Februari 27, 2012

Menerapkan Metode Quantum di Kelas

Dimuat di Rubrik Peduli Pendidikan, KR, Selasa/28 Februari 2012

http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=141307&actmenu=43

MENURUT Ir Hendri Risjawan, Quantum Teaching diperkenalkan Dr Georgi Lozanov. Ia seorang pendidik asal Sofia, Bulgaria. Sebelumnya, Lozanov sempat bereksperimen dengan suggestology. Ternyata sugesti dapat mempengaruhi hasil belajar siswa.

Selanjutnya, Bobbi De Porter dan Mike Hernacki mengembangkan konsep Lozanov itu menjadi Quantum Learning. Metode belajar ini diadopsi dari beberapa teori mutakhir. Antara lain sugesti, teori otak kanan-kiri, pilihan modalitas (visual, auditorial dan kinestetik) dan pendidikan holistik.

Konsep tersebut berhasil diterapkan di Super Camp. Sebuah lembaga pelatihan yang didirikan De Porter pada 1982 di California. Tak kurang dari 56.000 peserta telah mengikuti pelatihan tersebut (baca di http://en.wikipedia.org/wiki/SuperCamp).

Ia sempat mengadakan penelitian untuk disertasi Doktoral pada tahun 1991. Ada 6.042 responden yang dilibatkan. Ternyata, Super Camp berhasil mendongkrak potensi psikis siswa, yakni peningkatan motivasi 80 persen, nilai belajar 73 persen, harga diri 84 persen dan keterampilan 98 persen.

Uniknya, Quantum Teaching ini diibaratkan seperti rumus Quantum Physics-nya Einstein, E = mc2. “E” ialah Energi (antusiasme, efektivitas belajar-mengajar, semangat). “e” merupakan massa (semua individu yang terlibat, situasi, materi, fisik). “c” adalah interaksi atau hubungan yang tercipta di kelas.

Artinya, komunikasi serta proses pembelajaran yang tercipta sangat berpengaruh pada efektivitas dan antusiasme belajar peserta didik. Istilah “Quantum” sendiri sinonim dengan interaksi yang mengubah energi menjadi cahaya.

Dengan Quantum Teaching para guru dapat mengajar dengan memfungsikan kedua belahan otak kiri dan kanan secara sinergis. Penelitian di Universitas California mengungkapkan, masing-masing bagian otak mengendalikan aktivitas yang berbeda. Otak kiri menangani angka, sedangkan otak kanan mengurusi kreativitas.

Sedikit sharing pengalaman di kelas English Club, penulis berupaya menciptakan suasana belajar yang menyenangkan. Kenapa? Karena, “Learning is most effective when it is fun.” Anak didik bisa belajar secara optimal bila situasi menunjang. Kami biasa menyanyi bersama dan mengadakan permainan (game). Tentu semua dikaitkan dengan materi pelajaran yang hendak disampaikan.

Selain itu, selama proses belajar mengajar berlangsung kami juga mendengarkan musik klasik dari Mozart, Beethoven dan alunan instrumental lainnya. Metode ini terinspirasi dari penelitian Dr Masaru Emoto. Bila kita mendengarkan musik yang ketukannya 50-60 kali permenit, molekul air (H2O) dalam tubuh akan merespons secara positif. Selamat mencoba di kelas masing-masing. q - m

(T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru Ekskul Bahasa Inggris di SMP Kanisius Sleman)

Februari 22, 2012

MA Sanksi Hakim Hari Sasangka, Rekayasa Kasus Anand Krishna Makin Terungkap dan Terbukti

Rabu, 22 Feb 2012 06:50 WIB

RIMANEWS-Humphrey Djemat, Kuasa Hukum Anand Krishna, menyatakan rasa salutnya atas keputusan yang di ambil oleh Mahkamah Agung untuk memberikan hukuman disiplin terhadap Hakim Drs. Hari Sasangka, SH, MH. Keputusan Mahkamah Agung tersebut dapat di access melalui internet di http://www.pn-kandangan.go.id/myfiles/file/hukumandisiplin/HDjuli-sept20.... Hari Sasangka telah dijatuhi hukuman berupa hakim non-palu pada Pengadilan Tinggi Ambon selama 6 bulan dengan dikurangi tunjangan remunerasi selama 6 bulan sebesar 90% tiap bulannya.

Menurut Kuasa Hukum Anand Krishna tersebut hukuman disiplin yang dijatuhkan Mahkamah Agung terhadap Hakim Hari Sasangka sudah sangat tepat dan diharapkan memberikan efek jera kepada hakim-hakim lainnya.

Sebagaimana diketahui, Hakim Hari Sasangka telah di laporkan di Komisi Yudisial atas dugaan pelanggaran kode etik karena melakukan perbuatan tercela, menjalin hubungan dengan pihak saksi korban wanita yang bernama Shinta Kencana Kheng, yang diketahui dilakukan sebanyak 3 kali dan dilakukan pada malam hari, di dalam mobil Shinta Kencana Kheng. Perbuatan mana dapat dibuktikan dengan adanya saksi-saksi dan foto-foto.

Akibat perbuatan tercela tersebut Hakim Hari Sasangka langsung diganti oleh Hakim Albertina Ho, sebagai Ketua Majelis perkara Anand Krishna.

Pada hari Selasa, tanggal 22 Nopember 2011, Majelis Hakim yang diketuai oleh Hakim Albertina Ho, SH, MH, melalui Putusan Nomor: 1054/Pid.B/2010/PN.Jkt.Sel., memutus Anand Krishna dengan putusan bebas murni dengan menyatakan Anand Krishna tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan Pertama atau dakwaan Kedua, untuk selanjutnya membebaskan Anand Krishna dari kedua dakwaan tersebut serta memulihkan Hak Anand Krishna dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya.

Selanjutnya Humphrey mengatakan “saya kagum atas langkah yang diambil oleh Mahkamah Agung, khususnya Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali yang saat itu menjadi Ketua Muda Bidang Pengawasan yang berdasar inisiatifnya sendiri dan didasari profesionalitas dengan menjunjung tinggi rasa keadilan serta dengan tujuan menegakkan hukum, menginstruksikan agar dilakukan pemeriksaan oleh Badan Pengawasan Mahkamah Agung terhadap dugaan pelanggaran kode etik oleh Hakim Hari Sasangka”.

Humphrey menambahkan “sampai saat ini Komisi Yudisial yang malah secara resmi dilapori perbuatan Hari Sasangka tersebut belum memberikan Keputusannya”.

Selanjutnya Humphrey menekankan adanya kejadian yang membuktikan hubungan tidak wajar diantara Hakim Hari Sasangka dengan saksi korban Shinta Kencana Kheng menunjukkan kasus Anand Krishna ini sarat bermuatan rekayasa sejak awal proses hukum penyidikannya. Bahkan Hakim yang menangani perkaranya pun dicoba untuk di pengaruhi dengan cara-cara kotor.

Namun demikian kebenaran tetap dapat ditegakkan melalui Hakim Albertina Ho, yang terkenal jujur, objektif dan profesional serta tidak dapat di intervensi oleh siapapun.

__________________________

Pengirim: T. Nugroho Angkasa

Februari 21, 2012

Getaran Suara dan Emosi Manusia

Dimuat di RimaNews, Minggu 19 Feb 2012 http://www.rimanews.com/read/20120219/54829/getaran-suara-dan-emosi-manusia


13296231592049224778

Mengeluarkan suara uuuuuuuu.....

Yogyakarta - Salah satu peserta latihan meditasi Neo Self Empowerment (NSE) di Anand Krishna Center (AKC) Joglosemar, Perum Dayu Permai P-18 Jalan Kaliurang sedang mengeluarkan suara “uuuuuuuuu…” Menurut Triwidodo Djokorahardjo - yang menjadi fasilitator sesi Emotion Culturing (Membudayakan Emosi) pada Sabtu (18/2) malam - getaran suara ini dapat memperbaiki kinerja organ-organ tubuh di sekitar dada. Bahkan dapat pula menenangkan emosi yang bergejolak.

Seorang anak yang menangis dengan suara “eeeeeeeee…” - seperti saat melafalkan kata “apel” - biasanya menderita sakit fisik. Barangkali karena lututnya memar akibat terjatuh dari sepeda. Sedangkan, kalau dengan suara “uuuuuuuuu…” - seperti ketika melafalkan antara huruf “u” dan “o” - lazimnya karena jengkel atau sakit hati.

Sebelum mengeluarkan getaran suara, satu hal yang penting ialah me-rileks-kan bagian leher dan pundak. Sebab disanalah pertemuan energi sebelum mencapai otak manusia. Selain itu, mengacu pada penelitian Dr. Masaru Emoto, bila organ tubuh kita diperhatikan niscaya molekul air (H2O) yang terkandung di dalamnya merespon secara positif.

Supaya situasi lebih kondusif, Pak Tri memutarkan alunan intrumental lembut. Ketukannya antara 50-60 per menit sehingga menunjang proses rileksasi. Selain itu, kedua mata juga perlu dipejamkan. Sebab, 70 persen energi manusia keluar dari indera penglihatan tersebut.

Para ahli medis juga mengatakan bahwa enzim seretonin dan endhorphin (morphin alami) hanya diproduksi otak saat cahaya minim diterima retina. Sudah banyak pecandu narkoba melepaskan ketergantungannya selama ini. Sebab, lewat latihan meditasi yang rutin tubuh mereka bisa memproduksi “morphin” sendiri.

13296251381252814388

Fotografer: Triwidodo Djokorahardjo

Mendesak DPR (Segera) Naik Kelas

Dimuat di Pedoman News, Rabu/15 Februari 2012

http://www.pedomannews.com/opini/berita-opini/politik/10839-mendesak-dpr-segera-naik-kelas

Pada suatu pagi seorang Guru SD bertanya kepada para murid, "Anak-anak, kalau sebuah pesawat Boeing 747 mengangkut 560 anggota DPR dan terjatuh dari ketinggian 2.000 kaki, berapa orang kemungkinan yang selamat?" Mereka serempak menjawab, "250 Juta penduduk Indonesia yang selamat!" Anekdot ini marak beredar di dunia maya. Sebuah ekspresi kritis terhadap perilaku anggota perlemen yang lupa pada amanah penderitaan rakyat.

Dari kalangan akademisi, Dr. W Riawan Tjandra juga menyoroti tingkah-polah anggota DPR dewasa ini. Karena penghuni Senayan itu tak kunjung beranjak dari masalah toilet. Yang paling aktual ialah ulah Kesekretariatan Jenderal (Setjen). Mereka hendak merenovasi ruang Badan Anggaran (Banggar) dengan anggaran Rp20 Miliar. Seperti termaktub dalam surat pengumuman Setjen DPR-RI No. 523111/MUM_U/BANGGAR/03/GP/2011.

Menurut analisis Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Atma Jaya Yogyakarta ini, besar kemungkinan "kebijakan" ini merupakan strategi merenovasi gedung DPR secara satu-persatu. Karena sebelumnya rencana pembangunan "istana" Senayan secara keseluruhan - dengan model gedung parlemen Chili - mendapat kecaman keras dari publik.

Associate Researcher Institute for Research and Empowerment (IRE) ini juga menandaskan bahwa seharusnya kinerja DPR lebih pada peningkatan kualitas pola checks and balances antarporos kekuasaan negara (legislatif, eksekutif, dan yudikatif). Penulis sepakat dengan pendapat Dosen Fakultas Hukum (FH) tersebut. Dalam fase konsolidasi demokrasi, peran DPR memang sebagai artikulator kepentingan konstituen.

Indikator

Apakah indikatornya? Menurut Riawan ada 2 hal. Pertama: secara substansial, kinerja DPR harus mampu melindungi hak dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kedua: secara prosedural, berbagai keputusan politik haruslah partisipatif. Ironisnya, semua tolok ukur tersebut dikesampingkan.

Salah satunya ihwal terjaminnya hak setiap warga negara. DPR bungkam tatkala terjadi kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) - terutama yang berkaitan dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Padahal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) lewat Komisioner HAM telah menyampaikan surat diplomasi kepada Kementerian Luar Negeri pada April 2011 silam.

Menurut UN Program Manager Human Rights Working Group (HRWG) Ali Akbar Tanjung, PBB meminta pemerintah memerangi segala jenis tindakan intoleran, diskriminatif, dan kekerasan terhadap kaum minoritas. Dalam konteks ini, peran DPR menjadi signifikan. Yakni untuk mendesak pemerintah agar menanggapi surat diplomasi tersebut lewat tindakan nyata. Sehingga masalah kebebasan beragama dan berkeyakinan - khususnya konflik GKI Yasmin dan Ahmadiyah - dapat segera dituntaskan.

Jika surat tersebut tak ditanggapi, Indonesia akan dilaporkan pada sidang dewan HAM PBB pada Maret 2012 mendatang. Sikap acuh DPR dan kelambanan pemerintah niscaya memperburuk citra Indonesia di dunia internasional. Yang lebih parah, konflik horisontal di akar rumput akan semakin panas.

Misalnya berupa insiden pembubaran Pengajian Tahunan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) di Kompleks Sekolah PIRI Baciro (13/1) di Yogyakarta. Padahal selama 84 tahun penyelenggaraan pengajian rutin itu, tidak pernah terjadi kericuhan.

Kesejahteraan

Parameter substansial lainnya ialah peningkatan kesejahteraan. Muhammad Yunus dalam upacara wisuda di MIT tertanggal 6 Juni 2008 mengungkap teladan nyata. Sang pelopor mikrokredit ini mengatakan, "Kami menciptakan perusahaan untuk menghasilkan air minum berkualitas di sebuah dusun di Bangladesh. Kami berkolaborasi dengan perusahaan air terkemuka."

Bangladesh memang memiliki masalah air minum. Di sebagian besar wilayah, sumber air terkontaminasi arsenik. Perusahaan bisnis sosial ini akan menjadi prototipe penyuplai air bersih murah secara berkelanjutan. Selain itu, mereka juga mendirikan rumah sakit mata spesialis operasi katarak. Setiap tahun mampu melayani 10.000 pasien.

Sedangkan dalam bidang TIK (Teknologi Informasi Komunikasi) mereka menandatangani kesepakatan dengan sebuah pabrikan komputer. Sehingga pelayanan berbasis IT kepada masyarakat miskin terakomodir. Proses pemasaran, pendidikan, dan pengiriman uang berjalan dengan lancar. Bahkan sebuah perusahaan sepatu terkemuka ingin membuka bisnis sosial. Mereka hendak memastikan tidak ada orang bepergian tanpa sepatu.

Last but not least (terakhir tapi penting) sebuah perusahaan farmasi terkemuka berencana memproduksi suplemen gizi. Sehingga para ibu hamil bisa membelinya dengan harga murah (http://aditya87.wordpress.com/2008/10/08/m-yunus-change-the-world). Kalau di Bangladesh saja bisa, DPR RI pun dapat menginisiasi hal serupa di Indonesia.

Partisipatif

Selain 2 masalah subtansial di atas. Perlu kita cermati prosedurnya. Kata kuncinya ialah partisipatif. Faktor transparasi menjadi syarat utama. Sebelum mengambil keputusan DPR harus mensosialisasikannya kepada publik. Sebab mereka hanya wakil, rakyatlah yang menjadi "bos".

Penulis memberi contoh dari pengalaman sehari-hari di kelas. Bersama para murid kami menentukan aturan main selama proses pembelajaran. Semua anak dilibatkan, ditanya apa pendapatnya? Hingga sampailah pada kata mufakat. Sehingga suasana di kelas terasa begitu menyenangkan.

Menarik juga apa yang diusulkan Hendra Sugiantoro. Intelektual muda ini menyampaikan gagasan demi terwujudnya parlemen yang bersih, bertanggung jawab, profesional, dan kontributif. Sebagai metafornya dinamai ”DPR Lebah”. Ada beberapa sifat lebah yang perlu dimiliki wakil rakyat.

Antara lain, lebah tidak merusak dan tidak melukai jika tidak diganggu. Lebah tidak mematahkan ranting yang dihinggapinya dan tidak melakukan perusakan. Artinya, anggota DPR harus terus mendorong transformasi, menentang kezaliman, dan menghentikan korupsi sistemik. Bukan justru sebaliknya.

Selain itu, lebah hanya menyerang jika diganggu, anggota parlemen pun siap menangkal setiap tindakan yang merugikan bangsa dan negara. Wakil rakyat harus mempertahankan aset-aset strategis agar bisa dimanfaatkan sebesar-sebesar untuk kepentingan anak bangsa. Lebah juga mampu bekerjasama dan tidak mementingkan ego.

Artinya, anggota DPR harus bekerja demi kepentingan yang lebih luas. Jangan terpecah-belah karena agenda tertentu. Flatform bersama kita ialah mewujudkan Indonesia yang bersatu, berdaulat, adil, dan makmur (http://pena-profetik.blogspot.com/2009_10_20_archive.html)

Dalam kitab kearifan China "I Ching" ada petuah "Shih" alias Kepemimpinan. "Seorang pemimpin yang bijak akan turun ke lapangan. Ia tidak hanya memerintah, ia juga akan ikut berkarya." (I Ching - Bagi Orang Modern, Anand Krishna : 2002). Selama 5 tahun masa jabatan, anggota parlemen musti dekat dengan para konstituen.

Mereka harus rela blusukan ke akar rumput (grassroot). Sehingga dapat merasakan jantung berdegup kencang tatkala bergelayutan di jembatan "Indiana Jones" seperti anak-anak di dusun Sahiang Tanjung, Lebak, Banten.

Akhir kata, penulis teringat sindiran (almarhum) Gus Dur. Beliau mengatakan anggota DPR mirip Taman Kanak-kanak (TK). Konon kritik pedas ini yang membuat wakil rakyat berang dan bersekongkol melengserkanya dari kursi kepresidenan. Sikap reaktif semacam ini mesti dihilangkan. Saatnya DPR bermawas diri dan segeralah naik kelas.

T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru Ekskul Bahasa Inggris di SMP Kanisius Sleman, Yogyakarta

Februari 14, 2012

Saving the planet for our future generations

Saving the planet for our future generations

T. Nugroho Angkasa, Yogyakarta | Tue, 02/14/2012 6:00 AM

Tuesday, February 14, 2012 15:49 PM

Opinion The Jakarta Post

http://www.thejakartapost.com/news/2012/02/14/saving-planet-our-future-generations.html

Dr. Cahyono Agus, a lecturer at Gadjah Mada University’s Faculty of Forestry, revealed an amazing fact that

every day people received Rp 170 million (US$18,900) each from Mother Nature.

In his calculation, a person needs 2,880 liters of oxygen (O2) and 11,376 liters of nitrogen (N) per day. If 1 liter of O2 in the hospital costs Rp 25,000/liter and nitrogen Rp 9,950/liter, the total amount spent on oxygen and nitrogen needs would be about Rp 170 million.

However, the concentration of carbon dioxide (CO2) in our atmosphere is changing rapidly, potentially reaching 389.6 parts per million (ppm). Data from the Global Carbon Project (GCP) says this is the highest levels recorded in the last 800,000 years.

The five largest CO2 producers are China with 2.2 petagram of carbon (pgc), the United States (1 pgc), India (0.5 pgc), Russia (0.4 pgc) and Japan (0.3 pgc).

As a note, 1 pgc equals 1 giga ton. In fact, the total accumulation of CO2 from five countries accounts for more than a half of the world’s CO2 emissions in 2010.

Indonesia had been ranked 21st, but is rapidly on its way to third place thanks to the opening of 1 million hectares of peat land in Sumatra and Kalimantan for oil palm plantations.

Below the marshland lies carbon dioxide, so when the peat areas are opened, CO2 is automatically released into the air.

Other sources of CO2 emissions are forest fires, deforestation, agricultural waste and industries and vehicles that run on fossil fuels.

The overall impact is a degradation of air quality. It also leads to instability of the hydrological cycle, causing shifts seasonal patterns.

According to Richard Spilsbury, CO2 emissions can also trigger catastrophic tornadoes (Ask an Expert: Climate Change, 2009).

Because of stark differences in the temperature of air and water temperatures, hurricanes and other storm systems are created.

Carbon emissions prompt the melting of the polar ice caps, resulting in a rise of sea levels by as much as 1 meter.

Eleven of 15 major cities in the world are located near the beach, and could be flooded if the sea levels rise further. The average global temperature has increased by 3 degrees Celsius due to global warming.

The global warming also threatens animals, including polar bears, which have found it difficult to find food as fish and seals have migrated due to the melting ice.

Natural-style house, like the one built by female singer Oppie Andaresta, is perhaps a real solution to global warming.

She even taught her daughter how to brush her teeth in an environmentally friendly way, which includes turning off the tap water and wasting only a cup of water.

Instead of using air conditioning, her two-story house was designed to have high ceilings and many windows to allow the air to circulate naturally. She has never cut down any tree that has already grown in her garden.

According to spiritual activist Anand Krishna, our ancestors never slashed any tree without a proper cause. Furniture made of wood would be passed down from generation to generation (Tri Hita Karana, 2008).

To fertilize her plants, Oppie processed kitchen garbage into compost, a type of organic fertilizer. In every corner of her house, she provides two garbage bins — one for organic waste and the other for inorganic trash.

In the realm of education, Istoto Suharyoto, has lent a helping hand by founding the Center for Community Learning (PKBM) Angon in the Yogyakarta suburb of Maguwoharjo. Green rice fields, which have slowly disappeared from the city, the breeze of wind, the sound of flowing water and the flocks of duck are the main attractions there.

Environmental messages have always taught to visiting children, juveniles and adults. Through a simple program, elementary school students are invited to appreciate life and the process of growing plants from very early age.

Another way to improve the quality of the Earth’s atmosphere is to use of alternative energy sources, and reducing the demand for energy produced by power plants fired by fuel and coal. As a tropical country, Indonesia has an abundance of sunshine, which can be converted into solar power.

There is a brilliant invention from Minto, 44, a primary school teacher in Madiun, East Java. He crafted a solar panel stove that also functions as a satellite dish.

He can watch a live football match on TV while waiting for his sweet cassava to boil.

The father of two children says his idols Thomas Alva Edison and James Watt inspired him to invent equipment that runs on alternative energy. It took him three years to complete his solar panel cooker/TV antenna.

Interestingly, Minto, who earns less than Rp 400,000 per month, has no desire to patent his work, saying he is happy enough to see other people utilize his innovative products.

Oppie, Istoto and Minto have provided real solutions to global warming. Indeed, saving the Earth is the responsibility of everybody living in the planet.

The Earth is not our heritage but a deposit for the next generations.

The writer teaches English at PKBM Angon (Nature School) in Yogyakarta

Mengungkap Identitas Soegija

Dimuat di Koran Jakarta, Selasa/12 Februari 2012

http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/83532

Jalan Malioboro, Yogyakarta, dikenal baik di dalam maupun luar negeri. Ada dua versi cerita sejarah namanya. Satu versi mengatakan bahwa istilah tersebut berasal dari kata "malborough", gelar seorang panglima Inggris bernama John Churchill (1650-1722).

Selain itu, kata ini juga mengacu pada nama benteng pertahanan di Bengkulu. Kendati demikian, hipotesis ini tidak cukup kuat sebab Yogyakarta tidak pernah berada di bawah kontrol ketat Inggris. Versi lain merujuk pada istilah Sansekerta, yakni "malyabhara" yang memiliki arti puitis "mengalungkan rangkaian kembang" (halaman 15-16).

Begitulah ulasan Budi Subanar di bagian awal buku ini. Penulis hendak melukiskan lokasi tempat Soegija menghabiskan masa kecil. Ibunya berprofesi sebagai pedagang setagen di pasar tradisional Beringharjo. "Marma den taberi kulup/angolah latiping ati/rina wengi den anedya/pandak panduking pambudi/mbengkas kaardaning driya/supadya dadi utamI.."(Wedhatama, Pupuh 84).

Tembang karya Mangku Negara IV ini acap kali dibisikkan ibunda tercinta setiap menjelang tidur. Artinya, "Anakku, kamu hendaknya rajin senantiasa, melatih ketajaman hati, siang malam siap sedia, mengatur tabiat tingkah laku, menguasai keinginan indrawi, agar menjadi orang yang bermartabat."

Kelak Soegija lebih dikenal dengan nama Mgr Soegijapranata SJ. Ungkapan magisnya "100 persen Katolik, 100 persen Indonesia" acap kali disitir dalam tulisan maupun pembicaraan publik. Ia merupakan Uskup Indonesia pertama. Dia bertugas di Keuskupan Agung Semarang. Soegija juga dianugerahi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No 152 Tahun 1963 tertanggal 26 Maret 1963 karena konsistensinya membela kemerdekaan.

Menurut catatan Suwarto Adi, Uskup Soegijapranata senantiasa membujuk Vatikan agar bersedia berkomunikasi dengan Republik ketimbang Belanda. Bahkan, Soegijapranata sempat menemui Sjahrir untuk mengukuhkan hubungan antara Gereja Katolik dan Gerakan Nasionalis Indonesia (Agama dan Kemerdekaan di Indonesia: 2011).

Budi Subanar menulis biografi Mgr Soegijapranata karena sepinya atensi terhadap tokoh penting ini. November 1996 merupakan 100 tahun hari kelahiran Soegija (25 November 1896). Kendati demikian, di Indonesia tidak ada satu acara pun yang diselenggarakan untuk mengenang nilai perjuangannya. Barangkali terlalu banyak perkara yang lebih urgen untuk dipikirkan saat itu. Padahal, Dr Anhar Gonggong mengakui bahwa berakarnya Gereja Katolik di tanah Indonesia sebagian besar berkat Uskup Agung tersebut (Mgr Albertus Soegijapranata, SJ: Antara Gereja dan Negara: 1993).

Dalam buku ini dikisahkan bahwa Soegija memiliki seorang tante yang buta. Karena kasihnya, dia berjanji jika kelak sang tante memiliki anak, Soegija akan berdeklamasi, menyanyikan tembang, dan mendongeng semalam suntuk. Dua tahun pasca pernikahan, tantenya sungguh melahirkan seorang bayi mungil. Tepat dua bulan setelah masa persalinan, sang tante menagih janji.

Kemudian Soegija begadang, berdeklamasi, serta melagukan tembang dengan panduan buku Baron Sakender. Mulai dari pukul 21 sampai jam 05.00. Ia memang selalu memegang janji yang telah diucapkan. Sang tante merasa senang sekali dan kian akrab dengan Soegija. Benar yang dikatakan Art Buchwald, kolumnis pemenang Pulitzer itu pun mengatakan, "Jika Anda bisa membuat orang lain tertawa, maka Anda akan mendapat semua cinta yang Anda inginkan."

Romo van Lith merupakan sosok signifikan dalam pembentukan karakter Soegija. Beliau menciptakan pergaulan yang sehat di antara para murid di Muntilan. Dengan gaya kebapakan, dia duduk bersila di tengah rerumputan bersama anak-anak yang mengerumuni. Biasanya Romo van Lith menciptakan suasana santai dengan menceritakan kisah-kisah lucu yang memancing gelak tawa.

Selain itu, dia juga memancing protes dan pertentangan. Agar para murid bisa belajar membela diri, sekaligus membangun kesadaran sebagai sebuah bangsa yang memiliki harga diri. "Mumpung orang Jawa mau berteriak-teriak, mereka masih bisa ditolong. Akan tetapi, kalau mereka tutup mulut, hampir tak ada obatnya dan kamu harus waspada," demikian kenang Soegija seputar petuah sang guru tentang penyakit budaya yang amat berbahaya tersebut (halaman 45).

Buku ini juga mengungkap keberanian Mgr Soegijapranata. Walau "hanya" berlangsung selama 3,5 tahun, penjajahan Jepang menggoreskan trauma mendalam. Romo Reksaatmadja - rekan tahbisan Soegija - menderita cacat tubuh seumur hidup akibat penyiksaan keji selama diinterogasi Jepang. Beliau tak bisa lagi bekerja sebagai seniman. Padahal, Reksaatmadja sempat magang di Firma G Linssen, Venlo, Belanda. Dari kedua tangannya tercipta sejumlah patung dan lukisan indah.

Tanggal 19 September 1942 merupakan hari tak terlupakan Romo Djajasepoetra. Saat hendak dieksekusi Jepang, dia minta izin kembali ke sel. Kemudian datanglah kurir utusan Mahkamah Agung Jepang. Ia membawa surat pembatalan hukuman mati. Dalam catatan yang ditulis Romo van Kalken, dia meneriakkan, "Pastoor-pastoor tidak jadi!" Mereka lolos dari lubang jarum kematian.

Sebagai sebuah biografi, karya tulis ini masih kurang lengkap karena hanya sampai pada masa penjajahan Jepang. Kiprah Mgr Soegijapranata pasca kemerdekaan belum diulas. Kendati demikian, buku ini berhasil mengungkap identitas Albertus Soegijapranata SJ ke permukaan. Soegija, si Anak Betlehem van Java ialah orang Indonesia yang mengalami perjumpaan dengan kekristenan. Baginya, nilai keimanan berbanding lurus dengan semangat kebangsaan dan pelayanan kemanusiaan. Selamat membaca!

Diresensi T Nugroho Angkasa, guru di Sleman

Judul : Soegija
Penulis : G Budi Subanar SJ
Penerbit : Kanisius
Cetakan : v, 2011
Tebal : 170 halaman
ISBN : 978-979-21-0727-2
Harga : Rp27.000


Februari 11, 2012

Menjadi Solusi bagi Bangsa

Versi ringkas ini dimuat di SINDO, 12 Februari 2012

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/468640/

Judul: Indonesia Mengajar, Kisah Para Pengajar Muda di Pelosok Negeri

Penulis: Para Pengajar Muda

Pengantar: Anies Baswedan dan M. Arsjad Rasjid P.M

Penerbit: Bentang Pustaka Yogyakarta

Cetakan: II, Desember 2011

Tebal: xviii + 322 halaman

ISBN: 978-602-8811-57-6

Harga: Rp54.000

Judul di atas sekilas terkesan klise. Tapi, tidak untuk M. Hasan Asy’ari dan 50 pengajar muda lain. Selama 1 tahun penuh (10 November 2010–10 November 2011) generasi muda terbaik bangsa – yang terseleksi dari 1.383 pendaftar – terjun ke daerah pedalaman.

Mereka berbagi ilmu sekaligus menimba inspirasi dari masyarakat akar rumput. Hasan, sarjana sains dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Indonesia (2010), dalam jurnalnya menulis,“...tiba- tiba tak terasa air mata menetes karena kami ingin melihat senyum manis adik-adik kami di sana. Harapan kami hanya satu, yaitu ingin menjadi bagian sebuah solusi bangsa ini.

Walau kami harus berkorban... meninggalkan keluarga selama setahun,… “ (halaman 281). Menurut pengajar muda yang ditempatkan di Kabupaten Tulang Bawang Barat, Lampung, ini hidup memang sebuah pilihan. Baginya menjadi bagian dari Indonesia Mengajar merupakan pilihan hidup. Walau sebenarnya banyak alternatif pekerjaan yang lebih menggiurkan di luar sana.

Kendati demikian, sebagai manusia biasa mereka juga sempat mengalami kejenuhan. Bahkan, tatkala masih menjalani masa persiapan di Ciawi, Bogor, selama tujuh minggu para pengajar muda itu musti menjalani rutinitas: bangun pagi, olahraga, lalu mengikuti pelbagai materi pelatihan sampai malam.

Gerakan Indonesia Mengajar (GIM) terinspirasi oleh janji kemerdekaan RI, yakni untuk mencerdaskan kehidupan bangsa seperti termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke- 4.

Buku ini terdiri atas 4 bab: Anak-anak Didik Pengajar Muda, Memupuk Optimisme, Belajar Rendah Hati, dan Ketulusan itu Menular. Isinya memuat 62 kisah inspiratif para Pengajar Muda. Di pelosok Nusantara, mereka hanya mengandalkan sumber listrik dari genset.

T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru Ekstrakurikuler Bahasa Inggris di Yogyakarta