Desember 23, 2007

Otak Pemimpin Kita

Dimuat di Rubrik Opini Pembaca, Media Indonesia 9 Desember 2007.

"Brain is the home of your mind, your memory, your personality. The Brain is where you feel hunger and thrist, exhaustion and excitement, fear and joy. It's what makes you: You! (Your Amazing Brain, New York University and Brooklyn College, Daria Luisi Phd MPH and Dr Tony Smith, 1995)

Krisis multifaset yang melanda bangsa ini dapat ditelisik akarnya dari struktur otak manusia. Selain otak kiri yang rasional dan otak kanan yang intuitif, ada satu bagian otak yang kerap terlupakan, yakni lymbic section. Bila pusat insting hewani yang mengkoordinasi kedua batang otak tadi jarang dibersihkan, keliaran dalam diri kita ini tetap eksis. Turunannya, banyak pemimpin yang kendati terkesan santun di hadapan publik, namun di belakang meja masih rakus memakan uang rakyat, bahkan mejanyapun dimakan.

Dokter Bambang Setiawan, seorang ahli bedah syaraf melihat carut-marutnya kondisi negeri ini karena mayoritas pemimpin melulu mengejar kenyamanan diri dan mengutamakan kepentingan kelompok/partainya.Karena itu, mereka kurang peka terhadap amanah penderitaan rakyat (Otak para Pemimpin Kita, PT One Earth Media Jakarta, Anand Krishna, Didik Nini Thowok, dan dr Bambang Setiawan, 2005)

Lebih lanjut, sistem pendidikan kita pun cuma mengurusi otak kiri. Hasilnya, banyak orang pinter minteri alias memakai ilmunya untuk mengeksploitasi orang lain dan alam sekitar secara membabi buta. Ironisnya, saat kecenderungan egoistik tadi berkolaborasi dengan otak kanan, egosentrisme tersebut dibungkus dengan kata-kata manis sehingga terkesan suci-sumuci.

Bukankah pola semacam ini acapkali dilakukan para politisi kita? Mereka mengumbar janji saat kampanye pemilu, tapi setelah berkuasa dan duduk di kursi empuk, justru melik nggendong lali alias lupa pada amanah menyuarakan aspirasi rakyat dan konstituennya. Secara lebih mendalam, mari kita berefleksi dan bertanya pada diri sendiri. Bukankah kita yang memilih atau bagi yang golput - memilih untuk tidak memilih - para pemimpin bangsa ini? Konsekuensinya, kita pun bertanggungjawab dan musti bergotong-royong membongkar kebobrokan mental tersebut.

Solusi praktis ialah dengan t'laten alias rajin membersihkan lymbic section dari sampah pikiran, karat emosi, trauma masa lalu, dan nafsu menguasai yang terpendam dalam subconcious mind alias gudang bawah sadar kita. Tujuannya, agar kita bisa menjadi tuan atas diri sendiri. Artinya, mampu mengenali kecenderungan hewaniah tersebut dan mentransformasikannya menjadi lebih manusiawi. Sehingga keberadaan kita bisa menjadi berkah bagi sesama dan lingkungan sekitar.

Adakah public figure yang, meminjam istilah Ki Hadjar Dewantara, Ing Ngarso Sung Tulodo, yang piawai menyinergikan otak kiri-kanan serta mengendalikan lymbic section-nya? Berikut ini beberapa alternatif nama.

Pertama, Didi Nini Thowok, seorang penari dan aktivis budaya. Beliau menciptakan aneka genre tarian kontemporer yang dikawinkan dengan tradisi masyarakat lokal. Hebatnya, walau diimingi bayaran selangit, seniman kelahiran Temanggung itu secara tegas menolak tawaran mengajar di universitas terkemuka di luar negeri. Kenapa? karena putra Ibu Pertiwi itu lebih suka membuka sanggar tari di pelosok Yogyakarta, visinya sederhana, yakni mengajak anak-anak setempat mengenal, mengapresiasi, dan mencintai budaya luhur Nusantara.

Kedua, Anand Krishna, seorang penulis produktif yang dalam satu dasawarsa terakhir telah menulis 100 buku lebih. Selain itu, pria keturunan India kelahiran Surakarta itu senantiasa menyuarakan semangat persatuan dan tekad Bende Mataram (Sembah Bhakti bagi Ibu Pertiwi). Yakni lewat simposium kebangsaan, pesta rakyat, kuliah umum, penulisan artikel di pelbagai mdedia dan last but not least, program mengajar tanpa dihajar stress (MTDS) bagi para guru dan dosen.

Ketiga, Minto, seorang guru SD di Prambon, Madiun. Beliau mengembangkan teknologi alternatif ramah lingkungan, yakni rumah surya. Mapit seluruh perabot rumahnya, dari kompor sampai televisi, menggunakan energi listrik tenaga surya alias cahaya matahari.

Akhirulkalam, menyitir kata-kata almarhum Romo Mangunwijaya, "Semakin kita memberi, semakin kita kaya. Bila kita memberikan hati, pengorbanan, dan segala yang indah pada orang lain, terutama kepada yang lemah-miskin-tertindas, kita tidak akan kekurangan, tetapi sebaliknya kita akan senantiasa kaya!" Adakah mentalitas berkelimpahan macam ini sempat melintas dalam benak pemimpin kita tercinta? Only God knows!

Tolak Renovasi Rumah DPR!

Dimuat di Rubrik Opini Pembaca, Media Indonesia 19 Desember 2007.

Rencana anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) merenovasi rumah dinas di bilangan Kalibata, Jakarta Selatan sungguh kerterlaluan. Betapa tidak, sembari menunggu perbaikan selesai para "wakil" Rakyat tersebut akan menerima tunjangan Rp 13 juta perbulan. Padahal seorang Guru SMP di pelosok Magelang sana musti nyambi menjadi bakul kupat tahu dan numpang di bekas ruang kelas untuk sekedar berteduh dari hujan dan sengatan terik mentari.

Di manakah sensitifitas anggota dewan kita? Bukankah lebih baik total dana 107 Milyar tersebut dipakai untuk membenahi struktur sosial-kemasyarakatan yang porak-poranda dihantam badai inflasi sembako, kenaikan harga minyak dunia dan pelbagai ekses negatif pemanasan bumi? Tingkah-pongah mereka kian mencuatkan image DPR sebagai lembaga – meminjam istilah Bung Ariel Heryanto – 3 D: Duduk, Dengar, Duit! Padahal menurut Undang-Undang No 22/2003, tugas utama DPR ialah untuk menyerap, menghimpun, dan menindaklanjuti aspirasi konstituennya. Sumpah jabatan tersebut diikrarkan di hadirat Tuhan Yang Maha Esa serta 220 juta Rakyat Indonesia!

Ternyata ide renovasi tersebut berasal dari Ketua DPR-RI sendiri, Agung Laksono. Beliau menyatakn bahwa setiap bulan anggaran dana perawatan rumah kian membengkak. Dengan mempertimbangkan kondisi kompleks bangunan yang dibangun awal 1980-an itu, beliau merekomendasikan agar rumah dinas tersebut direnovasi.

Interupsi Pak Ketua! Apakah untuk mengatasi masalah sepele, misalnya menambal atap yang bocor atau membetulkan saluran pembuangan air yang mampat, anggota dewan musti 'mengemis' uang Rakyat? Bukankah sudah semestinya kalian merogoh kocek sendiri dari gaji bulanan guna memperbaiki rumah dinas yang ditempati? Lebih lanjut, berapa persen sih dari total 550 anggota DPR yang sudi tinggal di sana? Bukankah beliau-beliau lebih suka menyewa apartemen dan membangun vila-vila pribadi nan mewah di Puncak dan Pulau Dewata?

Dalam kitab kearifan China "I Ching" ada petuah "Shih" alias Kepemimpinan. "Seorang pemimpin yang bijak akan turun ke lapangan. Ia tidak hanya memerintah, ia juga akan ikut berkarya." (baca: I Ching - Bagi Orang Modern, Anand Krishna, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002). Seyogianya selama 5 tahun masa jabatan, anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD musti relatif dekat dengan para konstituen, ia harus berani blusukan berada di tengah-tengah massa rakyat alias nyawiji dalam bahasa Jawanya.

Seorang pemimpin perlu memahami dan merasakan betul apa yang menjadi aspirasi rakyat di akar rumput? Kalau memang masih enggan berpihak pada rakyat (prorakyat) sebaiknya jangan menjadi pejabat publik dulu. Lebih baik kita dipimpin oleh seorang yang bijak daripada menjadi pemimpin yang kurang bijak. Senada dengan tembang "Bung Hatta"-nya Iwan Fals, "... terbayang bhaktimu, terbayang jasamu, terbayang jelas jiwa sederhanamu.... bernisan bangga, berkafan doa, dari kami yang merindukan orang sepertimu..."

Bukan harta, wanita, ataupun takhta yang Proklamator RI tercinta itu warihkan pada putra-putri Ibu Pertiwi dari Sabang sampai Merauke, melainkan bhakti, pengorbanan, dan kesederhanaan jiwa! Semoga uswatun hasanah alias suri tauladan para founding fathers tersebut dilihat dan dipraktikkan oleh para pelayan publik abad -21 ini. Konkretnya, mulai dengan mengatakan tidak untuk renovasi rumah dinas DPR!

Pesan Maria Magdalena

Dimuat di Rubrik Pustaka, Media Indonesia 22 Desember 2007.

Mawar Mistik, Ulasan Injil Maria Magdalena
Penulis: Anand Krishna
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Edisi: I, 2007
Tebal: v + 196 halaman

Buku berjudul Mawar Mistik, Ulasan Injil Maria Magdalena ini memuat paparan Anand Krishna seputar percakapan Yesus dan Maria Magdalena.Tatkala manusia menyadari jati dirinya, ia serasa berada dalam pelukan Bunda Alam Semesta. Saat itu, ada tiga kemungkinan.

Pertama, ibarat bunga yang baru mekar, ia menoleh ke kanan dan ke kiri, ternyata banyak kembang lain yang mekar bersamaan. Kedua, bunga tadi melihat kembang yang pernah mekar dan kini layu. Senada dengan ucapan Shri Krishna kepada Arjuna di padang Kurusetra 5.000 tahun silam. Ketiga, bunga tadi tidak menoleh ke mana-mana, ia sibuk memperhatikan dirinya,"Akulah Kebnaran Hakiki, tiada kebenaran di luarku!" (hlm 80).

Pengalaman Sang Mawar Mistik unik. Miriam dari Magadhi membuat terobosan barus. Sebab, ketika mekar, ia sontak bersimpuh di hadapan Sang Master,"Rabi, aku tak tahu apa yang terjadi, tapi sesuatu tengah terjadi," ungkapnya dengan penuh kerendahan hati. Sehingga Uskup Agung Genoa, Jacobus de Voragine, menyebut Maria Magdalena sebagai Illuminata sekaligus Illuminatrix - ia yang cerah dan mencerahkan (Golden Legend, 1250).

Injil Maria Magdalena ini dicatat para pengikut setia Isa Sang Masiha, tapi lantas hilang selama berabad-abad. Baru ditemukan kembali pada 1896 di Mesir. Selama 2.000 tahun ini, hanya beberapa orang yang melihat kesucian dalam diri Maria Magdalena. Bahkan, hierarki Gereja sendiri menganggapnya sebagai waniat biasa yang lahir dan melacurkan diri. Konon setelah Yesus "pergi" para murid merasa ragu. Buku ini juga memuat pesan Maria Magdalena kepada mereka.

Seni Mengolah Phobia

Dimuat di Rubrik Resensi Buku, SKH Kedaulatan Rakyat, Minggu 16 Desember 2007.

Judul Buku : Fear Management, Mengeloala Ketakutan, memacu evolusi diri
Penulis : Anand Krishna
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : 1, November 2007
Tebal : ix + 158 halaman

"Berani bukan berarti absennya rasa takut" - Anonim

Psikologi modern mengenal pelbagai phobia. Umumnya terkait dengan trauma masa kecil. Misalnya, Acrophobia alias takut berada di ketinggian, mungkin karena pernah jatuh dari pohon mangga, Agarophobia alias takut berada di keluasan, mungkin karena hampir tersambar petir saat main sepak bola, Claustrophobia alias takut berada di ruang sempit, mungkin karena pernah terjebak dalam lift macet, Hematophobia alias takut melihat darah, mungkin karena pernah menyaksikan korban kecelakaan lalu-lintas, Mysophobia alias takut menjadi kotor, mungkin karena pernah masuk selokan saat belajar naik sepeda, Nyctophobia alias takut berada di ruang gelap, mungkin karena terlalu banyak menonton sinetrron mistik dan film horor, Xenophobia alias takut bertemu orang asing, mungkin pernah hampir diculik, Zoophobia alias takut binatang, seperti cecek, kecoa, ular, dst, mungkin karena pernah ketiban cecak waktu mandi (Hal 128). Ironisnya, saat dewasa rasa takut masa lalu tersebut masih mengendap di gudang bawah sadar sedeminikan rupa sehingga fungsi biologis, psikis, mental, intelegensia, bahkan purana roda evolusi batinpun tersendat.

Lebih lanjut, otak manusia merespon rasa takut dengan dua pola umum (defend mechanism), yakni "fight or flight" - adu jotos melawan atau ngacir melarikan diri. Nah buku Fear Management ini menawarkan paradigma baru manusia abad-21, yakni menghadapi rasa takut dengan penuh tanggungjawab. Berlandaskan kesadaran bahwasanya, "If we sleep with a whore, we wake up with a whore," eufimismenya , "Kita menuai apa yang kita tanam."

Buku ini ditulis berdasarkan kisah nyata. Pada 1991 Anand Krishna pernah mengalami semacam near death experience karena mengidap Leukemia akut (baca juga: Seni Memberdaya Diri 1 dan Soul Quest, PT Gramedia Pustaka Utama, 2003). Awalnya pria keturunan Inia kelahiran Surakarta ini juga melarikan diri dari kenyataan tersebut. Hingga akhirnya di Leh, di tepi sungai Shindu, di bawah naungan pegunungan Himalaya, beliau bersua dengan seorang Lama yang menasehati agar tak usah melarikan diri ataupun melawan kematian. Sebab ibarat dua sisi dari sekeping mata uang, kelahiran dan kematian ialah bagian dari Kehidupan yang satu adanya.

Sikap pasrah sumarah tersebut membawa kelegaan batin serta kesembuhan fisik. Bahkan dalam satu dasawarsa terakhir, tokoh humanis linta gama ini telah menulis tak kurang dari 110 buku. Penulis produktif ini sedikit membuka kartu, sejatinya yang menyebabkan rasa takut bukanlah kematian itu sendiri, melainkan apa yang terjadi "setelah"-nya. Cara untuk mengatasi The Ultimate Fear tersebut ialah dengan memasukinya dan melampauinya (trancend). Dalam tradisi Kejawen, kita mengenal pula teknik "Ngraga Sukma" serta falsafah "Mati Sakjroning Urip."

Ada juga ketakutan pada takaran fisik, yakni takut lapar. Tatkala 9 bulan 10 hari berada dalam rahim Ibunda, janin tak perlu mencari makan. Sang Ibu senantiasa mensuplai saripati makanan lewat tali pusat. Tapi begitu lahir dan ari-ari dipotong, syahdan ia tersadarkan bahwa tiba saatnya untuk mencari makan sendiri. Sejatinya energi dari rasa takut lapar tersebut bisa ditransformasikan menjadi semangat berkarya dan hidup mandiri (Hal 27).

Selain itu ada juga ketakutan pada lapiasn mental-emosional, yakni takut kesepian. Seorang jomblo mengaku tak pernah merasa kesepian. Tapi kok setiap hari nongkrong di Mal dan mejeng di Kafe? Sejatinya energi "darah muda" tersebut bisa dipakai untuk hal-hal kreatif, konstruktif dan inovatif. Misanya lewat seni lukis, tari, suara, drama, dst (hal 56).

Yang menarik ialah akronim FEAR, yakni False Emotion Appearing Real, artinya Emosi Palsu yang terkesan Nyata. Misanya, saat bermimpi dikejar macan, nafas kita menjadi kacau, jantung berdetak kencang dan sekujur tubuh berkeringat. Walau cuma mimpi tapi terasa riil banget. Cara untuk mengatasinya sederhana, yakni bangun!

Selanjutnya makna tersirat di balik istilah MAN-AGE-MENT, 'man' artinya manusia, 'age' sinonim dengan usia dan 'ment' ialah proses. Jika digabung berarti proses pendewasaan (jiwa) manusia. Fear Management merupakan sarana untuk mengolah phobia dengan penuh kesadaran.

Buku ini juga memberikan solusi praktis untuk mengatasi depresi, misalnya lewat yoga, puasa, dan olah raga ringan. Kenapa birokrat yang berada di ruang ber-AC acapkali terserang stres dan insomnia? sebaliknya pak tani yang bersimbah peluh bekerja seharian di ladang relatif lebih sehat dan nrima ing pandum? Karena tiap bulir keringat yang luruh ke Bumi Pertiwi ialah antioksidan alami yang sehat dan menyehatkan!

Zaman Edan?

Dimuat di Rubrik Masalah Kita SKH Kedaulatan Rakyat 26 November 2006.

Kebijakan impor beras jelas-jelas irasional dan tidak populis! Hal ini tepat benar seperti yang digambarkan oleh pujangga besar Nusantara yang pernah menembangkan syair profetis, "Zamanne zaman edan/ nak ora edan ora komanan!"

Bagaimana ndak edan? Tatkala musim panen raya tiba pemerintah justru berencana mengimpor beras dari luar negri melalui perum bulog. Dalih pemerintah memperlakukan policy ini ialah untuk menjaga stabilitas harga. Tapi realitasnya justru berbanding terbalik. Tatkala rencana impor beras baru menjadi wacana saja, para tengkulak telah menekan harga gabah di kalangan petani, kini harga beras berada pada kisaran Rp 3.000 per kg, penurunan harga ini jelas merugikan petani.

Jika dicermati, kebijakan ini merupakan turunan dari sitem ekonomi neoliberal yang mengedepankan nafsu ekonomis kelompok tertentu ketimbang analisis mendalam dan akal sehat dalam rangka mencapai keadilan sosial bagi semua. Ironisnya, pemerintah justru melupakan alasan berdirnya suaru negara seperi yang termaktub dalam mukadimah UUD 1945 dan pasal 33. Ada dua kemungkinan, pertama karena kekurang jelian para pakar ekonomi kita, dan/atau mereka tak tahan akan godaan meraup fulus.

Meski konsekuensinya petani kita yang bekerja keras di bawah terik mentai dari saat menabur benih hingga menggiling gabah, justru kian menderita. Inilah tugas kita untuk membuat mereka ingat pada amanah pemderitaan sesama putra-putri Ibu Pertiwi. Masih terngiang tembang Ki Ronggowarsito,"Nanging luwih becik menungso sing eling lan waspodo!"

Melihat Hikmah di Balik Bencana

Dimuat di Rubrik Forum Akademia, KOMPAS Jateng-DIY, Jumat 18 Agustus 2006.

Pada tahap awal pemerintah berencana membangun 42.000 unit rumah masing-masing seharga Rp 15 juta. Padahal, menurut Pemprov DI Yogyakarta, tercatat ada 206.000 unit rumah hancur atau rusak berat. Hal ini bisa menyebabkan gesekan vertikal antara masyarakat dan pemerintah maupun secara horizontal yang bisa memantik "api" kecemburuan sosial antarwarga.

Dari segi anggaran juga amat terbatas karena ada penyusutan yang cukup signifikan, semula Rp 37 miliar kemudian tinggal Rp 20 miliar saja. Dana rehab rumah korban gempa sebesar Rp 30 juta yang pernah dijanjikan oleh Bung Jusuf Kalla ternyata hanya angin lalu, senada dengan tembang Broery Pesolima Memang Lidah Tak Bertulang. Ironisnya lagi pemberian living cost yang hanya sekali itu pun tak merata distribusinya karena terkendala birokrasi.

Alhamdulilah wong Yogya memang biasa bersikap nrima. Walau rumah roboh masih bilang, "Untung masih selamat." Namun, pertanyaan kritis bagi para pejabat di pusat sana, apakah masih terus tega menelantarkan dan mengecewakan para korban bencana? Di tengah situasi mendung semacam ini semua pihak perlu menjaga ucapan serta sudi duduk bersama guna membahas kebijakan recovery yang paling tepat.

Lebih lanjut, koordinasi dan sosialisasi kebijakan ini juga mesti hati-hati dan transparan, termasuk sampai pada hal yang tampaknya sepele, yakni urutan pembangunan unit rumah. Haruslah diprioritaskan pembangunan rumah rusak berat dan yang empunya secara ekonomi memang tak mampu. Hingga saat ini masih ada sekitar 100.000 KK yang masih terlunta-lunta dan berteduh di bawah tenda.

Menurut catatan Sekretaris Daerah DIY, pihak lembaga swadaya masyarakat dan organisasi nonpemerintahan sudah secara aktif memfasilitasi pembangunan 2.000-an unit rumah di seputaran DIY. Kemudian, yang patut mendapat acungan jempol adalah usaha swadaya warga yang bergotong royong membangun sendiri rumahnya. Jumlahnya tak sedikit, sekitar 10.000 rumah. Inisiatif yang terlahir dari grass root macam ini patut dicontoh karena para korban tidak melulu menunggu uluran tangan dari pemerintah maupun pihak luar.

Secara lebih mendalam, proses rekonstruksi pascagempa ini juga harus mendidik warga untuk mandiri. Semisal dengan memberikan tanggung jawab pembangunan kepada fungsionaris desa. Wilayah teritori tadi dibagi menjadi kelompok-kelompok yang terdiri atas 10 KK. Tujuannya supaya mereka dapat secara demokratis bermusyawarah guna menentukan mekanisme pembangunan, yakni dari pernak-pernik pembagian dana, pembelian bahan material secara kolektif, operasional pembangunan, sampai laporan pertanggungjawaban akhir pascarekonstruksi.

Hal ini akan sinergis dengan program pendewasaan publik menuju masyarakat madani. Pemerintah dan pihak asing janganlah terlalu jauh campur tangan dalam proses rekonstruksi karena kita tak tahu situasi riil di lapangan. Seyogianya sebatas pada subsidi finansial dan pengawasan kelayakan arsitektur bangunan, yakni ketahanan terhadap guncangan gempa dan kesehatan. Jika hal tersebut sungguh diimplementasikan, niscaya Jateng-DIY akan menjadi daerah yang lebih temata. Sehingga, kita sungguh bisa merasakan hikmah di balik bencana yang mendera Bumi Mataram tercinta.

Belajar Menertawai Diri Sendiri

Dimuat di Rubrik Resensi Buku SKH Kedaulatan Rakyat, Minggu 13 Agustus 2006.

Judul: Sama-sama Gila!
Penulis: Anand Krishna
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, Juli, 2006
Tebal: xvi + 166 halaman
Harga Rp 30.000

"Jangan mau tampak baik oleh dunia, orang lain dan terutama dirimu sendiri" - Anonim

Buku ini memuat 180 anekdot pendek. Bisa kita pakai sebagai cermin untuk melihat kegoblokan diri kita sebagai manusia. Uniknya, kalau kita sudi membuka topeng yang selama ini menutupi wajah serta berani melihat diri apa-adanya maka kita akan menemukan sumber kebijaksanaan sejati di dalam diri. Ternyata di balik yang tampak goblok di luar, ada ke bijaksanaan di dalam.

Tokoh gila kita kali ini ialah Mulla Nasruddin. Manusia historis yang pernah hidup benar-benar dan melawat bumi ini. Ia juga terkenal sebagai seorang Sufi. Konon makamnya bisa ditemukan di Rusia yang notabene atheis. Tapi ada juga yang mengklaim bahwa ia hidup di Iran. Orang Arab turut menyatakan bahwa Mullah pernah tinggal di Jazirah Arab. Bahkan di daerah Bukhara, mereka mengenangnya dengan sebuah monumen khusus.

Namun perlu diingat bahwa Mulla Nasruddin bukan seorang manusia semata. Ia mewakili seluruh umat manusia. Ia adalah Anda dan saya pada saat yang bersamaan. Kenapa? Karena ia mewakili kegilaan dan kegoblokan kita! Ia sungguh tan-ekslusif dan universal. Ia menjadi milik dunia dengan segala kesempurnaan (baca: kegilaan dan kegoblokan)nya. Para Murshid/Guru Sufi kerap menggunakan kisah-kisah Mulla Nasrudin untuk menyampaikan ajaran esoteris kehidupan kepada para murid. Kisah-kisah semacam ini sudah tersebar sejak berabad-abad silam.

Sudah siap untuk mengungkap kegilaan dan kegoblokan kita?

Mari kita ulas satu kisah, no 69, hal 74. Kebetulan berkisah tentang makana angka 69. Bagi mereka yang sudah berusia tujuh belas tahun ke atas dan sudah menikah, betapa nikamt postur ini. Eit.. jangan terburu-buru mengeluarkan fatwa porno dan memulu berfikir tentang seks ataupun adegan Kamasutra. Mula Nasruddin yang pintar memainkan lidah menjelaskan demikian,"Enam, mewakili lima indra dan satu keakuan. Berbahagialah kalian wahai manusia yang berhasil mengedalikannya!" Bukankah hidup semacam ini amat nikmat?

Nilai universal yang hendak disampaikan lewat kisah dan perhitungan matematis di atas ialah bahwa roda Sang Kala berputar terus. Hari ini suka, besok duka. Hari ini pesta, besok bela sungkawa. Hari ini kaya, besok miskin. Hari ini makan tempe, besok makan tongseng.

Senada dengan pesan Ki Ageng Surya Mataram, seorang tokoh Kejawen Nusantara yang konon sanggup memasukkan petir ke dalam botol. Beliau berujar begini, "Urip kuwi cen mulur-mungkeret". Secara redaksional beda tapi esensinya sama dengan thesis ilmuwan kondang abad ini, Albert Einstein, segala sesuatu relatif di alam semesta ini, semua tergantung bagaimana kita menyikapinya. Mau terus cemberut mangga, mau tersenyum ya mangga. Sebab, "Beauty is a matter of seeing!"

Banyak cerita jenaka lain yang bisa membuka cakrawala pandang kita yang selama ini terbelenggu oleh dogma usang, pikiran kaku dan arogansi diri. Karena menggunakan joke maka Insya Allah tak akan membuat kita tersinggung dan sakit hati. Kecuali, jika kita tak cukup dewasa. Lewat buku ini kita bisa menjadi polos, lugu dan apa adanya seperti anak-anak tapi tak kekanak-kanakan alias gampang mutungan, marah dan uring-uringan.

Memang dalam proses penelaahan buku gila ini butuh sedikit permenungan. Karena banyak cerita yang kadang membingungkan dan tak masuk akal. Kembali kita bersua dengan realitas paradoksal kehidupan. "Lha wong untuk menertawai diri sendiri kok kudu serius?"

Bahasa buku ini ringan tapi berbobot. Bisa dibaca sambil minum teh hangat ditemani nyamikan pisang goreng. Tapi bersiap-siaplah karena mind set, pola pikir kita tiba-tiba dijungkirbalikkan. Isinya memuat pesan-pesan universal yang dikemas secara santai dan fungky. Dengan membaca, mencerna dan mencecapnya niscaya kita bisa menemukan hikmah kebijaksanaan hidup.

Mars Kebangkitan Yogya!

Dimuat di Rubrik Masalah Kita SKH Kedaulatan Rakyat 20 Juli 2007.

Menurut Anand Krishna, seorang tokoh humanis lintas agama Nusantara, stres dan trauma bukanlah suatu yang harus dilawan atau dimusuhi. Stres atau rasa tegang dan trauma tau luka batin merupakan pertanda kehidupan. Dengan memahami sifat stres dan trauma tersebut kita bisa segera bangkit dan mewarnai kehidupan dengan warna-warni yang lebih cerah!

Paska bencana gempa bumi yang mengguncang Jateng-DIY (27/5/2006) selain menderita secara fisik, banyak pula warga yang merasa stres dan trauma. Namun pertanyaan reflektif untuk kita semua,"Apakah kita mau seumur hidup menangis dan menyesali tragedi yang menimpa itu?" Tentu jawabnya,"Tidak!" Sebab Allah yang Maha Rahman dan Rahim telah menganugerahi kita tangan, kaki, otak dan kesadaran diri untuk menghadapi tantangan kehidupan, termasuk bencana yang datang tanpa dinyana-nyana.

Mari segera bangkit sekarang juga! Yakni dengan saling bahu-membahu dan bergotong-royong. Singsingkan lengan baju dan usah ragu untuk membanting tulang, bersimbah peluh membangun kembali puing-puing Yogyakarta tercinta secara kreatif dan inovatif.

Misalnya dengan mencipta lagu, semoga Mars Kebangkitan Yogya ini mampu menyulut kobaran api semangat cinta dna bhakti bagi Yogya kita, "Bangkitlah bangkit Yogya tercinta/ bencana tak akan patahkan semangat/ walaupun berbeda kita bersaudara/ bergotong-royong kita bangkit bersama!"

Ada Apa di Balik RUU APP?

Dimuat di Rubrik Suara Mahasiswa SKH Kedaulatan Rakyat 16 Maret 2006.

Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) telah memancing kontroversi yang kian meluas dan memanas. Topik ini menjadi perbincangan bahkan menjurus ke perseteruan sengit di program diskusi live di televisi maupun di bawah temaram lampu senthir angkringan.

Secara pribadi, penulis menolak tegas pemberlakukan RUU APP ini karena perundangan tersebut akan merampas kebebasan individu, utamanya kaum perempuan. Masalah seksualitas ialah urusan personal, sehingga tidaklah tepat dan sehat bila pemerintah, pemuka agama dan tokoh masyarakat terlalu jauh campur tangan. Senada dengan syair profetis Iwan Fals dalam lagu "Manusia Setengah Dewa", "Masalah moral, masalah akhlak biar kami cari sendiri/ urus saja moralmu, urus saja akhlakmu/ peraturan yang sehat yang kami mau!"

Budaya asli Indonesia telah melihat perempuan sebagai Shakti. Yakni sumber energi feminin yang inklusif, merangkul semua elemen bangsa, putra-putri Ibu Pertiwi. Sehingga kita tak memerlukan perundangan impor yang justru membungkus tubuh perempuan secara ketat dan menyesakkan. Menyadur kata-kata Shakespeare, "Kebesaran sebuah bangsa, berbanding lurus dengan tingkat apresiasi dan penghargaan pada perempuan!"

Negara beserta seluruh aparatusnya, termasuk tokoh masyarakat dan pemuka agama ialah pengabdi dan pelayan umat. A leader is a server! Tugasnya apa? yakni memfasilitasi setiap orang mencecap kesejahteraan lahir-batin. Sungguh ironis tatkala rakyat dipaksa secara sistemik struktural mengikat pinggang lebih kencang sedangakan para wakil rakyat justru menuntut kenaikan gaji. Apakah masih layak menyandang gelar mulia "wakil" rakyat? Sebuah strategi politik tingkat tinggi tapi jelas tidak berlandaskan nurani!

Lantas, secara "cerdas" perhatian masyarakat dialihkan ke masalah sensitif dan sensual lewat RUU APP ini. Padahal ada problem kebangsaan yang lebih urgen untuk dituntaskan apabila kita tak ingin bangsa ini tergadaikan. Misalnya, konspirasi segelintir elit politik dan para kapitalis alia cukong berduit tuk mengeksploitasi perut Bumi Papua, Cepu, Bojonegoro, dst. Juga jangan pernah lupa pada kasus korupsi berjamaah BLBI yang meraibkan uang rakyat trilyunan rupiah. Masih ditambah awan mendung yang menutupi dunia pendidikan nasional karena anggaran hanya 7 persen dari total APBN.

Segenap Civil Society, elemen masyarakat, utamanya kaum akademisi perlu secara berani dan kritis menyikapi situasi ekonomi, politik nasional tersebut. Dengan berbekal empati dan budi pekerti yang bening maka kita bisa melihat motivasi kunci di balik skenario dagelan RUU APP tersebut. Yakni keserakahan segelintir orang pada fulus, pangkat dan gengsi. Ini berarti mereka telah mengkhianati cita-cita luhur para pejuang dan founding fathers yang termaktub dalam Mukadimah UUD 1945!

Teknologi "Rumah Surya"

Dimuat di Rubrik Masalah Kita SKH Kedaulatan Rakyat 18 Februari 2006.

Pada awal 2006 Pemerintah berencana menaikkan Tarif Dasar Listrik menjadi hampir dua kali lipat dari harga semula. Belum reda derita rakyat jelata akibat kenaikan berbagai harga kebutuhan pokok paska pencabutan subsidi BBM Oktober tahun lalu, kini masih akan ditambah sengatan "setrum" tegangan tinggi TDL.

Alhamdulilah, kebijakan tak populis ini ditunda pemberlakukannya karena banyak pihak yang keberatan, namun sampai kapan penundaan ini akan berlangsung?

Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai institusi tunggal yang mengurusi kelistrikan nasional perlu mencari alternatif sumber energi fosil. Data terakhir menyebutkan bahwa 87 persen dari total 24.262 MW energi listrik menggunakan bahan bakar minyak, gas dan batu bara. Sehingga otomatis dengan adanya kenaikan minyak dunia maka biaya produksi listrik akan meningkat. Dan cara termudah unuk menutup biaya pengeluaran ialah dengan menikkan tarif bagi konsumen.

Strategi lain yang kiranya lebih berpihak ialah menggunakan sumber energi non fosil. Misal, tenaga aliran arus air, tekanan uap udara, biogas, angin, ataupun cahaya matahari yang melimpah di daerah tropis semacam Indonesia. Tentu dibutuhkan komitmen Pemerintah dalam pembiayaan, penelitian, serta pembangunan sarana infrastruktur teknologi Pembangkit Listrik alternatif semacam itu. Dan untuk mewujudkannya membutuhkan biaya, waktu dan keterlibatan semua pihak.

Selain itu yang lebih pokok, urgent dan bisa dilakukan oleh kita semua sebagai warga negara ialah secara aktif, kreatif dan inovatif menemukan sumber energi non fosil. Sehingga ketergantungan berlebih pada energi listrik konvensional dan intitusi negara bisa diminimalisir. Misalnya seperti Bapak Minto (53) seorang Guru SD d Dusun Prambon, Madiun, Jawa Timur. Beliau mengembangkan teknologi alternatif "Rumah Surya" di mana hampir semua perkakas rumah tangga dari kompor sampai TV menggunakan energi surya alias cahaya mentari.

Jika ada "Minto-Minto" lain di Bumi Nusantara tercinta ini, serta ditambah dukungan Pemerintah dari level pusat sampai pinggiran, serta bekerjasama dengan pihak swasta yang bersedia menjadi sponsor dana, maka masalah ketergantungan berlebih pada energi listrik bisa diatasi. Dengan kata lain, sengatan listrik tak akan membuat kita tersentak kaget, paling banter cuma membuat kita tergelitik keenakan.

Desember 14, 2007

PUPPET LOVE

Dimuat di Reader's Digest Asia, November 2007

Thumbs up for Asep Sunandar's effort in "TacklingTerrorism With Art" (Everyday Heroes, June 2007). Hardliners who bomb and kill innocent people tarnish the image of my beloved country, Indonesia.

They use religion to try and justify their destructive actions. However, this puppet master has proven that through traditional "Wayang Golek" we are able to spread the message of love, peace, and harmony to audiences all over the world.

MEMBUMIKAN REGULASI PROMONOGAMI

Dimuat di Rubrik Opini Pembaca, Media Indonesia 19 November 2007.

Isu poligami kembali mencuat setelah keretakan rumah tangga Ahmad Dhani dan Maia Estianty. Pihak perempuan merasa frustasi karena penerapan regulasi promonogami menemui jalan buntu. Padahal UU Perkawinan Nasional jelas mengatur 'satu suami-satu istri', namun realitasnya berbanding terbalik, mereka terpaksa -ibarat judul film 'berbagi suami'.

Meutia Hatta Swasono, selaku Menteri PemberdayaanPerempuan mengatakan banyak istri PNS engganmelaporkan kasus poligami karena takut suaminya dipecat sehingga tidak bisa lagi menafkahi keluarga.Informasi tersebut dihimpun dari Kotak Pos (PO Box)10.000.

Menurut hemat penulis, poligami memang cenderung berpotensi konflik (inconflict) . Kenapa? karena walau para istri nampak nrimo, tapi sejatinya merana karena dimadu. Penderitaan psikis tersebut bisa menularkepada sang buah hati yang kelak menggangu perkembangan mental si anak.

Memang sih sudah ada payung hukum berupa Peraturan Pemerintah (PP) No 45/1990 untuk melindungi para ibu dan anak yang dirugikan dalam perkawinan. Namun, prakteknya masih jauh panggang daripada api. Mengapa? sebab secara kultural posisi tawar perempuan masih lemah. Eksistensi mereka melulu di dapur, sumur, dan kasur. Utamanya di desa-desa terpencil.

Bahkan data terakhir menyebutkan bahwa partisipasi Srikandi bangsa dalam percaturan politik sangatrendah. Tercatat hanya 11,3 persen perempuan yangduduk di parlemen. Padahal kuota idealnya 30 persen. Lebih lanjut, secara genetik perempuan sejatinya lebih unggul ketimbang kaum Adam. Kenapa? kerena kromosomnya lengkap 23 XX. Sehingga, 'barangkali' budaya patriarkal memang merupakan strategi untuk melanggengkan penindasan struktural terhadap kaum Hawa.

Kini menjadi PR kita bersama untuk mengawinkan logika otak dengan rasa hati. Sehingga terlahir sintesa holistis berupa tatanan kemanusiaan yang adil dan beradab. Sesuai amanah Sila ke-2 Pancasila. Para leluhur kita telah memberi suri tauladan. Bagimereka tidak masalah seorang perempuan memegang tampuk kepemimpinan. Kriterianya bukan jenis kelamin melainkan kompetensi. Sebut saja, Ratu Sima, beliau terkenal amat adil. Bahkan tatkala anak kandungnya sendiri melanggar hukum, sang ratu tetap menjatuhkan sanksi tegas.

Anand Krishna melihat perempuan sebagai Shakti. Yakni sumber energi feminin yang inklusif yang merangkul segenap putra-putri Ibu Pertiwi dari Sabang sampai Merauke. Istilah 'perempuan' berasal dari kata 'empu'yang berarti kebijaksanaan (wisdom). Konsekuensinya, aktivis spiritual ini berpendapat jabatan-jabatan publik lebih baik diamanahkan pada perempuan saja. Kenapa? karena mereka relatif lebih intuitif dan fair dalam mengambil keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Jarang kita menjumpai Polwan yang bisa disuap.

"Perempuan yang rela dipoligami tidak mewakili perempuan Indonesia seluruhnya,' begitulah pernyataan sikap Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI. Kini tiba saatnya perempuan bersuara dan berkata tidak untuk poligami. Bukan karena sikap membangkang melainkan atas kesadaran bahwasanya monogami memang lebih bisa memfasilitasi terciptanya keluarga sakinah, mawadah, warahmah di Bumi Nusantara tercinta ini.

TUNA SATHAK BATHI SANAK

Dimuat di Rubrik Opini Pembaca, Media Indonesia 12 November 2007.

Apa sih kebutuhan mendesak manusia Indonesia saat ini? Secara gamblang ialah pemenuhan sembilan kebutuhan pokok bagi puluhan juta rumah tangga miskin (RTM) dari Sabang sampai Merauke!Ironisnya, menjelang hari besar keagamaan, seperti Dipavali, Idul Adha, Natal, dan Tahun Baru harga sembako di pasaran justru melonjak. Kelapa untuk membuat santan gudeg semuala Rp 1.000 sebutir, sekarang mencapai Rp 3.500!

Senada dengan tembang Bung Iwan Fals, "Maafkan kedua orang tuamu bila tak bisa beli susu, orang pintar tarik subsidi, anak kami kurang gizi." Kenapa? karena pemerintah terlalu bergantung pada mekanisme pasar.Tatkala permintaan tinggi dan persediaan terbatas, otomatis terjadi inflasi. Celah ini dimanfaatkan para cukong untuk menimbun barang dan baru melepasnya ketika harga merambat naik sehingga konsumen (miskin) yang menjadi korban.

Solusinya ialah dengan menggalakkan operasi pasar murah, terutama dipasar-pasar tradisional. Lebih lanjut, sistem ekonomi nasional juga mesti direvisi agar inflasi tidak menjadi tradisi. Secara historis, pemerintah mulai memberlakukan liberalisasi pasar sejak awal 1980-an. Pola pembangunan Indonesia mengadopsi sistem ekonomi terbuka sehingga intervensi pihak asing kian menggurita.

Celakanya, yang menikmati "kue" tersebut hanya segelintir elite yang dekat dengan kekuasaan. Di pihak lain, mayaoritas rakyat masih berkubang dalam lumpur kemiskianan. Saat ini, tak kurang dari 15 juta balita menderita malnutrition. Kelak, generasi masa depan bangsa ini tak bisa bekerja secara optimal karena perkembangan struktur otaknya terganggu.

Situasi miris ini secara tepat dilukiskan oleh Anthony Giddens. "Karena tunduk pada panglima modal, manusiamenghadapi gejala aneh. Di satu sisi, manusia bisahidup makin nyaman, bepergian dengan cepat, berkomunikasi secara lancar, dan makan lebih lezat. Disisi lain, kemerosotan di banyak sektor kehidupan terjadi, angka kemiskinan dan pengangguran membumbung tinggi, krisis ekonomi berkepanjangan, ketidakadilan sosial merajarela. Pemerintah sudah berganti, kabinet terus berubah, dan anggaran belanja negara telah disesuaikan, tapi tetap saja korban-mereka yang menderita kemiskinan secara material-terus bertambah dari hari ke hari. Situasi ini acapkali ditengarai sebagai jaman yang 'berlari tunggang-langgang" (Runaway World, Polity Press, 1996).

Padahal bila kita sudi belajar (dari) sejarah, para founding fathers kita telah memiliki jawaban ataspersoalan sosial-kemasyarakat an dewasa ini. Sepertiyang termaktub dalam butir kelima Pancasila, KeadilanSosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Ibarat kekuatan mata rantai yang terletak pada matarantai terlemah, peningkatan kualitas hidup sebagian manusia di Republik Indonesia tercinta ini secara alamiah akan menaikkan mutu hidup seluruh anak negri. Karena itu, pemerintah seyogianya lebih berpihak pada rakyat miskin atau dengan kata lain, lebih prorakyat!

Bung Hatta telah mewariskan konsepsi koperasi padakita. Sebuah sistem ekonomi yang berwatak sosial danberasaskan kekeluargaan. Tinggal bagaimana visi tersebut dibadankan (dipraksiskan) dalam keseharian. Langkah sederhana seperti yang digagas Anand Krishna. Aktivis spiritual ini memprakarsai pembentukan Koperasi Global Anand Krishna di Bali (12 Juli 2007), Joglosemar (27 Juli 2007), dan Jakarta (1 September2007). Koperasi spiritual pertama di Indonesia inimenyediakan anaka barang produksi dalam negeri bagiseluruh anggota dan masyarakat sekitar.Termasuk menerbitkan buku berkualitas (Voice of Indonesia, 2007) untuk memupuk kesadaran sipil (civil awareness).

Saat ini, ada lebih dari 3,8 juta usaha kecil menengah(UKM) di seantero Nusantara. Seiring dengan pesatnyaperkembangan teknologi informasi, sinergi (gotong-royong) antara pihak swarta, pemerintah, dan kopreasi di akar rumput semakin mudah dijalin dandikembangkan. Karena itu, ke depan, niscaya bangsa ini dapatmewujudkan tata ekonomi yang lebih adil dan manusiawi- atau dalam peribahasa Jawanya - yang Tuna Sathak Bathi Sanak.

DARI TOLERANSI MENUJU APRESIASI

Dimuat di Rubrik Surat Anda, Media Indonesia 1 Oktober 2007.

Terharu hati ini tatkala menyaksikan budaya masyarakat Gamelan Kampoeng of Tolerance. Kenapa? karena walau para warga Kelurahan Panembahan, Kecamatan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat tersebut memeluk agama yang berbeda tapi semangat guyub-rukun masih lestari.

Semboyan luhur Bhinneka Tunggal Ika - Tan Hana Dharma Mangrwa menemukan relevansinya kembali ketika warga nonmuslim menjaga keamanan kampung sehingga tetangganya bisa menunaikan salat Id dengan khusyuk. Bahkan, paskasalat mereka bermaaf-maafan dan mengadakan jamuan makan sederhana yang disediakan secara swadaya.

Menurut Benedict Anderson, ungkapan "toleransi" sebagai sifat asasi wong Jawa mulai populer sejak api nasionalisme berkobar di bumi pertiwi seabad silam.Sebelumnya, para ahli menyebut sikap kelapangan hatitersebut dengan istilah "sinkretisme Jawa".

Sedangkan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia,' toleransi' berarti sifat atau sikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian, kebiasaan, kelakuan yang berbeda atau bahkan bertentangan dengan pendiriannya sendiri. Misalnya soal agama, ideologi, suku, ras, golongan, dll.

Dengan demikian, sikap main hakim sendiri yang kerap dilakukan ormas yang mengatas namakan agama tertentutapi dalam praktiknya menggunakan cara-cara kekerasan jelas mengkhinati ajaran universal setiap agama yangmengutamakan kasih, perdamaian, dan harmoni (love, peace, and harmony).

Ironisnya, aparat keamanan terkesan membiarkan tingkah-pongah tersebut. Bukankah sudah menjadi tugas orang tua untuk menegur anak-anaknya yang mbalelo dan membahayakan orang lain.Yogyakarta sebagai kota budaya, potensial sekali menjadi model komunitas multikultur. Ambil contoh didunia kampus, mahasiswa-mahasiswi dari pelbagai wilayah di nusantara berkumpul di Bumi Mataram guna menuntut ilmu.

Sedikit sharing, di dekat kos penulisada asrama mahasiwa Fak-fak, Papua. Saat Lebaran lalu, mereka tidak mudik. Padahal banyak warung makanan yang tutup. Uniknya, secara sukarela paratetangga yang notabene warga setempat (DusunSoropadan) sudi berbagi hidangan ala kadarnya untuk mereka. Memang sih ibarat kata pepatah, kita menuai apa yang kita tanam. Para perantau tersebut juga sudi beradaptasi dan bergaul dengan warga setempat.

Lebih lanjut, 'toleransi' pun musti dimuaikan menjadi"apresiasi". Istilah itu mulai dipopulerkan oleh Anand Krishna. Tokoh humanis lintas agama nusantara tersebut mengajak kita menghargai (to appreciate), mengerti (to undersatand) , dan mengenal (to know) diri sendiri, orang lain, bahkan alam semesta.

Sebab, perbedaan merupakan modal dasar untuk bisa maju bersama. Kongkretnya seperti apa yang telah dirintis warga Gamelan Lor dan Kidul, yakni dengan bergotong-royong mewujudkan (kampung) Indonesia yang bersih, sejahtera, dan damai bagi segenap putra-putriIbu Pertiwi dari Sabang sampai Merauke.

Kesaktian untuk Kejayaan Bangsa

Dimuat di Forum Akademia, KOMPAS Jateng-DIY, Jumat 15 Juni 2007.

Pada perayaan hari lahir ke-62 Pancasila lalu penulis bersama National Integration Movement Joglosemar berziarah ke Makam Bung Karno dan menghadiri Kenduri Pancasila yang digelar oleh Pemerintah Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Yang mencolok ialah seluruh peserta mengenakan kaus hitam bertuliskan GPP (Gerakan Pengamal Pancasila). Memang cara untuk membangkitkan kembali nilai-nilai Pancasila ialah dengan nglakoni alias mengamalkannya dalam hidup sehari-hari.

Menurut Bung Karno, Pancasila adalah meja statis sekaligus Leidstar (bintang pimpinan) dinamis. Bung Karno menggogo (menyelami) saf-saf peradaban leluhur kita sejak zaman pra Hindu hingga masuknya imperialisme Barat.

Sejak belia Putra Sang Fajar sudah memikirkan landasan kokoh bagi struktur bangsa. Buah permenungan tersebut lantas dipersembahkan ke haribaan rakyat dan di altar Ibu Pertiwi. Tepatnya pada sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945. Secara aklamasi, diiringi tepuk tangan riuh rendah, semua golongan tanpa terkecuali menerima Pancasila sebagai dasar negara Indonesia merdeka.

Celakanya, kini ada segelintir orang yang lupa sejarah hendak mengganti Pancasila dengan ideologi "impor" yang tak berakar pada budaya Nusantara. Padahal, Pancasila sakti, menurut Ki Hadjar Dewantara, merupakan saripati budaya bangsa telah terbukti mampu mempersatukan segenap elemen masyarakat. Memang dalam perjalanannya ada penyelewengan. Misal pada masa Orde Baru, waktu itu terjadi penyeragaman pola pikir secara massif dan terorganisasi lewat penataran P4.

Kini perlu upaya konkret untuk membumikan nilai-nilai Pancasila bagi orang modern, utamanya generasi muda. Misal, seperti yang dilakukan oleh Pusat Pemulihan Stres dan Trauma Keliling (PPSTK) pada akhir Agustus 2006. Kebetulan penulis menjadi koordinator lomba menulis kebangsaan bagi siswa-siswi SMA se-Jawa Tengah dan DI Yogyakarta tersebut. Energi stres yang terakumulasi akibat gempa bisa ditransformasi menjadi energi kreatif yang konstruktif, caranya dengan menulis esai.

Anand Krishna selaku penggagas acara ini memaknai kembali nilai- nilai Pancasila secara gaul dan funky. Sila I Spiritualitas: Banyak Jalan Satu Tujuan; Sila II Humanitas: Satu Bumi, Satu Langit, Satu Umat Manusia; Sila III Nasionalitas: Siapapun Kau, Kau Orang Indonesia; Sila IV Soverenitas: Ramah Tamah dan Sopan Santun; Sila V Sosialitas: Gotong Royong.

Peserta yang sebagian besar kelahiran 1990-an ini begitu elegan mengemas nilai- nilai Pancasila. Misal Adjeng Bunga Bangsa dari SMA Taruna Nusantara menulis dalam esai bertajuk "Bersatu dan Kau Menang", berikut kutipannya, "...Perbedaan itu adalah harta karun Indonesia. Perbedaan itu adalah anugerah dan kurnia Tuhan Yang Maha Esa yang wajib kita syukuri. Semua itu adalah amanat yang harus kita jaga dan kita lestarikan dengan baik. Pernahkah Anda melihat negara lain yang terdiri dari beribu-ribu pulau yang tiap-tiap daerahnya memiliki kebudayaan sendiri yang berbeda dengan yang lainnya, dan mampu bersatu padu? Carilah di seluruh dunia dan jawabannya hanya Indonesia" (halaman 8).

Sepakat Dik! Pancasila memang alat pemersatu yang sakti untuk mewujudkan Indonesia Jaya!

Bike for (Mother) Earth

Dimuat di Rubrik Suara Mahasiswa SKH Kedaulatan Rakyat, 7 Desember 2007.

MENURUT Anand Khrishna, umat manusia berpijak di atas bumi yang satu dan bernaung di bawah atap langit yang sama (one earth, one sky, one humankind). Aktivis spiritual ini mengajak setiap insan dan segenap elemen masyarakat untuk proaktif meminimalisir dampak negatif pemanasan global (global warming).

Data terakhir menunjukkan bahwa selain Amerika Serikat dan Cina, ternyata Indonesia juga tercatat sebagai tiga besar emisor CO2 ke atmosfer bumi. Konferensi United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang digelar di Bali pada 3 - 14 Desember 2007 merupakan momentum penting untuk mengubah serapah menjadi berkah.

Salah satu caranya dengan mengkampanyekan program Bike for (Mother) Earth. Ibarat cendawan di musim hujan, kini banyak bermunculan komunitas sepeda di Gudeg City. Misalnya, Jogja Onthel Community (JOC), Komunitas Podjok, Generasi Onthel Club (GOC) Bantul, Bike to Work dll. Selain menyandang gelar kota budaya, pelajar dan wisata, Yogya juga dikenal sebagai kota sepeda. Setiap pagi pekerja dari pelosok Bantul, Godean, Sleman dan Prambanan berduyun-duyun ngonthel menuju Ngayogyakarta Hadiningrat untuk mencari nafkah. Para akademisi dan seniman juga lebih suka ngepit karena relatif lebih ngirit.

Menurut Dr Damardjati Supadjar istilah onthel itu bernuansa saru. Dalam bahasa Jawa merujuk pada alat kelamin laki-laki. Makanya pakar Kejawen ini lebih suka menyebut sepeda dengan kereta angin. Lebih lanjut keunggulan kereta angin ialah konsep melaju menggunakan kayuhan kedua kaki. Ibarat pepatah, “Sambil menyelam minum air”, sembari bersepeda bisa menyehatkan jantung pula.

Lantas, siapa penemu sepeda? Ada banyak versi. Tapi menurut keputusan The International Cycling History Conference (ICHC) atau Konferensi Internasional Sejarah Sepeda, penemu kendaraan beroda dua yang berputar atas prinsip keseimbangan tersebut bernama Karl Von Drais, pria berkebangsaan Jerman.

Menurut hemat penulis bersepeda ialah praksis ramah lingkungan. Pepatah Afrika mengatakan, “Bicara tak akan membuat nasi menjadi matang”. Artinya, bukan retorika yang diperlukan untuk menyelamatkan ‘Ibu Bumi’ melainkan aksi nyata. Menyitir seruan Benyamin Disraeli, “Tindakan tidak selalu membawa hasil, tapi tak ada hasil tanpa tindakan!” Ambil contoh di Kolombia. Pemerintah setempat berhasil merevolusi sistem moda transportasi di Bogota. Konsepnya sederhana yakni memberikan 75% dari jalan yang ada untuk pesepeda dan pejalan kaki. Hasilnya kemacetan lalu lintas hanya ada dalam mimpi dan tingkat pencemaran udara di sa-lah satu kota terbesar di Amerika Latin tersebut menurun drastis dalam satu dasawarsa terakhir.

Secara lebih mendalam, benar apa yang dikatakan oleh Ngarsa Dalem, istilah global warming itu tak merakyat. Sehingga perlu dicari kosakata lain yang lebih populis. Misalnya, pemanasan bumi, (Ibu) Bumi Gerah dan seterusnya.

Akhirulkalam, alih-alih membangun jalur bus way, Pemkot juga musti menyediakan jalur sepeda (bike way) di sepanjang ruas jalan. Selain itu perlu digalakkan program free motor/car day alias sehari tanpa kendaraan bermotor. Misalnya tiap hari Jumat. Tentu ada pengecualian bila hendak bepergian ke luar kota. Inilah solusi konkret untuk membuat bumi Mataram tercinta sedikit lebih adem sebab, if not us than who, if not now than when?, artinya ‘kalau bukan kita lalu siapa, kalau tidak sekarang lantas kapan?’

Telelogi Pro Integritas

Dimuat di Rubrik Suara Mahasiswa, Seputar Indonesia (SINDO), Rabu 17 Oktober 2007.

MENURUT kamus lengkap Webster's Third New International Dictionary, korupsi berarti ajakan (dari seorang pejabat politik) dengan pertimbangan-pertimbangan yang tidak semestinya (misalnya suap) untuk melakukan pelanggaran tugas. Adapun definisi korupsi yang lazim dikutip oleh para ahli hukum ialah tingkah laku yang menyimpang dari tugastugas resmi jabatan negara—karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri)—atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi (Klitgaard, 1998)

Lebih surut ke belakang, para filsuf Yunani kuno telah mengenal istilah corrupted mind (Kian Gie,2003). Artinya, korupsi bukan melulu soal pencurian fulus, melainkan juga terkait dengan kebobrokan struktur mental yang menyebabkan degradasi moral manusia.

Dalam konteks inilah teologi (dari agama apa pun) menemukan signifikasinya, yakni untuk melakukan transformasi mind yang usang menjadi created mind berupa teleologi segar yang prointegritas dan kejujuran di Republik Indonesia yang telah genap 62 tahun ini. Teleologi berarti gerak setiap makhluk menuju tujuannya sehingga dengan tercapainya tujuan tersebut terpenuhi pula hakikat makhluk itu diciptakan. Manusia korup yang secara personal maupun organisasional menggelapkan uang rakyat masih jauh dari aspek teleologi dalam pengertian di atas (Hartoko, 1998).

Secara lebih mendalam, pilihan istilah kita juga perlu dirombak untuk memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya. Kenapa? "If you resist, you persist," jawab sebuah petuah bijak dalam film The Secret. Artinya, semakin kita melawan sesuatu, semakin kita memberi energi kepadanya. Dengan begitu, slogan antikorupsi, antikekerasan, antikemiskinan, misalnya, mesti direvisi menjadi prokejujuran, properdamaian, propemerataan, dll.Tentu perlu pula diterapkan strategi yang tegas untuk mengundang para koruptor kelas kakap datang menginap di hotel prodeo.

Selain itu menurut hemat penulis, istilah ”budaya korupsi” ialah suatu kesalahkaprahan (missconception). Kenapa? Karena ”budaya” berasal dari kata ”budi” dan ”hridaya” (Lihat "Indonesia Jaya" – Anand Krishna, PT One Earth Media, 2005). Budi berarti pikiran yang jernih sedangkan hridaya sinonim dengan hati yang tenang. Manusia berbudaya itu relatif sportif dalam arti rela berkorban untuk menjunjung tinggi integritas (satunya kata dan perbuatan) dan kejujuran (satunya fakta dan kata).

Lantas kenapa korupsi masih merajarela di Indonesia? Senada dengan pertanyaan mengapa Hitler bisa mengobok-obok Jerman? Karena selama ini orang yang relatif "bersih" hanya berdiam diri tinggal di menara gading. Kita cenderung pasif menggantungkan diri kepada lembaga-lembaga formil semacam DPR, MPR, Pemerintah, DPA, MA, BPK, Kejaksaan, Kepolisian, Kehakiman, Ormas, Institusi agama, dst. Padahal sudah menjadi rahasia umum bahwasanya justru beliau-beliau itulah yang membela habis-habisan para koruptor kelas kakap di negeri ini. Bahkan Perayaan Idul Fitri pun dijadikan ajang lobilobi politik walau dengan dalih silaturahmi.

Sampai kapan kita akan terus memakai topeng? Bila serius hendak melawat, datanglah ke Sidoarjo, ke Bengkulu, ke Bantul guna menyambangi saudara-saudara kita yang masih berteduh di bawah tenda pengungsian dan tercerabut dari akar budayanya.

Desember 13, 2007

UNIVERSALITAS INJIL MARIA MAGDALENA

Dimuat di Rubrik Resensi Buku SKH Kedaulatan Rakyat, Minggu 7 Mei 2007.

Judul Buku : MAWAR MISTIK, Ulasan Injil Maria Magdalena
Penulis : Anand Krishna
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : I, Maret 2007
Tebal : v + 196 halaman


"Dia (Yesus) adalah orang timur tulen...Seluruh peribahasa dan perumpamaan yang ada dalam Alkitab, tanpa kecuali berasal dari timur." Svami Vivekananda, Pujangga Besar India

Komunitas National Geographic meneliti bahwa nama terpopuler bayi perempuan sepanjang tahun 1905-1995 di USA ialah Mary. Kebetulan ada tiga tokoh bernama Maria yang menyertai Yesus sampai bawah salib, yaitu Maria Ibunda Yesus, Maria Martha dan Maria Magdalena. Nilai keberanian dan kesetiaan itulah yang diharapkan menurun pada buah hati mereka. Buku ini memuat ulasan Anand Krishna seputar pesan-pesan Yesus pada Maria Magdalena - Sang Mawar Mistik. Menurut Master Yoga yang pernah sembuh secara ajaib dari Leukemia ini, ketika menyadari jati diri kita berada dalam pelukan Bunda Alam Semesta (hal 80)

Nah lantas ada 3 kemungkinan. Pertama, bunga yang baru mekar menoleh ke kanan dan ke kiri, banyak bunga-bunga lain yang mekar bareng. "Duh Gusti ternyata kali ini merata turunnya hujan berkah." Kedua, bunga tadi melihat bunga yang pernah mekar dan kini melayu. Seperti ucapan Shri Krishna pada Arjuna di padang Kurusetra 5000 tahun silam, "Wahai Arjuna, ini bukanlah yang pertama, pengalaman ini sudah berulang sekian kali di masa lalu dan akan berulang lagi di masa depan. Karena itu, janganlah kau menjadi angkuh, jangan pula berkecil hati...Inilah Jalan Kehidupan!." Ketiga, bunga tadi tidak menoleh ke mana-mana, ia sibuk memperhatikan dirinya..."Akulah Kebenaran Hakiki, tiada Kebenaran diluarku!"

Pengalaman Sang Mawar Mistik unik, Miriam dari Magadhi membuat terobosan (baca: sejarah) baru karena saat "mekar" sontak ia bersimpuh di hadapan Sang Master,"Rabbi, aku tak tahu apa yang terjadi, tapi sesuatu tengah terjadi..." tanyanya dengan penuh kerendahan hati. Itulah sebabnya kenapa Uskup Agung Genoa, Jacobus de Voragine menyebut Maria Magdalena dalam karya monumentalnya Golden Legend (1250) sebagai Iluminata sekalugus Illuminatrix - Ia yang Cerah dan Mencerahkan.

Injil Maria Magdalena ini sebenarnya pernah dicatat oleh para pengikut setia tapi lantas hilang selama berabad-abad. Baru ditemukan kembali pada tahun 1896 di tanah Mesir. Selama 2000 tahun belakangan hanya beberapa orang yang melihat kesucian dalam diri Maria Magdalena. Bahkan hierarki gereja sendiri menganggap Sang Mawar Mistik sebagai wanita biasa yang lahir dan melacurkan diri. Itulah sebabnya kenapa lembaga gereja mengucilkan tokoh satu ini.

Buku ini juga memuat pesan Maria Magdalena kepada para murid lain, setelah Yesus "pergi" mereka sempat merasa ragu, "Janganlah membayangkan pekerjaan Sang Guru sebagai pekerjaan besar dunia di mana kau akan menghadapi para politisi dan penguasa. Anggaplah pekerjaan-Nya sebagai pekerjaan kecil, biasa, untuk mengurusi diri. Dengan mengurusi diri kita masing-masig, kita sudah berkontribusi terhadap urusan dunia. Dengan mengurusi diri masing-masing, kita sudah sedikit meringankan beban dunia."( hal 75)

Berpaling pada diri sendiri itulah perluasan makna conversion. Bukan melulu ritual pembaptisan dengan air yang bisa menguap, kini saatnya pembaptisan dengan Api Kesadaran, Api Cinta yang tak lekang oleh waktu, yakni dengan menyadari jiwa di balik ritual, spirit of ritual - Spiritual! Conversion sejati sinonim dengan taubah atau tobat. Dalam bahasa Yunani dikenal pula istilah metanoia artinya sama yakni meniti ke dalam diri.

Ulasan Injil Maria Magdalena ini adalah "kabar baik" bagi semua orang. Total ada 19 bagian, dijabarkan dalam ayat-ayat sederhana serta dibumbui ulasan dan cerita menarik dari Anand Krishna. Buku ini semacam offering, persembahan kecil dari Mahamaya bagi masyarakat Indonesia yang pluralis (baca : Bhinneka). Dengan membaca dan merenungkan isinya kita semakin dekat pada Bunda Ilahi yang laduni, melampaui sekaligus meliputi seluruh Alam Semesta. Sehingga walau berbeda agama dengan tetangga sebelah kamar kos, kita tetap bisa hidup berdampingan dalam Kasih, Kedamaian dan Harmoni. Semoga...