Desember 21, 2008

Mutiara Pulau Dewata

Dimuat di Rubrik Resensi Buku, Suara Pembaruan, Minggu/21 Desember 2008

Judul : Tri Hita Karana
Penulis: Anand Krishna
Penerbit: Koperasi Global Anand Krishna
Cetakan: 1, Oktober 2008
Tebal : XVI + 99 Halaman
Harga : Rp 22.000

"Semoga buku yang mengulas tentang harmonisasi kehidupan melalui konsep "Tri Hita Karana" dapat memberikan pemahaman dan pemaknaan kepada kita semua betapa penting keharmonisan hidup dalam mewujudkan Bali yang Jagadhita." (Made Mangku Pastika - Gubernur Bali)

Pada milenium ketiga ini, ada baiknya anak bangsa menggali kembali kearifan lokal. Nilai-nilai keutamaan yang menjadi pedoman prilaku para leluhur, sekaligus fondasi kokoh peradaban Nusantara pada masa Sriwijaya (abad 7) dan Majapahit (abad 14). Ironisnya, penjajahan sistemik selama berabad-abad turut mengaburkan ingatan kolektif putra-putri Ibu Pertiwi. Kini mereka malah menelan mentah-mentah budaya asing yang tak sesuai dengan DNA orang Indonesia.

Dalam konteks inilah Anand Krishna mencoba mengapresiasi budaya asal Nusantara, mutiara Pulau Dewata: Tri Hita Karana. Aktivis spritual tersebut mengulasnya dalam bentuk esai panjang. Sejatinya didedikasikan bagi perhelatan akbar Ubud Writers' Festival pada bulan Oktober 2008 silam. John M. Daniels dari Bali Update (www.balidiscovery.com) mengeditnya secara apik, sehingga layak untuk dibaca khalayak ramai.

"Tri" berarti tiga. Struktur sel makhluk hidup terdiri atas 3 atom, yaitu proton, elektron, dan neutron. Manusia juga memiliki tiga lapisan kesadaran, yakni badan (body), pikiran (mind), dan jiwa (soul). Bahkan PBB menjadikan angka 3 sebagai emblem solusi pemanasan global (global warming). Tepatnya berupa "mantra" 3 R: Reduce, Reuse, and Recycle alias kurangi, pakai lagi, dan daur ulang.

Kemudian, "Hita" sinonim dengan kemuliaan (welfare). Sedangkan "Karana" mengacu pada the cause-effect alias mekanisme hukum sebab-akibat. Cepat atau lambat mansia pasti menuai apa yang ia tanam. Dalam masyarakat Bali trinitas laku tersebut lebih dikenal dengan istilah Parahyangan, Pawongan, dan Palemahan (halaman xv).

Budaya

Pemahaman baru atas kata "Budaya" (halaman 65) dibeberakan oleh pria kelahiran Surakarta keturuanan India ini. Ternyata istilah tersebut berasal dari dua kata Sansekerta, "Budhi" dan "Hridaya". "Budi" berarti intelegensia dan "Hridaya" sinonim dengan rasa. Sinergi antara "Dimi Awawe" dan "Enaa Kegepe" bahasa Papua alias pikiran yang cerah dan hati yang penuh welas asih niscaya menghasilkan sesuatu yang indah.

Budaya bukanlah tumpukan tulang-belulang, melainkan proses evolusi menuju tatanan yang lebih (magis). Dalam tradisi Kejawen dikenal istilah, "ngelmu kuwi kanti laku." Orang yang berbudaya senantiasa berendah hati dan sudi belajar dari pengalaman ziarah hidup sehari-hari. Senada dengan kegigihan Gandhi dalam bereksperimen dengan kebenaran. Sehingga tak pelak lagi seluruh kehidupan Sang Mahatma menjadi saksi kekuatan ahimsa (non-violence) itu sendiri.

Kata-kata bijak mencerahkan turut membumbui buku ini. Berupa kutipan wejangan yang disajikan di halaman genap. Disertai pula dengan terjemahan versi bahasa Inggris, sehingga sungguh bisa menjadi sumbangsih bagi peradaban manusia baru. Misalnya, pada halaman 74 berbunyi, "Memayu hayuning pribadi, memayu hayuning kulawarga, memayu hayuning sesama, memayu hayuning bawana..." - "Do good unto yourself, your family, fellow living beings, and entire world. Terjemahan bebasnya ialah, "Berbuatlah baik bagi dirimu, keluarga, sesama titah ciptaan, dan seluruh kosmos"

Akhir kata, merenungkan lembar demi lembar isi buku ini niscaya membuat sidang pembaca "sedikit" menyadari bahawa bangsa ini sudah beradab. Kebinekaan budaya Nusantara dari Sabang sampai Merauke ialah modal dasar kita untuk bangkit bersama dan mewujudkan peri kehidupan yang lebih manusiawi sekaligus ilahiah di Bumi pertiwi tercinta ini. Rahayu!

Desember 15, 2008

Masih Seputar UU Pornografi

Dimuat di Rubrik Surat Pembaca, Bisnis Indonesia, Sabtu/6 Desember 2008

UU Pornografi mencederai kebhinekaan bangsa ini. Terutama hati masyarakat Papau, Bali, Sulawesi Selatan, dan Yogyakarta.

Kenapa? Karena sebagai nation state, Indonesia terdiri atas pelbagai suku, agam, ras, dan golongan. Penduduk dari Sabang sampai Merauke mempunyai cara pandang yang berbeda terhadap nilai kesusilaan.

Sehingga tidaklah tepat bila itu semua diseragamkan lewat sebuah perundangan.

Negara tak perlu campur tangan dalam pengaturan cara berpakaian dan bertingkah laku warganya. Apalagi hanya berdasarkan paham kelompok tertentu (wahabiisme).

Sebagai res publica, pemerintah wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi hak-hak sipil segenap putra-putri Ibu Pertiwi.

Selain itu, dalam proses pembahasan draft UU Pornografu di DPR cenderung cacat hukum.

Kenapa? Karena tidak melibatkan aspirasi rakyat di akar rumput (grass root) dan memenuhi asas pemerintahan yang baik (good governance).

Berdasarkan telaah di atas. Maka, penulis tetap menolak UU "Porno" yang mengancam persatuan dan keutuhan bangsa ini.

Sumber: http://www.suarapembaruan.com/News/2008/06/15/Buku/buku01.htm

Desember 03, 2008

Yoga juga budaya luhur nusantara

Dimuat di Rubrik Surat Pembaca, Bisnis Indonesia, Kamis 4 Desember 2008

Pada milenium ketiga ini yoga kian menggejala di Amerika, Eropa, dan Asia. Secara medis pun terasa banyak manfaatnya sebab fakta membuktikan bahwa 70% penyakit modern disebabkan oleh stres yang berlebihan. Latihan yoga setiap hari bisa menyelaraskan raga, pikiran, dan jiwa manusia.

Sedikit sharing, seminggu lalu saya terserang demam tinggi, postur yoga ternyata sangat membantu dalam proses penyembuhan. Ironisnya, Ketua Komisi Fatwa Malaysia baru saja mengharamkan yoga. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun meneliti Yoga dalam 2 minggu ini sebelum menentukan sikap lebih lanjut.

Yoga sejatinya merupakan budaya luhur Nusantara. Dalam tradisi Kejawen Sri Paduka Mangku Negara IV telah mengajarkan Sembah Raga, Sembah Cipta, Sembah Rasa, dan Sembah Karsa lewat geguritan (tembang) Wedatama. Itu semua merupakan tahapan-tahapan dalam Yoga.

Menurut Anand Krishna, yoga berasal dari kata Yuj. Artinya union alias persatuan. Tokoh pelopornya ialah Patanjali, penulis Yoga Sutra. Lebih dari 5.000 tahun teknik ini telah dipraksiskan oleh masyarakat di lembah Sungai Indus yakni wilayah peradaban subur yang membentang dari Gandahar (Kandahar) sampai Astraley (Australia).

Lebih lanjut, Master Yoga yang pernah sembuh secara misterius sembuh dari leukemia tersebut menegaskan bahwa seseorang yang dapat menyatukan diri dengan kesadaran tertinggi otomatis memperoleh ketenangan jiwa.

Mirip sekali dengan konsep men sana in corpore sano. Dalam yoga lebih tepat bila dibalik (reverse theory), di dalam jiwa yang kuat niscaya terdapat tubuh yang sehat. Memang saat ini yoga sering disalahartikan. Semat-mata untuk kesegaran jasmani.

Padahal tujuan akhir yoga ialah samadhi atau keseimbangan secara menyeluruh. Yoga ialah pedoman perilaku bagi hidup bahagia. Hal yang telah eksis dan memberi manfaat selama berabad-abad kepada umat manusia dari pelbagai latar belakang suku, agama, bangsa, dan keyakinan-seperti yoga-mesti terus diapresiasi, direvitalisasi, dan dilestarikan.

http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/1id91351.html