Desember 31, 2012

Urgensi Pendidikan Budi Pekerti

Dimuat di Koran Merapi, Rabu/17 Oktober 2012

Kemajemukan merupakan modal utama untuk saling menyempurnakan. Ibarat semburat warna-warni pelangi yang indah. Ironisnya, masih terjadi tindak kekerasan karena perbedaan cara pandang terhadap Tuhan Hyang Maha Esa. Kekerasan politis-ekonomis berkedok suku, ras, agama, antargolongan (SARA) terus menghantui kerukunan hidup umat beragama dan kepercayaan di Indonesia.

Berdasarkan data Wahid Institute, tahun 2011 terjadi 92 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Jumlah tersebut meningkat 18% dari tahun sebelumnya, 62 kasus. Bahkan, pada medio Mei 2012, PBB melansir Indonesia sebagai negara yang kehidupan beragamanya rawan konflik.

Akarnya tentu arogansi manusia yang merasa diri paling benar. Dalam tradisi Kejawen disebut Rumangsa Bisa - Nanging Ora Bisa Rumangsa. Bahkan walau itu terkait misteri Ketuhanan sekalipun, padahal jumlah helai rambut sendiri di kepala masih belum tahu pasti. Menurut hemat penulis, kecenderungan tersebut berkelindan erat dengan sistem pendidikan nasional.

Dalam konteks ini, pendidikan budi pekerti menjadi urgen. Australia menjadi satu dari 10 negara yang memiliki tingkat kriminalitas terendah. Sebaliknya, Indonesia justru rawan menjadi negara gagal dengan tingkat tindak kekerasan duduk di no. 3 dunia. Ternyata, para pendidik di Australia lebih khawatir jika murid mereka tidak jujur, tidak mau mengantri dengan baik, tidak memiliki rasa empati pada orang lain, dan nilai-nilai keutamaan (virtue values) lainnya. Ketimbang anak didik tidak bisa membaca, menulis, dan berhitung (calistung).

Dalam konteks calistung atau menaikkan nilai akademik (grade), hanya perlu waktu 3-6 bulan. Namun untuk mendidik karakter dan budi pekerti seorang anak, butuh waktu lebih dari 15 tahun. Para pelaku tindak kekerasan verbal dan fisik berkedok SARA tidak lahir kemarin sore. Mereka merupakan “buah” dari metode pembelajaran yang satu arah, cenderung dogmatis, dan fanatis di kelas.

Ironisnya, untuk mengubah perilaku orang dewasa yang terlanjur "rusak", tak semudah membalik telapak tangan, butuh tekad dan upaya keras. Menurut riset para psikolog, mengajarkan budi pekerti dan multikultural waktunya sangat terbatas. Dimulai saat balita dan berakhir ketika mereka duduk di bangku kuliah. Sedangkan, untuk mengajarkan calistung bisa diajarkan kapan saja.

Selain itu, membangun keharmonisan peri kehidupan beragama musti dilakukan secara sadar dan terpadu. Caranya lewat gotong-royong melibatkan semua komponen bangsa. Baik pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh agama, keluarga, dan last but least, lembaga pendidikan.

Ki Hadjar Dewantara pun menandaskan, “Alam hidup manusia adalah alam hidup berbulatan. Kita hidup dalam alam-alam khusus yang saling berhubungan dan mempengaruhi. Alam khusus tersebut adalah alam diri, alam bangsa, dan alam kemanusiaan.” (Perjuangan dan Ajaran Hidup Ki Hadjar Dewantara, 2004)

Minat Baca

Jika ditelisik lebih dalam, tingkat fanatisme berbanding terbalik dengan ketekunan membaca buku. Kenapa? Sebab seperti kata pepatah, buku merupakan jendela dunia dan gudang ilmu. Dalam bahasa Inggris pun, menurut Maya Safira Muchtar kepanjangan akronim Book ialah (Broad ocean of knowledge) alias samudera pengetahuan yang begitu luas.

Hasil survei UNESCO sangat mengejutkan. Badan PBB yang mengurusi bidang pendidikan, ilmu pengetahuan dan budaya tersebut menyatakan Indonesia merupakan negara di ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) yang minat baca masyarakatnya paling rendah (Warta Online: 2011). Bahkan tahun 2012 ini kian merosot lagi.

Indeks membaca masyarakat Indonesia hanya berada pada kisaran 0,001. Artinya dari 1000 penduduk, hanya ada 1 orang yang masih memiliki minat baca tinggi. Angka tersebut masih sangat jauh dibanding angka minat baca di Singapura. Indeks membaca negeri bekas jajahan Inggris tersebut mencapai 0,45.

Anjloknya minat baca masyarakat terjadi karena maraknya media elektronik (baca: televisi dan internet). Padahal kedua media tersebut kebanyakan berisi tayangan hiburan (infotainment) dan iklan komersial (advertisement). Sehingga kian menjauhkan masyarakat dari budaya (mem)baca.

Faktor lain yang menyebabkan rendahnya minat baca masyarakat Indonesia ialah keterbatasan ekonomi. Sehingga akses masyarakat terhadap buku semakin langka. Kenapa? karena untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari saja sudah mepet. Apalagi untuk membeli koran, buku, atau bahan bacaan lain.

Dalam konteks ini, komitmen pemerintah untuk menyediakan bacaan berkualitas dan murah menjadi signifikan. Keberadaan koran bersama di pos kamling, perpustakaan umum, dan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) juga perlu terus digencarkan.

Khusus sebagai pendidik, kita juga bisa turut terlibat meningkatkan minat baca di kelas. Tentu bukan sekadar bacaan yang terkait mata pelajaran yang kita ampu, tapi juga buku-buku ilmu pengetahuan lainnya. Salah satu yang paling menarik ialah lewat media buku cerita. Misalnya komik pewayangan karya (alm) R.A. Kosasih ataupun cerita rakyat dari pelbagai wilayah Nusantara.

Sedikit sharing, dalam mengajar bahasa Inggris penulis menggunakan referensi Kumpulan Dongeng Motivasi, Stories of Great Virtue (Arleen A, BIP: 2012). Setiap akhir pelajaran cukup dibacakan 1 dongeng. Ibarat pepatah, sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui, selain belajar kosakata bahasa Inggris, anak didik juga belajar nilai-nilai budi pekerti. Antara lain seperti kejujuran (honesty), kegigihan (persistent), kesetiaan (loyalty), pengampunan (forgiveness), dll. Dengan teknik mendongeng, kesannya tidak menggurui. Sehingga lebih mudah dicerna anak didik. Wewarah tersebut merupakan makanan batin yang bergizi.

Pungkasnya, membaca pun merupakan jurus ampuh untuk terus belajar dalam hidup (long life learning). Bila pada era revolusi kemerdekaan para pejuang mengangkat senjata demi meraih kemerdekaan politis. Saatnya kini segenap putra-putri Ibu Pertiwi menyelami alam pikir demi meraih pencerahan budi. Tapi bukan dengan pedang, pentungan dan bom melainkan menyitir pendapat Dr. DJ Schwartz, "Kita harus terus belajar, terus membaca, banyak membaca, untuk bisa belajar dari orang lain, belajarlah dari pengalaman orang lain, dengan belajar kita bisa melipatgandakan produktivitas dan kreativitas kita."

Tidak ada komentar: