Desember 14, 2007

Telelogi Pro Integritas

Dimuat di Rubrik Suara Mahasiswa, Seputar Indonesia (SINDO), Rabu 17 Oktober 2007.

MENURUT kamus lengkap Webster's Third New International Dictionary, korupsi berarti ajakan (dari seorang pejabat politik) dengan pertimbangan-pertimbangan yang tidak semestinya (misalnya suap) untuk melakukan pelanggaran tugas. Adapun definisi korupsi yang lazim dikutip oleh para ahli hukum ialah tingkah laku yang menyimpang dari tugastugas resmi jabatan negara—karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri)—atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi (Klitgaard, 1998)

Lebih surut ke belakang, para filsuf Yunani kuno telah mengenal istilah corrupted mind (Kian Gie,2003). Artinya, korupsi bukan melulu soal pencurian fulus, melainkan juga terkait dengan kebobrokan struktur mental yang menyebabkan degradasi moral manusia.

Dalam konteks inilah teologi (dari agama apa pun) menemukan signifikasinya, yakni untuk melakukan transformasi mind yang usang menjadi created mind berupa teleologi segar yang prointegritas dan kejujuran di Republik Indonesia yang telah genap 62 tahun ini. Teleologi berarti gerak setiap makhluk menuju tujuannya sehingga dengan tercapainya tujuan tersebut terpenuhi pula hakikat makhluk itu diciptakan. Manusia korup yang secara personal maupun organisasional menggelapkan uang rakyat masih jauh dari aspek teleologi dalam pengertian di atas (Hartoko, 1998).

Secara lebih mendalam, pilihan istilah kita juga perlu dirombak untuk memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya. Kenapa? "If you resist, you persist," jawab sebuah petuah bijak dalam film The Secret. Artinya, semakin kita melawan sesuatu, semakin kita memberi energi kepadanya. Dengan begitu, slogan antikorupsi, antikekerasan, antikemiskinan, misalnya, mesti direvisi menjadi prokejujuran, properdamaian, propemerataan, dll.Tentu perlu pula diterapkan strategi yang tegas untuk mengundang para koruptor kelas kakap datang menginap di hotel prodeo.

Selain itu menurut hemat penulis, istilah ”budaya korupsi” ialah suatu kesalahkaprahan (missconception). Kenapa? Karena ”budaya” berasal dari kata ”budi” dan ”hridaya” (Lihat "Indonesia Jaya" – Anand Krishna, PT One Earth Media, 2005). Budi berarti pikiran yang jernih sedangkan hridaya sinonim dengan hati yang tenang. Manusia berbudaya itu relatif sportif dalam arti rela berkorban untuk menjunjung tinggi integritas (satunya kata dan perbuatan) dan kejujuran (satunya fakta dan kata).

Lantas kenapa korupsi masih merajarela di Indonesia? Senada dengan pertanyaan mengapa Hitler bisa mengobok-obok Jerman? Karena selama ini orang yang relatif "bersih" hanya berdiam diri tinggal di menara gading. Kita cenderung pasif menggantungkan diri kepada lembaga-lembaga formil semacam DPR, MPR, Pemerintah, DPA, MA, BPK, Kejaksaan, Kepolisian, Kehakiman, Ormas, Institusi agama, dst. Padahal sudah menjadi rahasia umum bahwasanya justru beliau-beliau itulah yang membela habis-habisan para koruptor kelas kakap di negeri ini. Bahkan Perayaan Idul Fitri pun dijadikan ajang lobilobi politik walau dengan dalih silaturahmi.

Sampai kapan kita akan terus memakai topeng? Bila serius hendak melawat, datanglah ke Sidoarjo, ke Bengkulu, ke Bantul guna menyambangi saudara-saudara kita yang masih berteduh di bawah tenda pengungsian dan tercerabut dari akar budayanya.

Tidak ada komentar: