermotor yang justru
memboroskan BBM dan rawan kecelakaan. “Kita tadi jalan kaki dengan rapi
dari sekolah ke Tugu sini, “ ujarnya sambil duduk dan meluruskan
kaki.
Lalu ketika ditanya tentang bocoran
soal, “Apakah terjadi peredaran kunci jawaban saat UN berlangsung?”
Bondan menjawab bahwa kalau pun ada, ia lebih memilih percaya pada
kemampuannya sendiri. “Ternyata hasilnya juga bagus, kami duduk di
peringkat VI untuk nilai rata-rata UN dari seluruh SMA se-DIY,”
imbuhnya lagi.
Akhir kata, para siswa sekolah menengah
atas yang bermoto “Intelligent, Creative, Self-Fulfilled” itu
membuktikan bahwa jujur tak selamanya ajur (hancur). Sebaliknya, sikap
jujur niscaya menyuburkan mekarnya nilai-nilai luhur. Masih terngiang
lanjutan syair Mars De Britto dari generasi muda harapan bangsa
tersebut:
Ayolah Putera SMA De Britto
kuatkanlah hubunganmu
Selalu tetap bersatu
dengan semua kawanmu
Meskipun terpencar hidupmu
dikelak kemudian waktu
Ingat selalu di dalam hatimu
ialah De Britto contohmu!
Sumber Foto: Dok. Pri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar