April 26, 2014

Menghindari Jebakan Ranjau (Menulis) Biografi

Dimuat di Dunia Pustaka, Tribun Jogja, Minggu/27 April 2014
Berikut ini versi awal sebelum diedit Yth. Redaksi

Judul: Ranjau Biografi
Penulis: Pepih Nugraha
Penerbit: Bentang Pustaka
Cetakan: 1/Oktober 2013
Tebal : xxii + 178 halaman
ISBN: 978-602-7888-77-7
Harga: Rp 38.000,-

Saat ini hampir semua koran dan majalah memiliki rubrik sosok. Rubrik "Sosok" di harian Kompas misalnya, biasa tampil di halaman 16. Sejak Kompas berganti wajah pada 28 Juni 1985, banyak tokoh telah dimuat di sana. Tidak mesti orang terkenal, tapi yang penting biografi singkat mereka memberi inspirasi segar bagi pembaca. Mulai dari nilai kreativitas, orisinalitas, keberhasilan, hingga keunikan orang yang bersangkutan.

Di bagian pendahuluan buku ini, Pepih Nugraha menjelaskan bahwa rubrik "Sosok" menjadi eksklusif karena khusus memuat orang-orang berprestasi atau orang yang mampu menggerakkan orang lain. Bagi wartawan penulisnya, inilah lahan paling demokratis yang terbuka bagi siapa saja. Ada semangat kompetitif konstruktif yang terbangun dengan sendirinya, karena unsur berita "menarik" (interesting) jauh lebih mengemuka dibanding berebut lahan di halaman utama sebuah media yang pasti ditempati berita-berita langsung (straight) dan terkini (update) (halaman xiii).

Kalau dalam buku sebelumnya Menulis Sosok: Secara Inspiratif, Menarik, dan Unik (Penerbit Buku Kompas, 2013), alumnus Fakultas Komunikasi Universitas Padjajaran tersebut banyak berkisah tentang apa saja yang mesti dilakukan (the do) saat menulis sebuah biografi untuk koran atau majalah, maka dalam buku Ranjau Biografi ini pria kelahiran Tasikmalaya, 11 Desember 1964 tersebut mengulas secara terperinci sebelas "ranjau" yang mesti dihindari (the do not). Sebagian besar "ranjau" tersebut pernah ia temukan sendiri berdasarkan pengalaman empiris saat menulis sosok atau biografi singkat.

Misalnya, Cantik Sumber Inspirasi, Tetapi Menyimpan Bahaya Tersembunyi (Ranjau#5). Saat pelopor blog sosial Kompasiana tersebut menulis sosok Alexandra Kosteniuk di Kompas edisi Sabtu, 16 Maret 2002, beberapa rekan jurnalis sontak mengkritisinya. Bukan terkait kualitas atau konten tulisannya melainkan soal pilihan. Kenapa harus Alexandra Kosteniuk yang hanya meraih runner-up juara dunia? Mengapa bukan pecatur asal China, Zhu Chen yang notabebe menjadi juara dunia?

Singkat cerita, muncul asumsi kalau pertimbangannya sekadar isu seksis. Pepih dianggap hanya menulis sosok perempuan yang ia anggap cantik. Alih-alih bersikap resisten, suami Tantri Sulastri tersebut justru senang mendapat pertanyaan kristis dari koleganya. Di lingkungan redaksi Kompas memang biasa terjadi dinamika semacam itu dan sudah dianggap sebagai bagian dari pekerjaan yang wajar. Salah satu pertimbangan Pepih menulis sosok Sasha karena ia seorang dara multitalenta. Dunia Sasha bukan catur semata. Ia juga foto model dan penulis puisi (halaman 81).

Sistematika buku ini terdiri atas 11 bab. Setiap bab memaparkan satu "ranjau" dalam menulis sosok (feature) atau biografi singkat. Tak sekadar beretorika, ayah dua anak tersebut juga memberikan contoh tulisannya yang pernah dimuat di harian Kompas.  Pepih juga membuka interaksi lebih lanjut dengan pembaca yang berminat mendalami dunia jurnalistik lewat "sekolah menulis virtual" di http://facebook.com/pepih.nugraha atau di laman blog sosial http://kompasiana.com/pepihnugraha. Gratis dan terbuka untuk umum. Dalam konteks ini, tesis Rene Suhardono menjadi relevan, "Menulis bukan sekadar untuk merasa tahu (knowing), tapi untuk berbagi (sharing) dan berempati (caring)."

"Ranjau" berikutnya adalah Karena Masih Dianggap Bau Kencur (Ranjau#8). Menurut Pepih, selama ini rubrik Sosok Kompas terlalu didominasi oleh sosok-sosok dewasa, bahkan cenderung tua. Padahal baginya, anak-anak adalah inspirasi. "Lebih baik berpaling kepada anak-anak yang berprestasi sejak dini di tingkat dunia daripada mereka yang mungkin kebetulan meraihnya setelah dewasa (halaman 121)."

Fahma Waluya Rosmansyah (12) dan adiknya, Hania Pracika menjadi sosok orang Indonesia termuda yang pernah muncul di rubrik Sosok Kompas. Prestasi kedua tunas bangsa tersebut sangat membanggakan karena mereka tercatat sebagai pembuat aplikasi mobile paling belia di dunia. Fahma dan Hania juga pernah memenangi lomba pembuatan software Asia Pasific Information 2010 di Kuala Lumpur, Malaysia. Lomba tersebut diikuti 16 negara.

Pepih sempat menantang mereka membuat aplikasi ponsel dalam waktu lima menit. Seorang relawan, anak kelas 1 SD, meminta Fahma membuat kupu-kupu. Fahma langsung bekerja di laptopnya. Dengan software Adobe Flash, ia menggambar sebelah sayap kupu-kupu dengan tetikus, sayap satunya lagi tinggal menduplikasi sehingga tak lebih dari satu menit rancangan grafis kupu-kupu selesai. Fahma mewarnai kupu-kupu yang kelak bisa bergerak. Kurang dari empat menit animasi sudah tercipta, tinggal memasukkan suara (halaman 126).

Buku Ranjau Biografi ini sebuah referensi berharga bagi siapa saja yang hendak menulis sosok atau biografi singkat, sehingga dapat terhindar dari jebakan "ranjau". Menyitir pendapat Pepih Nugraha, "Pendekatan jurnalistik diperlukan untuk penulisan biografi daripada metode ilmiah seperti menyusun sejarah. Gunanya agar sosok atau biografi seseorang itu menjadi "hidup" sebagaimana orang menonton film." Selamat membaca! (T. Nugroho Angkasa S.Pd, guru privat bahasa Inggris, editor, dan penerjemah lepas. Tinggal di Kampung Nyutran, Jogjakarta).

April 22, 2014

Reaktualisasi Pemikiran Romo Mangun

Dimuat di Surat Pembaca, Suara Merdeka, Selasa/22 April 2014 
Berikut ini versi awal sebelum diedit Yth. Redaktur:

Siapa tak kenal almarhum Romo Mangun? Pria bernama lengkap Y.B Mangunwijaya Pr itu  ialah Indonesian Great Thinker (pemikir besar dari Indonesia). Beliau juga seorang budayawan, penulis buku, kolumnis di berbagai media cetak, arsitek, dan imam Katolik dari ordo Praja (Pr).

Beberapa waktu lalu, guna mereaktualisasikan pemikiran Romo Mangun dalam konteks kekinian, komunitas Mangunwijayan dan Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) menggelar dialog kebangsaan bertajuk “Romo Mangun Menggugat” pada Minggu malam (9/2/2014) di Aula Seminari Tinggi Santo Paulus, Kentungan, Jl. Kaliurang Km 7, Yogyakarta.

Lokasinya hanya seperlemparan batu dari Kerkop tempat jasad almarhum dikebumikan di pangkuan Ibu Pertiwi.  15 tahun silam, pada 10 Februari 1999 pejuang kemanusiaan yang rindu keadilan serta kebebasan itu mengembuskan nafas terakhir di Jakarta. Namun, warisan beliau berupa teladan nilai-nilai hidup senantiasa abadi.

Senada dengan pendapat Romo Yosep Suyatno Hadiatmojo Pr selaku Ketua Panitia. Inilah perbedaan antara warisan berupa materi dan warisan keteladanan hidup. Kalau warisan uang lama-kelamaan bisa habis. Namun, kalau warisan kebijaksanaan hidup dari almarhum Romo Mangun dapat terus berkembang jika kita gali bersama.

Warga eks Kedung Ombo, Sragen, Jawa Tengah dan Komunitas Kali Code, Yogyakarta yang pernah didampingi langsung secara intens oleh Romo Mangun juga hadir. Mereka rela duduk lesehan di aula. Menarik apa yang disampaikan Wakimin. Perwakilan warga eks Kedung Ombo, Romo Mangun itu tidak pernah membeda-bedakan agama A, B, atau C. Beliau pun siap sedia menolong masyarakat yang diintimidasi oleh pemerintah Orde Baru pada 1985-1989. Oleh sebab itu, sampai sekarang warga masih memajang foto Romo Mangun di setiap rumah. “Karena saking cintanya kami pada sang pejuang keadilan tersebut,” ujarnya.

Selain itu, pada 1979-1981, di bantaran Kali Code masih banyak berjajar rumah kumuh yang terbuat dari kardus bekas. Kalau menjelang kedatangan tamu kenegaraan ke Kota Gudeg, rumah-rumah kardus tersebut dibakar Satpol PP. Agar tak mengganggu pemandangan di sepanjang jalan. Di tengah apatisme kaum intelektual, Romo Mangun tanpa tedeng aling-aling menunjukkan keberpihakan kepada kaum miskin. Beliau tinggal bersama di tengah-tengah warga di bantaran Kali Code.

Menurut kesaksian Pendeta Bambang, jika ada petugas yang datang hendak membakar rumah-rumah kardus tersebut, Romo Mangun berkata tegas, “Bakar dulu saya!” Artinya, Romo Mangun tak hanya berkotbah di atas mimbar, tapi terjun langsung dan berjuang demi kaum marjinal.

Dari aspek sosial, ilustrasi yang disampaikan Ki Demang dari Komunitas Sunda Wiwitan menunjukkan sisi manusiawi Romo Mangun. Menurutnya, almarhum mengajari manusia agar jangan memagari rumah dengan beling (pecahan kaca). Namun, gunakanlah piring (makanan). Agar tetangga yang hendak berkunjung ke rumah merasa nyaman. Jangan seperti kebanyakan rumah-rumah di kota besar yang berpagar tinggi, dijaga satpam, dan ada tulisan: awas anjing galak! Kiranya filosofi tersebut kian menemukan relevansinya dalam konteks zaman modern dewasa ini, bukan?

Ahmad Zaenudin yang bertindak sebagai moderator diskusi turut urun rembug. Dalam pengantarnya, arsitek asal Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta tersebut memaparkan ciri-ciri bangunan ala Romo Mangun. Kalau disingkat menjadi 3 A. Yakni ayu (cantik atau indah), ayom (aman), ayem (damai dan nyaman). Bahkan di Gg. Kuwera, Yogyakarta Romo Mangun begitu telaten memanfaatkan potongan-potongan kayu ukuran 2 x 3cm. Material yang dipandang sebelah mata tetap memiliki nilai guna dan artistik. Sekecil apapun bahan yang tersisa jangan sampai dibuang percuma.

Acara malam itu juga dimeriahkan dengan aneka sajian seni dan budaya. Antara lain kelompok karawitan Santi Laras dari Turi, Yogyakarta, bhajan dari Komunitas Muda-mudi Hindu Narayana Semitri, petikan siter dan tembang Jawa dari Aris, dan pembacaan pernak-pernik kehidupan Romo Mangun oleh Nasarius Sudaryono. Dari situ tampak jelas bahwa sosok Romo Mangun dapat diterima oleh semua golongan dan lintas generasi pula.

Ramah Lingkungan

Ada sebuah kisah unik. Menurut Romo Yatno, almarhum sangat tidak setuju kalau ada areal tanah yang di-corblok. Kenapa? Karena air hujan tak bisa meresap ke dalam tanah. Alhasil, air langsung mengalir ke selokan dan kalau meluber akan menyebabkan banjir.

Romo Mangun ternyata juga suka membuat kolam ikan. Karena itu merupakan AC/pendingin alami. Kalau orang marah melihat ikan-ikan berenang-renang di kolam sontak bisa mereda tensinya. Selain itu, air kolam juga bisa untuk menyirami tanaman dan memberi kesegaran bagi lingkungan di sekitarnya.

Dari aspek teologis, tesis Kiai Muhaimin ada benarnya. Agama-agama saat ini cenderung bersifat teosentris. Sehingga nilai-nilai kemanusiaan kurang mendapatkan tempat. Bahkan hanya karena perbedaan pada aspek teologis, antar sesama manusia bisa saling ejek dan bersitegang. Dalam konteks ini, teladan kehidupan Romo Mangun dan Gus Dus tetaplah relevan. Beliau-beliau menggeser kecenderungan teosentris ke antroposentris. Bahkan tak hanya menjunjung tinggi kemanusiaan tapi juga sampai memuliakan lingkungan dan segenap titah ciptaan Tuhan.

Salah satu ilmu dari Romo Mangun ialah ngelmu selang atau paralon. Intinya, karunia Allah itu tak boleh dinikmati sendiri. Karena kalau disalurkan dan dibagikan kepada sesama bisa menyegarkan semua. Mirip seperti selang atau paralon air, kalau tersumbat bisa jebol. Tapi kalau dipakai untuk menyirami tanaman atau mengisi air kolam bisa memberi kehidupan. Selain itu, selang dan paralon juga tak pernah kering karena menjadi saluran untuk berbagi berkah.

Ada juga kisah menarik dari Anton Soedjarwo. Ia ketua Yayasan Dian Desa Jogjakarta. Pria berusia 66 tahun tersebut pernah tinggal serumah bersama Romo Mangunwijaya, Gus Dur (Ketua Pengurus Besar Nahdatul Ulama), dan dr. Sarino (Pendiri Taman Siswa) di Bali selama beberapa hari. Karena mereka menghadiri suatu pertemuan lintas iman.

Pada malam hari seusai seminar, mereka sering berbincang-bincang santai di ruang tengah. Intinya, semua setuju kalau penyebab terjadinya konflik atas nama agama dan kepercayaan di dunia ini karena manusia terlalu mementingkan bungkus luaran. Senada dengan pendapat Anand Krishna Ph.D, padahal esensinya kan sama, yakni berbagi kehidupan dengan cinta dan kasih.

Akhir kata, seiring makin memanasnya suhu politik nasional jelang  hajatan Pemilu 2014, dialog kebangsaan dan reaktualisasi pemikiran Romo Mangun kian menemukan relevansinya. Semoga gerakan-gerakan komunal menuju perdamaian multikultural dan lintas iman (interfaith) seperti yang dicita-citakan almarhum bisa segera terwujud.

April 12, 2014

Sepatu Jadul

Cerita Anak ini dimuat Rubrik Dunia Anak, Lampung Post, Minggu/13 April 2014 

Senin pagi ini Rahmad tak bersemangat pergi ke sekolah. Apalagi ketika ia harus memakai sepatu. Walau sepatu hitam tersebut masih baru dibeli, modelnya tak sesuai dengan tren anak jaman sekarang. Teman-teman sekelasnya di SD Budi Mulia sebagian besar menggunakan sepatu hitam dengan model perekat.

Di bagian atas sepatu model terbaru biasanya ada dua lapisan. Yang satu lapis lembut sedangkan yang satu lapis kasar. Cara merekatkannya pun praktis, tinggal menyatukan lapisan kasar dan lembut.  Sehingga tak perlu repot lagi mengikatkan tali sepatu.

Kemarin Minggu Rahmad sudah minta kepada ayah. Saat beliau hendak berangkat membelikan sepatu baru tersebut untuknya. Yakni agar ayah memilihkan model sepatu terbaru yang ada perekatnya. Tapi ayah malah membelikan sepatu model kuno yang masih menggunakan tali.

“Ini sepatu jelek! Aku tak suka modelnya…” keluh Rahmad saat mengeluarkan sepasang sepatu tersebut dari dalam kardus.

Ayah hanya diam saja. Beliau tak menanggapi keluhan Rahmad tersebut. Karena sebenarnya, ayah sempat mengajak Rahmad untuk pergi ke toko bersamanya. Sehingga bisa memilih sendiri sepatu model apa yang diinginkan. Tapi Rahmad tak mau, ia lebih senang bermain game online di rumah.

Sebagai solusi, ayah mengukur kaki Rahmad. Caranya dengan menggunakan sebatang lidi. Panjang lidi tersebut sama dengan panjang telapak kaki kanan Rahmad. Ukurannya memang pas, tapi modelnya tak sesuai dengan selera Rahmad.

**

Selama berada di dalam kelas, Rahmad tak bisa berkonsentrasi mengikuti pelajaran. Ia masih merasa kecewa dengan model sepatu yang ia kenakan tersebut. Ia juga berpikiran negatif, jangan-jangan kalau teman-teman sekelas memerhatikan sepatunya yang masih menggunakan tali, mereka akan mengejeknya. Karena modelnya yang jadul (jaman dulu).

Waktu terasa bergulir begitu lambat. Tepat pukul 13.00 WIB bel tanda pelajaran berakhir  berbunyi. Rahmad menarik dan menghembuskan nafas lega karena tak ada teman yang mengomentari sepatunya.

Ia lalu bergegas memasukkan buku-buku dan alat tulis ke dalam tas. Setelah doa penutup dan bersalaman dengan Bu Guru, ia melangkah pulang ke rumah. Jarak sekolah ke tempat tinggalnya tak seberapa jauh. Kalau berjalan kaki hanya membutuhkan waktu 15 menit.

Siang itu, matahari bersinar sangat terik. Sehingga menyebabkan aspal jalanan menjadi panas.  Tapi Rahmad masih terus bersungut-sungut. Ia tak menyadari bahwa sepatu model jadul yang ia pakai saat itu telah melindungi kaki kecilnya dari sengatan aspal yang bersuhu tinggi. Ibarat wajan penggorengan, jika ada telur dadar di atas aspal pasti dalam waktu tak sampai 5 menit sudah matang.

Di tikungan terakhir sebelum sampai ke rumah, Rahmad menyaksikan satu pemandangan yang menarik perhatiannya. Ada seorang lelaki tua “berjalan” menggunakan kursi roda. Beliau tidaak memiliki sepasang kaki. Mulai dari lutut hingga telapak kakinya telah hilang. Mungkin ia pernah mengalami kecelakaan sehingga harus diamputasi. Jadi agar bisa berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, ia harus memutarkan kedua roda dengan menggunakan tangannya.

Nah saat itu Rahmad baru mulai merenung. Ia langsung duduk di bangku taman di bawah sebuah pohon rindang. Lalu, ia merapatkan kedua kakinya dan memandangi sepatu jadul-nya dengan takzim. Rahmad menyesal sekali karena kemarin sore tak berterimakasih kepada ayah yang telah membelikan sepatu hitam tersebut. Padahal ayah sudah bekerja keras dan mengumpulkan uang.

Rahmad juga merasa menyesal karena tak mensyukuri anugerah Tuhan berupa sepasang kaki yang bisa mengantarnya kemanapun ia hendak pergi. Ia bisa melompat, berlari, dan bermain sepak bola.

Dalam hati ia bertekad, nanti sore akan minta maaf kepada ayah dan berterimakasih karena telah membelikan sepatu baru tersebut. Akhirnya, Rahmad berjalan pulang dengan langkah mantap sambil bersiul-siul gembira.

April 11, 2014

Kreativitas Mampu Bengkokkan Logika

Dimuat di Rubrik Pustaka, Bernas Jogja, Jumat/11 April 2014

Judul: Kreativitas Itu “Dipraktekin”

Penulis: Tim Wesfix

Penerbit: Grasindo

Cetakan: 1/September 2013

Tebal: x + 144 halaman

ISBN: 978-602-251-216-5

Budaya instan mengkondisikan orang ingin meraih hasil serba cepat. Padahal semua membutuhkan proses. Mustahil saat menanam padi langsung bisa menikmati sepiring nasi, bukan? Artinya, manusia memang harus taat pada kuasa sang waktu.

Sama halnya dalam melatih otot-otot kreativitas, sekadar mengetahui teori belum memadai. Di bahasa Inggris ada istilah practice makes perfect. Latihanlah yang mendekatkan orang pada kesempurnaan. Buku bersampul kuning ini memuat aneka cara untuk menjadikan kreativitas sebagai gaya hidup sehari-hari.

Misalnya, dengan memanfaatkan kanal di sosial media (sosmed). Saat seorang teman meng-update statusnya - baik lewat Facebook, Twitter, atau Path - jadikan itu ajang untuk mengasah kreativitas. Jangan hanya membubuhkan “like” (jempol). Tapi, tuliskan juga komentar lucu sehingga dapat mengundang senyum dan gelak tawa pembaca (halaman 67).

Selain itu, Tim Wesfix juga memaparkan bahwa inovasi tampak keren kalau sudah jadi. Tapi, pada awalnya sering dianggap aneh (freak).  Ada kisah unik di balik model celana 3/4 ala Michael Jordan. Ia pebasket pertama yang memopulerkan tren celana pendek yang melebihi lutut. Ternyata, Jordan  mencari cara agar tetap bisa memakai celana basket kesayangannya. Jadi, ia selalu memakai celana yang melebihi lutut sehingga celana double yang dipakai sebelumnya tidak kelihatan (halaman 50).

Sistematika buku ini terdiri atas 12 subbab. Seluruhnya mengupas serba-serbi seputar kreativitas. Mulai dari mengukur level kreatif seseorang, membangkitkan motivasi dari dalam diri, mengeksplorasi keunikan pribadi, sabar menanti masa inkubasi, hingga (checklist) daftar untuk mengabadikan temuan terbaru. Yakni, dengan meminta pembaca menuliskan 10 inovasi mutakhir pada 1.000 tahun ke depan.

Selanjutnya, ada juga analisis menarik terkait mekanisme kerja otak manusia. Ternyata, saat seseorang memaksa dirinya sendiri untuk menghasilkan sesuatu, alam bawah sadarnya justru mengalami kemacetan berpikir (mental block). Alhasil, semua usahanya sia-sia. Ia tak mampu menciptakan apapun.

Artinya, ketika otak tahu bahwa tuannya terlalu over alias berlebihan (dan itu berarti melenceng dari apa yang alami dan diyakini baik bagi dirinya) otak segera memerintahkan untuk berhenti berpikir. Menyikapi kondisi macet (stuck) semacam itu, petuah Paul Alen menemukan relevansinya, “Tidak perlu terlalu pusing dengan produktivitas. Fokuslah pada pertanyaan, apakah aku sudah memiliki tujuan jelas?”

Inilah yang disebut living purposely (halaman 105). Salah satu resep mujarab untuk memiliki tujuan hidup  yang jelas ialah dengan menuliskan obituari (pidato kematian). Riwayat hidup semacam apa yang mau diwariskan pada anak-cucu dan generasi selanjutnya? Lazimnya, para tokoh besar telah menyiapkan obituari jauh hari sebelum mereka meninggal dunia. Bukan karena mereka bosan hidup,  tapi untuk merangsang antusiasme.

Obituary juga dapat mendekatkan seseorang dengan pedalaman seluk-beluk batinnya. Manusia jadi lebih mengenal dirinya sendiri. Mengetahui apa cita-citanya dan makna kehadirannya bagi sesama makhluk ciptaan Tuhan. Monggo, silakan berimajinasi sebebas mungkin saat menyusun obituari, tapi yang terpenting jangan lupa untuk mewujudkannya selama nafas masih dikandung badan.

Lalu, penulis merekomendasikan model belajar ala anak kecil.  Mereka bisa sangat terperinci melukiskan apa yang baru saja dilihat. Dari detail yang dicermati dengan penuh rasa takjub tersebut, para pekerja kreatif juga dapat menimba inspirasi segar. Alhasil, ia tidak sekadar mencipta secara mekanis tapi juga bisa menangkap spiritnya.

Keunggulan buku Kreativitas Itu “Dipraktekin” terletak pada pilihan gaya bahasa. Pembahasan di dalamnya singkat, padat, dan jelas. Tampilannya juga full color (penuh warna-warni) cerah. Daya visualisasi pembaca niscaya terstimuli setiap kali membolak-balik halamannya. Namun, kritik pedas perlu dilayangkan untuk tim editor. Sebab, acapkali dijumpai kesalahan ketik. Hal ini sedikit mengganggu kenikmatan membaca.

Terlepas dari kelemahan minor tersebut, buku setebal 144 halaman ini sebuah referensi berharga. Karena dapat menjadi sarana untuk membengkokkan logika yang kaku. Menyitir tesis Picasso, “Musuh utama kreativitas ialah terlalu berpikir rasional.” Selamat membaca dan salam kreatif!

April 10, 2014

UN, Siapa Takut?

Dimuat di Opini Publik, Radar Surabaya, Jumat/11 April 2014

Tidak lama lagi siswa-siswi SMA dan SMP akan menghadapi Ujian Nasional (UN). Dalam konteks ini, persiapan (preparation) menjadi kunci utama untuk bisa sukses UN. Salah satu yang harus disiapkan ialah faktor mental anak didik.

Dalam acara pembekalan di SMP Kanisius Sleman, Yogyakarta, Romo Mintara Sufiyanta, SJ pernah menekankan pentingya perubahan cara pandang (paradigm shift) dalam diri para siswa. Intinya, tak perlu takut pada UN. "Ujianlah yang harus takut pada kalian,” tandasnya.

Selain itu, penting dipahami bahwa UNAS hanya salah satu simpul dalam peziarahan hidup seorang anak manusia. Jadi, semua ini pasti berlalu. Yang penting tetap belajar seperti biasa. Setiap hari luangkan waktu tambahan minimal 2 jam dari pukul 19.00-21.00 WIB. Meski demikian, doa dan tafakur juga diperlukan. Sehingga semangat dan ketenangan batin tetap terjaga. Senada dengan pepatah Latin, Ora et Labora.

Valentino Rossi bisa dijadikan teladan bagi para siswa. Juara dunia motor GP (Grand Prix) tersebut mengatakan bahwa naik ke podium hanyalah tambahan (bonus). Ini konsekuensi logis dari latihan yang dilakukannya setiap hari.

Akhir kata, sikap yakin, tenang, terus belajar dengan gembira niscaya memungkinkan setiap siswa untuk lolos UN. Di atas segalanya, pendidikan bukan sekadar untuk meraih angka (score), tapi lebih sebagai internalisasi nilai-nilai keutamaan (virtue value). Oleh sebab itu, kejujuran tetap harus dijunjung tinggi.

April 08, 2014

Mari Menjadi Pemilih Cerdas

Dimuat di Surat Pembaca, Suara Merdeka, Rabu/9 April 2014

Hiruk-pikuk musim kampanye telah usai. Sejak 17 Maret hing­­ga 5 April 2014, hari-hari kita se­­­olah penuh kontaminasi. Mulai da­­ri suara raungan knalpot pe­ser­ta kon­voi yang me­me­kakkan telinga hing­ga obral janji dalam kampanye partai dan caleg (ca­lon legislatif).

Kini saatnya segenap calon pe­­milih memasuki masa tenang. Agar dapat memilah dan me­nentu­kan pi­lihan secara arif dan cer­das pa­da Ra­bu, 9 April 2014. Satu suara ki­ta m­e­nentukan nasib bangsa ini se­la­ma 5 tahun ke depan (2014-2019).

Penulis sekedar meneruskan pedoman dasar dalam memilih partai, caleg, capres, dan cawa­pres kelak. Referensinya pendapat Ro­mo Franz Magnis Suseno SJ yang banyak tersebar di me­dia sosial dengan tagline vote smart (me­milih cerdas). Pakar Etika Po­litik Sekolah Tinggi Fil­sa­fat Diyar­ka­ra SJ tersebut menyuguhkan be­berapa kriteria yang dapat kita gu­nakan untuk memilih partai dan caleg.

Menghormati kebebasan ber­a­gama dan kelompok-kelompok minoritas. Antikekerasan (non-violence). Memiliki program-program yang pro-kerakyatan. Ber­lan­daskan pada Pan­casila dan UUD 1945. Men­jun­jung tinggi kebine­kaan dan keragaman budaya, etnis, suku. Ber­komitmen memberantas korupsi.

Adapun capres dan cawa­pres yang kita pilih harus memiliki kriteria: Punya integritas, 100% mengabdikan diri bagi keselamatan bangsa. Memiliki masa lalu yang bersih, tidak gelap, tidak ber­lumuran darah, tidak picik, ti­dak otoriter, tidak korup, dan me­miliki visi yang jelas tentang mau dibawa kemana bangsa ini ke depan.

Memiliki keberanian untuk mengambil keputusan yang tidak populer. Kalau yakin, dia harus berani mengajukan diri, jangan sibuk dengan pencitraan.

Tidak diragukan sebagai Pan­casilais, demokratis, dan membela Hak Asasi Manusia (HAM). Dapat dipercaya untuk menjamin keberagaman agama, etnis, budaya dan menjamin kebebasan minoritas.

Selamat memilih dengan arif dan cerdas. Dengarkan bisikan hati nurani demi kebaikan bersama. Meski ke­cil, coblosan kita di TPS (Tem­pat Pemungutan Sua­ra) dapat membawa bangsa ini kian dekat dengan cita-cita Pro­klamasi Kemerdekaan 17 Agus­tus 1945.




April 07, 2014

Orientasi kepada Murid

Dimuat di Majalah Basis, Nomor 03-04, Tahun ke-63, edisi April 2014

Judul: Guru Gokil Murid Unyu

Penulis: J. Sumardianta

Penerbit: Bentang Pustaka

Cetakan: 1/April 2013

Tebal: xiii + 303 halaman

ISBN: 978-602-7888-13-5

“Murid akan lupa jika hanya mendengar ceramah guru. Murid akan mengingat apa yang diperlihatkan gurunya. Murid akan memahami bila melakukan. Murid akan menguasai bila menemukannya sendiri.” (hlm. 21)

Itulah yang sungguh dipraktikkan oleh J. Sumardianta, guru Sosiologi SMA Kolese De Britto Yogyakarta di ruang kelas. Misalnya dengan memutarkan film The City of Joy bagi para murid yang semuanya lelaki dan boleh berambut gondrong.

Dalam buku ini, ia berpendapat bahwa sinema hasil adaptasi dari novel Dominique Lapierre merupakan salah satu terapi mujarab untuk mengubah sikap siswa yang apatis, minimalis, dan berkepedulian sosial rendah. Film tersebut berlatar belakang kehidupan kumuh (slump) di Anand Nagar, Kalkuta, India. Isinya mengisahkan militansi seorang gadis kecil dari Bengali (a little heroic Bengali girl), namanya Patmini.

Paska nobar (nonton bareng) ia meminta para siswa untuk membuat tulisan tentang kesan mereka atas nilai keutamaan sederhana (simply amazing) yang telah diperoleh. Selain itu, para murid juga harus mengkontraskannya dengan keseharian hidup mereka. Dengan cara ini, siswa yang semula lemah kehendak jadi penuh semangat dan syukur (hlm. 255).

Sumardianta juga mengkritisi salah urus pendidikan dengan menyatakan bahwa mutu pendidikan yang difasilitasi negara telah terjun bebas dan menjadi sekadar pelatihan menjadi bodoh (stupidikasi). Agar lulus ujian nasional (UN) pun para siswa harus mati-matian menghapal tanpa pemahaman. Padahal nilai UN bagi siswa SMA cenderung mubazir karena tidak bisa dipakai untuk masuk ke perguruan tinggi negeri (PTN).

Nasib siswa SMK, setali tiga uang, ketika mencari kerja yang diverifikasi bukan nilai UN tapi kecakapan keras (hardskill) dan lunak (softskill) dalam bidang permesinan (mekanik), pengolahan makanan (jasa boga), peternakan, perikanan, dan pertanian.

Selain kritikan cerdas atas dunia pendidikan, buku ini juga ditaburi dengan metafor dan banyolan segar. Misalnya guru juga laksana induk ayam, yang tidak memaksakan kehendak kepada anak-anaknya, tapi lebih memandirikan, memberdayakan, melindungi, dan menjadi rekan dialog peserta didiknya.

Pak Guru, demikian ia akrab dipanggil mengaku terinspirasi dari Butet Kertaredjasa, yang membiasakan hidup rileks dan tak mudah disulut amarah. Bercanda membuat saraf kendur dan membuat pembuluh darah longgar. Selain itu, kelakar juga merupakan – meminjam istilah antropolog James Scott – weapon of the weak, senjata bagi kaum yang terbenam dalam lumpur kesusahan dan kesulitan hidup (hlm. 44).

Buku setebal 303 halaman ini ialah manifesto dedikasi seorang guru bermentalitas kelimpahan (abundance mentality). Bukan sekadar tukang mengajar selfish yang mengurusi diri sendiri. Sebab selaras dengan tesis Deepak Chopra, “Aku di sini untuk melayani. Aku di sini untuk menginspirasi. Aku di sini untuk mencintai. Aku di sini untuk menghayati kebenaran.” Selamat membaca dan salam pendidikan!  

April 04, 2014

Belajar Bahasa Inggris lewat Outdoor Study

Dimuat di Suara Guru, Rubrik Inovasi, Suara Merdeka, Sabtu/5 April 2014

http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2014/04/05/257770/16/Belajar-Bahasa-Inggris-lewat-Outdoor-Study

Belajar tak melulu harus duduk manis di dalam ruangan kelas. Hanya ada media papan tulis, bangku, meja, tembok, dan lantai. Menyerap ilmu pengetahuan dan melatih kemampuan (skill) berbahasa Inggris juga dapat dilakukan di luar kelas (outdoor study).

Contohnya dengan mengajak para siswa ke tempat-tempat wisata. Tapi, para guru/fasilitator perlu selektif menentukan destinasi rekreasinya. Lebih baik memilih tempat wisata yang banyak dikunjungi para turis asing. Misalnya kalau di Magelang, Jawa Tengah, ada Candi Borobudur dan Candi Mendut.

Kalau di Yogyakarta, ada Malioboro, Taman Sari, dan Candi Prambanan. Agar para siswa dapat langsung berdialog dengan para turis memakai bahasa Inggris. Mau tak mau anak didik harus berbahasa Inggris. Kenapa? Karena mayoritas pelancong asing tersebut tidak bisa berbicara dalam bahasa Indonesia.

Alhasil, para murid bisa belajar lewat praktik (learning by doing). Kata kuncinya ialah "sersan" alias serius tapi santai. Tak apa melakukan kesalahan secara gramatikal dan perbendaharaan kosa kata terbatas, toh masih dalam tahap belajar. Yang penting, para siswa berani menyapa dan bercakap-cakap dengan bahasa Inggris.

Latihan Mental

Menurut Adelia Vera, kelebihan utama kegiatan belajar-mengajar di luar kelas adalah mendorong motivasi belajar siswa (Diva Press, 2012). Motivasi belajar itu muncul akibat setting kegiatan di alam terbuka.

Sekadar sharing pengalaman, penulis juga acap mengajak para siswa les privat ke Malioboro, Yogyakarta. Kebetulan jaraknya tak begitu jauh dari rumah. Tepat di depan Monumen Serangan Umum 1 Maret banyak turis berlalu-lalang. Alhasil, para murid bisa leluasa menyapa dan mempraktikkan kemampuan berbicara (speaking) dengan menggunakan bahasa Inggris. Selain mengasah keterampilan bahasa, para siswa juga latihan mental dan belajar percaya diri.

Model belajar di luar kelas (outdoor study) tak hanya bisa diterapkan dalam proses pembelajaran bahasa Inggris, tapi juga untuk mata pelajaran lain. Misalnya untuk pelajaran Biologi, para siswa bisa diajak ke taman bunga untuk mengamati proses penyerbukan yang dibantu oleh kupu-kupu. Meminjam istilah Eko Budiharjo, yang dibutuhkan hanya determinasi dan niat untuk think and act out of the box alias berpikir dan bertindak nggiwar. (24)

April 02, 2014

Pendidikan Cinta Air

Dimuat di Surat Pembaca, Suara Merdeka, Kamis/3 April 2014

Hari Air Sedunia (World Day for Water) bertujuan untuk menarik perhatian publik terkait pentingnya air bersih. Selain itu, juga untuk melindungi pengelolaan sumber daya air secara berkelanjutan (sustainable) sampai anak dan cucu di masa depan. Inisiatif tersebut resmi diumumkan saat sidang umum PBB ke-47 di Rio de Janeiro, Brasil. Resolusi nomor 147/1993 menetapkan pelaksanaan peringatan Hari Air Sedunia setiap 22 Maret dan mulai diperingati pertama kali pada 1993.

Pertanyaannya, bagaimana cara menanamkan rasa cinta air dalam konteks pendidikan? Tak sekadar beretorika, Oppie Andaresta memberikan solusi praktis. Ia menggagas gerakan sederhana. Penyanyi kondang itu mengajak para pendengarnya, ”Hidup Hijau Sekarang Juga”. Sejak dini, dia mengajari anak-anak cara menyikat gigi yang ramah lingkungan.

Pertama, siapkan dulu sikat dan pasta giginya. Kedua, selama menyikat gigi keran air wajib dimatikan. Ketiga, saat berkumur wadahi air di dalam cangkir agar tidak boros air. Tak hanya di rumah, cara tersebut juga bisa diterapkan di sekolah bukan?

Secara lebih mendalam, dalam buku Mengungkap Misteri Air Mengubah Dunia dengan Kesadaran Baru (One Earth Media, 2005), Ir Triwidodo Djokorahardjo, M.Eng Nina Natalia, Ir Gede Merada, dan Anand Krishna PhD memaparkan sebuah keajaiban air. Menurut Ir. Triwidodo, zaman dulu belum banyak teknologi canggih. Tapi, orang tua yang hendak memanggil anaknya yang berada di luar kota bisa melakukan dengan memanggil-manggil nama sang anak lewat gentong berisi air. Lewat medium air tersebut, komunikasi antarmanusia dapat terjadi. Itulah handphone untuk zaman baheula.

Dr Masaru Emoto lewat bukunya Messages From Water juga memberikan kabar baik pada dunia. Lewat serangkaian riset panjang, dia menemukan bahwa molekul-molekul air dapat terpengaruh oleh pikiran, perasaan, perkataan, dan tindakan manusia. Ilmuwan Jepang dan tim penelitinya tersebut melakukan eksperimen di laboratorium. Caranya dengan memakai cawan petri. Lalu mereka membekukannya selama 3 jam dalam suhu -20 derajat selsius. Hasilnya, terbentuklah butiran es di permukaan cawan petri setebal 1 milimeter. Bentuk kristal baru akan terlihat saat ada cahaya pada bagian mahkota dari butiran es tadi.

Ternyata, tak semua cawan petri menghasilkan bentuk kristal yang sama. Bahkan ada yang tidak membentuk kristal sama sekali. Air keran dari Tokyo, hasilnya begitu mengecewakan. Tak ada satu pun kristal yang terbentuk. Menurut Emoto, penggunaan chlorine dalam dosis tinggi justru menghancurkan struktur alami air. Sebaliknya, air dari sumber alami seperti air zam-zam, Lourdes, Sungai Gangga, senantiasa menampilkan bentuk-bentuk kristal heksagonal yang indah.

Salah satu percobaan lainnya dengan memerdengarkan musik ke sebotol air minum dalam kemasan. Ia menaruhnya di atas meja yang diapit oleh dua pengeras suara (speakers). Lantas, dia memutar musik dengan volume normal seperti yang diperdengarkan kepada manusia.

Hasilnya sungguh menakjubkan. Pastoral Symphony karya Beethoven, dengan alunan nada yang jelas dan bening, menghasilkan kristal-kristal sempurna. Begitu pula dengan Symphony No 40 karya Mozart, yang merupakan puji-pujian untuk keindahan, membentuk kristal-kristal yang halus dan elegan. Sementara Etitude in E, Op. 10 no 3 karya Chopin menampilkan detail-detail yang presisinya tinggi.

Artinya, musik-musik klasik karya para maestro dunia memang menghasilkan bentuk-bentuk kristal yang eksotis. Alunannya cocok untuk mengiringi siswa belajar. Berdasarkan penelitian Emoto dkk, ungkapan cinta (love) dan syukur (gratitude) niscaya menghasilkan struktur kristal yang indah.

Ada sebuah kisah unik lainnya dalam peringatan 15 tahun wafatnya YB Mangunwijaya di Seminari Kentungan, Yogyakarta (9/2/2014). Menurut Romo Yatno, dulu almarhum Romo Mangun sangat tidak setuju kalau ada areal tanah yang di-corblok.

 Kenapa? Karena air hujan tak bisa meresap ke dalam tanah. Alhasil, air langsung mengalir ke selokan dan kalau meluber akan menyebabkan banjir di mana-mana. Romo Mangun juga suka membuat kolam ikan di pekarangan. Karena itu merupakan pendingin alami. Kalau orang marah, melihat ikan-ikan berenang di kolam sontak bisa mereda tensi darahnya. Selain itu, air kolam juga bisa untuk menyirami tanaman dan memberi kesegaran bagi lingkungan di sekitarnya.

Akhir kata, peringatan Hari Air Sedunia 2014 dapat menjadi tonggak awal kesadaran bersama untuk lebih mencintai air.  Tiga hal sederhana namun berdampak besar yang bisa dilakukan ialah hemat air, mengurangi pencemaran air, dan membuat kolam ikan di lingkungan sekitar. Kalau bukan kita lantas siapa? Kalau bukan sekarang lalu kapan?