Dimuat di Majalah Utusan, Edisi Oktober 2012
“Teng…teng…teng!”
Lonceng sekolah berdentang nyaring 3 kali. Tanda pelajaran hari ini
telah usai. Aku bergegas memasukkan buku, pena, dan penghapus ke dalam
tas. Sebelum pulang kami berdoa bersama. Arnold yang piket hari ini
memimpin di depan kelas. Kami mengucapkan terimakasih kepada Tuhan
Yesus karena pelajaran berjalan dengan lancar. Pun kami berdoa agar
selamat dalam perjalanan pulang ke rumah masing-masing.
Kemudian, kami berbaris rapi menuju ke
arah pintu. Bu Maria, guru bahasa kami telah menanti di sana. Satu per
satu kami menyalami. “Hati-hati di jalan ya Nak,” ujar beliau lembut.
“Terimakasih Bu, sampai jumpa besok,” jawabku sambil mencium punggung
tangan Bu Maria.
Hari ini aku tidak dijemput. Memang
mulai sejak tahun ajaran baru ini aku memang mau belajar mandiri. Aku
menaiki sepedaku sendiri. Toh jarak dari rumah ke sekolah tak lebih dari 5 km. Jalannya juga halus dan relatif sepi dari kendaraan bermotor.
Segera aku menuju ke tempat parkir. Di
sana berjajar sepeda-sepeda milik para murid. Ada yang warna hijau,
merah, biru, dan hitam. Sepedaku bercat kuning keemasan. Hadiah paman
saat ulang tahunku yang ke-11 pada bulan lalu. “Krucuk krucuk…krucuk krucuk…”
suara apa itu? Tampaknya berasal dari perutku. Ya memang sejak jam
pelajaran terakhir tadi, aku sudah merasa lapar sekali. Sempat pula
aku mengantuk.
Di tengah pelajaran aku meminta ijin
kepada Bu Maria untuk ke kamar mandi. Karena tak kuat menahan kelopak
mata terasa berat sekali. Lantas aku membasuh wajahku dengan air kran.
“Ah…segar sekali!” Rasa kantuk memang hilang. Tapi rasa lapar masih
melilit. Sebenarnya aku mau jajan di kantin sekolah, selepas lonceng
pulang tadi. Tapi aku ingat bahwa aku mau menabung. Jadi aku harus
berhemat.
Uang jajan Rp2.000 tak kuhabiskan semua.
Aku menyisakan Rp1.000 untuk kumasukkan ke dalam celengan bentuk
Katak yang kubeli di pasar malam Sekaten di alun-alun bersama ayah
tempo hari. Di pojok parkiran aku melihat Thomas sedang menekan-nekan
roda ban sepedanya. Ia teman sekelasku. Rumahnya satu kompleks dengan
rumahku.
“Ada apa Thom, kok belum pulang?“ tanyaku sembari menuntun sepedaku mendekatinya. “Ini lho,
ban belakang sepedaku bocor. Mungkin tertusuk paku saat berangkat
pagi tadi,” jawab Thoma lirih. Aku baru hendak menaiki sepedaku
meninggalkannya, tapi tiba-tiba terlintas pikiran di benakku. “Kasihan
juga kalau Thomas harus menuntun sepedanya sendiri ke tukang tambal
ban, lebih baik aku menemaninya.”
Entah dari mana, ada suara lain menimpali di benakku, ‘Ah…buat
apa menemani Thomas, lebih baik langsung pulang saja, katanya kau
sudah lapar.” Akhirnya aku memutuskan untuk menemaninya, aku memang
lapar sekali, tapi toh masih kuat kutahan. “Ayo Thom aku temani ke Pak Agustinus!”
Pak Agustinus atau biasa disapa Pak Agus
ialah tukang tambal ban. Letak bengkelnya tak jauh dari sekolah,
hanya sekitar 1 km. “Tak usah, kamu pulang saja, tak enak aku
merepotkanmu,” ujar Thomas. “No problem, ayo kita come on,
“ jawabku dengan bahasa Inggris campuran. Siang itu cuaca cukup
bersahabat. Tak terlalu terik matahari bersinar. Aku dan Thomas
beriringan menuntun sepeda menuju bengkel Pak Agus. Selama dalam
perjalanan kami bermain tebak-tebakan.
“Negara apa yang ibukotanya paling
banyak?” tanya Thomas padaku. “Apa ya? Tak tahu Thom,” “Jawabannya
adalah Peru,” sahutnya penuh semangat. “Lho kok bisa?” tanyaku heran. “Ibukota Peru kan Lima hahahaha.” Kami tertawa terbahak-bahak bersama.
Tak terasa sampailah kami di bengkel Pak Agus. Kebetulan tak ada konsumen yang kebanan
(ban bocor). Langsung saja beliau mengecek ban sepeda Thomas. Ternyata
memang ditemukan paku kecil di roda belakang. Lantas, beliau mengambil
lem khusus untuk menambal lubang tersebut.
“Krucuk krucuk…krucuk krucuk…”
“Suara apa itu?” tanya Thomas sembari menoleh ke kanan dan ke kiri.
“Hehe…suara perutku yang keroncongan,” jawabku dengan wajah tersipu
malu. “Oh…kamu belum makan ya? Kebetulan bekalku masih ada. Tadi pagi Ibu membawakan 2 roti tawar isi meses (coklat). Saat istirahat aku tak sempat memakannya,” ujar Thomas.
Kemudian Thomas membuka tas sekolah
warna merahnya. Ia mengeluarkan bungkusan roti tawar tersebut. “Ini
satu untukmu Lex dan 1 untukku. Ayo kita makan bersama.” “Terimakasih
Thom,” jawabku sembari menerima rejeki tak terduga ini. Sungguh terasa
legit dan nikmat di lidah.
Walau sebelumnya aku harus menahan rasa
lapar. Aku tak berharap mendapat roti tawar. Tapi siapa menyangka
Thomas masih menyimpan bekalnya. Kebetulan juga jumlahnya ada 2
potong.
“Sudah selesai Dik!” ujar Pak Agus. “Terimakasih Pak…” sahut Thomas sembari mengeluarkan uang dari dalam kantong celananya.
Dalam hati aku bersyukur bisa menolong
seorang sahabat. Setidaknya dengan menemani Thomas, ia tak merasa
kesepian. Kami berdua beriringan mengayuh sepeda masing-masing sembari
bersiul-siul. Hati senang, perut kenyang. Terimakasih Tuhan Yesus. (T. Nugroho Angkasa S.Pd)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar