Desember 31, 2012

Urgensi Pendidikan Budi Pekerti

Dimuat di Koran Merapi, Rabu/17 Oktober 2012

Kemajemukan merupakan modal utama untuk saling menyempurnakan. Ibarat semburat warna-warni pelangi yang indah. Ironisnya, masih terjadi tindak kekerasan karena perbedaan cara pandang terhadap Tuhan Hyang Maha Esa. Kekerasan politis-ekonomis berkedok suku, ras, agama, antargolongan (SARA) terus menghantui kerukunan hidup umat beragama dan kepercayaan di Indonesia.

Berdasarkan data Wahid Institute, tahun 2011 terjadi 92 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Jumlah tersebut meningkat 18% dari tahun sebelumnya, 62 kasus. Bahkan, pada medio Mei 2012, PBB melansir Indonesia sebagai negara yang kehidupan beragamanya rawan konflik.

Akarnya tentu arogansi manusia yang merasa diri paling benar. Dalam tradisi Kejawen disebut Rumangsa Bisa - Nanging Ora Bisa Rumangsa. Bahkan walau itu terkait misteri Ketuhanan sekalipun, padahal jumlah helai rambut sendiri di kepala masih belum tahu pasti. Menurut hemat penulis, kecenderungan tersebut berkelindan erat dengan sistem pendidikan nasional.

Dalam konteks ini, pendidikan budi pekerti menjadi urgen. Australia menjadi satu dari 10 negara yang memiliki tingkat kriminalitas terendah. Sebaliknya, Indonesia justru rawan menjadi negara gagal dengan tingkat tindak kekerasan duduk di no. 3 dunia. Ternyata, para pendidik di Australia lebih khawatir jika murid mereka tidak jujur, tidak mau mengantri dengan baik, tidak memiliki rasa empati pada orang lain, dan nilai-nilai keutamaan (virtue values) lainnya. Ketimbang anak didik tidak bisa membaca, menulis, dan berhitung (calistung).

Dalam konteks calistung atau menaikkan nilai akademik (grade), hanya perlu waktu 3-6 bulan. Namun untuk mendidik karakter dan budi pekerti seorang anak, butuh waktu lebih dari 15 tahun. Para pelaku tindak kekerasan verbal dan fisik berkedok SARA tidak lahir kemarin sore. Mereka merupakan “buah” dari metode pembelajaran yang satu arah, cenderung dogmatis, dan fanatis di kelas.

Ironisnya, untuk mengubah perilaku orang dewasa yang terlanjur "rusak", tak semudah membalik telapak tangan, butuh tekad dan upaya keras. Menurut riset para psikolog, mengajarkan budi pekerti dan multikultural waktunya sangat terbatas. Dimulai saat balita dan berakhir ketika mereka duduk di bangku kuliah. Sedangkan, untuk mengajarkan calistung bisa diajarkan kapan saja.

Selain itu, membangun keharmonisan peri kehidupan beragama musti dilakukan secara sadar dan terpadu. Caranya lewat gotong-royong melibatkan semua komponen bangsa. Baik pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh agama, keluarga, dan last but least, lembaga pendidikan.

Ki Hadjar Dewantara pun menandaskan, “Alam hidup manusia adalah alam hidup berbulatan. Kita hidup dalam alam-alam khusus yang saling berhubungan dan mempengaruhi. Alam khusus tersebut adalah alam diri, alam bangsa, dan alam kemanusiaan.” (Perjuangan dan Ajaran Hidup Ki Hadjar Dewantara, 2004)

Minat Baca

Jika ditelisik lebih dalam, tingkat fanatisme berbanding terbalik dengan ketekunan membaca buku. Kenapa? Sebab seperti kata pepatah, buku merupakan jendela dunia dan gudang ilmu. Dalam bahasa Inggris pun, menurut Maya Safira Muchtar kepanjangan akronim Book ialah (Broad ocean of knowledge) alias samudera pengetahuan yang begitu luas.

Hasil survei UNESCO sangat mengejutkan. Badan PBB yang mengurusi bidang pendidikan, ilmu pengetahuan dan budaya tersebut menyatakan Indonesia merupakan negara di ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) yang minat baca masyarakatnya paling rendah (Warta Online: 2011). Bahkan tahun 2012 ini kian merosot lagi.

Indeks membaca masyarakat Indonesia hanya berada pada kisaran 0,001. Artinya dari 1000 penduduk, hanya ada 1 orang yang masih memiliki minat baca tinggi. Angka tersebut masih sangat jauh dibanding angka minat baca di Singapura. Indeks membaca negeri bekas jajahan Inggris tersebut mencapai 0,45.

Anjloknya minat baca masyarakat terjadi karena maraknya media elektronik (baca: televisi dan internet). Padahal kedua media tersebut kebanyakan berisi tayangan hiburan (infotainment) dan iklan komersial (advertisement). Sehingga kian menjauhkan masyarakat dari budaya (mem)baca.

Faktor lain yang menyebabkan rendahnya minat baca masyarakat Indonesia ialah keterbatasan ekonomi. Sehingga akses masyarakat terhadap buku semakin langka. Kenapa? karena untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari saja sudah mepet. Apalagi untuk membeli koran, buku, atau bahan bacaan lain.

Dalam konteks ini, komitmen pemerintah untuk menyediakan bacaan berkualitas dan murah menjadi signifikan. Keberadaan koran bersama di pos kamling, perpustakaan umum, dan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) juga perlu terus digencarkan.

Khusus sebagai pendidik, kita juga bisa turut terlibat meningkatkan minat baca di kelas. Tentu bukan sekadar bacaan yang terkait mata pelajaran yang kita ampu, tapi juga buku-buku ilmu pengetahuan lainnya. Salah satu yang paling menarik ialah lewat media buku cerita. Misalnya komik pewayangan karya (alm) R.A. Kosasih ataupun cerita rakyat dari pelbagai wilayah Nusantara.

Sedikit sharing, dalam mengajar bahasa Inggris penulis menggunakan referensi Kumpulan Dongeng Motivasi, Stories of Great Virtue (Arleen A, BIP: 2012). Setiap akhir pelajaran cukup dibacakan 1 dongeng. Ibarat pepatah, sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui, selain belajar kosakata bahasa Inggris, anak didik juga belajar nilai-nilai budi pekerti. Antara lain seperti kejujuran (honesty), kegigihan (persistent), kesetiaan (loyalty), pengampunan (forgiveness), dll. Dengan teknik mendongeng, kesannya tidak menggurui. Sehingga lebih mudah dicerna anak didik. Wewarah tersebut merupakan makanan batin yang bergizi.

Pungkasnya, membaca pun merupakan jurus ampuh untuk terus belajar dalam hidup (long life learning). Bila pada era revolusi kemerdekaan para pejuang mengangkat senjata demi meraih kemerdekaan politis. Saatnya kini segenap putra-putri Ibu Pertiwi menyelami alam pikir demi meraih pencerahan budi. Tapi bukan dengan pedang, pentungan dan bom melainkan menyitir pendapat Dr. DJ Schwartz, "Kita harus terus belajar, terus membaca, banyak membaca, untuk bisa belajar dari orang lain, belajarlah dari pengalaman orang lain, dengan belajar kita bisa melipatgandakan produktivitas dan kreativitas kita."

Desember 29, 2012

Sukses di Usia Muda

Dimuat di Seputar Indonesia, Minggu/30 Desember 2012
http://www.seputar-indonesia.com/news/sukses-di-usia-muda-0


























Judul: Young on Top
Penulis: Billy Boen
Penerbit:  B first Bentang Pustaka
Cetakan:  II/Oktober 2012 
Tebal: xv + 208 halaman
ISBN: 978-602-8864-67-1
Harga: Rp49.500

Oprah Winfrey mengatakan bahwa dunia dapat menjadi lebih baik kalau manusia sudi saling berbagi dengan sesama yang miskin, lemah, dan tertindas. Pun tak sekadar beretorika, ia mempraksiskan mentalitas berkelimpahannya (abundance mentality).

Lewat Yayasan Angel's Network, perempuan terkaya dalam industri hiburan di negeri Paman Sam tersebut mendirikan sekolah gratis di areal seluas 11 hektar untuk siswi tak mampu di Meyerton, Provinsi Guateng, Afrika Selatan.

Ironisnya, kini ada kecenderungan enggan berbagi dengan sesama. Karena asumsi ada sedikit saja di luar sana sehingga tak cukup dibagi dengan orang lain. Walau hanya berbagi ilmu sekalipun begitu dijual mahal. Sebab, ia tak rela ada orang sepintar atau lebih cerdas ketimbang dirinya. Buku bersampul kuning ini menawarkan terobosan baru. Dalilnya sederhana tapi universal. Bagilah seluruh ilmumu dan terimalah manfaatnya (receiving by sharing).

Penulis siap berbagi ilmu dengan siapa saja. Karena menurutnya, di dunia ini banyak perkara publik yang musti diselesaikan tidak secara individual. Misalnya di lokus bisnis, kalau tim kerja memiliki kepintaran yang merata atau bahkan ada yang lebih cerdas, maka pekerjaan niscaya lebih mudah dituntaskan (halaman 197).

Secara ilmiah, CEO (Chief Executive Officer) PT. Jakarta International Management (JIM) ini mendedah dari aspek psikologis. Jika dari skala 0-10, orang yang memiliki tingkat ilmu 8 hanya berbagi ilmu tingkat 7, secara tak sadar ia menoleransi dirinya sendiri untuk bersikap malas. Kenapa? Karena ia tahu temannya itu tak akan sepintar dirinya.

Dalam konteks ini, tanpa disadari ia enggan mencari ilmu baru dan justru berkubang dalam zona nyaman (comfort zone). Sebaliknya, jika ia sudi berbagi keseluruhan ilmu tingkat 8 kepada temannya, ia sadar 100% kalau temannya itu sudah sepintar dirinya. Alhasil, ia akan berusaha mencari terobosan baru. Agar tingkat ilmunya mencapai tingkat 9 atau bahkan 10.

Menurut alumnus Utah State University ini, kiprah Sergey Brin dan Larry Page dapat menjadi sumber inspirasi. Kedua anak muda tersebut bercita-cita membuat hidup semua orang di dunia lebih mudah. Caranya dengan berbagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) di planet ini lewat internet. Penduduk di benua Afrika, Asia, Australia, Amerika, atau Eropa dapat mengakses informasi yang dibutuhkan dengan sekali klik mouse.

Kini impian tersebut telah menjadi kenyataan.  Milyaran orang di seluruh penjuru bumi menggunakan jasa mereka setiap detik. Duo ini berkontribusi positif bagi perubahan global di era digital. Sergey Brin dan Larry Page memersembahkan perusahaan IT berbendera Google Inc (The Google Story, 2006). Keduanya sempat menjadi orang terkaya di Amerika Serikat versi Forbes. Berapa umur mereka ketika itu? (masih) 34 dan 35 tahun.

Sistematikanya, buku Yong on Top memuat 35 kiat sukses para eksekutif muda. Terdiri atas 4 topik bahasan Integrity, Respect, Creativity, dan Humor. Referensinya relatif variatif, menyiratkan bahwa si penulis gemar membaca. Sebagian besar literatur dari luar negeri, antara lain karya Stephen R. Covey, Larry King, Barack Obama, dan J. Donald Trump.

Resep mujarab lainnya ialah dengan menjadi motivator bagi diri sendiri. Ternyata kata “motivator” tidak ada dalam kamus bahasa Inggris! Di negeri manca sana, yang ada hanya istilah motivational speaker.  Yakni, pembicara yang membahas ihwal motivasi. Mereka tak mengklaim diri sebagai sosok yang bisa menjadi “juru selamat” orang lain. Senada dengan tesis Anand Krishna Ph.D, “Setiap orang harus memberdayakan dirinya sendiri (self empowerment)”.

Lewat buku yang telah dicetak ulang kedua ini, Billy Boen juga berbagi testimoni dari eksperimennya. Pada 2010, ia serba berkecukupan sehingga cenderung hidup berpoya-poya. Urusan kesehatan, pola makan, dan olahraga tak dihiraukan. Lantas, seorang sahabat meantangnya, Yonatan mengajak Billy ikut lomba Marathon 21 km di Phuket, Thailand.

Keduanya rajin berlatih di gym untuk memersiapkan diri. Waktu tersisa hanya 4 bulan. Setiap minggu minimal ke gym 2 kali. Pada kali pertama, Billy hanya kuat berlari selama 8 menit alias 1 km saja. Matanya berkunang-kunang dan hampir jatuh pingsan (halaman 167).

Kendati demikian, ia pantang menyerah (never give up). Akhirnya, berkat latihan tekun dan determinasi tinggi, ia kuat berlari keliling Gelora Bung Karno sebanyak 21 kali, dengan jarak tempuh 21 kilometer nonstop. Catatan waktunya pun relatif bagus 2 jam 54 menit. Selain itu, berat badannya turun, jadi lebih atletis. Dalam waktu 4 bulan, ia berhasil membuktikan yang semula secara fisik tampak mustahil ternyata bisa! (I.M.Possible).

Buku setebal 208 halaman ini menyajikan pengetahuan (knowledge) sekaligus pengalaman (experience) untuk mencapai puncak sukses lahir batin secara lebih efektif. Menyitir pendapat Andy F. Noya, “Dengan bahasa yang mudah dimengerti, Billy memaparkan kiat meraih sukses secara sistematis. Sangat berguna bagi para kaum muda, terutama bagi yang sedang meniti karier.” Selamat membaca! (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru bahasa Inggris di PKBM Angon (Sekolah Alam), Ekskul English Club di SMP Kanisius Sleman, TK Mata Air, dan TK Pangudi Luhur Yogyakarta)

Desember 27, 2012

Berbagi Inspirasi lewat Jalur Edukasi

Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Jumat/28 Desember 2012
http://mjeducation.co/berbagi-inspirasi-lewat-jalur-edukasi/

1356667208575052743

Judul: Indonesia Mengajar 2
Subjudul: Kisah para Penyala Harapan Bangsa Mengajar di Pelosok Tanah Air
Penulis: 72 Pengajar Muda Angkatan 2
Penerbit: Bentang Pustaka Yogyakarta
Cetakan: 1/ Juni 2012
Tebal: xviii + 435 halaman
ISBN: 978-602-8811-82-8
Harga: Rp59.000

Bagi seorang pejabat tinggi negara, jarak dari Jakarta ke Maluku Tenggara Barat (MTB) dapat dicapai hanya dalam hitungan jam dengan menumpang pesawat terbang. Sebaliknya, bagi rakyat yang berdomisili di wilayah bagian timur Indonesia jaraknya sepanjang usia. Sebab, belum tentu sekali seumur hidup mereka menginjakkan kaki di ibukota. Gerakan Indonesia Mengajar mendekatkan jarak antara pusat dan pinggiran tersebut. Bukan lewat seminar di hotel berbintang, tapi dengan terjun langsung blusukan setahun penuh di pedalaman.

Diastri Satriantini salah satu contohnya. Ia  pengajar muda dari kota Pahlawan yang mendampingi Alfonsina Melsasail belajar menulis cerita anak. Foni, nama panggilan siswi kelas 5 SD Kristen Lumasebu MTB itu. Ia hendak mengikuti Konferensi Anak Indonesia (2011). Panitia di Jakarta akan memilih 36 anak dari seluruh kepulauan Nusantara. Seleksinya dilakukan dengan cara mengirim karangan ihwal kejujuran.

Semula Diastri meminta seluruh murid dari kelas 5 dan 6 SD di Desa Lumasebu, Kecamatan Kormomolin, MTB menulis cerita pendek. Ia mau menganalisis sejauh mana kemampuan mengarang mereka. Hasilnya, membuat geleng-geleng kepala. Banyak yang belum kenal format S-P-O-K, bahkan ada yang tak bisa berbahasa Indonesia. Selain itu, karena tidak ada buku cerita dalam bentuk hard file (cetak), alumnus Hubungan Internasional (HI) UNAIR terpaksa mencetak sendiri (print) kumpulan cerita anak dari buku digital e-book. Kemudian,  ia membagikan kepada anak didiknya. Agar mereka bisa melihat contoh penulisan cerita yang tepat.

Hari-hari terus berlalu, deadline (tenggat) pengumpulan karangan semakin dekat. Ironisnya, belum ada perkembangan signifikan. Anak-anak tak menggunakan huruf kapital di awal kalimat. Kendati demikian, ada satu karangan yang menggelitik hati sejak kali pertama dibaca. Yakni, tulisan Foni ihwal pengalamannya menginjak tanaman di kebun orang.

Alkisah, pada suatu hari ia dan teman-temannya pergi mencari kayu bakar di hutan. Dalam perjalanan pulang, salah satu dari mereka tak sengaja menginjak tanaman keladi di kebun milik Pak Batlajangin. Mereka akhirnya memutuskan untuk diam saja dan tidak mendatangi pemilik kebun untuk mengaku bersalah. Berikut petikan kalimat penutup dalam karangan Foni, “Aku mau kasih tahu Pak Batlajangin, tapi aku tidak suka melihat temanku dipukuli orang, aku jadi sedih melihat mereka sedih.” (halaman 202).

Nah, karangan itulah yang dikirim ke Redaksi Majalah Bobo. Karena awalnya hanya sepanjang 1 alinea, perlu banyak perbaikan, kemudian Diastri membimbing Foni mengggali aspek-aspek cerita dari pengalamannya tersebut. Alhasil, pada 17 September 2011, sang guru mengirimkan karya tulis anak didiknya via pos. Panjangnya 278 kata, sesuai ketentuan panitia, maksimal 500 kata.

Singkat cerita, hari pengumuman pemenang pun tiba. Salah satu murid Angga, Pengajar Muda di Fak-Fak terpilih mewakili delegasi Papua Barat. Perasaan Diastri biasa saja saat itu. Karena ia tak terlalu berharap muridnya juga bisa lolos. Mengingat karangan Foni sangat polos. Tapi ternyata, Alfonsina Melsasail alias Foni pun terpilih. Ia mewakili delegasi dari Provinsi Maluku. Setengah tak percaya tapi nyata adanya. Pada halaman 204 terpampang foto bersama Diastri, Foni, dan Anies Baswedan di Jakarta. Tampak di latar belakang spanduk bertuliskan, “Ayo kita jujur!”
Dua Semester Penuh Makna

Masih banyak kisah-kisah inspiratif lain termaktub dalam Indonesia Mengajar 2 ini. Isinya secara kolektif ditulis oleh 72 orang. Berupa sharing pengalaman para pengajar muda yang bertugas selama dua semester penuh makna. Generasi muda terbaik bangsa itu meninggalkan kenyamanan kota, kemapanan pekerjaan, dan kehangatan keluarga demi menunaikan janji kemerdekaan (men)cerdaskan kehidupan bangsa.

Tapi banyak orang bertanya pada Anies Baswedan, Pendiri sekaligus Ketua Gerakan Indonesia Mengajar, “Bagaimana mungkin ribuan anak muda mau bersusah-payah  mengabdi di tempat sulit dengan tugas berat?” Memang bagi sebagian kalangan, fenomena bekerja tanpa pamrih ini terkesan aneh. Namun baginya, itu bukan hal baru. “Anak muda Indonesia memang sejatinya seperti ini! Lihatlah sejarah. Republik ini didirikan oleh orang-orang yang pada dasarnya punya kesempatan untuk menikmati hidup bagi dirinya sendiri, tetapi mereka memilih mengabdi dan berbuat untuk bangsanya (hal xv).”

Ir. Soekarno misalnya, ia lulus sebagai insinyur saat 95% bangsa kita masih buta huruf. Mohammad Hatta, seorang doktorandus dari Rotterdam. Hebatnya, mereka berdua memilih bersimbah peluh menjadi aktivis pergerakan kemerdekaan. Padahal keduanya bisa hidup enak, jadi pegawai pemerintahan Belanda atau korporasi lain di dunia kala itu. Menurut Rektor Universitas Paramadina tersebut, sejatinya anak muda dan putra-putri Ibu Pertiwi memang memiliki DNA pejuang.

Sistematikanya, buku “Indonesia Mengajar 2” terdiri atas empat bab: “Cinta dan Pengabdian”, “Cerita Anak-anak Kami”, “Memupuk Optimisme”, dan “Buah Manis dari Usaha.” Ibarat potret apik dan juga menawan, di sini terdengar sorak sorai dan isak tangis haru, terasa kehangatan dan keramahtamahan warga setempat .

Sebelumnya pada masa persiapan, personel pengajar muda diseleksi secara ketat dan dilatih secara khusus oleh Yayasan Gerakan Indonesia Mengajar. Dari ribuan pendaftar hanya puluhan orang saja yang berhasil lolos. Mereka merupakan kader-kader pilihan. Sejak tahun 2010, Gerakan Indonesia Mengajar telah memberangkatkan 241 pengajar muda ke 143 sekolah di 16 kabupaten yang tersebar di 15 provinsi, yakni dari Aceh sampai Papua.
Pelancong Spesial

“Rasa lelah setelah berjalan satu jam hilang oleh segarnya air Sungai Mansat. Sungguh pengalaman tak terlupakan. Tidak ada bus, tempat rekreasi, makanan fast food, atau apa pun yang biasa menghiasi karya wisataku. Namun, inilah karya wisata paling sederhana dan unik yang pernah aku lakukan…“ (halaman 109).

Semula, Retnosari Hardaningsih enggan diajak bermain air di desa. Pengajar muda yang ditempatkan di SDN 09 Nanga Lungu, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat itu berdalih  airnya kotor. Tapi kini di Sungai Mansat tiada alasan lagi. Di sana airnya jernih, melimpah, dan dingin. Akhirnya, semua terjun, berenang, dan menari bersama sampai basah kuyup.

Begitu salah satu penggalan kisah lain dari seorang gadis kota di pedalaman pulau Borneo. Di sana pula, karyawati perusahaan otomotif terkemuka tersebut kali pertama melihat kalajengking secara langsung (live). Sebelumnya, juara beladiri Shonriji Kempo tingkat nasional ini hanya melihat di gambar.

Alumnus Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI) Jakarta itu juga merasakan asyiknya menjadi pelancong spesial. Biasanya seorang pemandu wisata (tour guide) memandu lebih dari satu orang wisatawan, tapi di Kalimantan 20 pemandu wisata memandu 1 orang. Bahkan jika ada buah-buahan segar di atas pohon, mereka bersedia memanjat dan mengambilkan. Murid-murid kelas 5 dan 6 SD itu sungguh sayang pada gurunya.

Akhir Juni 2012 silam, 72 pengajar muda kembali dari lokasi penempatan. Buku ini merangkum kisah pergulatan mereka di daerah pedalaman. Cara mereka menulis pun mengundang decak kagum. Bagaimana tidak? Tidak ada listrik bukan halangan. Mereka mengandalkan temaram cahaya pelita sebagai penerangan seadanya.

Karena semula merupakan kumpulan testimoni di blog Indonesia Mengajar, gaya bahasanya cenderung informal. Dalam konteks ini, peran editor sangat signifikan untuk “membakukannya” sesuai EYD. Pada beberapa bagian juga memuat foto-foto cantik, melukiskan keindahan alam dan aktivitas pembelajaran.

Sekadar rekomendasi, alangkah lebih baik jika gerakan semacam ini dilakukan oleh Universitas yang ada di Indonesia. Caranya dengan mengirim para mahasiswa tingkat akhirnya berbagi ilmu di daerah pedalaman. Konsepnya, semacam KKN (Kuliah Kerja Nyata) tapi relatif lebih lama. Sebab menyitir anjuran Anies Baswedan, bukankah pendidikan anak bangsa memang tanggungjawab setiap akademisi?

Akhir kata, buku setebal 435 halaman ini membagikan inspirasi lewat jalur edukasi. Menyitir pendapat fotografer Edward Suhadi yang mengabadikan kontribusi anak bangsa tersebut, “Indonesia Mengajar ibarat senandung “lagu baru”. Pasca sekian lama kita melulu mendengarkan “lagu lama” tentang korupsi, kekerasan, dan ketidakpedulian yang menjemukan, kaum muda menyuarakan semangat perubahan demi masa depan Republik (res publica) yang lebih baik.” Selamat membaca dan salam pendidikan!

Desember 25, 2012

Roti Tawar Thomas

Dimuat di Majalah Utusan, Edisi Oktober 2012

“Teng…teng…teng!” Lonceng sekolah berdentang nyaring 3 kali. Tanda pelajaran hari ini telah usai. Aku bergegas memasukkan buku, pena, dan penghapus ke dalam tas. Sebelum pulang kami berdoa bersama. Arnold yang piket hari ini memimpin di depan kelas. Kami mengucapkan terimakasih kepada Tuhan Yesus karena pelajaran berjalan dengan lancar. Pun kami berdoa agar selamat dalam perjalanan pulang ke rumah masing-masing.

Kemudian, kami berbaris rapi menuju ke arah pintu. Bu Maria, guru bahasa kami telah menanti di sana. Satu per satu kami menyalami. “Hati-hati di jalan ya Nak,” ujar beliau lembut. “Terimakasih Bu, sampai jumpa besok,” jawabku sambil mencium punggung tangan Bu Maria.

Hari ini aku tidak dijemput. Memang mulai sejak tahun ajaran baru ini aku memang mau belajar mandiri. Aku menaiki sepedaku sendiri. Toh jarak dari rumah ke sekolah tak lebih dari 5 km. Jalannya juga halus dan relatif sepi dari kendaraan bermotor.

Segera aku menuju ke tempat parkir. Di sana berjajar sepeda-sepeda milik para murid. Ada yang warna hijau, merah, biru, dan hitam. Sepedaku bercat kuning keemasan. Hadiah paman saat ulang tahunku yang ke-11 pada bulan lalu. “Krucuk krucuk…krucuk krucuk…” suara apa itu? Tampaknya berasal dari perutku. Ya memang sejak jam pelajaran terakhir tadi, aku sudah merasa lapar sekali. Sempat pula aku mengantuk.

Di tengah pelajaran aku meminta ijin kepada Bu Maria untuk ke kamar mandi. Karena tak kuat menahan kelopak mata terasa berat sekali. Lantas aku membasuh wajahku dengan air kran. “Ah…segar sekali!” Rasa kantuk memang hilang. Tapi rasa lapar masih melilit. Sebenarnya aku mau jajan di kantin sekolah, selepas lonceng pulang tadi. Tapi aku ingat bahwa aku mau menabung. Jadi aku harus berhemat.

Uang jajan Rp2.000 tak kuhabiskan semua. Aku menyisakan Rp1.000 untuk kumasukkan ke dalam celengan bentuk Katak yang kubeli di pasar malam Sekaten di alun-alun bersama ayah tempo hari. Di pojok parkiran aku melihat Thomas sedang menekan-nekan roda ban sepedanya. Ia teman sekelasku. Rumahnya satu kompleks dengan rumahku.

“Ada apa Thom, kok belum pulang?“ tanyaku sembari menuntun sepedaku mendekatinya. “Ini lho, ban belakang sepedaku bocor. Mungkin tertusuk paku saat berangkat pagi tadi,” jawab Thoma lirih. Aku baru hendak menaiki sepedaku meninggalkannya, tapi tiba-tiba terlintas pikiran di benakku. “Kasihan juga kalau Thomas harus menuntun sepedanya sendiri ke tukang tambal ban, lebih baik aku menemaninya.”

Entah dari mana, ada suara lain menimpali di benakku, ‘Ah…buat apa menemani Thomas, lebih baik langsung pulang saja, katanya kau sudah lapar.” Akhirnya aku memutuskan untuk menemaninya, aku memang lapar sekali, tapi toh masih kuat kutahan. “Ayo Thom aku temani ke Pak Agustinus!”

Pak Agustinus atau biasa disapa Pak Agus ialah tukang tambal ban. Letak bengkelnya tak jauh dari sekolah, hanya sekitar 1 km. “Tak usah, kamu pulang saja, tak enak aku merepotkanmu,” ujar Thomas. “No problem, ayo kita come on, “ jawabku dengan bahasa Inggris campuran. Siang itu cuaca cukup bersahabat. Tak terlalu terik matahari bersinar. Aku dan Thomas beriringan menuntun sepeda menuju bengkel Pak Agus. Selama dalam perjalanan kami bermain tebak-tebakan.

“Negara apa yang ibukotanya paling banyak?” tanya Thomas padaku. “Apa ya? Tak tahu Thom,” “Jawabannya adalah Peru,” sahutnya penuh semangat. “Lho kok bisa?” tanyaku heran. “Ibukota Peru kan Lima hahahaha.” Kami tertawa terbahak-bahak bersama.

Tak terasa sampailah kami di bengkel Pak Agus. Kebetulan tak ada konsumen yang kebanan (ban bocor). Langsung saja beliau mengecek ban sepeda Thomas. Ternyata memang ditemukan paku kecil di roda belakang. Lantas, beliau mengambil lem khusus untuk menambal lubang tersebut.

“Krucuk krucuk…krucuk krucuk…” “Suara apa itu?” tanya Thomas sembari menoleh ke kanan dan ke kiri. “Hehe…suara perutku yang keroncongan,” jawabku dengan wajah tersipu malu. “Oh…kamu belum makan ya? Kebetulan bekalku masih ada. Tadi pagi Ibu membawakan 2 roti tawar isi meses (coklat). Saat istirahat aku tak sempat memakannya,” ujar Thomas.

Kemudian Thomas membuka tas sekolah warna merahnya. Ia mengeluarkan bungkusan roti tawar tersebut. “Ini satu untukmu Lex dan 1 untukku. Ayo kita makan bersama.” “Terimakasih Thom,” jawabku sembari menerima rejeki tak terduga ini. Sungguh terasa legit dan nikmat di lidah.

Walau sebelumnya aku harus menahan rasa lapar. Aku tak berharap mendapat roti tawar. Tapi siapa menyangka Thomas masih menyimpan bekalnya. Kebetulan juga jumlahnya ada 2 potong.

“Sudah selesai Dik!” ujar Pak Agus. “Terimakasih Pak…” sahut Thomas sembari mengeluarkan uang dari dalam kantong celananya.

Dalam hati aku bersyukur bisa menolong seorang sahabat. Setidaknya dengan menemani Thomas, ia tak merasa kesepian. Kami berdua beriringan mengayuh sepeda masing-masing sembari bersiul-siul. Hati senang, perut kenyang. Terimakasih Tuhan Yesus. (T. Nugroho Angkasa S.Pd)

1356495506785499574

Desember 21, 2012

Kiat Jitu Mengetuk Pintu Langit

Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Jumat/21 Desember 2012
http://mjeducation.co/kiat-jitu-mengetuk-pintu-langit/ 

Judul: Tweet Sadiz Bikin Mringis, Kumpulan Tweet Inspiratif, Bikin Kamu Tambah Kreatif Penulis: Saptuari Sugiharto
Penerbit: Mizania
Cetakan: 1/Juni 2012
Tebal: 143 halaman
ISBN: 978-602-9255-21-8
Harga: Rp49.000

Saptuari Sugiarto, pengusaha muda pemilik Kedai Digital Yogyakarta beromset Rp900 juta-Rp1,2 milyar/bulan. Lewat buku ini, ia mengisahkan pengalaman nyaris tewas di teluk Gili Trawangan, Lombok pada Juli 2011 silam. Saptuari menyelam ditemani Freddy, warga berkebangsaan Prancis yang menjadi pemandu wisata di sana. Tepat di bawah mereka menganga palung sedalam 20 meter. Pemandangan bawah laut memang indah, para penyelam bisa melihat penyu raksasa beranjak keluar dari sarangnya.

Tapi syahdan, Saptuari merasakan sakit di kedua telinganya. Gendang indera pendengarannya itu seperti ditusuk-tusuk jarum. Bahkan air asin mulai masuk lewat lubang hidung. Ia kalut bukan alang kepalang karena notabene berada puluhan meter di bawah laut. Dada terasa seperti terbakar. Nafasnya pun tersengal. Kemudian, ia menekan tombol darurat. Seketika seperti sebuah balon udara, ia melayang ke permukaan. Setiba di atas, ia muntah air. Badannya lemas dan terpaksa diangkat naik ke kapal.

Dari pengalaman berdekatan dengan maut tersebut, ia menyadari betapa berharga eksistensi oksigen (O2) segar. Sembari mengeringkan badan dan berselimut handuk tebal, Saptuari mulai berhitung. Kalau satu tabung seharga Rp300.000 membuatnya bertahan selama satu jam di bawah air sana, maka dalam sehari (24 jam) rata-rata manusia harus membayar Rp7.200.000 kepada Tuhan. Dalam setahun, totalnya menjadi Rp2,6 milyar/orang.

Lantas, alumnus Fakultas Geografi UGM Yogyakarta itu membatin lagi. “Jika Tuhan menagih biaya sewa 2 mata, 1 mulut, 2 telinga, 2 kaki, 2 tangan, dan bahkan semua organ tubuhku. Aku tidak mampu lagi menghitung hutangku pada-Nya…” (halaman 93).

Buku “Tweet Sadiz Bikin Mringis” terdiri atas 17 bab. Suami dari Sitaresmi Dewi Hapsari tersebut mengklasifikasikannya ke dalam kultwit-kultwit (kuliah twitter). Antara lain “Kompor Untuk Jadi Pengusaha (#50 Hal Unik Dunia Entrepreneur),” “Mau Jadi Pengusaha, Minta Restu Orang tua (#Izin Maksa Jadi Pengusaha),” “Putusin Urat Malu, Jangan Banyak Alasan (#Putusin Urat Malu),” “#Kreatif…Kere Tapi Aktif!,” dll. Tentu isinya antologi tweet-tweet @Saptuari. Prie GS dan Goenawan Mohammad merupakan salah 2 contoh penulis lain yang pernah mengkompilasi kicauan mereka di twitter dalam bentuk buku juga.

Bagian awal menyajikan aneka komentar follower (pengikut) Saptuari di jagat twitter. Misalnya @Jagalabinowo, ia berpendapat bahwa twit-twit Mas Saptuari ibarat jamu brotowali. Pahit tapi berkhasiat menambah nafsu sedekah. @Muhamad_safari bahkan mengunggah pantun, “Buah nangka dalamnya kuning, gak nyangka tweet-nya Saptuari sangat inspiring.” (Halaman viii).

Menurut pemenang APEA (Asia Pasific Entrepreneur Award) 2009 ini, manusia perlu belajar dari bola bekel. Tatkala terhempas keras ke bawah justru melenting ke atas lebih tinggi. Buku ini mengisahkan pengalaman pribadinya. Pada masa awal memulai bisnis merchandise (buah tangan berupa kaos dan mug/cangkir) 28 Maret 2005 silam, pria kelahiran 8 September 1979 tersebut menyewa kios berukuran  2 x 7 meter. Modalnya hanya Rp.20 juta. Itu pun hasil menggadaikan surat tanah Letter C peninggalan almarhum ayahanda tercinta.

Salah satu kunci suksesnya ialah dengan rajin sharing berkah. Secara puitis, direktur pabrikan kaos JogIst (Jogja Istimewa) menyebutnya sebagai jurus ampuh untuk mengetuk pintu langit.” Ia kemudian menggagas situs www.sedekahrombongan.com untuk menfasilitasi orang-orang yang hendak berbagi rejeki dengan sesama yang kekurangan, misalnya dengan menyumbang di panti asuhan, Sekolah Luar Biasa (SLB), rumah jompo, dan mereka yang membutuhkan uluran tangan segera.

Dalam konteks ini, penulis melihat bahwa ketulusan niat sangat signifikan. Setiap tradisi agama dan kepercayaan pun menganjurkan untuk berderma. “Beli beras 10 kg, lalu antar sendiri ke rumah orang yang kekurangan pangan. Rasakan soul (ruh)-nya, temukan Tuhan di sana (halaman 50).” Tak ada dalam sejarah bisnis, pengusaha yang banyak sedekah jadi bangkrut. Bill Gates pun dikenal sebagai seorang dermawan.

Saptuari mengaku berguru (ngangsu kawruh) pada mendiang Mbah Nur. Dalam kondisi keuangan yang serba kecingkrangan (berkekurangan), beliau rela mengasuh bayi-bayi yang dibuang oleh orang tuanya. Setiap hari beliau merawat anak-anak terlantar itu seperti anak beliau sendiri. Acapkali Mbah Nur terpaksa mendatangi warung dan berhutang sekadar untuk membeli susu bayi. Beliau meninggal setahun sebelum gempa 27 Mei 2006 melanda Yogyakarta. Kini Mbak Asih yang meneruskan panti asuhan berpagar kayu di sisi Ringroad (Jalan Lingkar) Selatan Kota Gudeg tersebut.

Buku setebal 143 halaman ini ibarat oase di padang gersang egosentrisme. Ternyata untuk berbagi tak perlu menunggu kocek terisi penuh. Memberi secara tulus dari kekurangan ialah rahasia hidup berkelimpahan. Sebab, manusia otomatis menjadi rekan kerja Allah ((imago Dei). untuk melayani sesama. Menyitir tweet @Saptuari, “Jika sedang galau mampirlah ke tanah lapang. Lihat langit luas di atas sana. Masih ragu bahwa Tuhan  Mahakaya?” Selamat membaca!


(T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru bahasa Inggris di PKBM Angon (Sekolah Alam) http://www.angon.org/, Ekskul English Club di SMP Kanisius Sleman, TK Mata Air, dan TK Pangudi Luhur Yogyakarta).

Desember 18, 2012

Berani Jujur itu Hebat


Dimuat di Jogjakarta-Jateng Pos, Rabu/19 Desember 2012

Achmad Yamanie menjadi hakim agung pertama di Republik Indonesia (RI) yang diberhentikan secara tidak hormat. Majelis MKH (Mahkamah Kehormatan Hakim) bentukan Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah Agung (MA) memecat pria berusia 68 tahun tersebut karena terbukti melanggar kesepakatan bersama MA-KY terkait pedoman perilaku hakim.

Kasus pemecatan ini bermula ketika PN Surabaya memvonis pemilik pabrik ekstasi Hengky Gunawan dengan 17 tahun penjara. Lantas, Pengadilan Tinggi (PT) Surabaya menambah hukuman 18 tahun penjara. Bahkan kasasi MA memvonis dengan hukuman mati. Tapi kemudian majelis hakim agung Imron Anwari, Nyak Pha, dan Achmad Yamanie kompak membatalkan vonis mati lewat putusan PK (Peninjauan Kembali). Mereka hanya menghukum Hengky dengan 15 tahun penjara. Parahnya lagi, Yamanie kembali “mendiskon” putusan untuk gembong narkoba tersebut menjadi 12 tahun.

Dalam sidang Majelis Kehormatan Hakim yang dipimpin Hakim Paulus Effendi Lotulung (Selasa, 11/12/2012) di Ruang Wiryono, Gedung MA, Jakarta. Yamanie membantah membubuhkan tulisan tangannya. Ia menyatakan tidak tahu siapa yang menuliskan. Tapi dalam berita acara pemeriksaan (BAP) internal MA, Yamanie terlanjur mengakui itu sebagai tulisan tangannya.

Kecerobohan semacam itu nampaknya lazim dilakukan Achmad Yamanie. Misal ketika mengabulkan kasasi Jaksa Penuntut Umum (JPU) Martha Berliana Tobing terkait kasus Anand Krishna, Yamanie bersama Zaharuddin Utama dan Sofyan Sitompul juga alpa memeriksa putusan perkara bernomor 691 K/PID/2012 pada 24 Juli 2012 silam.

Andi Saputra dari Detikcom menemukan kejanggalan dalam putusan kasasi MA terhadap Krishna Kumar Tolaram Gangtani. Dalam putusan tersebut, JPU mencantumkan kasus pidana merek sebagai salah satu alasan kasasi. Seperti termaktub dalam salinan putusan Anand Krishna yang diunduh Detikcom dari situs resmi MA (Rabu, 14/11/2012), pada halaman 38 muncul pertimbangan JPU mengajukan kasasi sbb: "Bahwa sebagai bukti bagi Judex Juris tentang tidak pedulinya Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat terhadap fakta hukum yang tertuang dalam tuntutan pidana kami dapat dilihat dari putusan yang dibuat oleh Judex Facti Nomor 20/Pid/2006/PT.Bdg tanggal 21 April 2006 yang tidak secuil pun menyinggung tuntutan pidana kami sehingga dengan demikian sungguh cukup beralasan demi tegaknya keadilan dan kepastian hukum untuk menganulir putusan Nomor 20/Pid/2006/PT/Bdg tanggal 21 April 2006 yang dibuat oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat."

Ternyata nomor perkara 20/Pid/2006/PT.Bdg tanggal 21 April 2006 adalah sengketa pidana merek. Dalam berkas perkara MA tersebut, duduk sebagai terdakwa Erik Mulya Wijaya. Erik didakwa atas perbuatan yang melanggar pasal 24 ayat 1 UU No 5/1984 tentang Perindustrian. Di tingkat kasasi, Erik dihukum 2 tahun penjara karena menggunakan merek yang sama dengan merek yang terdaftar milik pihak lain. Anehnya, alasan kasasi JPU dalam perkara Anand Krishna ternyata muncul dalam salinan putusan Anand Krishna. Dalam salinan putusan Anand Krishna tersebut tertulis Panitera Pengganti adalah Dulhusin dan Panitera Muda Pidana MA Machmud Rachmi.

Pertanyaannya, mengapa bisa muncul pertimbangan pidana merek versi JPU di putusan Anand Krishna? Mahfud MD berpendapat, “Itu kecerobohan yang sering sekali terjadi. Ada juga vonis seseorang dalam pidana umum yang pertimbangannya menggunakan kasus korupsi.”  Senada dengan tesis Dr. Saldi Isra. Dosen hukum Tata Negara Universitas Andalas Padang itu pun menandaskan, “Putusan yang aneh, menjungkirbalikkan logika hukum, dan tidak konsisten. Yang jelas, ini bukan hasil karya sebuah mahkamah yang agung, tetapi hasil kreasi sebuah Mahkamah Ajaib (Kekuasaan dan Perilaku Korupsi, 2009).

 Selain Achmad Yamanie, sebelum didaulat menjadi hakim agung, Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam pernyataan Pers No: /PR/ICW/V/2005 sudah mewanti-wanti tegas menolak Zaharuddin Utama yang kala itu (2005) masih menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Jakarta. Ironisnya, gugatan tersebut tak dihiraukan MA sehingga dalam masa jabatan Zaharuddin Utama justru menerbitkan sederet putusan janggal dan kontroversial yang mencederai rasa keadilan masyarakat. Setali tiga uang dengan perbuatan Yamanie.

Paska Achmad Yamanie dipecat oleh MKH, kini santer terdengar tuntutan masyarakat untuk memberhentikan rekan sejawatnya, Zaharuddin Utama. Kenapa? Karena Zaharuddin Utama (ZU) bersama rekannya, hakim agung Mansyur Kertayasa (MK) telah dilaporkan ke Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK). Dua hakim agung tersebut diduga menerima suap terkait diloloskannya peninjauan kembali (PK) atas politikus asal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Misbakhun. Hakim ZU dan MK masing-masing disinyalir menerima suap Rp 1,74 miliar dan Rp 2 miliar dalam bentuk dolar Amerika.

Rekam Jejak

Pada hemat penulis, salah satu parameter kredibilitas hakim agung ialah track record alias rekam jejaknya. ZU langganan membuat putusan janggal dan kontroversial. Antara lain dalam kasus Prita Mulyasari. Hakim agung Zaharuddin Utama dkk menyatakan Prita bersalah dan menghukum 6 bulan penjara dengan percobaan satu tahun penjara. Satu majelis hakim lainnya, hakim agung Salman Luthan membebaskan Prita. Saat itu, Imam Harjadi sebagai ketua majelis dan Zaharuddin Utama hakim anggota. Suara Salman yang menghukum Prita bebas kalah dalam voting. Prita menjadi terpidana kasus pencemaran nama baik RS Omni Internasional, Tangerang.

Kemudian dalam kasus pembunuhan Alda Risma. Pada 2 Februari 2011 Hakim Agung Zaharuddin Utama dkk mengabulkan permohonan PK pembunuh artis Alda Risma, Ferry Surya Perkasa. Alhasil, Ferry yang sebelumnya diganjar 15 tahun penjara, mendapat diskon sehingga Ferry hanya diganjar 8 tahun.

Alhasil, Ferry Surya Perkasa dibebaskan dari Lapas Cipinang pada 13 Mei 2011. Ferry menjalani pembebasan bersyarat setelah Imam Harjadi dan Zaharuddin Utama mengabulkan PK Ferry. Alda ditemukan tewas pada Rabu (13/12/2006) silam di kamar 432 Hotel Grand Menteng, Jakarta Pusat. Pelantun lagu ‘Aku Tak Biasa’ itu tewas over dosis akibat penggunaan obat-obatan terlarang. Di sekujur tubuh penyanyi asal Bogor, Jawa Barat, tersebut ditemukan 25 titik bekas suntikan. Ferry dinyatakan terbukti bersalah melakukan pembunuhan terhadap kekasihnya tersebut. Ia divonis majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur 15 tahun penjara pada 9 Agustus 2007.

Kemudian masih lekat di ingatan kolektif kita tentang kasus Nenek Rasminah. Hakim agung Zaharuddin Utama dkk menghukum terdakwa Rasminah dalam kasus pencurian 6 piring dengan hukuman 130 hari penjara. Satu hakim agung yang juga ketua majelis, Artidjo Alkotsar, menghukum bebas karena menilai Rasminah tidak mencuri. Namun suara Artidjo kalah voting.

Momentum pemecatan Yamanie dapat menjadi inisiasi bersih-bersih MA dari hakim (agung) korup. Sebab, ICW pun menyatakan Mahkamah Agung tercatat memberi vonis bebas terbanyak bagi koruptor.  ICW mencatat selama 2008 sebanyak 277 terdakwa kasus korupsi atau 62,4 persen dari total 444 terdakwa, divonis bebas. Bahkan selama rentang 2005 sampai 2008, dari 1.442 terdakwa kasus korupsi yang terpantau, sebanyak 659 terdakwa kasus korupsi di antaranya divonis bebas. Koruptor seolah mendapat angin segar.

Kendati demikian, aksi bersama pemberantasan korupsi bukan utopia. Asalkan MA mau berbenah diri. Pecat dan adili oknum-oknum di tubuh Mahkamah Agung yang terbukti menerima suap dan melanggar kode etik.

Akhir kata,  sepakat dengan pendapat Ketua KPK Abraham Samad dalam peringatan hari Anti Korupsi Internasional (9 Desember 2012), “Berani jujur itu hebat!”  Kalimat ini sangat signifikan ketika dihubungkan dengan pemberantasan korupsi. Seluruh elemen masyarakat perlu menanamkan kejujuran dalam dirinya dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan para penegak hukum. Bukankah seorang hakim agung seyogianya berbudi luhur dan memberi suri tauladan bagi masyarakat? Salam keadilan!



Kaya Bermanfaat Miskin Bermartabat

Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia MJEDUCATION.CO Flyer edisi November 2012

13558487931296558490

Judul: Ganti Hati, Tantangan Menjadi Menteri
Penulis: Dahlan Iskan
Kata Pengantar: Robert Lai
Penerbit: Elex Media Komputindo
Cetakan: vi/April 2012
Tebal: xxxi+343 halaman
Harga: Rp54.800
ISBN: 978-602-001796-9

Pertanyaan reflektif unik diajukan oleh Dahlan Iskan. Pascaoperasi ganti hati, apakah akan ada yang berubah? Karena sebelum menjalani transplantasi liver banyak orang bercerita kepadanya bahwa penerima organ baru mengalami perubahan seturut sifat si pendonor. Liong Pangkiey, pemilik sepatu di Surabaya yang asli Gorontalo pernah mengirim SMS. Ia menceritakan temannya yang ganti ginjal. Setahun kemudian, badannya jadi berbulu. Kenapa? karena pendonornya dari India (halaman 27).

Bagi Menteri BUMN ini ketakutan menghadapi prosesi “turun mesin” di RS Di Yi Zhong Xin Yi Yuan, kota Tianjin, Cina tak sebesar fobia pascaoperasi. Ia khawatir kalau tak bisa menulis dengan baik lagi. Oleh sebab itu, baru seminggu usai operasi ia sudah minta laptop. Ia segera menarikan jemarinya di atas keyboard. Buku Ganti Hati, Tantangan Menjadi Menteri  inilah hasilnya.

Materi buku ini semula artikel berseri Yi Shi Gan (nama Dahlan Iskan di Tiongkok). Tulisan bersambung Pengalaman Pribadi Menjalani Transplantasi Liver dimuat di harian Jawa Pos dan jaringan media di bawah naungan JPNN (Jawa Pos News Network), durasinya sebulan lebih sedikit, yakni 33 hari.

Tak semua pembaca mengapresiasi testimoni tersebut. Ada yang mencibir begini, “Penyakit kok diberitahukan ke orang-orang. Secara terbuka di koran lagi.” Pada bab 27, Dahlan Iskan memberi klarifikasi yang masuk akal. Ternyata ketika masih menjadi pemimpin redaktur, ia sering menugasi wartawan agar mewawancarai tokoh-tokoh yang berhasil mengatasi penyakitnya. Oleh karena itu, ia mau fair ketika ia sendiri mengalami hal itu, ia harus menuliskannya juga.

Apresiasi mendalam datang dari keluarga almarhum Cak Nur. Ketika Nurcholish Madjid meninggal akibat gagalnya operasi cangkok hati di Cina, ada kalangan tertentu menyatakan bahwa pelopor pembaharuan pemikiran Islam itu dimurkai Tuhan. Kenapa? Karena wajahnya menghitam. Lewat buku ini, Dahlan Iskan menjelaskan bahwa wajar orang yang sakit lever menghitam wajahnya. Keluarga Cak Nur mengucapkan rasa terima kasih, “Kecaman tentang Cak Nur memang benar terjadi. Di mana-mana disampaikan pada awal Cak Nur meninggal. Tapi kami, keluarga Cak Nur tidak bisa berbuat apa-apa. Kami lega Bapak menulis hal tersebut. Terimakasih, Pak!” (Halaman 326).

Keunggulan buku yang telah diterjemahkan ke bahasa Inggris dan Mandarin ini terletak pada detail deskripsinya. Sehingga pembaca seolah diajak melihat langsung ruangan operasi, mendengar suara mesin-mesin “penyambung nyawa” yang ada di ICU, serta merasakan kegalauan istri tercinta tatkala menunggu di sepanjang lorong rumah sakit. Menurut penulis, deskripsi yang kuat menghidupkan imajinasi pembaca. Bahkan imajinasi pembaca lebih kuat ketimbang sebuah foto. Inilah salah satu kunci agar jurnalistik dapat bertahan di tengah menjamurnya media audio visual.

Tak sekadar mengulas pernak-pernik operasi hati, buku ini juga memuat kilas balik (flash back) kehidupan mantan Dirut PLN tersebut. Kehidupan masa kecilnya berbanding terbalik dengan situasi terkini. Ibarat langit dan bumi. Dulu Dahlan kecil biasa tidur di atas selembar tikar. Lantai rumahnya di Magetan pun beralas tanah. Sekarang, ia menjadi orang nomor 1 di BUMN dan punya helikopter pribadi.

Pada pagi hari ketika tikar dilipat, sering ada gambar pulau di lantai tanah rumahnya dulu. Ya, Dahlan kecil masih suka mengompol. Karena berlantai tanah, bau kencing tersebut akan hilang dengan sendirinya kalau sudah kering. Menurutnya, itulah keunggulan tak tertandingi dari lantai tanah. Yakni, bisa menyerap ompol sebanyak-banyaknya. Ibarat popok abadi, jadi tidak perlu membuang limbahnya. Dalam konteks ini, lantai tanah sangat ramah lingkungan (halaman 213).

Buku ini juga interaktif dan berwarna. Karena memuat komentar para pembaca di bagian akhir. Selain itu, dilengkapi pula dengan foto-foto jepretan Azrul Ananda, putra Dahlan. Bagian epilognya diberi judul Hati Baru Menjawab. Berikut ini petikan dialog yang kocak. “Di episode ke-32, ada kata-kata wira-wiri dan riwa-riwi. Sebenarnya artinya sama nggak sih? Atau salah tulis saja. Atau pengaruh transplantasi liver?” Dahlan pun lugas menjawab, “Priyantun Ngayogya akan bilang wira-wiri. Arek Suroboyo bilang riwa-riwi. Hati baru biasa bilang rawa-riwi.” (Halaman 306).

Buku setebal 343 halaman yang telah mengalami cetak ulang ke-6 ini niscaya menggugah nurani pembaca. Ternyata segala bentuk kemiskinan dan penderitaan (baca: sakit) bisa teratasi kalau ada kemauan kuat (will power) dan selera humor yang baik (good sense of humor). Dahlan Iskan memberi teladan tak hanya lewat kata tapi pengalaman nyata dan canda tawanya. Prinsip hidup tokoh yang digadang-gadang menjadi kandidat RI 1 pada 2014 ini sederhana tapi universal, “Kaya bermanfaat, miskin bermartabat.” Selamat membaca!

Desember 17, 2012

Menangkap Hikmah di Balik Musibah

13557300451520441526

Dimuat di Wasathon.com, Senin/17 Desember 2012

Judul: Setengah Pecah Setengah Utuh
Penulis: Parlindungan Marpaung
Penerbit: Esensi Erlangga Group
Cetakan: 1/Juni 2012
Tebal: xxii + 330 halaman
ISBN: 9786027596030
Harga: Rp69.000

Para pecinta sepakbola tentu familiar dengan Martunis.  Tatkala tsunami Desember 2004 melanda Aceh dan sekitarnya, ia menjadi sorotan media dari pelbagai penjuru dunia. Siswa kelas dua SMPN 8 Banda Aceh sedang bermain bola di lapangan dengan mengenakan kostum Portugal bernomor punggung 10. Syahdan, ombak pasang menyapu bersih semua orang dan bangunan di sana. Ibu, kakak laki-laki, dan adik perempuannya turut terhempas ganas gelombang.

Martunis menggantungkan hidup pada sebilah papan. Sedangkan, ibu, saudara dan saudarinya tak ditemukan hingga kini. Selama 19 hari ia terombang-ambing di tengah samudera. Martunis menengadahkan mulut untuk meminum air hujan. Selain itu, ia memakan remah-remah mi instan yang terapung. Berkat kegigihan dan berkah-Nya, anak kelahiran 10 Oktober 1992 tersebut selamat. Ia mampu bertahan melawan terik sengatan mentari, dingin angin malam, dan badai yang acapkali menghampiri. Akhirnya, Martunis terdampar di kawasan rawa-rawa dekat makam Teungku Syiah Kuala (halaman 102).

Ketika tim penyelamat menemukan bocah tersebut, ia masih mengenakan kostum tim Selecao bertuliskan nama Rui Costa. Kemudian, Federasi Sepak Bola Portugal mengundang Martunis ke negaranya pada Juni 2005. Sang ayah, Sarbini menemani putra tercinta. Mereka sempat menonton pertandingan sepakbola secara langsung. Pada saat jeda, Martunis diundang ke tengah lapangan dan disambut gemuruh tepuk tangan ribuan suporter.

Christiano Ronaldo, para pemain timnas Portugal, dan tim pelatih menyalaminya. Martunis mendapat kostum kesebelasan Selecao yang baru dan asli pula. Hampir seluruh media massa menjadikannya berita di halaman pertama. Martunis pun kebanjiran hadiah dan cinderamata untuk dibawa pulang ke tanah air. Lewat kisah nyata tersebut, Parlindungan Marpaung menandaskan bahwa di balik setiap musibah pasti ada hikmah.

Setengah Pecah Setengah Utuh merupakan buku ketiga penulis. Ia seorang trainer bersertifikat dari John C. Maxwell. Menurutnya, judul tersebut terinspirasi oleh penggunaan telur dalam pembuatan kue. “Ia” terlebih dahulu dipecah dan dikocok bersama tepung sampai jadi adonan. Sistematikanya terdiri atas 58 subbab. Antara lain bertajuk, “10 menit Menuju Alam Baka,” “Derap Langkah Ulat Bulu,” “Menjual Sisir Kepada Biksu,” dan “Mobil Sport dalam Kitab Suci.”

Ada juga kisah romantis Kaisar Hirohito. Beliau kaisar ke-124 dalam sejarah kekaisaran Jepang. Pria kelahiran 29 April 1901 tersebut memegang tampuk kepemimpinan sejak 1921. Kemudian, pada 1924, sang Kaisar menikahi seorang dara manis bernama Nagako. Buah hati mereka 4 orang, semuanya perempuan. Padahal perlu ada penerus kekaisaran, sehingga kehadiran anak laki-laki sangat diharapkan.

Serangkaian upaya ditempuh agar sang Kaisar mau mengambil selir. Bahkan keluarga besar istana menyodorkan foto-foto wanita cantik untuk dipilih Kaisar. Sederetan acara pun digelar dengan menghadirkan langsung calon pengganti Permaisuri Nagako. Hebatnya,  kaisar Hirohito menolak semua tawaran tersebut. Ia tak sudi menikah lagi hanya untuk mendapatkan seorang anak lelaki.

Ternyata kesetiaan sang Kaisar berujung indah. Pasca 10 tahun menikah, lahirlah seorang putra, namanya Akihito. Beliau menjadi kaisar Jepang hingga kini. Pada bagian refleksi, penulis mengutip Ken Blanchard yang memaparkan perbedaan antara ketertarikan dan komitmen. Ketertarikan adalah kesetiaan kita pada seseorang atau sesuatu dalam saat menyenangkan saja. Sedangkan, komitmen senantiasa setia dalam suka dan duka. Teguh memegang janji yang telah diikrarkan (halaman 127).

Ironisnya, saat ini banyak pejabat yang mengkhianati amanah penderitaan rakyat. Mereka melanggar sumpah suci dan justru memperkaya diri lewat korupsi. Menurut penulis, orang serakah ibarat minum air laut. Semakin banyak minum semakin haus yang dirasa. Padahal Junior Murchison pun menandaskan, “Uang itu seperti pupuk kandang. Jika disebar ke sekeliling, manfaatnya banyak. Tapi jika ditumpuk di satu tempat, baunya busuk sekali.”

Cerita inspiratif dan renungan reflektif yang disajikan dalam buku setebal 330 halaman ini niscaya menginspirasi pembaca. Sehingga dapat melihat kehidupan dengan kacamata berbeda. Kualitas hidup manusia memang berbanding lurus dengan sikapnya dalam menghadapi masalah. “99 persen dari mereka yang gagal karena mengeluarkan 1001 alasan. Sedangkan mereka yang berhasil selalu mencari alternatif solusi dan bertindak,“ tulis George Washington Carver. Selamat membaca!

Sumber: http://wasathon.com/resensi-buku/read/menangkap_hikmah_di_balik_musibah/

Desember 04, 2012

Menyikapi Gonjang Ganjing di MA


Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Selasa/4 Desember 2012

Lembaga yudisial di republik ini masih tebang pilih. Tajam kepada rakyat kecil tapi tumpul kepada kaum berpunya. Selain itu, amanah sebagai penegak hukum acap kali disalahgunakan untuk memperjual-belikan putusan. Bahkan ada plesetan kepanjangan HAKIM (Hubungi Aku Kalau Ingin Menang).

Misalnya baru-baru ini pemeriksa Mahkamah Agung (MA) mendapati tulisan tangan Achmad Yamanie. Ia mengganti hukuman penjara 12 tahun atas terpidana mati perkara narkoba, Hangky Gunawan. Padahal sebelumnya, majelis yang diketuai hakim agung Imron Anwari memvonis putusan kasasi gembong narkotika itu dengan  bui 15 tahun. Bagaimana mungkin bisa ada selisih tiga tahun?

Padahal keputusan ketua Mahkamah Agung (MA) No.138/KMA/SK/IX/2009 telah mengatur tata cara pemeriksaan sebuah perkara. Alurnya, relatif berliku. Penyelesaian proses hukum mesti menempuh serentetan proses dari penelaaahan, pendelegasian berkas perkara kepada majelis, musyawarah dan pemutusan (oleh Majelis Hakim), hingga pengiriman berkas kembali oleh Panitera Muda Pengadilan Pengaju.

Berdasarkan prosedur ketat di atas, ketika musyawarah dan pemufakatan majelis telah selesai, maka putusan sudah tidak bisa direvisi lagi. Pertanyaan kritisnya, bagaimana jika kemudian ditemukan tindakan tidak profesional (unprofessional conduct)? Seperti terjadi pada kasus hakim agung Achmad Yamanie yang mengajukan pengunduran diri pada ketua MA, Muhammad Hatta Ali pada 14 November 2012 silam.

Dalam konteks tersebut, penulis sepakat dengan Achmad Fauzi, SH. Ia melontarkan otokritik terhadap korpsnya sendiri. Menurut hakim yang bertugas di Kotabaru, Kalimantan Selatan tersebut, putusan PK Hangky Gunawan sejak awal memang mengundang reaksi keras. Utamanya dari para aktivis gerakan antimadat. Kenapa? Karena menafikan dampak buruk peredaran zat beracun tersebut bagi masa depan putra-putri Ibu Pertiwi.

Lantas ibarat cerita silat, Dewi Keadilan (Justice Goddes) menampakkan kemuliaannya. Pun memaparkan secara gamblang kejanggalan putusan PK tersebut. Ternyata, di balik keangkeran jubah kebesaran oknum pengetuk palu di meja hijau itu (kadang) tersembunyi kecenderungan penyalahgunaan wewenang (abuse of power).

Malpraktik

Istilah malpraktik di dunia medis sudah lazim. Ironisnya, penyelewengan serupa juga  terjadi dalam ranah hukum. Contoh aktual lainnya ialah kasus 2 hakim agung yang diduga menerima suap. Yakni, terkait diloloskannya Peninjauan Kembali (PK) politikus asal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Misbakhun.

Hakim agung tersebut berinisial ZU dan MK. Mereka masing-masing disinyalir menerima suap Rp. 1,74 miliar dan Rp. 2 miliar. Mata uangnya dalam bentuk Dolar Amerika pula. Kedua Hakim Agung itu sudah dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak 6 November 2012 silam. Mereka mendapat nomor urut pengaduan 2012 11 00065. Saat ini, KPK terus intensif mendalaminya.

Kebetulan ZU juga ketua majelis kasasi yang memvonis Krisna Kumar Tolaram Gang Tani alias Anand Krishna dengan hukuman bui 2 tahun 6 bulan. Aneh tapi nyata, dalam putusan tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Martha Berliana Tobing mencantumkan kasus pidana merek dagang.

Pada halaman 38 muncul pertimbangan JPU mengajukan kasasi sbb: “Bahwa sebagai bukti bagi Judex Juris tentang tidak pedulinya Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat terhadap fakta hukum yang tertuang dalam tuntutan pidana kami dapat dilihat dari putusan yang dibuat oleh Judex Facti Nomor 20/Pid/2006/PT.Bdg tanggal 21 April 2006 yang tidak secuil pun menyinggung tuntutan pidana kami sehingga dengan demikian sungguh cukup beralasan demi tegaknya keadilan dan kepastian hukum untuk menganulir putusan Nomor 20/Pid/2006/PT/Bdg tanggal 21 April 2006 yang dibuat oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat.”

Hebatnya, Andi Saputra melacak perkara bernomor 20/Pid/2006/PT.Bdg tanggal 21 April 2006 tersebut. Ternyata adalah sengketa pidana merek. Dalam berkas perkara MA di muka, duduk sebagai terdakwa Erik Mulya Wijaya. Erik didakwa atas perbuatan yang melanggar pasal 24 ayat 1 UU No 5/1984 tentang Perindustrian. Di tingkat kasasi, Erik dihukum 2 tahun penjara karena menggunakan merek yang sama dengan merek yang terdaftar milik pihak lain (sumber: Detikcom).

Pertanyaan kritisnya, kenapa alasan kasasi JPU dalam perkara Anand Krishna itu muncul lagi dalam salinan putusan MA? Majelis kasasi tersebut terdiri dari Zaharuddin Utama (ZU) dengan dua hakim agung Achmad Yamanie (AY) dan Sofyan Sitompul (SS). Apa korelasi antara pertimbangan pidana merek dagang versi JPU Martha dengan putusan Anand Krishna?

Dalam konteks malpraktik yang begitu kasat mata di atas, seruan International Commission of Jurists dalam “Reviewing Measures to Prevent and Combat Judicial Corruption” (2010) kian relevan. Mereka menyebut judicial corruption (korupsi hukum) sebagai praktik penyelewengan kekuasaan paling berbahaya dan menjijikkan. Kenapa? karena daya destruksinya mampu menghancurkan tatanan pemerintahan yang demokratis.

Senada dengan tesis Lord Denning, adagium pakar hukum tersebut begitu populer, “Berikan saya hukum yang buruk sekalipun dengan hakim-hakim yang baik, niscaya keadilan tegak berdiri. Sebaliknya, hukum yang baik tidak akan mampu menjamin penegakan pilar keadilan jikalau diisi hakim-hakim dengan reputasi buruk.”

Mengamankan Kasus?

Kembali ke skandal putusan pembatalan vonis mati pemilik pabrik ekstasi Hangky Gunawan oleh Achmad Yamanie. Komisi Yudisial (KY) telah mengirim surat ke presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Intinya, KY meminta SBY untuk tidak menyetujui pengunduran diri hakim agung tersebut.

KY adalah lembaga tinggi negara yang dibentuk konstitusi untuk mengawasi dan menjaga kehormatan hakim. Bagi KY, pengunduran diri Yamani niscaya menutup celah untuk membongkar mafia peradilan di MA. Pun bisa jadi preseden buruk, setiap hakim agung bersalah, habis perkara karena mundur.

Menurut penulis, pengunduran diri tanpa didukung alasan kuat memang identik dengan pelepasan tanggung jawab profesi. Artinya, hakim agung yang terindikasi bermasalah lebih layak diberhentikan tidak dengan hormat.

Sungguh sebuah ironi, karena puncak karier tertinggi sebagai hakim agung dirintis dalam rentang  waktu relatif panjang. Untuk dapat diangkat menjadi hakim agung, seorang hakim berlatar belakang karier harus berpengalaman minimal 20 tahun, termasuk paling sedikit tiga tahun sebagai hakim tinggi.

Kembali mengutip tesis Achmad Fauzi, SH, “Mengabulkan permohonan pengunduran diri tanpa alasan yang kuat akan menimbulkan preseden buruk karena menjadi “yurisprudensi” bagi oknum pengadil lainnya di kemudian hari bila tersandung kasus. Apalagi sepak terjang Yamanie telah diadukan masyarakat kepada Komisi Yudisial (KY). Jika ia lengser, KY akan kesulitan mengungkap dan mengembangkan peristiwa di balik kasus itu.”

Uniknya, argumentasi tersebut bertolak belakang dengan sikap MA. Mereka bersikukuh meneruskan surat pengunduran diri AY ke presiden SBY. Pihak MA meminta hakim Yamani mundur dalam rangka menyelamatkan 185 berkas perkara yang sedang ditanganinya, 4 diantarannya merupakan berkas PK. Lantas, bagaimana dengan kasus-kasus yang sebelumnya ia ketuk palu? Apa masih valid?

Kredibilitas

Gerard Barrie, seorang aktivis HAM (Hak Asasi Manusia) dari UK (United Kingdom) mengkomparasi praktik penegakan hukum nasional. Menurut Gerard di Inggris, seandainya seorang hakim disinyalir telah menggunakan hukum sebagai alat kriminal (law as a tool of law) otomatis kredibilitasnya hancur-lebur.

Konsekuensi logisnya, setiap keputusan yang dibuat sejak ia melakukan kesalahan tersebut dianggap null and void alias batal demi hukum dan HAM.  Misal dalam kasus Achmad Yamanie, semula Hangky diganjar hukuman 15 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri (PN) Surabaya atas dakwaan memproduksi dan mengedarkan ekstasi dalam jumlah besar. Di tingkat banding, hukumannya ditambah menjadi 18 tahun. Bahkan di tingkat kasasi divonis maksimal pidana mati. Artinya putusan terakhirlah yang valid.

Begitu pula dengan kasus Anand Krishna. Sebelumnya, Albertina Ho telah memvonis bebas aktivis humanis lintas agama tersebut di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Karena terbukti tidak bersalah (22 November 2011). Sama sebangun, putusan terakhirlah yang valid.

Pungkasnya, sepakat dengan pendapat hakim Achmad Fauzi, SH faktor determinasi menjadi kata kunci di sini. Jika niat awal menjadi hakim terpancang dalam hati, betapa pun besarnya ancaman, cercaan, dan kuatnya godaan – sepanjang integritas moral berdiri di atas segala-galanya – mati saat bersidang sekalipun tidak masalah. Itulah falsafah Asta Brata seorang hakim yang dalam jagat pewayangan disimbolkan dengan Angin, Matahari, Bulan, Bumi, Bintang, Api, Awan, dan Samudera. Toh, hukum itu untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Bukankah begitu?

Sumber Foto utk Ilustrasi: Ignatius Wasabi dari Kompas.com
13546320401664603366