Dimuat di Rimanews.com, Kamis/9 Mei 2013
http://www.rimanews.com/read/20130509/101982/mengatasi-konsep-mustahil-dengan-kegigihan
http://www.rimanews.com/read/20130509/101982/mengatasi-konsep-mustahil-dengan-kegigihan
Tatkala hendak berkomitmen untuk
menikah, Charles Darrow menyatakan mimpinya kepada sang kekasih, “Saya
mau menjadi seorang jutawan!” Saat itu, sang kekasih tentu mendukungnya
dengan sepenuh hati. Tapi tak lama setelah mereka melangsungkan
prosesi pernikahan, krisis ekonomi melanda Amerika Serikat. Tak pelak
pasangan tersebut pun turut merasakan imbasnya.
Peristiwa naas itu membuat Charles
Darrow berputus asa. Ia tak lagi berniat menjadi seorang jutawan.
Bahkan keluarga muda itu pun harus kehilangan pekerjaan, mobil, dan
rumah. Namun sang istri tak serta-merta menyerahkan mimpi yang telah
mereka rajut bersama. Sang istri tetap memberi semangat kepada suaminya
untuk terus memupuk mimpi mereka.
Waktu terus bergulir, tiada kegagalan
yang abadi, hingga suatu hari Charles Darrow mendapat sebuah ide
cemerlang. Ia hendak menciptakan permainan “uang”. Lewat game tersebut,
orang bisa bermain cukup dengan menggunakan papan kecil dan menjadi
kaya. Caranya dengan membeli rumah-rumah dan hotel-hotel di atas papan
permainan tersebut.
Walau krisis ekonomi masih terus
berlangsung, permainan ini justru kian populer. Karena orang dapat
belajar ihwal perputaran uang yang sehat dan tentunya menjadi
kaya-raya. Lantas, pada tahun 1930, Charles Darrow menjual hak paten
permainan tersebut kepada Parker Brothers. Sejak saat itulah, permainan
“monopoli” meledak di pasaran. Hal ini membuat Charles Darrow sungguh
menjadi jutawan berkat royalti yang diterima (halaman 52).
Lewat kisah nyata tersebut, penulis
menandaskan bahwa setiap orang niscaya memiliki mimpi untuk dapat hidup
lebih baik. Tapi berapa banyak dari mereka yang dapat meraih
mimpi-mimpinya? Kenapa mereka gagal meraih apa yang telah dicita-citakan
sejak kecil? Pun seolah mimpi tersebut menguap begitu saja saat tutup
usia.
Ternyata akar masalahnya terletak pada
konsep “sulit”, “mustahil”, “tak mampu” dan sejenisnya. Padahal ketika
lahir dan begitu anak mulai belajar berjalan, ia sama sekali tak kenal
dengan sederet konsepsi tersebut. Walau terjatuh berkali-kali, anak toh
tidak pernah merasa putus asa. Ia segera berdiri dan melangkah hingga
akhirnya sungguh bisa tegak berjalan.
Ironisnya, seiring anak tumbuh menjadi
remaja dan dewasa, ia mulai mengenal konsep “sulit”, “tak mampu”,
“mustahil”, dll. Alhasil, ketika menghadapi kesulitan - sementara ia
belum mengerahkan seluruh kemampuannya - ia buru-buru menerapkan konsep
“tak mampu” dan menyerah kalah.
Itulah kenapa mimpi-mimpi kita sejak
kecil hanya menjadi angan-angan belaka. Dalam konteks ini, kita harus
membuang konsep lama tentang “sulit”, “tak mampu”, “mustahil” dan
menggantinya dengan konsep baru ihwal “mudah”, “bisa”, “niscaya”.
Senada dengan tesis Chaile Hedges, “Impian bukanlah sesuatu darimana
Anda terbangun, tetapi sesuatu yang membangunkan Anda!”.
Ibarat sebuah lagu, karya ini
dinyanyikan secara duet. Penulisnya pasangan suami-istri, yakni Yotam
Sugihyono dan dr. Alvita Dewi. Saat ini, Sugihyono sedang melanjutkan
studi S2 Teologi. Sedangkan, dr. Alvita sedang mengambil Program
Pendidikan Dokter Spesialis Bagian Ilmu Kedokteran Nuklir di Fakultas
Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung. Sebelumnya, mereka telah
menulis buku “Menggapai Bintang-bintang Harapan” dan “Warrior of Life”.
Buku ini juga memuat kisah tentang kegigihan (persistence).
Dalam sebuah acara pasar malam (mirip Sekaten di Alun-alun Utara
Yogyakarta), ada seorang lelaki berotot kekar. Ia memamerkan kekuatannya
dengan membengkokkan besi-besi baja. Ia juga menantang panco para
penonton yang hadir di sana. Setiap kali usai beraksi, pria berotot itu
selalu memeras jeruk dengan tangan kanannya dan berteriak, “Sampai
tetesan terakhir!”
Tak satu pun orang bisa mengalahkan
panco-nya. Lantas, pria berotot itu kembali berteriak, “Saya akan
berikan hadiah uang yang cukup besar jika ada di antara kalian yang
dapat memeras jeruk ini hanya satu tetes saja!” Sontak para penonton
antri untuk memeras jeruk tersebut. Tapi dari sekian banyak orang yang
mencoba, tak satu pun yang berhasil memeras jeruk itu walau hanya
setetes saja.
“Aku berikan kesempatan terakhir!” seru
pria berotot tersebut. Lantas, seorang wanita tua yang kurus kering
mengangkat tangannya hendak mencoba menjawab tantangan tersebut. Tentu
saja seluruh penonton di atraksi pasar malam tersebut mengejek dan
menertawainya. Tapi perempuan tersebut tetap tenangdan fokus pada jeruk
yang ia pegang. Ia mulai memeras jeruk dari kulit di pinggiran hingga
ke ampas di tengah. Ia ulangi lagi berkali-kali hingga akhirnya
terdengar suara, “Ting!” Setetes air jeruk jatuh pada gelas kosong
(halaman 83).
Lewat cerita di atas, penulis
mengingatkan bahwa dalam hidup kadang ada saat-saat sulit. Semua jalan
tampak buntu, semua pintu seolah tertutup. Namun setelah kita dekati
ternyata kita cukup berbelok dan mengetuk pintu tersebut. Dalam konteks
ini, tesis David Herbert Lawrence menjadi relevan, “Kegigihan adalah
kekuatan yang tidak kelihatan yang bisa menyingkirkan
rintangan-rintangan besar.”
Buku setebal 133 halaman ini berukuran
mini(mal) tapi bermanfaat maksi(mal). Total 30 kisah nyata di dalamnya
dapat menjadi referensi guna meningkatkan kualitas hidup. Sebab
menyitir pendapat Parlindungan Marpaung, seorang Inspiring Trainer dan Leadership Specialist, “School of Life
merupakan “pemantik” untuk menarik hikmah dari setiap pengalaman hidup
dan kemudian dikristalisasi menjadi langkah-langkah praktis.” Selamat
membaca!
______________________________
Judul: School of Life, 30 Pelajaran Kehidupan Inspiratif dari Tokoh dan Kisah Mendunia
Penulis: Yotam Sugihyono dan dr. Alvita Dewi
Penerbit: Visi Press
Cetakan: 1/2012
Tebal: 133 halaman
ISBN: 978-602-8073-68-4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar