Oktober 30, 2013

Sosok Mulia Itu Bernama Ibu

Dimuat di Bernas Jogja, Kamis/31 Oktober 2013

138317889836307344

Sumber Foto: http://www.galangpress.com/

Judul: Bread for Venus, Pesan Cinta Ibu dan Putrinya
Penulis: Lintong Simaremare dan para Kontributor
Penyunting: Danang Budi Nurcahyo
Penerbit: Galang Pustaka Yogyakarta
Cetakan: 1/ Agustus 2013
Tebal: xii + 112 halaman
ISBN: 978-602-9431-25-4
Harga: Rp30.000

“Hadiah terindah bukan apa yang ingin kita dapatkan, namun apa yang diberikan dengan upaya-upaya cinta dan sebuah ketulusan.” - halaman 31

Bahtera keluarga muda diterjang badai tatkala mengarungi samudera kehidupan. Bahkan sang istri sampai beranggapan bahwa tidak mungkin bahagia kalau terus bersama suaminya di bawah satu atap. Lalu, sang istri tersebut mengadu kepada ibunya.

Berikut ini petuah bijak dalam surat Ibunda, “Sembari mengatasi rasa rindu, baiklah ibu akan bercerita sebuah kisah yang dapat kamu gunakan sebagai refleksi sebagai pelajaran untuk menghadapi kondisimu saat ini. Mudah-mudahan kamu tak merasa Ibu gurui dengan segala pendidikan tinggi dan pengetahuan yang telah kamu miliki.”

Dalam sebuah pengadilan hati, berkatalah malaikat penuntut kepada manusia bumi - seorang istri, “Apakah suamimu membahagiakanmu?” Lalu dijawabnya, “Tidak!” Pertanyaan sama dilontarkan kepada suami, sang suami menjawabnya lebih tegas, “Sama sekali tidak, wahai malaikat penuntut!”

Selanjutnya, malaikat pembela mengambil kesempatan bertanya dalam sidang tersebut, “Coba lupakan orang lain sejenak dari pikiranmu atau lupakan dunia ini dengan segala masalahmu. Apakah engkau bahagia?” Spontan kedua anak manusia itu menjawab serentak, “Ba…Ba…Bahagia…”

Sejenak hening, lalu hakim malaikat berujar lagi, “Memang seharusnya demikian, bahwa kebahagiaanmu bukan karena orang lain, tetapi karena engkau mengerti bahwa ada Tuhan di dalam hatimu. Pulanglah…berhentilah menuntut orang lain untuk membahagiakanmu, karena kalian diturunkan ke bumi bukan untuk mencari kebahagiaan. Kalian seharusnya membagikan kebahagiaan yang sudah kami penuhi dari sini sebelum menurunkanmu.” (halaman 91).

Begitulah salah petuah bijak dari seorang ibu kepada putrinya. Total ada 28 surat cinta dalam buku ini. Sistematikanya terbagi dalam 5 bagian. Yakni Refleksi, Anugerah, Selamat, Rindu, dan Didikan. Lintong Simaremare mengangkat nilai adiluhung yang bertaburan dalam relasi dua individu, sang ibu dan putrinya.

Ada juga kisah tentang Nanda. Ia dulu berpamitan kepada ibu hendak kuliah sembari bekerja di Jakarta. Tapi Nanda justru hijrah ke luar negeri menjadi TKI (Tenaga Kerja Indonesia) di Arab Saudi. Ia sudah dipecat oleh perusahaan tempatnya bekerja karena kedapatan berselingkuh dengan bosnya.

Akibat hubungan gelap tersebut, Nanda sampai memiliki anak. Tapi si buah hati diambil oleh istri majikannya. Karena mereka sejak menikah belum memiliki anak. Awalnya, Nanda berusaha mempertahankan anaknya, tapi istri bosnya mengancam akan memenjarakan kalau Nanda mengambil anak hasil hubungan gelap dengan suaminya.

Akhirnya, sang ibu mengetahui kalau Nanda yang selama ini ia rindukan telah berada di negeri seberang. Hebatnya, sang ibu bisa menerima kepahitan hidup tersebut. Ia tetap menanti Nanda kembali pulang ke rumah. “Tolong sampaikan salam kami untuk Nanda. Ibu akan selalu merindukan Nanda, merindukannya untuk pulang, dan selalu mencintainya dengan segala apa yang telah terjadi.” (Halaman 109).

Manusia tentu pernah memiliki keburukan hati, namun balasannya adalah cinta. Para ibulah yang memberikan semua itu. Masih banyak kisah-kisah menggetarkan lainnya. Dengan menyelami isi buku  ini niscaya sidang pembaca diliputi rasa syukur. Terutama terkait kehadiran sosok mulia yang bernama ibu. Sebab seperti kata pepatah, cinta ibu memang sepanjang jalan. (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru Privat Bahasa Inggris di Jogja).

13831790861914604561

Oktober 29, 2013

Inovasi Ramah Lingkungan

Dimuat di Surat Pembaca, Suara Merdeka, Rabu/30 Oktober 2013
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2013/10/30/241599/Inovasi-Ramah-Lingkungan

Penulis terperangah membaca wacana lokal yang dimuat di Suara Merdeka pada Sabtu, 5 Oktober 2013.  Syafiq Naqsyabandi, mahasiswa Program Magister Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan IPB mengungkap betapa parah pencemaran yang terjadi di Sungai Loji, Pekalongan, Jawa Tengah.

Ia mengutip data dari Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan UMKM Kota Pekalongan. Ternyata sampai akhir 2012 terdapat 3.021 unit industri di sepanjang DAS (Daerah Aliran Sungai). Rinciannya, 21% (634 unit) industri batik, 12, 4% (375 unit) industri pakaian jadi dari tekstil, dan 9,55% (290 unit) industri tempe.

Masih menurut Syafiq Naqsyabandi, tahun 2012 peneliti dari Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto juga menyimpulkan bahwa perairan Sungai Loji dalam kondisi tercemar berat. Kesimpulan tersebut berdasarkan keanekaragaman makrobentos yang berada dalam kategori rendah. Makrobentos adalah organisme yang hidup di dasar perairan. Angka rendah keanekaragaman itu mengindikasikan pencemaran itu sudah mengakibatkan kerusakan ekologis.

Lantas, warga Buaran Kabupaten Pekalongan tersebut menawarkan instalasi pengolah limbah sebagai solusi. Industri yang berskala besar dapat langsung bermitra membuat instalasi pengolah dengan Pemkot. Adapun industri rumahan perlu membentuk semacam perkumpulan pada tiap sentra industri untuk kemudian bekerja sama dengan Pemkot membuat instalasi.

Menurut hemat penulis ada solusi alternatif lain. Pertama untuk pengusaha industri batik bisa menggunakan pewarna alami. Menurut sumber asalnya, bahan pewarna batik memang dapat digolongkan zat pewarna alam (ZPA) yaitu zat warna yang berasal dari bahan-bahan alam seperti dari hasil ekstrak tumbuhan. Zat pewarna sintesis (ZPS) yaitu zat warna buatan atau sintesis yang dibuat melalui proses reaksi kimia dengan bahan dasar arang batu bara atau minyak bumi. Senyawa turunannya berupa hidrokarbon aromatik seperti benzena, naftalena, dan antrasena.

Kedua, industri pakaian jadi bisa menggunakan kain tenun berbahan serat pisang. Ini berawal dari kreativitas seorang desainer asal Yogyakarta, Suroso. Menurutnya, pohon pisang adalah multiguna yang sangat ekonomis dan mudah diperoleh. Selain itu, proses pengerjaan dari serat menjadi busana juga terbilang mudah. Tidak seperti bahan alam lain yang membutuhkan waktu panjang. Serat pisang dapat diolah hanya sekitar tiga hari. Serat diperoleh dari batang atau pelepah pisang. Kemudian dipisahkan antara filamen dan air. Baru setelah itu dilakukan proses penenunan. Satu kilogram benang bisa menghasilkan sekitar lima meter kain (Kick Andy, 30 September 2013).

Ketiga, perajin tempe bisa menggunakan air embun. Rumah Perubahan Rhenal Khasali sudah melakukan eksperimen tersebut. Tempe yang diproduksi menggunakan air embun ternyata memang lebih enak dan tahan lama. Air embun juga memiliki khasiat menyembuhkan yang luar biasa. Kenapa? Karena bisa menurunkan kolesterol LDL. Embun yang dipakai adalah embun buatan purence yang dirintis penemu dari Indonesia, Budhi Haryanto. Beberapa peneliti asing pernah meneliti bahwa air embun buatan Budhi memiliki molekul-molekul air yang unik.

Selain bebas mineral (anorganik) yang justru bisa berbahaya bagi orang tua, air embun ternyata mengandung oksigen terlarut dalam jumlah yang signifikan. Bahkan, ada ahli yang memercayai oksigen yang tinggi ini bisa membantu proses kerja otak sehingga membuat orang-orang yang sedang belajar lebih merasa segar (Rumah Perubahan TVRI, 10 September 2013).

Akhir kata, alih-alih membuat instalasi penyaringan limbah, lebih baik pemerintah dan pihak swasta mulai mengembangkan industri batik berpewarna alami, tekstil kain berbahan serat batang pisang, dan pembuatan tempe berbahan baku air embun. Selain dapat meningkatkan kualitas produksi juga lebih ramah lingkungan.

1383113525560189058
Sumber Gambar: http://www.engineeringtown.com/teenagers/index.php/berita/1935-mencari-inovasi-sederhana-yang-bersahabat-dengan-manusia.html

Oktober 23, 2013

Kirab Agung Pernikahan GKR Hayu dan KPH Notonegoro

Rabu, 23 Oktober 2013 matahari bersinar terik. Suhu udara mencapai 35 derajat Celsius. Jam tangan menunjuk pukul 09.00 WIB. Toh itu semua tak menyurutkan ribuan masyarakat untuk menyaksikan prosesi Kirab Agung. Rutenya dari Pagelaran Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat sampai ke Bangsal Kepatihan Yogyakarta.






















 














Oktober 22, 2013

Pesta Rakyat Rayakan Pernikahan GKR Hayu dan KPH Notonegoro

Selasa, 22 Oktober 2013 jam 15.00-17.00 WIB pelataran Monumen Serangan Umum 1 Maret di Titik Nol Km Malioboro dipadati ratusan pengunjung. Mereka duduk lesehan mengelilingi panggung.
13824429451367491550
Lesehan
Aneka sajian kesenian ditampilkan. Mulai dari Gunung Kidul, Kulon Progo, Bantul, Sleman, dan Kota Yogyakarta. Mentari sore hangat menyinari kawulo Ngayogyakarta Hadiningrat, turis lokal dan wisatawan manca negara yang turut menyaksikan perhelatan akbar tersebut.

Dinda salah satu pengisi acara dari Sanggar Ayo Menari sempat diwawancarai MC (Master Ceremony). Penari cilik tersebut mengatakan bahwa Pesta Rakyat ini untuk merayakan Pernikahan GKR Hayu dan KPH Notonegoro. Dinda bersama 4 teman lainnya mempersembahkan tari “Ulo-ulonan.”
1382442988161093820
Sanggar Ayo Menari
Menurut Wahyana Giri Mc, selaku Koordinator Acara, Pesta Rakyat ini memang merupakan wujud kecintaan rakyat kepada Rajanya. Pada hari pertama, acara berlangsung sampai malam. Lalu, esok hari, Rabu, 23 Oktober 2013, mulai jam 08.00 WIB akan ada kirab 12 kereta kencana Kraton. “Total 68 kuda yang menarik kereta-kereta tersebut,” imbuhnya di sela-sela acara.

Selain itu, komunitas Malioboro sudah urunan dan menggelar 500 angkringan gratis. Seluruh pengunjung yang menyaksikan kirab tersebut boleh menikmatinya secara cuma-cuma.

Selasa sore tadi beberapa kelompok seni telah mempersembahkan sajian-sajian menarik. Antara lain kelompok seni Reog Lestari Budaya, Gunung Kidul; Gejug Lesung Tresno Laras, Trowono, Gunung Kidul; Sanggar Ayo Menari, Gowok, Yogyakarta; SOS Children Center dll.
13824430355282478
Gejug Lesung Tresno Laras, Gunung Kidul
Tepat pukul 17.00 WIB acara distop sementara. Para pengunjung boleh mengambil mie dan es teh gratis yang telah disediakan panitia di utara panggung. Pasca adzan Magrhib, Pesta Rakyat akan dilanjutkan sampai tengah malam. Salah satu atraksi yang paling ditunggu-tunggu adalah kesenian Didi Nini Thowong. 

Sumber Foto: Dok Pri

Oktober 21, 2013

Hikmat Kehidupan Drijarkara

Dimuat di Majalah Hidup, Minggu/20 Oktober 2013

Judul: Kumpulan Surat Romo Drijarkara
Penyunting: F. Danuwinata, S.J
Editor Bahasa: G. Budi Subanar, S.J
Penerbit: Penerbit Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Cetakan: I, Juli 2013
Tebal: xiv + 244 hlm
ISBN: 978-602-9187-52-6
Harga: Rp50.000,-

Buku ini merupakan kumpulan surat-surat Prof. Dr. Nicolaus Drijarkara SJ selama ia studi filsafat di Universitas Gregoriana, Roma, Italia (1950-1952), menjadi guru besar di St. Louis University, Amerika Serikat, berkeliling benua Eropa, Timur Tengah, hingga akhirnya kembali ke tanah air. Total ada 32 surat karya Romo Drijarkara. Sistematikanya terdiri atas 12 surat dari Roma, 8 surat dari Amerika, dan 12 surat dari Perjalanan.

Rektor IKIP Sanata Dharma Yogyakarta periode 1955-1967 tersebut ternyata piawai menyampaikan hikmat kehidupan lewat tulisan-tulisannya. Contohnya kalau perawat bekerja di rumah sakit, ia perlu menjadi homo homini socius alias sahabat bagi manusia lain.  Seorang perawat tak cukup berbekal jarum suntik, tapi bisa juga menghibur dan membuat pasien tertawa sehingga pasien bisa lekas sembuh.

Uniknya, apa yang ditulis dahulu kala tetap relevan diterapkan pada konteks kekinian. Misalnya kutipan surat dari Roma tentang sport (olahraga), “Para wartawan sport menghadap Bapa Suci. Ini ada maknanya. Mereka menghadap karena para wartawan itu merasa memanggul tanggung jawab terhadap pendapat umum yang bersangkutan dengan sport. Pendapat umum itu dipengaruhi oleh pers. Pendapat umum dalam hal sport yang membangun adalah para wartawan sport. Kalau para wartawan menyebarkan pendapat yang sehat, pendapat umum pun sehat. Kalau para wartawan hanya menyiarkan betapa ramai pertandingan, hanya senang sensasi, tanpa pemikiran yang lebih dalam, pengaruhnya menyebabkan pendangkalan pendapat umum.” (halaman 37). Dalam konteks era digital, pesan tersebut tak hanya bermanfaat bagi para wartawan olahraga, tapi juga untuk semua praktisi jurnalistik di media cetak maupun online.

Secara lebih mendalam, guru besar di Universitas Indonesia (1960-1967) tersebut juga menjelaskan hakikat makna tanah air di salah satu surat beliau dari Amerika Serikat, “…apakah Tanah Air itu? Bagaimanapun juga apa yang disebut Tanah Air ialah suatu bentuk yang nyata dari engagement manusia. Tanah Air bukanlah tanah, air, tanam-tanaman, dsb. Tanah Air adalah suatu wilayah dengan semua keadaannya, yang merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaanku, yang merupakan lapangan pelaksanaan dari kemungkinan-kemungkinanku. Amerika misalnya, bagi orang Indonesia tidak merupakan Tanah Air. Segala bentuk-bentuk kehidupan asinglah baginya. Dia bisa ikut, tetapi toh merupakan orang asing.” (halaman 101).

Selama ini guru besar luar biasa di Universitas Hassanudin, Makassar (1961-1967) tersebut memang lebih dikenal sebagai seorang filsuf dan tokoh pendidikan. Frase yang lekat dengan namanya ialah “memanusiakan manusia muda”. Kendati demikian, lewat buku ini kentara sekali kecekatannya dalam meracik reportase perjalanan (travel writer).

Alhasil, sidang pembaca seolah-olah diajak “hadir” langsung di lokasi kejadian. Salah satunya termaktub dalam surat dari Perjalanan berjudul “Dari Berut ke Jerusalem”, “Mobil memanjat pegunungan Libanon. Di sepanjang perjalanan kita lihat bibi-bibi Arab berpakaian asli, artinya hitam, menutupi seluruh tubuh, dan kerudungnya menutupi wajah! Alangkah besarnya perbedaan antara simbok-simbok kuno itu dengan pemudi modern di taksi! Mereka itu berpakaian cara Barat, tingkah laku mereka lincah dan lancar. Mereka lepas-bebas dari perasaan kuno. Mereka bisa bersenda-gurau dan ketawa biasa saja tanpa malu-malu atau takut. Namun mereka masih juga bersifat Timur. Waktu membuka sangunya, pemudi itu tidak lupa juga memberi bagian kepada kita semua. “ (halaman 192).

Buku setebal 244 halaman ini berhasil menguak sisi lain anggota MPRS Republik Indonesia (1962-1967) tersebut. Menyitir pendapat Yohanes Sanaha Purba, dosen muda Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta, “Kumpulan surat Drijarkara ini memiliki kekuatan tersendiri sehingga masyarakat semakin menemukan hak kreatif dalam membentuk kehidupannya sendiri.” Selamat membaca!

13823606851442633594
Sumber Foto: http://www.usd.ac.id

Oktober 20, 2013

Jadi Pemimpin yang Peduli

Dimuat di Bernas Jogja, Senin/21 Oktober 2013

Judul: Everyone can Lead
Penulis: Hasnul Suhaimi
Penerbit: Bentang Pustaka
Cetakan: 1, Juni 2013
Tebal: xvi + 196 halaman
ISBN: 978-602-8864-77-0

Apakah filosofi ahimsa ala Mahatma Gandhi dapat dipraktikkan dalam lokus bisnis industri telekomunikasi? Pasca bersaing secara ketat selama 5 tahun, penulis buku ini menyadari bahwa tak perlu saling sikut dengan sesama provider. Hasnul Suhaimi menerapkan pendekatan baru, yakni coopetition.

Intinya bekerja sama dalam bidang yang tak perlu diperebutkan, tapi tetap berkompetisi untuk memberikan pelayanan terbaik pada pelanggan. Misalnya berupa pembangunan menara pemancar base transceiver station (BTS). Seiring pertumbuhan industri telekomunikasi seluler yang begitu pesat, beribu-ribu tower BTS dibangun di kota-kota besar. Semua demi memperkuat jaringan dan sinyal. Egosentrisme masing-masing operator pun sedemikian besar.

Akibatnya polusi mata merajarela di mana-mana. Menara besi nan menjulang membuat pemandangan langit kota tak sedap dipandang mata. Sebagai solusi bersama, kini satu tower dipakai secara berjamaah oleh banyak operator. Awalnya usul ini dianggap angin lalu oleh para penggerak industri operator. Kenapa? Karena mereka tak rela tower-nya dibagi-bagi.

Padahal sejatinya semua operator telepon seluler memperoleh manfaat dari coopetition. Biaya pembangunan bisa dipangkas, ongkos operasional dan perawatan lebih hemat, pun dapat mengembalikan keindahan kota. Inilah inti ajaran Gandhi yang sukses diterapkan dalam bisnis industri telekomunikasi. Tetap bersaing secara sehat sembari menemukan solusi yang menguntungkan semua pihak (halaman 28).

Latar belakang pendidikan penulis buku ini insinyur elektro ITB (Institut Teknologi Bandung). Tapi kini ia lebih dikenal sebagai praktisi marketing dan manajemen. Tarif seluler yang semula Rp1.000,00/menit berhasil ia pangkas 90% menjadi Rp100,00/menit. Pada saat yang sama, putra asli Bukittinggi ini dapat menaikkan jumlah pelanggan sebanyak empat kali lipat. Alhasil, pendapatan perusahaan tempat ia bekerja melonjak tiga kali lipat dalam waktu empat tahun.

Everyone can Lead berisi tips untuk mencapai prestasi secermerlang itu. Pemenang Seluler Award selama tiga tahun berturut-turut ini (Best CEO of The Year 2011-2013) menimba inspirasi dari para tokoh besar dunia. Antara lain Napoleon Bonaparte, Dwight D. Eisenhower, Abraham Lincoln, Soekarno, Steve Jobs, Ratu Elizabeth II, Joan of Arc, Saladin, Dalai Lama, dan lain-lain.    

Kendati demikian, ia enggan meng-copycat alias meniru secara mentah-mentah tanpa memahami esensi kepemimpinan mereka. Kenapa? Karena setiap orang itu unik. Telecom Asia CEO of The Year (2012) ini menggariskan gaya kepemimpinannya sebagai berikut, “Saya memilih dan cukup terlatih dengan gaya kepemimpinan partisipatif yang relatif dekat dengan konsep demokratis. Di bawah kepemimpunan saya semua orang berhak dan diminta untuk mengemukakan pendapat, berpartisipasi aktif dalam masa pencarian fakta, analisis data, pengayaan ide, dan diskusi penentuan alternatif solusi. Berdasarkan itu semua, saya ambil keputusan terbaik sebisa mungkin dengan kesepakatan bersama.” (halaman 58).

Keunggulan buku ini juga memuat tips-tips praktis berdasarakan pengalaman riil penulis. Ia sering menjadi narasumber di pelbagai workshop dan training kepemimpinan. Tatkala ia menanyakan kepada peserta apakah mereka mendahulukan pekerjaan besar atau kecil, ternyata mayoritas peserta memilih menyelesaikan pekerjaan yang resource-nya besar dan dampaknya besar. Alhasil, hal-hal kecil tertunda dan bahkan tak tersentuh sama sekali.  

Tesis pemegang gelar MBA University of Hawai at Manoa (USA) ini sederhana tapi mendalam. Ia memilih menyelesaikan hal yang kecil sebelum urusan tersebut berdampak besar. Misalnya evaluasi karyawan, tanda tangan administrasi pembayaran listrik, pajak, perjalanan dinas, memo tentang proposal ringkas, dan sebagainya. Pekerjaan itu sering dianggap sepele, tapi kalau diabaikan bisa menjadi pekerjaan besar.

Bayangkan jika perusahaan sampai telat membayar listrik. Tidak hanya kena denda dari PLN, tapi reputasi di hadapan pelanggan juga anjlok. Tak hanya itu, kertas dokumen yang ada di meja kerja jangan sampai menumpuk, karena akan mengganggu kenyamanan kerja. Oleh sebab itu, selesaikan dulu pekerjaan kecil. Toh resource dan waktu yang dibutuhakn sedikit saja. Mendahulukan pekerjaan kecil membuat kita siap melaksanakan pekerjaan-pekerjaan besar (halaman 147).

Faktor komunikasi juga tak kalah penting. Hakikatnya ialah semangat silaturahmi. Setiap orang lebih mudah berbicara dengan sahabat atau teman dekat ketimbang ngobrol dengan kenalan baru. Untuk menjadi sahabat, kita perlu melakukan komunikasi yang intens. Dari situlah akan tumbuh kepercayaan di antara kedua belah pihak. Intinya, jika kita berkomunikasi dengan pihak yang sudah mengerti dan percaya, kita akan lebih mudah menyampaikan pesan. Oleh sebab itu, Hasnul Suhaimi tak mau ngumpet di balik meja. Berkomuniaksi secara intens dengan pihak eksternal mencerminkan kapabilitas dan tanggung jawab sebagai seorang pemimpin yang peduli.

Everyone can Lead ditulis dengan gaya bahasa santai. Isinya relatif mudah dipahami  oleh sidang pembaca. Menyitir pendapat Hermawan Kartajaya, Founder dan CEO MarkPlus, Inc, “Buku ini menunjukkan Hasnul Suhaimi adalah LEADER 3.0. Buku wajib untuk siapa pun yang akan menjadi LEADER 3.0.” (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru Privat Bahasa Inggris di Yogyakarta)

Oktober 18, 2013

Tanpa Pedang Menaklukkan Jepang

Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Sabtu/19 Oktober 2013
http://mjeducation.co/tanpa-pedang-menaklukkan-jepang/

Judul          : The Swordless Samurai, Pemimpin Legendaris Jepang Abad XVI
Penulis       : Kitami Masao
Editor         : Tim Clark
Alih Bahasa : S. Mardohar
Penerbit      : Pustaka Inspira
Cetakan      : 1/2013
Tebal         : xvii + 262 halaman
ISBN          : 9789791933704

Cara ampuh menunjukkan empati seorang pemimpin kepada para bawahan dengan rajin mengirimi surat menggunakan tulisan tangan. Tapi karena Toyotomi Hideyoshi seorang yang berpendidikan rendah, ia kesulitan mengeja huruf-huruf Kanji. Tulisan tangannya pun seperti cakar ayam. Toh semua itu tak menyurutkan niatnya, Sang Samurai Tanpa Pedang bertekad mengungkapkan isi hati. Ia menulis apa yang dirasakan dan tak begitu memusingkan bentuk tulisan.

Contohnya, pemimpin legendaris Jepang di abad XVI itu pernah melayangkan surat pujian bagi para anggota prajurit Tujuh Tombak. Anak petani miskin yang tingginya 150 sentimeter dan berbobot 50 kilogram itu menandaskan, “Prestasi kalian di Shizugatake telah mengubah wajah Jepang sampai ke generasi-generasi yang akan datang.” (halaman 169).

Kinerja prajurit Masanori yang paling membuatnya berdecak kagum. Beberapa saat sebelum pertempuran di Shizugatake, Masanori telah dilucuti pedangnya. Ia diboyong kembali ke perkemahan karena menderita luka di sekujur tubuh. Hebatnya, di tengah malam ia menyelinap keluar dari tenda sembari meraih sebilah pedang pendek. Masanori bergabung dengan pasukan gerak cepat.

Setibanya di medan pertempuran, ia melihat klebatan siluet Haigo, seorang kesatria musuh yang terkenal karena kebuasannya. Lantas, Masanori meloncat dan mencegatnya. Ia melihat sebuah celah di baju zirah Haigo dan menghabisi samurai itu dengan satu kali tusukan tangkas. Darah segar muncrat ketika ia menarik kembali pedang pendeknya. Keberanian dan kenekatan Masanori itu mengingatkan Hideyoshi kepada dirinya sendiri semasa masih muda.

Kendati demikian, pujian tertulis sekadar satu dari sederet penghargaan yang bukan berupa uang. Pasca peperangan sengit berakhir, Hideyoshi selalu menghadiahi pedang, baju zirah, dan aneka bingkisan lain bagi para pejuang yang telah bertaruh nyawa. Mereka yang menerima hadiah tersebut merasa sangat bangga. Bahkan biasanya mereka menjadikan bingkisan-bingkisan itu sebagai pusaka keluarga yang diwariskan ke generasi penerus.

Intinya, pemimpin yang efektif memang perlu menghargai prestasi secara personal. Hideyoshi dikenal sebagai pemimpin yang tak pelit dan gemar bederma. Menurutnya, kompensasi pemberian pada dasarnya bersifat produktif. Semakin besar harta yang kita berikan kepada mereka yang telah mengabdi dengan baik, semakin besar pemasukan yang akan kita terima. Oleh sebab itu, hargailah orang yang telah mengabdi dengan segenap jiwa raganya (halaman 167).

Sejatinya, buku ini berisi kiat-kiat menjadi pemimpin andal. Uniknya, Kitamo Masao menyampaikan dengan gaya bertutur (story telling) dari sudut pandang orang pertama. Alhasil, The Swordless Samurai seolah-olah merupakan memoar pribadi Hideyoshi sendiri. Lewat setiap lembarannya, sidang pembaca diajak flashback kembali ke abad 16 tatkala Toyotomi Hideyoshi masih hidup.

Hideyoshi seorang pemimpin Jepang kenamaan. Ia lahir pada tahun 1536 dari keluarga miskin di Nagoya. Para tetangganya tak ada yang menyangka si anak bakal menjadi tokoh besar. Sebab, Hideyoshi bertubuh pendek, tidak atletis, tak berpendidikan, dan buruk muka pula. Daun telinga yang besar, mata yang dalam, wajah yang keriput seperti kulit apel kering membuatnya lebih mirip seekor kera. Sehingga tak mengherankan bila warga setempat memanggilnya “si monyet”.

Si monyet lahir pada puncak masa kekacauan Jepang. Saat itu musim zaman perang besar antar-klan. Kemampuan bertempur menjadi tolok ukur kejantanan seorang pria. Kendati demikian, perawakan Hideyoshi yang bungkuk menutup karirnya untuk berkiprah di dunia militer.

Hebatnya, ia berhasil mengubah serapah menjadi berkah. Berbekal kemauan sekeras baja, otak setajam silet, semangat tak kunjung padam, dan wawasan mendalam tentang kemanusiaan, si monyet menjadi pemimpin tertinggi pada tahun 1590. Ia dinobatkan sebagai wakil kaisar oleh Kaisar Go Yosei. Sejak saat itu, di depan namanya diberi gelar Toyotomi yang berarti “menteri yang dermawan.”

Pertanyaannya, bagaimana mungkin samurai tanpa pedang menaklukkan musuh-musuhnya? Ternyata Toyotomi Hideyoshi menggunakan olok-olok pada diri sendiri, kecerdasan, dan keahlian diplomasi untuk mengungguli pesaing berdarah biru dari seantero Jepang. “Aku tidak mahir dalam seni berpedang. Bahkan samurai kelas tiga sanggup mengalahkanku dalam perkelahian jalanan. Aku sadar aku harus lebih menggunakan otak daripada tubuh, khususnya jika aku ingin kepalaku tetap menempel di leher.” (halaman 2).

Rahasia Orang Terdekat

Sistematika buku ini terdiri atas 13 bab. Mulai dari bagian “Kata Pengantar” sampai “Catatan Penutup”. Diantara keduanya termaktub, “Memimpin di Saat Krisis”, “Tujuh Tombak”, “Wakil Kaisar”, dan lainnya. Silakan membuka secara acak maka akan ditemukan tips praktis menjadi seorang pemimpin. Kendati demikian, jangan berharap menemukan paparan model technical how karena penulis menyampaikannya lewat pengalaman hidup Toyotomi Hideyoshi.

Misalnya, ada adagium menyatakan bahwa di balik pria hebat niscaya hidup wanita yang hebat. Sebab dari semua orang yang mengelilingi seorang pemimpin tidak ada yang lebih dekat ketimbang pasangan hidupnya. One merupakan wanita yang beruntung menjadi istri Toyotomi Hideyoshi. Mereka tinggal di Benteng Kiyosu. Ketika kali pertama bertemu dengan One, Hideyoshi masih anggota baru dalam organisasi Oda. Tak ada yang bisa ia banggakan sama sekali.

Kendati demikian, Hideyoshi nekat mengirimi One surat cinta. Ungkapan rasanya tak bertepuk sebelah tangan, tak lama kemudian mereka menjadi sepasang kekasih. Ironisnya, orang tua One tak merestui hubungan mereka karena Hideyoshi wong ndeso alias berasal dari kampung. Untuk menyiasati hal tersebut, Hideyoshi rela belajar unggah-ungguh cara bersikap di depan kaum bangsawan. Akhirnya, ia berhasil mengambil hati calon mertuanya.

Pasca menikah, bantuan yang diberikan sang istri bukan sekadar urusan rumah tangga semata. Saat menjadi penguasa di Benteng Nagahama, Hideyoshi membebaskan penduduk dari kewajiban membayar pajak. Orang-orang pun berbondong-bondong hijrah ke sana. Ia terkejut dan merasa was-was mendapati kemungkinan daerahnya menjadi terlampau padat. Ia lantas memberlakukan kembali pemungutan pajak bagi para penduduk.

Lantas, One mengingatkannya, “Kau tidak bisa menjanjikan sesuatu dan lalu menariknya kembali, Hideyoshi!” Orang-orang akan menganggapmu penguasa yang plin-plan,” imbuh sang istri lagi. Toyotomi Hideyoshi menjadi sadar akan kesalahannya dan kembali membebaskan penduduk dari pajak. Dalam konteks ini, penulis sekadar menandaskan, “Beberapa orang memisahkan pekerjaan mereka dengan pasangan hidup. Tapi kenapa tidak meminta saran dari ia yang paling mengenalmu? Pemimpin bijaksana menerapkan Rahasia Orang Terdekat, “Dengarkan pendapat pasangan hidupmu!” (halaman 109)

Saat membaca buku ini, pemerintah Indonesia pun berencana menaikkan harga BBM (Bahan Bakar Minyak). Rakyat miskin dulu disubsidi, tapi kini subsidi telah dicabut. Dalam konteks tersebut, pendapat Sudjiwo Tejo menjadi relevan, Presiden Republik Jancukers itu pun menyatakan, “Jika ada kebijakan yang aneh dalam pemerintahan SBY kita perlu bertanya bersama-sama kepada Ibu Ani.”

Tiada gading yang tak retak, begitu pula buku ini. Terkait genre  apakah termasuk biografi atau novel sejarah? Karena berdasarkan penelitian para ahli, pada akhir hidup Toyotomi Hideyoshi menyiratkan kesombongan dan bahkan beberapa sejarawan menyimpulkan ia sakit jiwa. Tapi Kitami Masao justru menggambarkan Sang Samurai Tanpa Pedang sebagai orang yang reflektif dan rendah hati.

Terlepas dari kerancuan minor tersebut, The Swordless Samurai sebuah referensi berharga untuk belajar seni kepemimpinan. Karena disampaikan dengan gaya bercerita tak ada kesan menggurui sidang pembaca. Perjalanan hidup Toyotomi Hideyoshi merupakan simbol perjuangan rakyat jelata menjadi sejahtera lewat kerja keras, kreativitas, dan kekuatan inteligensia. Selamat membaca!

Oktober 17, 2013

(FFA) Pelajaran Berharga dari Pak Solikhin

Cerita fiksi anak ini saya ikutsertakan dalam lomba [FFA] Festival Fiksi Anak di Dar! Mizan & Kompasiana. Seluruh karya peserta akan dipublish secara serempak pada tanggal 18, 19, dan 20 Oktober 2013 di Kompasiana.

Untuk 20 karya terbaik (dari 20  penulis berbeda), akan dibukukan oleh penerbit DAR! Mizan serta mendapatkan honor sebesar Rp 400.000,- (empat ratus ribu rupiah) dan satu buah buku setelah buku tersebut terbit.

Mohon dukungan dari teman-teman FB sekalian dengan memberi komentar, me-like, dan menyebarluaskannya. Matur sembah nuwun dan salam fiksi anak :-)

" Aku adalah dongeng masa kecilku ” (Friederich Schiller)

**


412 - “Hahahaha…hahahaha…hahahaha…” terdengar suara tawa anak-anak kelas 5 SD Ponco Warno. Kami baru pulang dari sekolah. Di tengah perjalanan, kami berpapasan dengan Pak Solikhin.

Pak Solikhin sedang kebingungan mencari tongkatnya. Beliau penyandang tunanetra yang tinggal tak jauh dari komplek sekolah kami. Setiap hari Pak Solikhin berkeliling menawarkan jasa pijat refleksi kepada warga setempat.“Tek…tek…tek,” begitu suara ujung tongkat yang beradu dengan permukaan aspal keras.

Siang itu, Pak Solikhin tersandung batu hingga jatuh terjerembab di atas aspal. Lutut kaki kanan Pak Solikhin tergores dan berdarah. Tongkatnya pun terlepas dari genggaman tangan. Bukannya menolong, si Burhan, siswa paling nakal di kelasku justru menertawai Pak Solikhin. Jalanan saat itu memang sedang sepi. Tak ada orang dewasa yang memperingati tingkah laku tak patut tersebut.

“Keterlaluan…” ujarku dalam hati.

Semula aku hanya diam saja karena takut kepada si Burhan. Ia suka menantang berkelahi teman-teman sekelas. Badan si Burhan memang tinggi besar. Ia juga ikut ekskul Karate di sekolah. Bahkan, anak-anak kelas 6 SD Ponco Warno pun segan kepadanya.

Tapi lama-kelamaan perbuatan si Burhan dan gang-nya makin tidak patut. Tawa mereka kian keras saja. Penderitaan Pak Solikhin menjadi bahan ejekan. Bagiku itu sama sekali tidak sopan.

“Berhenti!!!” teriakku.

Seketika itu juga suasana menjadi hening. Si Burhan dan teman-temannya tak mengira aku berani melarang mereka.

Sembari mendekatiku Burhan berkata, “Kamu tak usah sok jagoan Ron, tak lihat kami sedang bersenang-senang?”

“Tak sopan kamu Han, Pak Solikhin sedang berkesusahan malah kalian tertawai, bukannya ditolong,” ujarku dengan suara lantang.

“Hey teman-teman, lihat si Roni ini mau jadi Superman seperti di film-film itu lho hahahaha…” sahut Burhan dengan nada meremehkan.

“Sikat saja Han, mentang-mentang ia baru ikut ekskul Karate,“ Andi menimpali dengan suara cemprengnya. Andi ialah salah satu anak buah Burhan yang paling patuh.

Aku memang baru saja ikut ekskul Karate pada tahun ajaran baru kemarin. Pak Jayadi menasehati kami agar menggunakan seni bela diri untuk menolong orang yang berkesusahan. Seperti tokoh Pandawa dalam kisah wayang Mahabarata. Tapi si Burhan dkk malah menggunakan untuk berkelahi dan menjadi sombong.

Jarak antara aku dan Burhan tinggal satu meter lagi. Aku sudah bersiap dengan kuda-kuda yang kokoh. Ia tampak sudah mengambil ancang-ancang untuk menyerangku.

“Prit…prit…prit…prit…!” tiba-tiba terdengar peluit Pak Polisi. Beliau biasa membantu kami menyeberang jalan raya di depan sekolah.

“Siapa yang mau berkelahi? Mau saya bawa ke kantor polisi?” ujar Pak Polisi dengan mata melotot.

Tanpa berpikir panjang si Burhan dan gang-nya lari tunggang-langgang. Pak Solikhin masih terduduk di atas aspal jalan yang panas. Segera saja aku menyerahkan tongkatnya yang sempat terlepas tadi.

Lalu, aku memapahnya berteduh di bawah pohon di ujung jalan. Beliau duduk berselonjor, menghirup dan membuang nafas perlahan untuk menenangkan diri. Kebetulan di dekat situ ada warung kecil. Aku bergegas membeli obat plester dan menempelkannya untuk menutup luka di lutut kanan Pak Solikhin.

“Terima kasih Nak, Bapak tak bisa melihat wajahmu tapi bisa merasakan ketulusan hatimu,” ujar Pak Solikhin sambil mau berdiri lagi.

“Bapak istirahat dulu saja,” ujarku.

“Bapak harus segera berkeliling lagi Nak, mencari orang yang butuh dipijat refleksi,“ sahut beliau.

“Baiklah Pak, selamat jalan dan sampai jumpa lagi…” ujarku.

**
Keesokan harinya, aku berangkat ke sekolah seperti biasa. Di kelas, sepanjang pelajaran tampak si Burhan dan gang-nya kasak-kusuk berencana hendak membalas dendam. Padahal aku sama sekali tak mau bermusuhan dengan mereka.

Sepulang sekolah, ketika ekskul Karate berlangsung, Pak Jayadi mengajari kami jurus-jurus pukulan dan tendangan baru.  Seperti biasa beliau selalu menasehati bahwa seni bela diri ialah untuk menolong orang lain yang berkesusahan.

Tanpa disangka tibalah sesi latih tanding (sparing). Ternyata aku berhadap-hadapan dengan si Burhan. Ia tampak begitu ngotot mau mendaratkan bogem mentah di tubuhku. Padahal Pak Jayadi mengatakan bahwa ini hanya latihan biasa.

Anak-anak yang lain duduk berkeliling. Aku dan Burhan berdiri di tengah. Pak Jayadi bertindak sebagai wasit.

“Ayo Han, hajar si Roni!!!” terdengar suara cempreng. Dalam hati aku sudah tahu bahwa itu suara Andi.

Badan si Burhan memang tinggi besar, sedangkan aku ramping dan tak begitu kekar. Dari segi kekuatan ia jelas lebih hebat, tapi aku lebih lincah. Tendangan dan pukulan Burhan banyak yang mengenai angin. Karena aku meloncat kesana-kemari untuk menghindari.

Pada satu ketika, aku melihat celah di bagian kiri pertahanan Burhan. Secepat kilat aku daratkan pukulan di perutnya. Tapi aku hanya menggunakan setengah tenaga agar tak membahayakan keselamatannya.

Tapi karena kuda-kuda Burhan kurang kokoh, ia jatuh terpelanting di atas matras. Ketika mencoba menopang berat tubuh, tangan kanannya terkilir. Ia pun berteriak keras dan mengerang kesakitan.

Pak Jayadi, aku, dan gang-nya bergegas membawa Burhan ke rumah Pak Solikhin. Karena rumah beliau berada di dekat komplek sekolah. Burhan dan gang-nya tampak sungkan ketika hendak memasuki halaman rumah Pak Solikhin. Mereka tentu teringat kejadian kemarin siang. Tapi saking sakitnya, Burhan menurut saja diajak masuk menemui beliau.

Tanpa banyak basa-basi, Pak Solikhin langsung meraba-raba dengan cekatan pergelangan tangan Burhan yang terkilir. Tampaknya Pak Solikhin mencari persendian yang pindah dari tempat semula akibat salah jatuh tadi.
Setelah ditemukan, Pak Solikhin mulai memijit dengan lembut. Tak berapa lama, tangan Burhan yang semula bengkak mulai mengempis. Pak Solikhin juga membalurinya dengan minyak telon dan ramuan rempah-rempah.

“Bagaimana rasanya Nak?” tanya beliau.

“Lebih baikan dan tak senut-senut lagi. Terima kasih banyak Pak,“ jawab Burhan lirih.

Akhirnya, Burhan meminta maaf kepada Pak Solikhin atas tingkah lakunya yang tak patut kemarin siang. Ia mengaku salah dan berjanji tak akan mengulangi lagi perbuatannya tersebut. Ia mau hormati orang difabel seperti Pak Solikhin. Walau berbeda, Pak Solikhin dikaruniai Tuhan kelebihan untuk memijat dan menyembuhkan orang yang terkilir.

Pak Jayadi, guru ekskul Karate kami sungguh bahagia mendengar pengakuan jujur dan janji tulus Burhan. Beliau juga meminta Burhan tak lupa meminta maaf kepadaku karena tadi terlalu ngotot mau menciderai saat latihan sparing.

“Maafkan aku dan gang-ku ya Ron, mulai saat ini kita berteman dan kita gunakan seni bela diri Karate untuk menolong orang yang berkesusahan,” ujarnya sembari mengulurkan tangan kanan.

“Iya mari kita jadi seperti Pandawa dalam kisah wayang yang diceritakan Pak Jayadi,” kataku sambil menjabat erat tangannya.

“Auw auw auw…” teriak Burhan.

“Ups maaf…aku lupa kalau tanganmu masih sakit Han,” ujarku

“Hahahaha…hahahaha…hahahaha….” kami semua tertawa bersama.

**


**
NB : Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community:

Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community:

Oktober 16, 2013

Simulasi Belajar Menentukan Prioritas


Dimuat di Kedaulatan Rakyat, Kamis/17 Oktober 2013


Tujuan utama seorang siswa adalah untuk belajar. Kendati demikian, prioritas tersebut acapkali terabaikan. Apalagi di era modern ini, begitu banyak godaan yang melenakan. Misalnya karena kecanduan bermain game online, gadget, hura-hura, pacaran, jalan-jalan ke mall, dan kondisi keluarga yang broken home.

Dalam keseharian siswa, tugas-tugas sekolah dapat dianalogikan batu-batu besar. Sedangkan, kerikil-kerikil kecil, pasir, atau air melambangkan hal-hal yang mengganggu tercapainya tujuan tersebut. Lantas, lingkungan belajar bisa diibaratkan sebuah teko yang terbuat dari kaca.

Sebuah eksperimen menarik dapat memfasilitasi siswa dalam menyusun daftar prioritas. Selain itu, siswa juga dapat mengindentifikasikan kebiasaan-kebiasaan diri yang kurang mendukung. Sehingga menyebabkan mereka tidak dapat menuntaskan apa yang telah diniatkan di awal dalam kehidupan sehari-hari.

Alangkah lebih mengasyikkan kalau teknik ini tak hanya diceramahkan, tapi juga dipraktikkan di depan kelas. Karena menurut penelitian para ahli, otak manusia dapat mengingat informasi dengan lebih optimal kalau melibatkan beberapa zona syaraf.

Penggabungan suara, gambar atau alat peraga lainnya dapat mengaktifkan beberapa pusat sensorik secara bersamaan sehingga informasi yang disampaikan lebih mudah diingat dan dipahami.  Kenapa? Karena direkam oleh aneka channel dalam beberapa bagian otak.

Pertama, tunjukkan teko dari kaca yang berkapasitas 4 liter dengan mulut teko yang terbuka lebar tanpa penutup. Pelan-pelan masukkan batu besar, satu-persatu ke dalam teko sampai penuh. Karena yang dimasukkan pertama batu-batu besar akan ada rongga antara batu satu dengan batu yang lainnya.

Kedua, guru bisa memasukkan kerikil-kerikil kecil ke dalam teko yang berisi batu besar. Tapi meskipun telah diisi kerikil-kerikil kecil, tentu saja masih ada rongga dalam teko tersebut. Ketiga, tuangkan pasir ke dalam teko, disusul air sehingga kini teko benar-benar penuh.

Kalau urutannya justru dibalik, yakni mulai dengan menuangkan air, pasir, memasukkan kerikil-kerikil kecil, maka batu-batu besar tidak akan bisa tertampung di dalam teko kaca tersebut. Begitu pula dalam proses belajar, siswa perlu mendahulukan tugas-tugas sekolah sebelum melakukan aktivitas-aktivitas sekunder lainnya.

Begitulah cara sederhana untuk belajar menentukan prioritas. Menyitir pendapat Stephen R. Covey, ”Kita harus memutuskan apa yang jadi prioritas tertinggi dan harus memiliki keberanian — dengan senang, tersenyum, dan tidak kompromi — dalam mengatakan “tidak” kepada hal-hal lain. Cara untuk melakukannya adalah memiliki lebih besar “ya” (semangat positif) dalam diri. Sebab musuh dari “yang terbaik” seringkali adalah yang baik.” (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru Privat Bahasa Inggris, Editor dan Penerjemah Lepas)
1381971462425194785

Oktober 13, 2013

Menjadi Kreatif itu Mudah

Dimuat di Banten Muda, Edisi Oktober 2013 

Judul: Sila ke-6, Kreatif Sampai Mati
Penulis: Wahyu Aditya                                      
Penerbit: Bentang Pustaka Yogyakarta
Cetakan: II/ Februari 2013
Tebal: xvii + 302 halaman
ISBN: 978-602-8811-99-6
Harga: Rp59.000

“Aku melihat malaikat dalam marmer dan aku ukir sampai aku membebaskannya.” – Michelangelo (halaman 195).

Bagaimana tahap awal dalam berkarya? Jawabnya dengan meniru untuk berlatih. Dalam konteks ini, meniru tidak sama dengan plagiat. Plagiat ialah melakukan copy-paste tanpa penambahan makna sama sekali. Sedangkan, meniru ialah cara berlatih dengan sistem teknik dibalik. Analoginya ibarat ahli mekanik yang membongkar mobil untuk mengetahui bagaimana cara kerja mesin.

Lewat buku ini, penulis berbagi kisah masa kecilnya. Ternyata ia mulai belajar menggambar pada era 1980-an. Saat itu, acara “Mari Menggambar Bersama Pak Tino Sidin” di TVRI tak pernah absen ia lewatkan. Lantas, Pendiri HelloMotion Academy yang sejak 2004 telah meluluskan 2.000 siswa tersebut menirukan setiap garis dan lekuk yang diinstruksikan Pak Tino Sidin di layar kaca. Dari bulat, ditambah bulat, garis, dan garis lagi akhirnya menjadi kucing. Dari kotak ditambah segitiga, lanjut beberapa kotak akhirnya menjadi rumah. Ia seolah dipandu untuk menyusun kembali konstruksi yang telah dibongkar oleh beliau (halaman 46).

Menurut seniman desain dan aktivis animasi tersebut, pendidikan kesenian memiliki banyak manfaat. Antara lain memberikan ruang seluas-luasnya untuk mengemukakan pendapat, berani mengekspresikan imajinasi, melatih berpikir kreatif, membina rasa sensitivitas, melatih keterampilan, dan sebagainya. Secara lebih mendalam, juara dunia British Council Young Creative Entrepreneur 2007 ini pelajaran kesenian bukan sekadar mempelajari cara menggambar tapi belajar meminjam istilah Romo Driyarkara SJ, “memanusiakan manusia”.

Penggagas HelloFest, salah satu festival Pop Culture terbesar di Indonesia yang setiap tahunnya menyedot lebih dari 20.000 penonton ini juga menceritakan pengalaman Phil Hansen. Ia memiliki keterbatasan, saat remaja tangan Phil selalu gemetar ketika menggambar garis lurus. Hingga menginjak usia dewasa, mimpi buruk itu terus berlanjut. Lalu, ia memeriksakan tangannya ke dokter ahli neurologi. Penelitian dokter menyimpulkan bahwa ada kerusakan saraf di tangan Phil yang tak tersembuhkan.

Mendengar berita tersebut, Phil merasa seperti ditampar rasa frustasi. Hebatnya, Phil Hansen justru merangkul keterbatasan. Phil menerima kondisi tangannya yang selalu gemetar. Phil mengambil pensil dan membiarkan tangannya yang gemetar itu untuk menggores, menggambar, dan berekspresi. Dia tekun bereksperimen dengan guncangan-guncangan garis yang dihasilkan. Sampai pada akhirnya, ia berhasil menemukan polanya sendiri. Selain itu, untuk menghindari rasa sakit, Phil bereksperimen dengan menggunakan objek-objek berskala besar.

Ia bahkan pernah menggambar profil Bruce Lee dengan cara memukul-mukulkan kepalan tangannya yang berlumuran cat ke tembok dengan teknik kungfu. Lantas, ia mendokumetasikan proses pembuatannya di You Tube dan sudah ditonton lebih dari 3 juta orang. Silakan lihat hasilnya di halaman 115. Lewat kisah Phil Hansen tersebut, pemilik toko pakaian online KDRI (Kementrian Desain Republik Indonesia, Belum/Tidak Sah) ini menandaskan bahwa keterbatasan tak harus dimusuhi tapi harus dirangkul. Keterbatasan justru membuat karya seseorang terlihat berbeda. Terbukti akhirnya, Phil mendapatkan penghormatan membuat official artwork untuk 51st Annual GRAMMY Awards.

Sistematikanya, “Sila ke-6, Kreatif Sampai Mati” terdiri atas 17 butir pencerahan kreatif. Antara lain berjudul, “Lakukan Hal Spontan,” “Rangkul Keterbatasan,” “Mampu Mengurai,” “Fleksibel Saja,” dll. Wirausaha Muda Mandiri 2008 ini memang sengaja mendesain buku ini agar bisa dibaca tanpa harus dirunut dari awal sampai akhir. Pembaca dapat menikmatinya secara acak (random).

Pemenang Best Short Movie dalam JiFfest 2004 ini juga memberikan contoh nyata kreativitas anak negeri. Elang Gumilang, seorang developer yang masih berusia relatif muda (belum 30 tahun) tapi sudah memiliki perusahaan dengan omset puluhan miliar rupiah. Dia mencoba berpikir dengan pola arah berlawanan tentang bisnis perumahan. Kebanyakan developer lebih fokus pada pembangunan untuk orang kaya. Uniknya, Elang lebih tergerak menyediakan rumah murah bagi rakyat miskin.

Para pembeli dapat memiliki rumah dengan biaya cicilan per bulan Rp90.000 saja selama 15 tahun. Walau tergolong murah, tapi fasilitas pendukung di dalamnya sangat komplet, seperti klinik 24 jam, lapangan olahraga, rumah ibadah, sekolah, dan juga dekat dengan pasar. Dalam konteks ini, Elang berhasil merubah paradigma enterpreneurship bahwa berbisnis bukan semata untuk mencari keuntungan pribadi, tapi juga menguntungkan masyarakat kebanyakan juga (halaman 31).

Buku setebal 302 halaman ini menyadarkan bahwa kreativitas senantiasa memberikan solusi alternatif. Layak dibaca oleh siapa saja yang masih kesulitan menemukan ide kreatif dalam keseharian. Sebab, menyitir pendapat Dimas Ganjar Merdeka, Dirut CV. Maicih, “Menjadi kreatif itu mudah, sederhana, dan tidak baku.” Selamat membaca!  

Oktober 08, 2013

Guru Gokil di Zaman Lebay

Dimuat di Majalah Nuntius, edisi Oktober 2013

Judul: Guru Gokil Murid Unyu
Penulis: J. Sumardianta
Penerbit: Bentang Pustaka
Cetakan: 1/April 2013
Tebal: xiii + 303 halaman
ISBN: 978-602-7888-13-5

Willy Pramudya - sahabat karib Pak Guru (begitulah sapaan akrab penulis buku ini) - menceritakan pengalaman uniknya. Wartawan tersebut acap mendapat tugas dari Direktorat Pendidikan Dasar sebagai fasilitator jurnalistik dan pengelolaan media sekolah bagi guru-guru SMP. Program ini rutin digelar sejak tahun 2010. Alhasil, ia dapat bertemu dengan ribuan guru dari seluruh penjuru tanah air. Kalau di Jakarta, peserta program sebagian besar guru-guru SBI dan RSBI. Sedangkan kalau di daerah, pesertanya guru-guru RSBI dan SSN.

Ternyata tak banyak guru yang memiliki kemampuan relatif memadai sebagai teladan (role model) bagi para siswa dalam hal menulis. Ibarat sepeda beroda dua, membaca dan menulis perlu bergulir bersama. Ironisnya, tak sampai 0,5% dari ribuan guru tersebut yang pernah membaca tetraloginya Pramoedya Ananta Toer (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca), karya sastra karya Ahmad Tohari (Ronggeng Dukuh Paruk), Sindhunata (Anak Bajang Menggiring Angin), Ashadi Siregar (Cintaku di Kampus Biru), Dominique Lapierre (The City of Joy), Khaled Hossaeni (The Kite Runner), dll. Bahkan mereka pun cenderung asing dengan pemikiran Ki Hadjar Dewantara, Y.B. Mangunwijaya, Ivan Illich, dan Paulo Freire. Padahal para guru tersebut berasal dari sekolah “pilihan.”

Pak Guru ialah pengecualian. Ia seorang mentor yang gandrung membaca dan menulis. Selama 20 tahun lebih menjadi pendidik, J. Sumardianta juga aktif menulis ulasan buku (resensi) dan esai humaniora di media massa. Antara lain Koran Tempo, Majalah Tempo, Blog BeritaSatu, dan sederet jurnal pendidikan lainnya. Bahan bakunya apa saja yang ayah 3 putri ini lihat, rasakan, dan alami sepanjang menekuni profesi untuk mencerdaskan anak bangsa di SMA Kolese De Britto Yogyakarta.

Di sekolah yang notabene hanya menerima murid pria dan mengijinkan mereka berambut gondrong tersebut, Pak Guru pernah mendampingi para siswa menjalani magang sosial. Selama seminggu penuh para siswa wajib kerja sosial di tempat pembuangan akhir (TPA), perkampungan kumuh, sanggar pemberdayaan kaum marjinal, panti jompo, panti penyandang autis, sampai panti rehabilitasi kaum difabel. Generasi gadget tersebut harus terjun langsung sebagai pemulung, pengamen jalanan, pedagang asongan, kuli kasar, pembantu rumah tangga, dan perawat pasien di berbagai daerah seperti Malang, Yogyakarta, Jakarta, Tangerang, dan Bekasi.

Di tempat-tempat yang tak pernah mereka jamah sebelumnya tersebut, para siswa belajar mengatasi kecenderungan selfish-nascis-egoistic (mengagungkan diri sendiri, narsis, egois). Mereka harus bergulat dengan pedalaman batinnya. Pun bergumul sengit untuk menemukan titik balik kehidupan. Kendati demikian, mereka tak melulu belajar dari guru, pakar, dan perpustakaan tapi dari orang-orang tersisih, miskin, bodoh, dan yang selama ini dipandang sebagai sampah masyarakat.

Uniknya, penempatan lokasi tak dilakukan secara acak. Pak Guru mempertimbangkan karakter masing-masing peserta. Siswa yang memiliki masalah ketergantungan dan tak mandiri, menjalani kerja sosial di ruang terbuka sebagai pemulung, pengamen jalanan, pedagang asongan, dan pekerja kasar. Sedangkan murid yang memiliki persoalan attitude dan minim kepedulian, bekerja di dalam ruangan sebagai juru rawat kaum jompo, penyandang cacat ganda, dan kaum difabel.

Dalam bab “Bertindak Sebaliknya (Agere Contra)” Wenzel Rico menuturkan pengalaman menggetarkan tatkala memperoleh keterbukaan hati (conscientiousness). Ia tinggal bersama pemulung di kolong jembatan jembatan Kampung Melayu, Jakarta. Pukul 2.00 dini hari, sepulang memulung di Pancoran, siswa itu ditraktir mie rebus oleh induk semangnya. Rico berinisiatif membayar karena merasa kasihan. Tapi ia justru dihardik karena induk semangnya bukan manusia pelit nan penuh perhitungan (halaman 23).

Felix Juwono Ghazali juga belajar tentang doa bukan dari ajaran iman dan kotbah kesalehan, tapi dari melihat dan merasakan langsung potret ketidakadilan sosial di TPA Bantar Gebang, TPA Piyungan, kawasan Tanah Abang, dan pemukiman kumuh (slump) di Tanjung Priok. Felix berlatih mempertajam kepekaan hati dan kepedulian sosial lewat momen-momen tak terlupakan memandikan, menceboki, dan menyuapi anak-anak pengidap retardasi mental (halaman 24).

Sepulang dari Project Based Learning (PBL) tersebut, para murid mengendapkan pengalaman afektif dan keterlibatan motorik mereka lewat proses abstraksi guna menemukan pengetahuan kognitif. Lantas, seluruh kisah mereka diabadikan dalam buku Tapal Batas: A Journey to Powerful Breakthrough (Pustaka Kaiswaran, 2011). Menurut Pak Guru, PBL sungguh melatih siswa jadi lebih terbuka pada pengalaman baru (openness to experience), keterbukaan hati (conscientiousness), kepekaan sosial (extroversion), setia pada kesepakatan (agreeableness), dan ketahanan menghadapi tekanan hidup (neurotism).

Sistematika “Guru Gokil Murid Unyu” terdiri atas 8 bab. Antara lain “Kacamata Sang Pendidik,” “Sosok,” “Alam adalah Guru,” “Hidup untuk Menghidupi,” “Jendela Ilmu,” “Sekolah Bukan Rumah Kaca” dan “Berkah Guru Kecanduan Buku.” Masing-masing bab memuat refleksi mendalam pria kelahiran 23 November 1966 ini atas dinamika kehidupan sehari-hari. Intinya, narasumber Konferensi Guru Indonesia di Yogyakarta, Solo, Semarang, Purwokerto, Sukabumi, Jakarta, Ponorogo, Malang, Surabaya, Dili, dan Makasar tersebut bertekad mengubah mentalitas para pendidik. Dari yang semula bermental passenger (penumpang), loser (pecundang), dan bad speaker (tukang bual) menjadi guru berparadigma driver (pengemudi), winner (mental juara), dan good listener (pendengar yang baik).

Makelar Kebahagiaan

Alumnus IKIP Sanata Dharma 1992 ini mengaku banyak terinspirasi oleh Arvan Pradiansyah (The 7 Laws of Happiness). Ada 7 pilar utama dalam bangunan rumah kebahagiaan, yakni sabar (patience), syukur (gratefulness), bersahaja (simplicity), kasih (love), memaafkan (forgiving), dan pasrah (surrender). Tiga yang pertama terkait dengan kecerdasan personal. Tiga yang kedua bersifat melepaskan ego pribadi dengan mencintai dan melayani sesama. Satu yang terakhir bersemayam di jantung kearifan spiritual (halaman 188).

Dalam konteks persekolahan, Pak Guru menjadikan murid bahagia sebagai tujuan mengajar dan mendidik di kelas. Agar bisa bahagia - pertama dan utama - guru harus bisa berdamai dengan diri sendiri. Nah baru sesudah itu berdamai dengan sesama, terutama pimpinan, rekan sejawat, dan para siswa relatif lebih lancar.

Jika seorang guru dalam memahami konsep diri saja masih belum katam, walau sudah tergolong senior dan memiliki jam terbang puluhan tahun mengajar pun, ia niscaya cenderung keras kepala, mau menang sendiri, menindas, dan bahkan tega menganiaya murid. Padahal pada hakikatnya, guru itu seorang makelar kebahagiaan untuk senantiasa delivering happiness (mengantarkan keceriaan).

Tiada gading yang tak retak, begitupula buku bersampul karikatur wajah Pak Guru ini, di dalamnya banyak bertaburan aneka pepatah Kejawen. Antara lain petuah Tri Dharma warisan Mangkunegara I, yakni Rumangsa handarbeni, rumangsa hangrungkebi, mulat salira hangrasa wani (Ikut merawat, menjaga, introspeksi, berani mengakui kesalahan dan kekurangan. Di satu sisi tentu menambah kental nuansa etnis (baca: Jawa). Tapi di sisi lain, ada baiknya Pak Guru juga memasukkan adagium-adagium dari daerah lain. Alhasil, karya ini lebih kentara mozaik keindonesiaannya.

Terlepas dari kelemahan minor tersebut, buku setebal 303 halaman ini merupakan pembuktian bahwa profesi guru tak boleh dipandang sebelah mata. Terlebih para pendidik “plus” yang di sela kesibukan mempersiapkan bahan ajar tetap aktif menulis di media massa. Sebab memang jalan mulus dan lurus tak pernah menghasilkan pengemudi hebat, laut yang tenang tak akan menghasilkan pelaut tangguh, langit yang cerah tidak akan menghasilkan pilot handal. Selamat membaca dan salam pendidikan! 

1381220478390086174

Oktober 06, 2013

Jimpitan

Dimuat di Suara Pembaca, Suara Merdeka, Senin 7 Oktober 2013
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2013/10/07/239279/Bantuan-Siswa-Miskin-Disunat

’Sejimpit-sejimpit lama-lama jadi bukit’’. Hal itu plesetan dari kata pepatah ’’sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit’’. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) jimpitan berarti sumbangan berupa beras sejimpit yang dikumpulkan secara beramai-ramai. Sedangkan njimpit dalam kamus Bausastra Jawa (2006) sinonim dengan ’’wilonganing barang lembut nganggo pucuking driji’’ (mengambil barang lembut/kecil dengan ujung jemari).

Pertanyaannya, dalam kehidupan modern di abad ke-21 yang meminjam istilah Anthony Giddens - berlari tunggang langgang ini - apakah prinsip lawas tersebut masih relevan? Konon tradisi jimpitan terlahir di Pulau Jawa, terutama di kawasan pelosok pedesaan. Intinya, secara rutin masyarakat mengumpulkan beras sejimpit (segenggam) setiap hari.

Semula kebiasaan itu sebagai  langkah antisipatif alias tindakan berjaga-jaga dari serangan paceklik yang menyergap tiba-tiba. Jadi kalau seumpama ada petani yang sawahnya mengalami gagal panen, mereka bisa meminjam dulu beras simpanan agar keluarganya tidak sampai menderita kelaparan.

Perlahan namun pasti, ’’alon-alon waton kelakon’’ tradisi jimpitan mulai merambah pula ke kota-kota besar. Biasanya, segenggam beras dimasukkan ke dalam wadah berukuran mini dan digantungkan di dekat pintu rumah. Lantas, beras jimpitan itu diambil dan dikumpulkan menjadi satu oleh warga yang bertugas sembari berkeliling ronda malam menjaga keamanan lingkungan.

Kalau sudah banyak, beras yang terkumpul tadi akan dijual kepada warga setempat yang kurang mampu dengan harga relatif murah. Seluruh proses tersebut dilakukan secara kolektif, terbuka, dan transparan, sehingga menghindari terjadinya syak wasangka dan praktik korupsi. Pemasukan hasil penjualan beras jimpitan tersebut dapat pula dipakai untuk memperbaiki sarana dan prasarana umum. Misalnya membuat portal jalan, membeli tempat tidur untuk posyandu, tamanisasi, dan lainnya.

Alhasil, selain keamanan lingkungan RT/RW/dusun terjaga, warga bisa membantu sesama yang kurang mampu dan membangun lingkungannya secara lebih mandiri. Sungguh menarik bukan? Aspek sosial dan ekonomi dapat berjalan seiring seirama. 

Hebatnya lagi, menurut peneliti dari Pusat Studi Pancasila (PSP) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Surono, dia juga pernah mengusulkan konsep jimpitan untuk meningkatkan kerja sama negara-negara anggota ASEAN. Kenapa? Karena jimpitan merupakan salah satu praktik nyata budaya Indonesia warisan leluhur kita yang bernama gotong-royong.

Dalam rilis tertanggal 9 Agustus 2012 Surono mengatakan bahwa konsep jimpitan tersebut sempat diusulkan di Chiang Mai, Thailand pada 26-27 Juli 2012 silam. Dalam forum internasional ASEAN bertajuk Towards an ASEAN Economic Community (AEC): Prospects, Challenges and Paradoxes in Development, Governance and Human Security, dia berupaya meyakinkan seluruh peserta bahwa konsep jimpitan sangat prospektif untuk meningkatkan kesejahteraan negara-negara anggota ASEAN.

Secara lebih rinci, dalam makalah berjudul Build The Economic Integration with Jimpitan Model In Javanese Society, Surono memaparkan tiga pilar utama dalam bangunan kultural  jimpitan, yakni kebersamaan, sukarela, dan bergilir. Selain itu, model jimpitan juga dapat meminimalisasi ketergantungan negara ASEAN terhadap pinjaman dari para negara donor. Menurut Surono, konsep budaya adiluhung Jawa tersebut mendapat sambutan antusias dari peserta. Bahkan banyak negara ASEAN tertarik untuk mulai mengembangkan konsep jimpitan (http://nationalgeographic.co.id).

Berawal dari sejimpit beras yang dikumpulkan warga, ternyata dana yang terkumpul dapat mengurangi ketergantungan kita kepada pihak luar. Konsep ekonomi kerakyatan ala koperasi dari Bung Hatta. Dari warga, oleh warga, dan untuk warga, memang lebih sesuai ketimbang sistem ekonomi neoliberal yang ringkih dan rawan krisis.

Akhir kata, penulis bersepakat dengan tesis Zainal Abidin, dosen Universitas Lampung (Unila) terkait jimpitan. Tradisi jimpitan merupakan mekanisme gotong-royong masyarakat madani dalam upaya bertahan hidup dan saling menyejahterakan. Kuncinya ialah kebersamaan, keterbukaan, dan kemandirian. Kita tak melulu menunggu uluran tangan dari pemerintah dan mengutuk keadaan terus-menerus. Pada masa lalu, prinsip gotong-royong ini yang digadang-gadang penggagas dasar negara, Bung Karno, sebagai kepribadian bangsa Indonesia.

1381123608190505095
Sumber Foto: http://fxdimas.deviantart.com/art/Jimpitan-184085167

Oktober 04, 2013

Belajar Bahasa Inggris lewat Gerak dan Lagu

Dimuat di Suara Merdeka, Sabtu/5 Oktober 2013

“Big big big the elephant is big/ Small small small the ants are very small/ Long long long the snake is so long/ Look…this is a worm, this is very short, this is very short, this is very short…”

Begitulah lirik lagu berbahasa Inggris gubahan Kak Zepe. Lewat tembang anak tersebut, para murid bisa belajar tentang kata sifat (adjective), khususnya tema ukuran (size). Penulis pernah mempraktikkannya tatkala mengajar di KP (Kelas Persiapan) Yayasan Mata Air, Yogyakarta. Ternyata sangat efektif dan menyenangkan.

Walau Farel, Juan, Tita, Amabel, dan Pandya belum genap berusia 5 tahun saat itu, tapi mereka bisa dengan mudah dan cepat mengingat lirik lagunya. Padahal kalau disuruh menghapalkan secara konvensional, dalam pengertian tanpa irama dan lagu butuh waktu lama dan sulit sekali.

Menurut Drs. Istoto, MM. CHt, seorang pakar NLP (Neuro Linguistic Programming) isi pikiran manusia terdiri atas 3 hal. Yakni Gambar (G), Perasaan (P), dan Suara (S). Perasaan sendiri terkait erat dengan indera penciuman (aroma), pencecap (rasa), peraba (kulit), dan gerakan (kinestetik).

Kosa Kata

Khusus terkait gerakan, anak-anak dapat pula menirukan ukuran binatang yang sedang disebutkan. Misalnya saat menyanyikan lirik big big big sembari membuat lingkaran besar dengan kedua belah tangan. Volume suara juga mengeras. Lalu, saat menyanyikan lirik small small small sambil menjentikkan ujung telunjuk dan ibu jari. Kali ini, volume suara mengecil.

Lantas, saat menyanyikan lirik long-long-long boleh sambil merentangkan tangan selebar-lebarnya. Kali ini kembali dengan volume suara mengeras. Terakhir, saat menyanyi this is very short (3x) sembari hampir mengatupkan kedua telapak tangan, sisakan beberapa sentimeter saja, kira-kira sependek ukuran cacing tanah.

Lewat aktivitas sederhana gerak dan lagu berbahasa Inggris di atas, anak-anak sekaligus menambah perbendaharaan kosa kata baru (vocabulary). Misalnya nama-nama binatang elephant (gajah), ants (semut), snake (ular), dan worm (cacing).

Masih banyak lagu-lagu anak lainnya di blog http://lagu2anak.blogspot.com/. Antara lain untuk belajar nama-nama hari dalam seminggu, belajar nama bulan dalam setahun, belajar untuk saling menyayangi antar sesama anggota keluarga, dll. (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru Privat Bahasa Inggris, Tinggal di Yogyakarta). 

1380947880905495952

Oktober 01, 2013

Memaknai Batik sebagai Proses

Dimuat di Radar Surabaya, Rabu/2 Oktober 2013

Sejak 2 Oktober 2009 Badan PBB untuk kebudayaan UNESCO menetapkan batik sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity). Oleh sebab itu, pemerintah menetapkan setiap tanggal 2 Oktober  sebagai hari batik nasional.

Dalam laman resminya, UNESCO melihat batik Indonesia memiliki banyak motif.  Semuanya bertautan erat dengan status sosial, kearifan lokal (local wisdom), kondisi alam, dan sejarah masyarakat. Selain itu, batik juga merupakan identitas bangsa. Kenapa? Karena senantiasa hadir dalam peziarahan hidup seorang anak manusia, mulai sejak ia lahir hingga akhirnya dikebumikan.

Misalnya dalam resepsi perkawinan, mempelai perempuan menggunakan batik motif Sido Mukti. Sido berarti (men)jadi, sedangkan Mukti sinonim dengan sejahtera lahir dan batin. Itulah doa sekaligus harapan yang terekpresikan lewat pakaian pasangan muda yang hendak mengarungi samudera kehidupan dengan bahtera rumah tangga.

Menurut para ahli sejarah, batik sudah ada sejak zaman Majapahit. Pada awalnya, batik memang cenderung bersifat eksklusif, hanya dibuat dan dikenakan oleh keluarga keraton. Namun, seiring dengan bergulirnya waktu, penggunaan batik merambah hingga ke kalangan rakyat jelata.

Suroso seorang desainer dari Jogjakarta mengingatkan tentang filosofi dasar warisan leluhur tersebut (Kick Andy, 29 Agustus 2013).  Pengerajin tenun kain batik dari bahan serat batang pisang itu memaknai batik sebagai proses bukan sekadar hasil.

Artinya, batik bukan hanya pakaian ‘resmi’ di kantor setiap Jumat. Terobosan dan inovasi harus terus digalakkan agar generasi muda bangga mengenakannya. Bahkan turut pula dalam proses produksi. Mulai dari proses menggambar pola, mencanting, mewarnai, dan mendesain pakaian yang sesuai dengan mode terkini.  

Terakhir tapi penting, proses tersebut bisa dimulai dari sekolah.  Pelajaran membatik tentu menarik minat belajar siswa. Sehingga generasi penerus bangsa lebih mengenal dan mengaprapresiasi karya seni adiluhung warisan leluhur kita tersebut. Selamat hari batik nasional! (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru Privat Bahasa Inggris di Jogjakarta dan Kontributor Tetap di Majalah Pendidikan Online Indonesia)


Sumber Foto: http://batikdirjosugito.blogspot.com/2011/10/canon-slr-10_18.html
Sumber Foto: http://batikdirjosugito.blogspot.com/2011/10/canon-slr-10_18.html

Bakar Buku? No! Bakar Batu? Yes!

Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Senin/30 September 2013

“Karena setiap lembarnya, mengalir berjuta cahaya…
karena setiap aksara membuka jendela dunia…” – (Efek Rumah Kaca)

Begitulah cara grup band ERK memaknai sebuah buku. Selain jendela dunia, bagi mereka buku merupakan puncak peradaban manusia. Namun sungguh ironis. Buku 5 Kota Paling Berpengaruh di Dunia karangan Douglas Wilson kini telah tiada. Umurnya tak lebih dari 4 bulan. Buku terbitan Gramedia Pustaka Utama (GPU) itu sudah dibakar jadi abu.

Awalnya, anggota ormas berkedok agama melaporkan ke Polda Metro Jaya. Karena 2 kalimat (halaman 24) dalam buku tersebut dianggap menghina Nabi Muhammad SAW. Alhasil, pada 13 Juni lalu, disaksikan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, GPU memusnahkan 3.000 buku yang berjudul asli 5 Cities That Ruled the World itu.

Dalam artikel ini penulis sepakat dengan pendapat ERK. Pada hemat saya, salah satu tragedi terbesar kemanusiaan ialah insiden pembakaran buku. Sebuah penistaan terhadap progresivitas manusia. Terutama dalam konteks perkembangan inteligensianya.

Pun amat disayangkan kebijakan Gramedia membakar buku secara sukarela. Padahal sebelumnya sudah diterbitkannya dengan susah payah. Hanya karena desakan segelintir ormas berkedok agama.

Entah apa pertimbangan penerbit besar tersebut. Secara moralis bisa jadi agar tidak menyakiti hati umat Islam. Pertanyaannya umat Islam yang mana? Toh mayoritas saudara-saudari Muslim berbesar hati menerima perbedaan persepsi atas sebuah teks. Karena sadar ada konteks yang lebih luas nan melingkupi.

Barangkali pertimbangan aspek ekonomis. Kenapa? Karena kalau terlibat dalam proses hukum akan memakan waktu, energi dan biaya yang besar sekali. Bahkan kalau sampai membahayakan perusahaan bisa mengancam hajat hidup jutaan pegawainya di seluruh Indonesia.

Penulis sekadar berbela rasa dengan pihak penerjemah dan editor buku tersebut. Di satu sisi memang kita perlu lebih berhati-hati dalam mengalihbahasakan dan memeriksa redaksional beserta isi buku.

Saat kuliah translation dulu, para dosen senantiasa mengajarkan agar penerjemahan buku lebih bersifat kontekstual dan meaning-based. Karena kalau diterjemahkan letter leck alias kata per kata berpotensi bias dan multitafsir.

Di sisi lain, perlu diketahui publik bahwa proses ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Berdasarkan pengalaman penulis, untuk menterjemahkan dan mengedit 300 halaman buku, setidaknya dibutuhkan masing-masing sebulan. Jadi totalnya sekitar 2 bulan lebih. Masih ditambah durasi di percetakan. Artinya ada proses panjang sebelum sebuah karya tulis sampai ke tangan pembaca.

Dalam konteks ini, cara instan menuntut lewat jalur hukum masih terlalu dini. Bukankah budaya nusantara mengedepankan dialog sehingga menguntungkan kedua belah pihak? Alangkah lebih bijak bila buku tersebut ditarik sementara dulu dari peredaran. Kemudian diedit bagian kalimat/halaman yang kurang pas sehingga bisa diedarkan kembali kepada publik. Cara ini lebih manusiawi (baca: beradab).

Belajar dari Sejarah

Menarik apa yang disampaikan Hendri F. Isnaeni di historia.co.id (18 Juni 2012). Ternyata insiden pembakaran buku bukan kali pertama. Pada masa kolonial Belanda, kasus serupa pernah terjadi. Namun saat itu tanpa pengerahan massa, yang ada hanya polemik di media massa.

Alkisah, sebuah buku berjudul Mijn Mislukte Zending (Misi Saya yang Gagal) karya Sir Nevile Henderson terbit dan diresensi koran Java Bode. Peresensinya mengutip buku tersebut sebagai berikut: “Karena itulah Hitler makin lama makin yakin sendiri bahwa ia kebal dan besar … ia sendiri lalu menjadi lebih besar sedikit, mungkin semacam Mohamed dengan ‘pedang di sebelah tangannya dan buku Mein Kampf di tangan lainnya…”

Hasilnya banyak reaksi keras bermunculan. Koran Pemandangan, dalam sanggahannya yang ditulis Anwar Tjokroaminoto, keberatan terhadap penyamaan itu. Menurutnya, Nabi Muhammad SAW tak pernah memaksa dan mengancam dengan pedang, dan tak bisa disamakan dengan Hitler.

Bahkan, menurut Anwar, “Hitler tidak bisa dipersamakan dengan manusia biasa, melainkan sebagai kepala dari bangsa biadab,” demikian tulis Pemandangan, 4 Desember 1940. “Bagi kita lebih baik kalau kalimat-kalimat itu tidak ada, baik dalam terbitan berbahasa Inggris maupun yang berbahasa Belanda.”

Kemudian, pelbagai tulisan pun berdatangan ke meja redaksi Pemandangan. Isinya menyuarakan kekecewaan terhadap buku Henderson itu. Koran lain seperti Tjaja Timoer ikut menyerang balik Java Bode. Namun JB bersikukuh bahwa buku Henderson tak bermaksud menghina Nabi Muhammad SAW.

Munculnya polemik itu, bagi Pemandangan, memiliki hikmah tersendiri. “Kita harus sanggup membicarakan benar-tidaknya lukisan itu secara objektif menurut ilmu pengetahuan dan sejarah. Umat Islam harus menjunjung agamanya dengan cara yang lebih nyata.”

Pungkasnya, isu agama memang sensitif. Hati boleh panas, kepala harus tetap dingin. Senada dengan petuah kejawen, “Nak ana masalah yo dirembug.” Kalau ada masalah dimusyawarahkan. Pun kalau berpolemik lakukanlah secara cerdas lewat bahasa yang santun. Semoga ke depan tiada lagi pembakaran buku. Kalau bakar batu? Boleh!