Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Selasa/4 Desember 2012
Lembaga yudisial di republik ini masih tebang pilih. Tajam kepada rakyat kecil tapi tumpul kepada kaum berpunya. Selain
itu, amanah sebagai penegak hukum acap kali disalahgunakan untuk
memperjual-belikan putusan. Bahkan ada plesetan kepanjangan HAKIM
(Hubungi Aku Kalau Ingin Menang).
Misalnya baru-baru ini pemeriksa
Mahkamah Agung (MA) mendapati tulisan tangan Achmad Yamanie. Ia
mengganti hukuman penjara 12 tahun atas terpidana mati perkara
narkoba, Hangky Gunawan. Padahal sebelumnya, majelis yang diketuai
hakim agung Imron Anwari memvonis putusan kasasi gembong narkotika itu
dengan bui 15 tahun. Bagaimana mungkin bisa ada selisih tiga tahun?
Padahal keputusan ketua Mahkamah Agung
(MA) No.138/KMA/SK/IX/2009 telah mengatur tata cara pemeriksaan sebuah
perkara. Alurnya, relatif berliku. Penyelesaian proses hukum mesti
menempuh serentetan proses dari penelaaahan, pendelegasian berkas
perkara kepada majelis, musyawarah dan pemutusan (oleh Majelis Hakim),
hingga pengiriman berkas kembali oleh Panitera Muda Pengadilan
Pengaju.
Berdasarkan prosedur ketat di atas,
ketika musyawarah dan pemufakatan majelis telah selesai, maka putusan
sudah tidak bisa direvisi lagi. Pertanyaan kritisnya, bagaimana jika
kemudian ditemukan tindakan tidak profesional (unprofessional conduct)?
Seperti terjadi pada kasus hakim agung Achmad Yamanie yang mengajukan
pengunduran diri pada ketua MA, Muhammad Hatta Ali pada 14 November
2012 silam.
Dalam konteks tersebut, penulis sepakat
dengan Achmad Fauzi, SH. Ia melontarkan otokritik terhadap korpsnya
sendiri. Menurut hakim yang bertugas di Kotabaru, Kalimantan Selatan
tersebut, putusan PK Hangky Gunawan sejak awal memang mengundang
reaksi keras. Utamanya dari para aktivis gerakan antimadat. Kenapa?
Karena menafikan dampak buruk peredaran zat beracun tersebut bagi masa
depan putra-putri Ibu Pertiwi.
Lantas ibarat cerita silat, Dewi Keadilan (Justice Goddes)
menampakkan kemuliaannya. Pun memaparkan secara gamblang kejanggalan
putusan PK tersebut. Ternyata, di balik keangkeran jubah kebesaran oknum
pengetuk palu di meja hijau itu (kadang) tersembunyi kecenderungan
penyalahgunaan wewenang (abuse of power).
Malpraktik
Istilah malpraktik di dunia medis sudah
lazim. Ironisnya, penyelewengan serupa juga terjadi dalam ranah
hukum. Contoh aktual lainnya ialah kasus 2 hakim agung yang diduga
menerima suap. Yakni, terkait diloloskannya Peninjauan Kembali (PK)
politikus asal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Misbakhun.
Hakim agung tersebut berinisial ZU dan
MK. Mereka masing-masing disinyalir menerima suap Rp. 1,74 miliar dan
Rp. 2 miliar. Mata uangnya dalam bentuk Dolar Amerika pula. Kedua
Hakim Agung itu sudah dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
sejak 6 November 2012 silam. Mereka mendapat nomor urut pengaduan
2012 11 00065. Saat ini, KPK terus intensif mendalaminya.
Kebetulan ZU juga ketua majelis kasasi
yang memvonis Krisna Kumar Tolaram Gang Tani alias Anand Krishna
dengan hukuman bui 2 tahun 6 bulan. Aneh tapi nyata, dalam putusan
tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Martha Berliana Tobing
mencantumkan kasus pidana merek dagang.
Pada halaman 38 muncul pertimbangan JPU
mengajukan kasasi sbb: “Bahwa sebagai bukti bagi Judex Juris tentang
tidak pedulinya Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat terhadap
fakta hukum yang tertuang dalam tuntutan pidana kami dapat dilihat
dari putusan yang dibuat oleh Judex Facti Nomor 20/Pid/2006/PT.Bdg
tanggal 21 April 2006 yang tidak secuil pun menyinggung tuntutan
pidana kami sehingga dengan demikian sungguh cukup beralasan demi
tegaknya keadilan dan kepastian hukum untuk menganulir putusan Nomor
20/Pid/2006/PT/Bdg tanggal 21 April 2006 yang dibuat oleh Majelis
Hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat.”
Hebatnya, Andi Saputra melacak perkara
bernomor 20/Pid/2006/PT.Bdg tanggal 21 April 2006 tersebut. Ternyata
adalah sengketa pidana merek. Dalam berkas perkara MA di muka, duduk
sebagai terdakwa Erik Mulya Wijaya. Erik didakwa atas perbuatan yang
melanggar pasal 24 ayat 1 UU No 5/1984 tentang Perindustrian. Di
tingkat kasasi, Erik dihukum 2 tahun penjara karena menggunakan merek
yang sama dengan merek yang terdaftar milik pihak lain (sumber:
Detikcom).
Pertanyaan kritisnya, kenapa alasan
kasasi JPU dalam perkara Anand Krishna itu muncul lagi dalam salinan
putusan MA? Majelis kasasi tersebut terdiri dari Zaharuddin Utama (ZU)
dengan dua hakim agung Achmad Yamanie (AY) dan Sofyan Sitompul (SS).
Apa korelasi antara pertimbangan pidana merek dagang versi JPU Martha
dengan putusan Anand Krishna?
Dalam konteks malpraktik yang begitu kasat mata di atas, seruan International Commission of Jurists dalam “Reviewing Measures to Prevent and Combat Judicial Corruption” (2010) kian relevan. Mereka menyebut judicial corruption
(korupsi hukum) sebagai praktik penyelewengan kekuasaan paling
berbahaya dan menjijikkan. Kenapa? karena daya destruksinya mampu
menghancurkan tatanan pemerintahan yang demokratis.
Senada dengan tesis Lord Denning,
adagium pakar hukum tersebut begitu populer, “Berikan saya hukum yang
buruk sekalipun dengan hakim-hakim yang baik, niscaya keadilan tegak
berdiri. Sebaliknya, hukum yang baik tidak akan mampu menjamin
penegakan pilar keadilan jikalau diisi hakim-hakim dengan reputasi
buruk.”
Mengamankan Kasus?
Kembali ke skandal putusan pembatalan
vonis mati pemilik pabrik ekstasi Hangky Gunawan oleh Achmad Yamanie.
Komisi Yudisial (KY) telah mengirim surat ke presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY). Intinya, KY meminta SBY untuk tidak menyetujui
pengunduran diri hakim agung tersebut.
KY adalah lembaga tinggi negara yang
dibentuk konstitusi untuk mengawasi dan menjaga kehormatan hakim. Bagi
KY, pengunduran diri Yamani niscaya menutup celah untuk membongkar
mafia peradilan di MA. Pun bisa jadi preseden buruk, setiap hakim
agung bersalah, habis perkara karena mundur.
Menurut penulis, pengunduran diri tanpa
didukung alasan kuat memang identik dengan pelepasan tanggung jawab
profesi. Artinya, hakim agung yang terindikasi bermasalah lebih layak
diberhentikan tidak dengan hormat.
Sungguh sebuah ironi, karena puncak
karier tertinggi sebagai hakim agung dirintis dalam rentang waktu
relatif panjang. Untuk dapat diangkat menjadi hakim agung, seorang
hakim berlatar belakang karier harus berpengalaman minimal 20 tahun,
termasuk paling sedikit tiga tahun sebagai hakim tinggi.
Kembali mengutip tesis Achmad Fauzi, SH,
“Mengabulkan permohonan pengunduran diri tanpa alasan yang kuat akan
menimbulkan preseden buruk karena menjadi “yurisprudensi” bagi oknum
pengadil lainnya di kemudian hari bila tersandung kasus. Apalagi sepak
terjang Yamanie telah diadukan masyarakat kepada Komisi Yudisial
(KY). Jika ia lengser, KY akan kesulitan mengungkap dan mengembangkan
peristiwa di balik kasus itu.”
Uniknya, argumentasi tersebut bertolak
belakang dengan sikap MA. Mereka bersikukuh meneruskan surat
pengunduran diri AY ke presiden SBY. Pihak MA meminta hakim Yamani
mundur dalam rangka menyelamatkan 185 berkas perkara yang sedang
ditanganinya, 4 diantarannya merupakan berkas PK. Lantas, bagaimana
dengan kasus-kasus yang sebelumnya ia ketuk palu? Apa masih valid?
Kredibilitas
Gerard Barrie, seorang aktivis HAM (Hak Asasi Manusia) dari UK (United Kingdom)
mengkomparasi praktik penegakan hukum nasional. Menurut Gerard di
Inggris, seandainya seorang hakim disinyalir telah menggunakan hukum
sebagai alat kriminal (law as a tool of law) otomatis kredibilitasnya hancur-lebur.
Konsekuensi logisnya, setiap keputusan yang dibuat sejak ia melakukan kesalahan tersebut dianggap null and void
alias batal demi hukum dan HAM. Misal dalam kasus Achmad Yamanie,
semula Hangky diganjar hukuman 15 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri
(PN) Surabaya atas dakwaan memproduksi dan mengedarkan ekstasi dalam
jumlah besar. Di tingkat banding, hukumannya ditambah menjadi 18 tahun.
Bahkan di tingkat kasasi divonis maksimal pidana mati. Artinya putusan
terakhirlah yang valid.
Begitu pula dengan kasus Anand Krishna.
Sebelumnya, Albertina Ho telah memvonis bebas aktivis humanis lintas
agama tersebut di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Karena
terbukti tidak bersalah (22 November 2011). Sama sebangun, putusan
terakhirlah yang valid.
Pungkasnya, sepakat dengan pendapat
hakim Achmad Fauzi, SH faktor determinasi menjadi kata kunci di sini.
Jika niat awal menjadi hakim terpancang dalam hati, betapa pun
besarnya ancaman, cercaan, dan kuatnya godaan – sepanjang integritas
moral berdiri di atas segala-galanya – mati saat bersidang sekalipun
tidak masalah. Itulah falsafah Asta Brata seorang hakim yang dalam
jagat pewayangan disimbolkan dengan Angin, Matahari, Bulan, Bumi,
Bintang, Api, Awan, dan Samudera. Toh, hukum itu untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Bukankah begitu?
Sumber Foto utk Ilustrasi: Ignatius Wasabi dari Kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar