Dimuat di HL Kompasiana, 19 Maret 2012
http://sosbud.kompasiana.com/2012/03/19/nim-meriahkan-pawai-budaya-damai-di-malioboro/
Yogyakarta - Minggu (18/3) ada yang tak biasa di Malioboro. Jalan yang biasanya padat merayap karena padatnya arus kendaraan, sore itu terlihat lengang. Dari mulai Taman Parkir Abu Bakar Ali sampai Monumen Serangan Umum 1 Maret steril dari mobil dan motor. Hanya becak, sepeda, dan andong yang masih berjajar di jalur lambat sisi barat. Ribuan warga masyarakat tampak berjajar di sepanjang bibir jalan.
Ternyata ada Pawai Budaya Obor Perdamaian Nusantara. Acara kultural ini melibatkan 2.000-an peserta dari sekitar 40 komunitas dengan aneka latar belakang. Walau berbeda suku, agama, ras, status sosial, dst tetap bersatu merayakan pelangi kebinekaan di Bumi Mataram.
Selain itu, karnaval bertajuk, “Jogja The City of Tolerance” melibatkan pula:
1. Komunitas Ormas Islam moderat
2. LGBT yang notabene acapkali dipandang sebelah mata, didiskriminasikan, dan bahkan dilanggar kebebasan berkumpul dan berserikatnya.
3. Kelompok diffabel yang dianggap lemah namun sejatinya memiliki determinasi yang tinggi
4. Ramintenia,
5. penggemar sepeda onthel, dll
Ketua Panitia Ari Purnomo menerangkan bahwa obor perdamaian merupakan semangat dan komitmen perdamaian yang diprakarsai anak muda. “Kami prihatin akan berbagai kasus kekerasan di tanah air. Sebelumnya, obor sudah diarak di Kupang dan Manado. Target kami, setelah di sini akan diarak ke Aceh dan Ambon, yang juga memiliki banyak kasus kekerasan,” imbuhnya.
National Integration Movement (NIM) atau Gerakan Integrasi Nasional tak mau ketinggalan turut memeriahkan pagelaran tersebut. Sayap kegiatan Yayasan Anand Ashram (berafiliasi dengan PBB) yang digagas Anand Krishna (11 April 2005) ini membawakan sederet lagu yang liriknya menggemakan Kedamaian, Cinta, dan Harmoni di antara putra-putri Ibu Pertiwi.
Tatkala bersua dengan para turis manca negara yang turut menyaksikan dan mengabadikan perhelatan budaya ini, spontan seluruh personil bernyanyi bersama diiringi gitar, jimbe, dan tamborin,
“No matter who you are, who you are,
no matter where your from, where your from,
let’s build this world together…
coz we are living on one earth,
we are living under one sky,
we are living as one humankind…
we’re all family!”
Kemudian saat melintasi pasar tradisional Bringharjo, bertemu simbok-simbok bakul pasar dan para tukang becak, lagunya berganti menjadi Cublak-cublak Suweng yang sudah diubah syairnya,
“Damai Indonesia, Damailah Indonesia,
Bersatu Indonesia,
Aneka suku bangsa, budaya, serta agama,
yuk bergandengan tangan yuk, bersatu semua…”
Sedikit sharing, pada Senin (19/3) penulis bertemu satpam yang bekerja di perpustakaan Universitas Sanata Dharma (USD). Di pintu gerbang ia bertanya, “Kemarin ikut pawai di Malioboro ya Pak?” “Iya, lho kok tahu?” saya balik bertanya.
“Saya kemarin melihat di 00 km Malioboro, ikut komunitas lintas agama ‘kan Pak, kelihatan dari simbol-simbol yang dibawa ada beraneka macam,” imbuhnya
Sembari menerima karcis tiket motor utk tanda parkir, kembali terngiang syair lagu Piye Kabare,
“Apapun sukumu…kita orang Indonesia
Apapun agamamu…kita orang Indonesia!”
Sepakat dengan pendapat Anand Krishna, “Agamaku tak lebih baik dari agamamu (My Religion is not better than yours)” Sehingga bukan sekadar toleransi, tapi lebih pada apresiasi. Salam Jogja City of Appreciation!
Reportase: Nugroho Angkasa
Fotografer: Tunggul Setiawan
http://www.facebook.com/media/set/?set=a.3476775649204.2153457.1565616864&type=1
dan Michael Joglosemar
http://www.facebook.com/media/set/?set=a.3315745983704.2147468.1569846492&type=1
1 komentar:
Baru lihat ada acara seperti ini di Jogja. Keren banget. Ada Media Nasional yang meliput kah?
Posting Komentar