November 24, 2010

Bocah Merapi dan Masa Depan

Dimuat di http://www.harianjoglosemar.com/berita/bocah-merapi-dan-masa-depan-29781.html

Sepanjang 2010 bencana alam silih berganti melanda Indonesia. Dari banjir bandang di Wasior, Papua Barat; gempa dan gelombang tsunami di Mentawai, Sumatra Barat; sampai rentetan letusan Merapi di perbatasan Jateng dan DIY. Bencana alam tak hanya merenggut korban jiwa dan menelan kerugian miliaran rupiah. Tapi juga menyebabkan trauma psikis dalam diri warga. Tak terkecuali anak-anak di barak pengungsian.

Misal yang dialami seorang anak pengungsi Merapi dari Boyolali, Jawa Tengah. Setiap kali ia melihat masker, yang terpikir ialah segera bersiap-siap mengungsi dengan truk. Karena takut terkena semburan awan panas dan guyuran hujan abu vulkanik. Lain lagi anak pengungsi dari Cangkringan, Sleman, Yogyakarta, ia langsung merasa panik kalau mendengar suara gembludug (gemuruh) dan raungan sirene ambulans.

Menurut Maya Safira Muchtar, terapis kesehatan holistik L’Ayurveda Jakarta, istilah psikologi ihwal gangguan stres pascatrauma semacam itu ialah Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Rekaman pengalaman menakutkan ketika bencana alam terjadi berulang terus-menerus (reexperience) di benak para korban. Bentuknya berupa khayalan, mimpi, halusinasi, dan flash back (kilas balik).

Sehingga para pengungsi akan ketakutan dan bereaksi panik seperti saat trauma itu terjadi. Bila berkepanjangan gangguan ini dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Antara lain, menjadi mudah tersinggung, emosional, dan suka melongo (melamun). Oleh sebab itu, selain pemenuhan kebutuhan logistik, ganti rugi ternak, dan rehabilitasi infrastruktur, para pengungsi juga membutuhkan terapi pemulihan stres dan trauma. Terutama sekali bagi anak-anak di barak pengungsian.

Para ilmuwan menyatakan bahwa sebelum masuk sekolah, tepatnya sekitar usia 4 sampai 5 tahun, terdapat lebih dari 50 persen neuron otak yang sedang tumbuh dan membentuk sirkuit tertentu. Itulah kenapa tahun-tahun awal tersebut dinamai the golden age (masa keemasan). Peran orangtua dan guru ialah untuk memberikan stimulus positif. Berupa kata dan keteladanan tingkah laku. Agar tercipta rangkaian sel yang relatif berkualitas.

Lebih lanjut, kemampuan otak anak pada masa keemasan ibarat spons (busa). Secara prima mampu menyerap aneka pengetahuan dan pengalaman baru. Perbendaharaan kosakata mereka bisa mencapai 12.000 kata. Ironisnya, situasi di barak-barak pengungsian serba terbatas. Privasi tidak ada sama sekali. Faktor eksternal ini niscaya menghambat pemekaran potensi dalam diri si anak. Bahkan masa ceria untuk bermain dan berkumpul dengan teman sebaya terlewatkan begitu saja.

Rentetan erupsi Merapi jelas menginterupsi kehidupan bocah-bocah lereng Merapi. Akibat insiden post majeur ini, kegiatan belajar di sekolah mereka terpaksa diliburkan. Selain itu, akses ekonomi keluarga dalam mencari nafkah juga terganggu. Hal ini niscaya berimbas pada tersendatnya pemenuhan kebutuhan dasar anak. Bagaimana hendak membeli buku dan mendapat uang jajan bila para orangtua tak bisa berangkat kerja? Karena status gunung Merapi masih Awas.

Rentan Trauma

Berdasarkan pengalaman penulis selama menjadi relawan Pusat Pemuliahan Stres dan Trauma Keliling (PPSTK) Joglosemar yang digagas oleh Anand Krishna pascabencana gempa bumi tektonik Yogyakarta (27 Mei 2006), memang anak-anaklah yang paling rentan mengalami trauma psikis. Karena kondisi kejiwaan yang masih relatif labil. Pada 31 Oktober 2010 dan setiap pekan berikutnya PPSTK juga mengadakan terapi bagi para pengungsi Merapi.

Ratusan warga hadir dan mempraktikkan latihan nafas dan teknik katarsis untuk mengatasi stres dan trauma. Sehingga mereka dapat merasakan kelegaan dan kebahagiaan yang bersumber dari dalam diri. Saat itu kami juga mengajak anak-anak untuk bermain, bernyanyi, menari, menggambar, menulis puisi, dan bercerita. Intinya agar energi stres yang terakumulasi bisa tersalurkan secara memadai, konstruktif, dan kreatif.

Awalnya begitu sulit, namun dengan teknik tertentu dan sedikit kesabaran akhirnya mereka berani mengekspresikan diri kembali. Cara yang paling ampuh ialah dengan mengajak mereka bernyanyi dan menari. Mereka begitu cepat menghafal lagu Pelangi yang digubah dengan lirik bernuansa kebangsaan, “Oh Indonesia, negeri yang kucinta, beraneka ragam suku dan agama, walaupun berbeda kita tetap saudara, indahnya damainya Indonesia.”

Ada juga pemutaran film anak-anak. Yakni dengan memanfaatkan tembok bangunan stadion sebagai layar. Contoh lainnya ialah kegiatan salah satu stasiun televisi swasta. Mereka menghibur ratusan anak korban letusan Gunung Merapi di pengungsian Stadion Maguwoharjo, Sleman, Yogyakarta. Caranya, dengan memboyong tokoh-tokoh kartun ke barak pengungsian. Sehingga anak-anak berkesempatan menyaksikan idola mereka secara langsung. Hadiah berupa buku bacaan, mainan, dan alat tulis juga membuat mereka tersenyum kembali.

Selain itu, untuk melancarkan ketersendatan pendidikan anak-anak di pengungsian. Pemerintah musti sesegera mungkin mendatangkan para guru dan relawan pendidikan untuk mendampingi proses pembelajaran darurat di barak pengungsian. Karena sampai saat ini ilmu pengetahuan dan teknologi tercanggih sekalipun tak mampu memprediksi sampai kapan aktivitas Merapi akan kembali normal.

Yang paling menyentuh nurani kemanusiaan ialah kegiatan prajurit Marinir Pasmar-1 Surabaya. Pada Sabtu (13/11) anggota TNI tersebut mengajak anak-anak pengungsi berwisata ke Candi Prambanan. Acara ini diikuti oleh 275 anak dari Prambanan, Klaten, Jawa Tengah. Tujuannya agar anak-anak pengungsi dapat sejenak berekreasi dan mengenal sejarah Candi Prambanan. Warisan budaya nenek moyang nan adiluhung. Pada kesempatan itu, mereka diajak bermain outbond juga. Tentara yang biasanya mengokang senjata kini menggandeng jemari mungil bocah-bocah lereng Merapi.

Inilah berkah terselubung (blessing in disguise) di balik bencana dahsyat erupsi Merapi. Segenap elemen masyarakat madani (civil society), relawan, tim SAR, aparat kepolisian, tentara, seniman, praktisi media, pemerintah, tenaga medis, akademisi, pihak swasta, dll bahu-membahu meringankan beban penderitaan para korban. Mereka bergotong-royong menyumbangkan tenaga, bantuan materiil, dan dukungan moril kepada para pengungsi tanpa membedakan suku, agama, ras, dan golongan.

Akhir kata, bocah lereng Merapi ialah masa depan Indonesia. Bumi Mataram dan kepulauan Nusantara bukan sekedar warisan leluhur dan para bapa bangsa, melainkan titipan anak cucu. Jangan sampai bencana alam merenggut keceriaan generasi penerus bangsa. Terngiang syair lagu Asa Jatmika yang biasa dinyanyikan anak-anak di dusun Sumber, Muntilan, Magelang, Jawa Tengah, "Burung gagak menjahit langit, lenguh lembu di kejauhan, petani gelaga di puncak bukit, nyanyi katak di ladang kerinduan, menebar sejuk, damai, kehidupan..."

November 18, 2010

Gus Dur Terima Gelar Pahlawan

Jasa besar (almarhum) Gus Dur tak hanya diapresiasi di dalam negeri. Tapi juga di seluruh dunia. Inilah alasan Yayasan Anand Ashram menganugerahkan gelar Pahlawan kepada beliau. Anand Krishna menyerahkan sertifikat tersebut kepada Gus Nuril pada malam puncak acara 2nd Internasional Bali Meditator’s Festival (IBMF), Minggu (14/11/2010) di Bale Banjar, Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali.

Berikut ini kutipan isi sertifikat yang dibacakan langsung oleh Anand Krishna, “Yayasan Anand Ashram yang berafiliasi dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan bangga menominasikan dan menyatakan K.H Abdurrahman Wahid, Presiden keempat Republik Indonesia sebagai Pahlawan Nasional bagi Masyarakat Indonesia. Diajukan oleh Anand Krishna dan semua peserta IBMF kedua di Ubud, Bali, 12-14 November 2010. Tertanda Anand Krishna dan dr. Wayan Sayoga.”

Lebih lanjut penulis produktif 140 buku lebih itu mengatakan, “Sertifikat ini diberikan dengan dukungan yang tulus dan ikhlas dari semua yang hadir di sini. Apakah kita semua setuju?” Serentak disambut riuh tepuk tangan dan ucapan kata setuju oleh ratusan peserta IBMF kedua yang berasal dalam dan luar negeri.

Tokoh humanis perdamaian tersebut menambahkan, “Sesungguhnya sertifikat ini bukan hanya dari bangsa Indonesia, tapi juga dari bangsa dunia. Ada dari Amerika, Eropa, semua benua ada di sini. Jadi bukan lagi pahlawan nasional, tapi juga pahlawan internasional Indonesia.”

Kemudian setelah menerima sertifikat tersebut, Gus Nuril menanggapi, “Saya melihat kebesaran Tuhan, kebesaran Allah ada pada Kakanda Anand Krishna yang difasilitasi oleh saudara saya dokter Sayoga. Saya melihat Allah hadir di sini. Saya melihat ribuan malaikat, milyaran malaikat menyaksikannya, dan saya melihat ketulusan hati saudara-saudari semua. Terimakasih seluruh bangsa dunia.”

IBMF ke-2 kali ini memang menghadirkan banyak tokoh. Antara lain Ida Pedanda Sebali Tianyar, Margot Anand, I Ketut Rsana, Maya Safira Muchtar, Ma Anand Bhagawati, Indra Udayana, LK Suryani, Prabu Darmayasa, Pendeta Mindawati Perangin Angin, dan Sri Nyoman Aryana. Acara penutupannya turut dimeriahkan oleh sanggar Bona Alit.

Tahun 2010 IBMF mengusung tema Vasudhaiva Kutumabakam atau seluruh dunia ialah satu keluarga. Acara ini diharapkan menjadi sarana mawas diri. Di abad ke-21 ini manusia terlalu sibuk mengejar materi. Bahkan sampai melupakan olah batin. Meditasi menjadi obat mujarab untuk hidup sehat secara holistik bagi orang modern.

Video Penganugerahan dapat dilihat di: http://www.youtube.com/watch?v=fF__KuQl0r0

November 10, 2010

Ngelmu Titen dan Pesan Kemanusiaan Merapi

Dimuat di:


”Kemarin seorang ibu menangis, melihat anaknya menangis, kemarin halilintar menangis, kemarin lautan menangis, kemarin bunga-bunga menangis, kemarin anak-anak negeri menangis”.

Petikan lirik lagu ”Menangis ” karya Franky Hubert Sahilatua di atas terasa pas untuk melukiskan suasana batin bangsa ini. Bencana alam bertubi-tubi melanda kepulauan Nusantara tercinta. Yang terakhir ialah banjir bandang di Wasior, gempa tektonik dan gelombang tsunami di Mentawai, dan rentetan letusan Merapi di Jateng-DIY. Benar Bung Franky, anak bangsa dari Sabang sampai Merauke sedang melinangkan air mata.

Artikel ini terpicu oleh sebuah pengalaman kecil. Pada hari Sabtu (30 Oktober 2010) jam 00.00 WIB saya terjaga dari tidur lelap. Karena ikan-ikan di dalam kolam berlompatan ke udara. Saya mengira ada ular, tapi setelah saya senteri tidak ada apa-apa di sana. Kemudian pada jam 00.40 WIB Merapi meletus (lagi).

Menyemburkan awan panas dan menyebabkan hujan abu di seantero Yogyakarta. Atap rumah kerabat saya yang terletak di daerah Pakem, tepatnya km 18 jalan Kaliurang Sleman tak luput dari guyuran debu material vulkanik tersebut. Ikan-ikan bawal, lele, dan gurameh yang katanya tak berakal ternyata memiliki kepekaan tinggi.

Mereka mengetahui fenomena dahsyat alam yang akan terjadi. Bahkan hampir satu jam sebelumnya. Bila para peneliti mau mengkaji hal ini lebih lanjut secara komprehensif, niscaya bisa menjadi semacam Early Warning System (Sistem Peringatan Dini) untuk meminimalisasi jatuhnya korban jiwa.

Terutama warga yang bermukim di kawasan rawan bencana (KRB). Tentu tanpa menafikan informasi akurat dari Badan Vulkanologi dan Mitigasi Bencana setempat. Berbekal peralatan canggih dan kalkulasi data yang sahih.

’Titen’

Dalam buku Neo Vastu Feng Shui (2005) Anand Krishna juga mengisahkan ihwal fenomena gajah-gajah di Thailand. Mereka berlarian ke arah pegunungan dan tempat-tempat yang lebih tinggi. Para pawang gajah yang turut mengungsi akhirnya terhindar dari sapuan gelombang pasang tsunami pada tanggal 26 Desember tahun 2004 silam. Ratusan ribu saudara-saudari kita di tanah Aceh pun turut menjadi korban

Menurut tradisi Kejawen ada istilah Ngelmu Titen. Sebagai bagian dari 3 jurus ampuh lainnya. Yakni Niteni, Niroke, dan Nambahi. Dalam bahasa modern disingkat ATM (Amati, Tiru, dan Modifikasi). Awalnya, manusia mencermati sesuatu, kemudian dari proses pengamatan tersebut orang lantas meniru. Akhirnya, manusia berusaha menyempurnakannya lewat proses modifikasi.

Misalnya, saat hendak membuat sebuah artikel di media massa. Awalnya, si penulis mengobservasi, seperti apa tulisan yang layak muat di media online atau cetak tertentu. Kemudian, ia meniru bukan berarti meng-copy paste alias menji- plak karya orang lain tapi menulis dengan gayanya sendiri. Inilah yang disebut modifikasi. Nambahi berdasarkan pemahaman dan refleksinya sendiri. Sesuai pengalaman hidup sehari-hari di lingkar pengaruhnya masing-masing.

Kembali ke ilmu Titen. Pada 30 Oktober 2010 Regina Rukmorini menulis ihwal Sitras Anjilin. Tokoh seniman dari Dusun Tutup Ngisor, Kecamatan Dukun, Muntilan, Magelang, Jawa Tengah. Menurut Sitras biasanya Merapi memberikan sinyal akan adanya bahaya erupsi. Warga sekitar lereng musti tanggap warsa lan sasmita alias jeli mengamati pertanda alam sekitar. Kalau toh telah melihat, seyogianya segera mengambil tindakan antisipatif.

Lebih lanjut, Anjilin memaparkan aneka pertanda dari Merapi. Antara lain, berupa tali tipis/benang dari satu pohon ke pohon lainnya yang terentang tanpa putus di hutan. Arah rentangan tali menunjukkan arah jalur yang akan dilalui lahar kelak. Sinyal lainnya, bisa berupa hewanhewan yang turun dari gunung, atau ucapan dari seorang warga idiot yang tiba-tiba bisa menyerukan ancaman bahaya erupsi.

Khusus tahun 2010 ini, Sitras Anjilin menangkap tanda bahaya letusan Merapi juga. Berupa cahaya laksana pelangi di depan Merapi, sekitar 20 hari lalu. Hal ini sempat disampaikan kepada warga, tapi sebagian dari mereka tidak percaya.

Ada lagi heboh foto yang mengabadikan awan panas dari puncak Merapi. Karena bentuknya mirip kepala Eyang Petruk. Tokoh Puna - kawan yang diyakini sebagai sing mbaurekso alias penunggu Merapi.

Di era Facebook dan Twitter seperti saat ini sulit memahami sesuatu yang beyond mind, melampaui logika biasa. Bahkan ada yang mencap musyrik/syirik. Tapi menurut saya, pertanda-pertanda tersebut justru sangat biasa dan masuk akal sekali. Misalnya, rombongan hewan yang turun dari puncak Merapi.

Dulu saat fauna di sana masih melimpah, warga sekitar bisa menyaksikan trenggiling, ular, aneka reptil, serangga, bahkan macan dan elang Jawa bersama-sama turun gunung. Saat itu, masyarakat dapat mengambil ancang-ancang sejak jauh-jauh hari untuk turut mengungsi.

Salah siapa kalau banyak binatang diburu dan menjadi langka? Kemudian, tali tipis/benang dari satu pohon ke batang pohon lainnya. Pertanda ini bisa eksis kalau flora masih lebat dan pepohonan masih rindang. Salah siapa kalau hutan ditebang? Salah siapa kalau bukit digunduli? Sedangkan, tokoh pewayangan bukanlah syirik atau bidaah. Melainkan simbol kearifan lokal leluhur kita

Pesan

Dua pesan dari serangkaian bencana yang melanda negeri ini ialah pelestarian alam dan apresiasi terhadap budaya kita sendiri. Pertama, mencintai alam di sini bukan berarti harus beraksi seperti aktivis Greenpeace yang ”menyerbu” tambang pengeboran minyak di tengah lautan lepas. Tapi bisa dilakukan dari rumah kita sendiri.

Misalnya, dengan memisahkan sampah organik dan nonorganik. Sampah plastik, besi, dan kertas bisa dijual ke tukang rongsokan. Sedangkan yang organik bisa dijadikan kompos untuk memupuk tanaman di taman.

Yakinilah teori Butterfly Effect, satu kepakan kupu-kupu di belantara Amazon, bisa memicu badai Tornado di belahan benua Eropa. Sebaliknya, sebuah tindakan kecil berlandaskan niat tulus niscaya mempengaruhi kosmos secara makro maupun mikro. Dalam tradisi Kejawen disebut hukum aksi-reaksi, ”Nandur-Ngunduh” (Barangsiapa menanam pasti menuai).

Kedua, mengapresiasi budaya lokal misalnya seperti dik Banar. Siswa kelas 4 SDN Godean 2. Ia seorang dalang cilik. Acapkali diundang pentas di Kabupaten Wonosari, Bantul, Kulon Progo, dan Kota Yogyakarta. Kemarin (Selasa, 2 November 2010) penulis bertemu dengannya di warung Mie Ayam.

Saat itu, Banar baru pulang mendalang di daerah Kotagede. Saat hendak membayar, ia meminta uang kepada ayahnya. Penjual Mie Ayam bercanda, ”Lho jarene bar mulih ndalang, kok iseh njaluk Bapakke? Lhak enthuk amplopan mau seko panitia dik?” (Lho katanya baru pulang mendalang, kok masih minta (uang) Bapaknya? Bukankah tadi dapat honor tadi dari panitia?). Banar menyahut dengan polosnya, ”Tadi aku cuma dibayar dengan ucapan terimakasih Mas, honornya menyusul hehe. Ayo ndang bayari Pak."

Akhir kata, bumi Pertiwi, tanah tumpah darah ini bukan sekedar warisan leluhur kita. Melainkan juga titipan anak cucu generasi penerus RI. Alam hanya menyeimbangkan apa yang telah diintervensi secara masif dan eksploitatif oleh makhluk bernama manusia. Kita perlu bergotong- royong dan bersatu-padu meringankan beban para korban.

Sepakat dengan seruan Sri Sultan HB X, saatnya menanggalkan atribut partai, ormas, agama, kelompok, ras dll. Kibarkan satu bendera saja: Sang Saka Merah Putih. Ada waktunya sendiri jelang 2014 untuk melakukan kampanye politik. Nilai kemanusiaan dan bela rasa kepada para pengungsi Merapi yang musti dikedepankan saat ini.

Pertama kali dipublikasikan di: http://sosbud.kompasiana.com/2010/11/03/nglemu-titen-dan-pesan-kemanusiaan-merapi/

November 08, 2010

Pelajaran dari Merapi

Dimuat di http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2010111006033177

LUBANG berukuran 280 meter kubik menampung ke-74 jenazah korban erupsi Merapi. Seperti kita ketahui bersama, pada Jumat (5-11) dini hari Merapi kembali meletus dahsyat dan menyemburkan awan panas ke arah 22 dusun di daerah Cangkringan, Sleman, Yogyakarta.

Rumah, harta benda, ternak, tanaman, dan—last but not least—penduduk di sana yang terlambat mengungsi ke zona aman tewas terpanggang awan panas dan tertimbun abu vulkanik.

Kemudian, para almarhum dikebumikan secara massal pada Minggu (7-11) pukul 18.15 WIB, tepatnya di Taman Permakaman Umum (TPU) Beran Seyegan, Godean, Sleman Barat, Yogyakarta.

Sinar lampu menerangi, rapalan doa mengiringi. Isak tangis sanak famili tercinta merindingkan bulu roma.

Sebelumnya, sejak pukul 15.00 WIB, para pelayat; warga sekitar; praktisi media cetak, online, dan televisi; berkumpul di sana menanti kedatangan ambulans dari RS. dr. Sardjito Yogyakarta. Sebuah traktor menggali lubang 7×20x2 meter tersebut.

Penulis merasa emosional menyaksikan prosesi ini. Apalagi bau anyir begitu menyengat. Beberapa jenazah tak bisa dikenali lagi tubuhnya sehingga pada nisan hanya ditulisi identitas: Mr./Mrs. X.

Saking membeludaknya jumlah pengunjung, mereka sampai berjejalan di seputaran liang lahat. Tekstur tanah perbukitan makam membuat para pelayat terpaksa berjajar di tepian tebing-tebing curam. Panitia memperingatkan agar mereka menjauh dari tebing untuk menghindari kejadian yang tak diinginkan.

Seruan itu mengingatkan penulis akan tragedi kemanusiaan Merapi. Andai saja pemerintah dan aparat berwenang lebih sigap memberi peringatan dini semacam itu. Bila perlu dengan cara paksa memboyong semua warga dari kawasan rawan bencana ke radius zona aman. Bukankah negara merupakan lembaga yang diberi kuasa untuk melakukan tindakan tegas demi keselamatan rakyat dari kemungkinan terburuk?
Dengan demikian, tak perlu ada korban jiwa berjatuhan, tewas terpanggang awan panas dan tertimbun abu vulkanik. Sampai coretan ini dibuat, tercatat tak kurang dari 100 nyawa melayang sia-sia. Anak kehilangan orang tuanya, orang tua menangisi kepergian anaknya, sanak famili meratapi tragedi yang datang tanpa dinyana.

Akhir kata, semoga arwah para korban diterima di pangkuan-Nya. Semoga tidak ada lagi korban erupsi Merapi ataupun ancaman sekunder banjir lahar dingin. Semoga aktivitas Merapi segera mereda. Semoga kita belajar dari seduhan kopi pahit pengalaman hidup ini, baik secara individu maupun kolektif. Alam tak bisa ditaklukkan. Manusialah yang musti menyelaraskan diri dengan segenap titah ciptaan. Semoga.

Pertama kali dipublikasikan di: http://regional.kompasiana.com/2010/11/09/lubang-7x20x2-m/

Mengungsi Memang (Tidak) Enak

Setidaknya terdapat 700 pengungsi Merapi di GOR UNY. Mereka berebahan di atas lapangan basket. Beralaskan matras dan tikar, tanpa bantal. Di setiap sudutnya tersedia toilet. Masing-masing memiliki 2 kamar mandi dan WC. Karena digunakan oleh banyak orang. Tentu saja aromanya cukup menyengat.

Para relawan menyediakan kantong plastik berukuran raksasa untuk tempat sampah. Sehingga kebersihan relatif terjaga. Saya berada di sana pada Sabtu malam antara jam 21.00-24.00, kebetulan ada siaran langsung sepakbola. Panitia memasang layar berukuran 2×1 m agar para pengungsi bisa nonton bareng. Tapi berbeda sekali rasanya dengan saat Piala Dunia. Misal saat terjadi gol, ada yang keceplosan berteriak. Buru-buru relawan mengingatkan agar pengungsi jangan ramai, karena banyak ibu dan balita yang sedang terlelap.

Aula GOR UNY tersebut juga non smoking area. Sehingga para remaja yang hobi merokok terpaksa keluar ruangan bila hendak menyesap kreteknya. Mereka membawa kartu remi dan snack kacang sebagai teman untuk menghabiskan malam panjang tersebut.

Tempat penampungan pengungsi ini menyediakan 1 posko kesehatan. Seorang dokter jaga bekerja cekatan dibantu oleh para asisten yang muda dan cantik dari STIKES, ”Nama siapa? Asal dari dusun mana? Usia berapa dan keluhannya apa Mas?” begitulah cara para perawat menyapa para pengungsi yang sakit. Kebanyakan pasien menderita infeksi saluran pernafasan akibat terlalu banyak menghisap abu vulkanik.

Pos pelayanan pengungsi di GOR UNY ini juga memiliki ruang khusus balita dan anak-anak. Di sana tersedia kasur, mainan serta buku bacaan berupa komik. Tapi kebanyakan anak-anak lebih memilih tetap bersama orang tuanya di lapangan basket. Hanya beberapa keluarga saja yang memanfaatkan sarana tersebut. Terutama yang mempunyai bayi.

Persediaan logistik, berupa nasi bungkus, nasi sterofoam (karena di taruh di sterofoam), aneka makanan ringan dan air mineral melimpah. Pengungsi relatif tercukupi kebutuhan perutnya. Bila hendak menyeduh kopi, teh, dan susu juga tersedia air panas.

Para pengungsi yang butuh men-cash Hp juga disediakan stop kontak dengan banyak colokan. Sehingga mereka tetap bisa berkomunikasi dengan sanak famili di luar Jogja yang tentu saja ingin mengetahui perkembangan dan situasi terkini.

Setiap kali ada pengungsi baru yang datang. Segera para relawan menghampiri, mempersilakan mereka untuk menempati tikar-tkar yang sudah digelar. Kemudian membagikan masker, selimut, dan nasi bungkus/nasi sterofoam kepada masing-masing keluarga.

2 rekomendasi kecil dari penulis ialah:

1.

Penyediaan layanan konseling dan terapi psikis bagi para pengungsi. Sebab bencana berkepanjangan ini niscaya menimbulkan luka secara psikologis. Apalagi mereka yang kehilangan orang-orang tercinta. Bila berlarut-larut bisa menyebabkan trauma, stres, dan depresi. Termasuk bagi anak-anak.

Mungkin sudah ada pelayanan tersebut pada siang atau pagi hari. Sebab saya melihat ada papan pajangan gambar anak-anak. Bagus sekali bila anak-anak pengungsi difasilitasi untuk menyalurkan kreatifitasnya lewat seni dan permainan lainya. Lanjutkan :-)

Pada jadwal acara di depan aula juga terpasang program senam massal pada pagi hari. Ini sangat membantu pengungsi agar tetap fit secara fisik.

2.

Saat masih di barak-barak pengungsian di atas. Para pasutri memohon agar disediakan “bilik bercinta”. Semoga petugas relawan di GOR UNY juga mendengarkan aspirasi tersebut.

Bencana Merapi belum tahu kapan akan berakhirnya, para pasangan suami-istri juga manusia biasa yang notabene butuh untuk sejenak rileks dan berkasih-kasihan.

Hiburan juga perlu ditambah. Misalnya dengan mengundang kelompok campur sari, keroncong, organ tunggal, dan kesenian daerah lainnya. Pasti banyak seniman Jogja yang bersedia menghibur para pengungsi secara cuma-cuma.

Walau sudah relatif memadai sarana dan pelayanan dari 300-an relawan di GOR UNY, tetap saja yang namanya mengungsi memang (tidak) enak. Privasi tidak ada dan ruang gerak terbatas sekali.

Saat menulis reportase ini untuk kompasiana.com, saya menyadari betapa berharganya kehidupan saya dalam kehidupan “biasa” sehari-hari. Tapi kadang saya lupa untuk bersyukur. Atas kamar pribadi, kasur empuk, selimut hangat, dan hal-hal sepele lainnya.

Acungan dua jempol buat UNY yang bersedia menyediakan tempat bagi para pengungsi Merapi, angkat topi kepada semua relawan yang bekerja tanpa pamrih siang dan malam. Tuhan yang Maha Esa yang membalas jasa dan budi baik kalian.

Akhirkata, bagi sidang pembaca kompasiana.com, semoga ada manfaatnya coretan singkat ini. Terimakasih…

Sumber: http://regional.kompasiana.com/2010/11/08/mengungsi-memang-tidak-enak/

Jangan Sepelekan Abu Merapi

Dimuat di Surat Pembaca, Kompas Jateng-DIY, Senin/15 November 2010

Tulisan ini sekedar merangkum apa yang dikatakan “Mbah Rono” alias Ir. Surono di salah satu televisi swasta. Hasil wawancara reporter cantik Tina Talisa. Niscaya berguna bagi saudara-saudari kita yang tinggal di seputaran Jateng - DIY. Serta daerah lain yang terkena guyuran abu vulkani Merapi.

Menurut ahli Vulkanologi tersebut, sebagian besar abu muntahan gunung berapi di Indonesia mengandung Silika. Kadarnya mencapai lebih dari 50 %. Yakni semacam bahan pembuat kaca, sehingga amat tajam. Sangat berbahaya bila masuk ke paru-paru, mata, ataupun organ tubuh lainnya. Selain itu, tak hanya mengancam keselamatan manusia, tapi juga ternak dan binatang peliharaan kita.

Sebagai langkah antisipatif penggunaan masker dan penutup hidung/mulut menjadi penting. Para relawan dan pengungsi perlu mengenakannya saat berada di luar rumah/barak pengungsian. Kemudian, kalau terlanjur terkena mata segera tetesi obat mata. Atau rendam dan kedip-kedipkan mata di dalam air bersih. Lebih bagus bila menggunakan air rebusan daun Sirih.

Sedangkan, untuk mengeluarkan/detoksifikasi abu yang terlanjur masuk ke dalam paru-paru. Dokter Hardhi Pranata SpS, Ketua Umum Perhimpunan Dokter Herbal Medik Indonesia (PDHMI) mengatakan, “Minum ramuan-ramuan herbal asli Indonesia yang mudah dijumpai seperti Kapulaga, Meniran, dan Jahe bisa membantu mengeluarkannya.

Kencur dan Kunyit dicampur Jeruk Nipis dan satu sendok kecap juga efektif mengeluarkan dahak dan riak dari saluran pernapasan. Ramuan ini bisa mengeluarkan debu-debu yang masuk saluran pernapasan,” imbuh dr. Hardhi.


http://green.kompasiana.com/polusi/2010/11/06/jangan-sepelekan-abu-merapi/

Letusan Merapi (30/10/2010) Dini Hari

Saat warga sedang terlelap, Merapi justru meletus kembali. Saya menulis laporan pandangan mata ini dari daerah Pakem Yogyakarta. Tepatnya di belakang Rumah Sakit Panti Nugroho di Jalan Kaliurang Km 20 Yogyakarta.

Sejak jam 00.00 WIB tadi seruan dari speaker petugas SAR telah membahana. Mereka memperingatkan warga untuk berjaga-jaga. Masker wajib dikenakan.

Saya sempat keluar dari rumah sekitar jam 01.00-02.00 WIB. Tapi hanya sesaat, lantas kembali masuk. Karena hujan abu turun tebal sekali. Air selokan berwarna kecoklatan. Langit mendung, sehingga puncak Merapi tak tampak. Kadang terdengar gemuruh, saya bertanya-tanya itu dari suara petir ataukah perut Merapi?

Warga Sempol, tempat base camp saya, banyak yang mengungsi ke arah selatan. Menuju ke kota Yogyakarta. Mereka mengendarai motor dan mobil. Melintasi jalan beraspal yang ditutupi oleh abu vulkanik Merapi.

Saat saya menulis ini, hujan abu sudah mulai menipis. Tetap berdoa dan bersiap-siaga menghadapi segala kemungkinan. Sebelum kejadian, ikan-ikan di dalam kolam berlompatan ke udara. Saya mengira ada ular di dalam kolam. Ternyata itu suatu pertanda. Makhluk yang katanya tak berakal itu lebih peka ketimbang kita manusia. Demikian laporan pandangan mata buat kompasiana.com. Terimakasih

Sumber: http://regional.kompasiana.com/2010/10/30/letusan-merapi-30102010-dini-hari/

Di Kaki Merapi

Di kaki Merapi aku bersimpuh

Di kaki Merapi aku merasa takjub

Di kaki Merapi aku merasa kecil

Di kaki Merapi aku tak bisa berkata-kata



Di kaki Merapi aku merasa utuh

Di kaki Merapi aku meneteskan air mata

Di kaki Merapi aku sirna

Tiada…



Yang tertinggal hanyalah

Gelap malam…

Dan…gemuruh keagungan abadi-Nya



Dipersembahkan utk Dedikasi dan Loyalitas Mbah Maridjan.



We Love U Mbah…

Yogyakarta, 26 Oktober 2010



Sumber: http://fiksi.kompasiana.com/puisi/2010/10/27/di-kaki-merapi/

November 03, 2010

5 Steps to Awareness

Published at: http://ezinearticles.com/?5-Steps-to-Awareness&id=5176951

Modern people tend to neglect the spiritual life. Most of us think that money can buy everything. However, there is one thing that is not being sold at any market shops. Pure happiness, this is an inner feeling that comes from within.

In Saadhana Panchakam, Adi Sankaracharya(788-820 CE), a great master from India wrote 5 basic principles to achieve happiness. Shankara presented a summary on how to perform sadhana. The word sadhana means practice. The goal is the highest joy that comes from our awareness which is one with the Absolute Reality.

Those steps are self knowledge, good company, awareness, discipline, and action.

Self knowledge is the realization of our true self. Merely, we are not this body, mind, and soul. There is something within us that beyond those three layers of consciousness. In India, people named It as the Self, the Atman or Purusha. This Self-Realization comes through a deep meditation.

Good company is a community which supports our spiritual growth. The members consist of loving and caring person. Commonly, they have a Perfect Master (Sat-Guru) as the center point of devotion. Everyday they serve His Lotus feet to cut down their arrogance and selfishness.

Awareness is the realization of unity and oneness. Thus, we are all interconnected and governed by the same law of nature. Discipline is a strict attitude in tune with the nature.

Last but not least, action as the ultimate step. Talking about food will no make us full. The most important thing is putting the food in our mouth, than chewing it. Therefore, let us take the first step to awareness today.

5 Steps to Awareness by Anand Krishna, reviewed by Nugroho Angkasa

First Published by Gramedia Pustaka Utama Indonesia (2006)

Number of Pages: 162