Maret 28, 2012

Tips Penting dari Yayasan Anand Ashram

Dimuat di Bebas Bicara, Bernas Jogja/28 Maret 2012

Berikut ini versi aslinya:

Tips Penting dari Yayasan Anand Ashram

Teman-teman sekalian, selama tahun 2012 ini telah terjadi badai di Matahari. Sehingga menyebabkan cuaca buruk di planet bumi dan beberapa planet lain. Dampaknya akan terasa sekali di negara-negara yang berada di dan sekitar garis katulistiwa (equator). Termasuk Indonesia tentunya.

Ini pula yang menyebabkan cuaca ekstrim dan angin kencang di mana-mana. Sehingga bisa menyebabkan sakit kerongkongan/pernapasan. Oleh sebab itu, kita mesti menjaga kesehatan. Berikut ini beberapa tips penting dari Yayasan Anand Ashram (berafiliasi dengan PBB) yang didirikan oleh Anand Krishna (14 Januari 1991):

1. Sedapat mungkin hindari es batu

2. Sedapat mungkin hindari gorengan yang berlebihan atau deep fried

3. Sedapat mungkin hindari segala macam daging merah

4. Minum juice lemon/jeruk nipis dengan air hangat, sebaiknya setiap pagi

5. Minum kelapa muda, sebaiknya di siang hari

6. Air/teh/wedang jahe di sore hari

7. Biasakan lebih banyak memakan lebih banyak sayuran hijau yang ditumis (tidak terlalu lama di masak/goreng).

Semuanya itu untuk memperbaiki sistem imunitas tubuh kita, sehingga lebih terhindar dari penyakit. Dan, jangan lupa berdoa kepada Hyang Maha Kuasa, supaya alam berdamai dengan makhluk bumi dan segenap titah ciptaan lainnya. Amin Amen Sadhu Om Shanti...

Monggo silakan disebarluaskan bila dirasa migunani (bermanfaat). Matur nuwun

Maret 19, 2012

NIM Meriahkan Pawai Budaya Damai di Malioboro

Dimuat di HL Kompasiana, 19 Maret 2012

http://sosbud.kompasiana.com/2012/03/19/nim-meriahkan-pawai-budaya-damai-di-malioboro/

1332176606681539159

Yogyakarta - Minggu (18/3) ada yang tak biasa di Malioboro. Jalan yang biasanya padat merayap karena padatnya arus kendaraan, sore itu terlihat lengang. Dari mulai Taman Parkir Abu Bakar Ali sampai Monumen Serangan Umum 1 Maret steril dari mobil dan motor. Hanya becak, sepeda, dan andong yang masih berjajar di jalur lambat sisi barat. Ribuan warga masyarakat tampak berjajar di sepanjang bibir jalan.

1332176658424234594

Ternyata ada Pawai Budaya Obor Perdamaian Nusantara. Acara kultural ini melibatkan 2.000-an peserta dari sekitar 40 komunitas dengan aneka latar belakang. Walau berbeda suku, agama, ras, status sosial, dst tetap bersatu merayakan pelangi kebinekaan di Bumi Mataram.

13321728781909550278

Obor Perdamaian Nusantara

Selain itu, karnaval bertajuk, “Jogja The City of Tolerance” melibatkan pula:

1. Komunitas Ormas Islam moderat

1332173181214452687

Kita Butuh Islam yang Ramah

2. LGBT yang notabene acapkali dipandang sebelah mata, didiskriminasikan, dan bahkan dilanggar kebebasan berkumpul dan berserikatnya.

1332176884635757036

3. Kelompok diffabel yang dianggap lemah namun sejatinya memiliki determinasi yang tinggi

1332177145987542569

4. Ramintenia,

1332177395397813089

5. penggemar sepeda onthel, dll

13321772921391392755

Ketua Panitia Ari Purnomo menerangkan bahwa obor perdamaian merupakan semangat dan komitmen perdamaian yang diprakarsai anak muda. “Kami prihatin akan berbagai kasus kekerasan di tanah air. Sebelumnya, obor sudah diarak di Kupang dan Manado. Target kami, setelah di sini akan diarak ke Aceh dan Ambon, yang juga memiliki banyak kasus kekerasan,” imbuhnya.

13321745481448297084

Cik Lily dari Magelang

National Integration Movement (NIM) atau Gerakan Integrasi Nasional tak mau ketinggalan turut memeriahkan pagelaran tersebut. Sayap kegiatan Yayasan Anand Ashram (berafiliasi dengan PBB) yang digagas Anand Krishna (11 April 2005) ini membawakan sederet lagu yang liriknya menggemakan Kedamaian, Cinta, dan Harmoni di antara putra-putri Ibu Pertiwi.

1332176098395975177

Gilang Memimpin Lagu-lagu

Tatkala bersua dengan para turis manca negara yang turut menyaksikan dan mengabadikan perhelatan budaya ini, spontan seluruh personil bernyanyi bersama diiringi gitar, jimbe, dan tamborin,

“No matter who you are, who you are,

no matter where your from, where your from,

let’s build this world together…

coz we are living on one earth,

we are living under one sky,

we are living as one humankind…

we’re all family!”

1332174964875776911

Melintasi depan Pasar Bringharjo

Kemudian saat melintasi pasar tradisional Bringharjo, bertemu simbok-simbok bakul pasar dan para tukang becak, lagunya berganti menjadi Cublak-cublak Suweng yang sudah diubah syairnya,

“Damai Indonesia, Damailah Indonesia,

Bersatu Indonesia,

Aneka suku bangsa, budaya, serta agama,

yuk bergandengan tangan yuk, bersatu semua…”


13321756661087969691

Apapun Agamamu Kita Orang Indonesia


Sedikit sharing, pada Senin (19/3) penulis bertemu satpam yang bekerja di perpustakaan Universitas Sanata Dharma (USD). Di pintu gerbang ia bertanya, “Kemarin ikut pawai di Malioboro ya Pak?” “Iya, lho kok tahu?” saya balik bertanya.

“Saya kemarin melihat di 00 km Malioboro, ikut komunitas lintas agama ‘kan Pak, kelihatan dari simbol-simbol yang dibawa ada beraneka macam,” imbuhnya

Sembari menerima karcis tiket motor utk tanda parkir, kembali terngiang syair lagu Piye Kabare,

“Apapun sukumu…kita orang Indonesia

Apapun agamamu…kita orang Indonesia!”

Sepakat dengan pendapat Anand Krishna, “Agamaku tak lebih baik dari agamamu (My Religion is not better than yours)” Sehingga bukan sekadar toleransi, tapi lebih pada apresiasi. Salam Jogja City of Appreciation!

13321782791239296838

Reportase: Nugroho Angkasa

Fotografer: Tunggul Setiawan

http://www.facebook.com/media/set/?set=a.3476775649204.2153457.1565616864&type=1

dan Michael Joglosemar

http://www.facebook.com/media/set/?set=a.3315745983704.2147468.1569846492&type=1

Open House Bersama Anand Krishna di Solo

Dimuat di Rubrik Jurnalisme Warga, Tribun Jogja, Senin, 19 Maret 2012

Pada Kamis (15/3) malam cuaca terasa bersahabat. Langit bertabur bintang, semilir angin bertiup sepoi-sepoi. Saat itu, Anand Krishna Information Center (AKIC) Solo menggelar Open House bersama Anand Krishna. Tepatnya di Jalan. Dworowati No.33 Sidokare, Surakarta. Anand dikenal sebagai seorang humanis, aktivis spiritual, dan penulis produktif 140 buku lebih.

Tepat pukul 19.00 WIB Suryaning Dewanti Sudharmadi selaku MC membuka acara dengan menyapa 200 peserta yang hadir. Dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Pariwisata (STIP) Sahid Solo tersebut mengucapkan terimakasih karena para hadirin bersedia meluangkan waktu untuk mencicipi latihan meditasi di AKIC Surakarta ini.

Kemudian ia mengajak seluruh peserta memejamkan mata. Alunan lagu persembahan Grup Musik Anand Krishna Center (AKC) Joglosemar menggema di seluruh ruangan hingga ke halaman depan.

Anand Krishna mulai berdialog dengan para peserta. Antara lain berisi wejangan seorang pujangga. Menurut beliau, terdapat 3 macam diri manusia. Pertama, diri kita menurut orang lain. Ada orang memuji, kita senang, tapi kalau ada orang mencaci-maki, kita bersedih hati. Artinya, kita masih dikendalikan oleh orang lain.

Kedua, diri menurut diri kita sendiri. Kita cenderung merasa paling hebat dan paling benar. Sehingga bisa memaksa orang lain dan enggan mendengarkan pendapat pihak lain. Ketiga, diri kita yang sejati. Inilah jiwa yang perlu kita temukan dengan meniti ke dalam diri.

Langkah awal yang harus ditempuh ialah melihat diri apa-adanya. Senada dengan petuah Mangkunegoro IV dalam Kitab Wedhatama, bahwa bila ada fleks atau noda di wajah kita, tak perlu ditutupi dan dibedaki.

“Kalau ada duka terpendam, rasa sedih itu harus dikeluarkan. Begitupula kalau ada rasa kesal, benci, semuanya “dimuntahkan.” Setelah mengeluarkan teriakan selama 3-7 menit niscaya Anda merasa lebih sehat. Pasca latihan, silakan mengecek tekanan darah. Denyut nadinya menjadi normal. Tapi kita juga perlu menjaga pergaulan agar tidak terkontaminasi lagi,” ujar Anand.

Dalam acara Open House ini, Anand Krishna juga menceritakan kemujaraban obat pencahar perut. Dahulu, pamannya di India berprofesi seorang dokter. Semua pasien yang datang diberi obat pencuci perut dan diminta kembali 3 hari lagi. Ternyata, sebagian pasiennya tak datang lagi alias sudah sembuh.

Uniknya, orang yang mengidap penyakit kanker, kalau dicek ternyata ususnya gosong, hitam legam. Terapinya sederhana, yakni dengan minum air dalam jumlah besar, sebanyak minimal 2 liter per hari. Selain itu, selama 3 minggu makan buah-buahan saja, hindari makan gorengan. Banyak pasien kanker bisa sembuh dengan cara ini.

Untuk versi panjangnya silakan klik di:

http://www.rimanews.com/read/20120318/57419/dari-pencahar-perut-sampai-apa-itu-jiwa

http://sosbud.kompasiana.com/2012/03/17/latihan-meditasi-untuk-kesehatan-holistik/

Matur Nuwun.

Maret 13, 2012

Anand Krishna Gelar Open House di Solo

RIMANEWS - Anand Krishna lahir di Surakarta, Jawa Tengah pada 1 September 1956. Ia lebih dikenal sebagai seorang aktivis spiritual lintas agama, nasionalis, humanis, budayawan dan penulis produktif 140 buku lebih. Walaupun berdarah keturunan India, tapi semangat kecintaannya terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sangatlah tinggi.

Kepeduliannya terhadap perkembangan jiwa masyarakat Indonesia diwujudkan dengan pendirian Yayasan Anand Ashram (berafiliasi dengan PBB – Department of Public Information sejak 15 Desember 2006) sebagai Centre for Holistic Health and Meditation sejak tahun 1991.

Love is the Only Solution ialah metode yang digunakan Anand Krishna dalam melakoni hidup di dunia ini. Yakni, untuk mewujudkan Peace, Love, and Harmony dalam Satu Bumi, Satu Langit dan Satu Umat Manusia (One Earth One Sky, One Humankind).

Sejak Agustus 2009 lalu, Anand Krishna bersama Maya Safira Muchtar diangkat secara resmi sebagai Ambassador dari Indonesia pada forum Parliament of the World's Religions. Mereka hadir sebagai pembicara pada forum ini yang pada tahun 2009 berlangsung di kota Melbourne, Australia (3-9 Desember 2009). Keduanya memaparkan tema “Mengapresiasi dan Membudayakan Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila untuk Mengatasi Radikalisme Agama di Indonesia". (Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Anand_Krishna)

Pada Kamis (15/3) tepat jam 19.00-21.30 WIB Anand Krishna mengadakan Open House di Solo. Silakan hadir dan mengajak teman-teman lain. Alamatnya di Anand Krishna Information Centre (AKIC) Jalan. Dworowati No. 33 Sidokare, Surakarta. Gratis dan terbuka untuk umum.

Kontak person: Adrian Kristanto: 081548546988. Monggo silakan undangan ini disebarluaskan. Terimakasih dan sampai jumpa!

_________________________

T. Nugroho Angkasa S.Pd, Kontributor Yayasan Anand Ashram

Mengucapkan Terima Kasih kepada Desa

Dimuat di Koran Jakarta, Selasa/13 Maret 2012

http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/85794

“Hidup ini indah jika tak menjadikan alam sebagai kuda tunggangan. Alam harus dijadikan mitra sehingga dia menjadikan manusia kawan.” (halaman 6)

Ngelmu srawung menjadi jurus ampuh Romo Kir, bukan untuk menjatuhkan lawan, melainkan untuk menjalin relasi. Secara khusus, dia berkarya di lereng barat Merapi selama 10 tahun. Mantan guru SD di Semarang tersebut menjabat sebagai Kepala Paroki Santa Maria Lourdes di Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah (2001-2011).

Pada bagian awal buku ini, Romo Vincentius Kirjito menyampaikan pesan mendalam (viii). Seyogianya manusia perlu meluangkan waktu untuk berhitung mundur. Mengapa? Hal itu dilakukan agar manusia dapat meninjau kejadian yang telah dialami.

Salah satu keuntungannya bisa sedikit bernostalgia. Kendati demikian, pada hakikatnya, hitung mundur niscaya melesatkan gerakan cepat ke masa depan. Ibarat roket, berhitung 9-8-7-6-5-4-3-2-1-0 dapat meluncurkan pesawat antariksa ke luar angkasa.

Tapak Romo Kir merupakan kumpulan tulisan para wartawan/wartawati seputar dinamika di lereng gunung berapi berketinggian 2.911 di atas permukaan laut itu. Sebelumnya, komunitas budaya ini pernah menerbitkan buku Kriwikan Tuk Mancur (2010).

Ada cerita unik di balik penjualan karya tulis di hadapan Uskup Agung Jakarta, Mgr Ign Suharyo, yang membeli dua eksemplar dengan harga 10 juta rupiah, kemudian dana tersebut digunakan untuk membangun Gubug Toya (halaman xiv).

Buku ini juga memuat artikel Bernard Kieser, SJ berjudul Saudara Merapi. Refleksi tersebut sempat dipublikasikan di majalah Weltweit. Ada korelasi erat antara orang kota dan masyarakat di pedesaan. Orang kota makin banyak mendirikan bangunan, maka kian sibuklah bisnis penambangan di lereng Merapi.

Ironisnya, penambangan tak hanya dilakukan di sungai, tetapi juga di ladang, sawah, dan hutan. Bahkan, mereka tak lagi menggunakan cara manual dengan cangkul, tetapi mengoperasikan back hoe. Akibatnya, daerah aliran sungai menjadi kering. Air tanah menguap sehingga pengobat dahaga bagi hamparan rumpun padi dan sayuran hijau kian langka.

Oleh sebab itulah, Romo Kir menggagas Gerakan Masyarakat Cinta Air (GMCA). Air bisa menyatukan kelompok pro maupun kontra penambangan dengan alat berat. Maklum, keduanya toh sama-sama membutuhkan H2O.

Hebatnya lagi, program edukasi ini juga menarik minat para siswa/siswi dari Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Bahkan, ada dari negeri mancanegara. Salah satu agenda favorit para siswa adalah jelajah sungai. Mereka harus melewati begitu banyak rintangan berupa bebatuan licin, lintah yang siap mengisap darah segar, serta gigitan nyamuk.

Christine Rossiana Atmodjo, seorang siswi dari SMA Ricci Jakarta, berbagi pengalamannya. “Membayar 650 ribu rupiah namun yang diperoleh jauh lebih banyak dari uang itu. Kami memperoleh ilmu yang langka, seperti kasih sayang yang begitu besar dari keluarga angkat, udara sejuk pegunungan, pemandangan indah setiap pagi, padi menguning, dan cekdam curam tempat memancing ikan. Semuanya sungguh tak ternilai,” katanya. Christine jadi lebih menghargai air, alam, lingkungan, dan diri sendiri (halaman 154).

Di sisi lain, aktivitas ini dapat meningkatkan rasa percaya diri wong ndesa (masyarakat pedesaan). Walau hanya tamatan Sekolah Rakyat, mereka piawai mengajari orang kota ngiles padi. Padi yang sudah dipanen dipisahkan dengan diinjak-injak.

Tapak Romo Kir dapat menjadi sumber inspirasi untuk lebih menghargai orang desa, air, alam, dan kearifan lokal. “Semua, terutama warga kota, harus berterima kasih kepada desa karena desa ibarat ibu yang melahirkan kecamatan, kabupaten, provinsi, dan negara,” ujar Kir, peraih Maarif Award 2010 tersebut.

Diresensi T Nugroho Angkasa, seorang guru di Yogyakarta

Judul : Tapak Romo Kir

Penulis : Kumpulan Tulisan Wartawan

Penerbit : Waktoe

Cetakan : 1/Februari 2012

Tebal : xx 273 halaman

Harga : Rp50.000


Maret 11, 2012

Gigih Melakoni Kehidupan

Dimuat di Jawapos, Minggu/11 Maret 2012

Berikut ini resensi versi awalnya. Nuwun


Judul: 366 Reflections of Life, Kisah-kisah Kehidupan yang Meneduhkan Hati

Penulis: Sidik Nugroho

Editor: Leo Paramadita G

Penerbit: Bhuana Ilmu Populer (BIP)

Cetakan: 1/Februari 2012

Tebal: x + 384 halaman

ISBN: 979-978-074-893-4

Harga: Rp54.000

Judul di atas terinspirasi oleh kegigihan Sansan (Ketabahan dan Kesabaran Ibu, halaman 374). Semula anaknya terlahir normal, tapi kemudian terserang virus ganas.

Si buah hati tercinta mendadak menjadi tuli. Kendati demikian, Sansan tidak menyerah. Ia justru memboyong Gwen, nama anaknya, ke Australia. Sansan terpaksa berjauhan dengan suami dan menjadi ibu tunggal. Ia bertekad melanjutkan studi ke jenjang S2.

Sansan memilih jurusan Special Education. Sebuah fakultas yang mendalami masalah pendidikan untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Sansan sangat disiplin dalam membagi waktu. Yakni antara berangkat kuliah, menggarap tugas makalah dari dosen, merampungkan pekerjaan rumah tangga, mengurus serta melatih Gwen.

Berbekal seluruh pengalamannya tersebut, ia menulis sebuah buku berjudul, “I Can (not) Hear.” Sansan berbagi ilmu pada khalayak ramai. Terutama ihwal bagaimana metode memfasilitasi proses belajar anak berkebutuhan khusus. Generasi masa depan dapat memperoleh kesempatan pendidikan yang setara.

Dari kisah nyata di atas, Sidik Nugroho mau mengatakan satu hal. Seyogianya, pengorbanan, usaha, ucapan syukur, dan kepasrahan musti dilakoni secara seimbang. Sebab, selama ini manusia cenderung pasif tatkala ditimpa kemalangan. Pun enggan bekerja keras dengan dalih (sok) moralis, “…semuanya sudah ada yang mengatur.” Padahal ini sekedar pembenaran untuk menutupi rasa malas.

Buku ini juga mengajak sidang pembaca menggeser sudut pandang (paradigm shift). Alkisah, seorang remaja merasa hidupnya sia-sia. Barangkali ia baru ditolak wanita idamannya ataupun (di)putus cinta. Di tengah keputusasaan tersebut, ia mendatangi seorang guru spiritual.

Sang guru menyimak keluh-kesah anak didiknya. Setelah si pemuda puas ber-curhat (curahan hati) ria, kini giliran guru yang berbicara, “Nak, tolong ambilkan sesendok garam, campurkan ke dalam segelas air, dan minumlah...” Si anak manut (menurut) saja. “Bagaimana rasanya?” tanya sang guru. “Piuuuh! Asin sekali!” jawab si murid sembari menyemburkan air tersebut.

Kemudian, sang guru mengajak si murid ke tepi telaga yang luas. Airnya begitu jernih dan segar. Guru itu kembali meminta murid melarutkan sesendok garam ke dalam telaga dan mengaduknya dengan sebilah bambu. “Sekarang rasakan bagaimana rasa air telaga tersebut!” perintah sang guru. “Air ini segar guru. Tak terasa asin sama sekali,” ujar si murid dengan mata berbinar.

Lewat kisah “Hati bak Telaga” (halaman 232) ini, Sidik Nugroho merayu sidang pembaca agar memiliki hati seluas telaga. Kenapa? Karena kalau kita memiliki hati sempit, niscaya setiap persoalan kecil akan membuat stres dan depresi.

Ketegaran warga Porong dapat menjadi teladan nyata. Walau sejak Mei 2006 hingga kini belum mendapat ganti rugi, toh mereka tetap bertahan (survive) dan kreatif. Bahkan bencana - raibnya 10.000 rumah, belasan pabrik, serta puluhan sekolah dari SD-SMA akibat lumpur Lapindo - diubah menjadi objek wisata. Turis dari seluruh penjuru Indonesia, bahkan mancanegara berduyun-duyun datang menonton "kawah" raksasa tersebut (halaman 281).

Sama halnya dengan masyarakat di lereng Merapi. Mereka menjadikan puing-puing rumah (almarhum) Mbah Maridjan di dusun Kinahrejo sebagai petilasan dan tempat ziarah. Tentu inisiatif rakyat di akar rumput (grassroot) tersebut tak boleh melenakan para pejabat yang pernah berjanji untuk memberi ganti rugi, membayar seluruh ternak warga yang mati, membangun hunian sementara (huntara), dan menyiapkan hunian tetap.

Buku ini juga memuat kisah romantis. Setiap subuh Mbah Khatijah menyuguhkan secangkir teh hangat. Pasangan hidupnya bernama Mbah Setyowikromo. Beliau bekerja sebagai penjual arang.

Mereka berdua tinggal di dusun Suko, berjarak 40 km dari kota Yogyakarta. Pemasukannya berkisar Rp2.000-Rp5.000/hari. Profesi ini telah ditekuni sejak zaman Belanda. Uniknya, tatkala berjualan arang di Kota Gudeg, Mbah Setyowikromo tak pernah mau jajan. Bahkan ia hanya makan sekali - itu pun selalu hasil masakan Mbah Khatijah sendiri - yakni pada petang hari.

Sang istri berjualan daun jati di pasar tradisional. Dengan menjalani kehidupan sederhana semacam ini, mereka bisa menabung di dalam celengan bambu. Sehingga kalau ada tetangga menggelar hajatan, mereka bisa memberi amplop berisi Rp20.000-Rp25.000. “Kami tidak tega menyantap makanan kenduren dengan lauk ayam ingkung goreng utuh jika belum membayarnya,“ jelas Mbah Khatijah (halaman 161).

Lewat kisah nyata tersebut, penulis buku ini mengajak sidang pembaca bercermin diri. Ternyata, martabat seseorang tak hanya ditentukan oleh kekayaan dan ketenaran. Namun lebih pada setiap tetes keringat untuk mencecap kebahagiaan hidup.

Bukankah saat ini banyak pejabat dan anggota dewan yang mencari uang dengan cara tak lazim (baca: korupsi). Padahal, kerja keras, kejujuran, dan pengorbanan merupakan rumusan universal untuk meraih keberhasilan. Tak ada jalan pintas, apalagi dengan menghisap uang rakyat.

Proses Panjang

Sidik Nugroho menulis buku “366 Reflections of Life, Kisah-kisah Kehidupan yang Meneduhkan Hati” ini dalam waktu relatif panjang. Yakni dari 2003-2011 (8 tahun). Isinya terdiri atas 366 refleksi kehidupan.

Ibarat menu pengobat rasa lapar, satu hari cukup 1 renungan. Sehingga bisa dikonsumsi selama setahun penuh. Sumbernya beragam sekali. Antara lain dari buku bacaan, film bioskop, interaksi di kelas, sampai pada perjumpaan dengan orang gila di warung kopi.

Ada sebuah inspirasi apik dari biografi On Writing karya Stephen King. Ketika kecil, ia sudah bisa mengarang cerita sendiri. Isinya tentang Mr. Rabbit Trick. Tokoh utama ini menjadi pemimpin 4 binatang ajaib. Setiap hari mereka berkeliling guna memberi pertolongan kepada anak-anak kecil.

Stephen lantas menyerahkan manuskrip itu kepada ibunya. Sang ibu merasa terkesan sekali dan memberi pujian penyemangat. Bahkan ia membayar 25 sen untuk setiap cerita yang dibuat King.

Tentu saja, hal ini memompa motivasi Stephen untuk terus menulis. Dalam waktu singkat, ia berhasil membuat 4 cerita dengan tokoh utama yang sama. “Empat cerita. Masing-masing 25 sen. Itulah upahku yang pertama dalam bisnis ini,” demikian tulis Stephen King dalam memoarnya (halaman 107).

Sejatinya sang ibu bukan sekedar mengajarkan anaknya menjadi mata duitan. Menurut Sidik, itu merupakan keberuntungan Stephen kecil. Kenapa? Karena ibunya menghargai kreatifitas dan jerih payahnya sejak usia dini.

Penulis buku ini piawai mengklasifikasikan materi seturut peristiwa penting. Misalnya, beberapa tulisan yang bernuansa pendidikan, ia tempatkan pada bulan Mei. Kenapa? Karena untuk memaknai hari Pendidikan Nasional. Sedangkan materi yang bernuansa cinta, tentu saja di bulan Februari. Tema ihwal nasionalisme ada di bulan Agustus.

Pada tahun 1929, Soekarno ditahan oleh Belanda. Karena pidato-pidato Bung Karno dinilai berbahaya. Tatkala ketua PNI (Partai Nasional Indonesia) itu berdiri di atas mimbar, ia bisa membius para pendengar sekaligus mengobarkan semangat perlawanan untuk meraih kemerdekaan.

Tak heran presiden R1 pertama itu dijuluki Singa Podium. Pun selama mendekam di dalam penjara Bung Karno tetap berjuang. Medianya ialah kertas dan pena. Ia menulis pledoi selama satu setengah bulan. Hebatnya, alas kertas tempatnya menulis ialah pispot. Ya, tempat pembuangan air seni dan tinja. Kelak buah pena dari balik jeruji itu dibukukan dengan judul Indonesia Menggugat (halaman 235).

Sebagai seorang guru SD Pembangunan Jaya 2 Sidoarjo, Sidik Nugroho memiliki banyak pengalaman berinteraksi dengan anak-anak. Ia berbagi juga 1 kisah unik. Pasca mengajar, penulis sering mengadakan kuis tanya-jawab. Mulai dari tebak lagu dengan merujuk pada nada-nada yang dimainkannya dengan gitar, tebak gambar yang dilukis seorang siswa di papan tulis, sampai sesi cerdas-cermat seputar materi yang telah disampaikan.

Tapi tak ubahnya orang dewasa, anak-anak juga tak siap menerima kekalahan. Bahkan ada yang sampai menangis jika kelompoknya tak menjadi pemenang. Solusinya ialah dengan menulis, “Siap Menang, Siap Kalah!” di papan tulis. Jadi setiap akhir kuis, sang guru menunjuk ke depan kelas. Serentak semua murid berteriak lantang - baik yang kalah maupun yang menang - membaca kesepakatan awal tersebut.

Satu kelemahan buku ini ialah ketiadaan daftar isi. Sehingga sidang pembaca agak kesulitan mencari judul refleksi tertentu. Kendati demikian, karya tulis ini dapat menjadi oasis di padang gersang rutinitas. Sepakat dengan pendapat Sidik Nugroho, "Salah satu alasan untuk membuat semangat hidup tetap terjaga ialah kenangan akan suatu momen yang indah." Selamat membaca! (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru Bahasa Inggris di PKBM Angon (Sekolah Alam) dan Ekstrakurikuler English Club di SMP Kanisius, Sleman, Yogyakarta)