April 22, 2014

Reaktualisasi Pemikiran Romo Mangun

Dimuat di Surat Pembaca, Suara Merdeka, Selasa/22 April 2014 
Berikut ini versi awal sebelum diedit Yth. Redaktur:

Siapa tak kenal almarhum Romo Mangun? Pria bernama lengkap Y.B Mangunwijaya Pr itu  ialah Indonesian Great Thinker (pemikir besar dari Indonesia). Beliau juga seorang budayawan, penulis buku, kolumnis di berbagai media cetak, arsitek, dan imam Katolik dari ordo Praja (Pr).

Beberapa waktu lalu, guna mereaktualisasikan pemikiran Romo Mangun dalam konteks kekinian, komunitas Mangunwijayan dan Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) menggelar dialog kebangsaan bertajuk “Romo Mangun Menggugat” pada Minggu malam (9/2/2014) di Aula Seminari Tinggi Santo Paulus, Kentungan, Jl. Kaliurang Km 7, Yogyakarta.

Lokasinya hanya seperlemparan batu dari Kerkop tempat jasad almarhum dikebumikan di pangkuan Ibu Pertiwi.  15 tahun silam, pada 10 Februari 1999 pejuang kemanusiaan yang rindu keadilan serta kebebasan itu mengembuskan nafas terakhir di Jakarta. Namun, warisan beliau berupa teladan nilai-nilai hidup senantiasa abadi.

Senada dengan pendapat Romo Yosep Suyatno Hadiatmojo Pr selaku Ketua Panitia. Inilah perbedaan antara warisan berupa materi dan warisan keteladanan hidup. Kalau warisan uang lama-kelamaan bisa habis. Namun, kalau warisan kebijaksanaan hidup dari almarhum Romo Mangun dapat terus berkembang jika kita gali bersama.

Warga eks Kedung Ombo, Sragen, Jawa Tengah dan Komunitas Kali Code, Yogyakarta yang pernah didampingi langsung secara intens oleh Romo Mangun juga hadir. Mereka rela duduk lesehan di aula. Menarik apa yang disampaikan Wakimin. Perwakilan warga eks Kedung Ombo, Romo Mangun itu tidak pernah membeda-bedakan agama A, B, atau C. Beliau pun siap sedia menolong masyarakat yang diintimidasi oleh pemerintah Orde Baru pada 1985-1989. Oleh sebab itu, sampai sekarang warga masih memajang foto Romo Mangun di setiap rumah. “Karena saking cintanya kami pada sang pejuang keadilan tersebut,” ujarnya.

Selain itu, pada 1979-1981, di bantaran Kali Code masih banyak berjajar rumah kumuh yang terbuat dari kardus bekas. Kalau menjelang kedatangan tamu kenegaraan ke Kota Gudeg, rumah-rumah kardus tersebut dibakar Satpol PP. Agar tak mengganggu pemandangan di sepanjang jalan. Di tengah apatisme kaum intelektual, Romo Mangun tanpa tedeng aling-aling menunjukkan keberpihakan kepada kaum miskin. Beliau tinggal bersama di tengah-tengah warga di bantaran Kali Code.

Menurut kesaksian Pendeta Bambang, jika ada petugas yang datang hendak membakar rumah-rumah kardus tersebut, Romo Mangun berkata tegas, “Bakar dulu saya!” Artinya, Romo Mangun tak hanya berkotbah di atas mimbar, tapi terjun langsung dan berjuang demi kaum marjinal.

Dari aspek sosial, ilustrasi yang disampaikan Ki Demang dari Komunitas Sunda Wiwitan menunjukkan sisi manusiawi Romo Mangun. Menurutnya, almarhum mengajari manusia agar jangan memagari rumah dengan beling (pecahan kaca). Namun, gunakanlah piring (makanan). Agar tetangga yang hendak berkunjung ke rumah merasa nyaman. Jangan seperti kebanyakan rumah-rumah di kota besar yang berpagar tinggi, dijaga satpam, dan ada tulisan: awas anjing galak! Kiranya filosofi tersebut kian menemukan relevansinya dalam konteks zaman modern dewasa ini, bukan?

Ahmad Zaenudin yang bertindak sebagai moderator diskusi turut urun rembug. Dalam pengantarnya, arsitek asal Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta tersebut memaparkan ciri-ciri bangunan ala Romo Mangun. Kalau disingkat menjadi 3 A. Yakni ayu (cantik atau indah), ayom (aman), ayem (damai dan nyaman). Bahkan di Gg. Kuwera, Yogyakarta Romo Mangun begitu telaten memanfaatkan potongan-potongan kayu ukuran 2 x 3cm. Material yang dipandang sebelah mata tetap memiliki nilai guna dan artistik. Sekecil apapun bahan yang tersisa jangan sampai dibuang percuma.

Acara malam itu juga dimeriahkan dengan aneka sajian seni dan budaya. Antara lain kelompok karawitan Santi Laras dari Turi, Yogyakarta, bhajan dari Komunitas Muda-mudi Hindu Narayana Semitri, petikan siter dan tembang Jawa dari Aris, dan pembacaan pernak-pernik kehidupan Romo Mangun oleh Nasarius Sudaryono. Dari situ tampak jelas bahwa sosok Romo Mangun dapat diterima oleh semua golongan dan lintas generasi pula.

Ramah Lingkungan

Ada sebuah kisah unik. Menurut Romo Yatno, almarhum sangat tidak setuju kalau ada areal tanah yang di-corblok. Kenapa? Karena air hujan tak bisa meresap ke dalam tanah. Alhasil, air langsung mengalir ke selokan dan kalau meluber akan menyebabkan banjir.

Romo Mangun ternyata juga suka membuat kolam ikan. Karena itu merupakan AC/pendingin alami. Kalau orang marah melihat ikan-ikan berenang-renang di kolam sontak bisa mereda tensinya. Selain itu, air kolam juga bisa untuk menyirami tanaman dan memberi kesegaran bagi lingkungan di sekitarnya.

Dari aspek teologis, tesis Kiai Muhaimin ada benarnya. Agama-agama saat ini cenderung bersifat teosentris. Sehingga nilai-nilai kemanusiaan kurang mendapatkan tempat. Bahkan hanya karena perbedaan pada aspek teologis, antar sesama manusia bisa saling ejek dan bersitegang. Dalam konteks ini, teladan kehidupan Romo Mangun dan Gus Dus tetaplah relevan. Beliau-beliau menggeser kecenderungan teosentris ke antroposentris. Bahkan tak hanya menjunjung tinggi kemanusiaan tapi juga sampai memuliakan lingkungan dan segenap titah ciptaan Tuhan.

Salah satu ilmu dari Romo Mangun ialah ngelmu selang atau paralon. Intinya, karunia Allah itu tak boleh dinikmati sendiri. Karena kalau disalurkan dan dibagikan kepada sesama bisa menyegarkan semua. Mirip seperti selang atau paralon air, kalau tersumbat bisa jebol. Tapi kalau dipakai untuk menyirami tanaman atau mengisi air kolam bisa memberi kehidupan. Selain itu, selang dan paralon juga tak pernah kering karena menjadi saluran untuk berbagi berkah.

Ada juga kisah menarik dari Anton Soedjarwo. Ia ketua Yayasan Dian Desa Jogjakarta. Pria berusia 66 tahun tersebut pernah tinggal serumah bersama Romo Mangunwijaya, Gus Dur (Ketua Pengurus Besar Nahdatul Ulama), dan dr. Sarino (Pendiri Taman Siswa) di Bali selama beberapa hari. Karena mereka menghadiri suatu pertemuan lintas iman.

Pada malam hari seusai seminar, mereka sering berbincang-bincang santai di ruang tengah. Intinya, semua setuju kalau penyebab terjadinya konflik atas nama agama dan kepercayaan di dunia ini karena manusia terlalu mementingkan bungkus luaran. Senada dengan pendapat Anand Krishna Ph.D, padahal esensinya kan sama, yakni berbagi kehidupan dengan cinta dan kasih.

Akhir kata, seiring makin memanasnya suhu politik nasional jelang  hajatan Pemilu 2014, dialog kebangsaan dan reaktualisasi pemikiran Romo Mangun kian menemukan relevansinya. Semoga gerakan-gerakan komunal menuju perdamaian multikultural dan lintas iman (interfaith) seperti yang dicita-citakan almarhum bisa segera terwujud.

Tidak ada komentar: