Februari 14, 2012

Mengungkap Identitas Soegija

Dimuat di Koran Jakarta, Selasa/12 Februari 2012

http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/83532

Jalan Malioboro, Yogyakarta, dikenal baik di dalam maupun luar negeri. Ada dua versi cerita sejarah namanya. Satu versi mengatakan bahwa istilah tersebut berasal dari kata "malborough", gelar seorang panglima Inggris bernama John Churchill (1650-1722).

Selain itu, kata ini juga mengacu pada nama benteng pertahanan di Bengkulu. Kendati demikian, hipotesis ini tidak cukup kuat sebab Yogyakarta tidak pernah berada di bawah kontrol ketat Inggris. Versi lain merujuk pada istilah Sansekerta, yakni "malyabhara" yang memiliki arti puitis "mengalungkan rangkaian kembang" (halaman 15-16).

Begitulah ulasan Budi Subanar di bagian awal buku ini. Penulis hendak melukiskan lokasi tempat Soegija menghabiskan masa kecil. Ibunya berprofesi sebagai pedagang setagen di pasar tradisional Beringharjo. "Marma den taberi kulup/angolah latiping ati/rina wengi den anedya/pandak panduking pambudi/mbengkas kaardaning driya/supadya dadi utamI.."(Wedhatama, Pupuh 84).

Tembang karya Mangku Negara IV ini acap kali dibisikkan ibunda tercinta setiap menjelang tidur. Artinya, "Anakku, kamu hendaknya rajin senantiasa, melatih ketajaman hati, siang malam siap sedia, mengatur tabiat tingkah laku, menguasai keinginan indrawi, agar menjadi orang yang bermartabat."

Kelak Soegija lebih dikenal dengan nama Mgr Soegijapranata SJ. Ungkapan magisnya "100 persen Katolik, 100 persen Indonesia" acap kali disitir dalam tulisan maupun pembicaraan publik. Ia merupakan Uskup Indonesia pertama. Dia bertugas di Keuskupan Agung Semarang. Soegija juga dianugerahi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No 152 Tahun 1963 tertanggal 26 Maret 1963 karena konsistensinya membela kemerdekaan.

Menurut catatan Suwarto Adi, Uskup Soegijapranata senantiasa membujuk Vatikan agar bersedia berkomunikasi dengan Republik ketimbang Belanda. Bahkan, Soegijapranata sempat menemui Sjahrir untuk mengukuhkan hubungan antara Gereja Katolik dan Gerakan Nasionalis Indonesia (Agama dan Kemerdekaan di Indonesia: 2011).

Budi Subanar menulis biografi Mgr Soegijapranata karena sepinya atensi terhadap tokoh penting ini. November 1996 merupakan 100 tahun hari kelahiran Soegija (25 November 1896). Kendati demikian, di Indonesia tidak ada satu acara pun yang diselenggarakan untuk mengenang nilai perjuangannya. Barangkali terlalu banyak perkara yang lebih urgen untuk dipikirkan saat itu. Padahal, Dr Anhar Gonggong mengakui bahwa berakarnya Gereja Katolik di tanah Indonesia sebagian besar berkat Uskup Agung tersebut (Mgr Albertus Soegijapranata, SJ: Antara Gereja dan Negara: 1993).

Dalam buku ini dikisahkan bahwa Soegija memiliki seorang tante yang buta. Karena kasihnya, dia berjanji jika kelak sang tante memiliki anak, Soegija akan berdeklamasi, menyanyikan tembang, dan mendongeng semalam suntuk. Dua tahun pasca pernikahan, tantenya sungguh melahirkan seorang bayi mungil. Tepat dua bulan setelah masa persalinan, sang tante menagih janji.

Kemudian Soegija begadang, berdeklamasi, serta melagukan tembang dengan panduan buku Baron Sakender. Mulai dari pukul 21 sampai jam 05.00. Ia memang selalu memegang janji yang telah diucapkan. Sang tante merasa senang sekali dan kian akrab dengan Soegija. Benar yang dikatakan Art Buchwald, kolumnis pemenang Pulitzer itu pun mengatakan, "Jika Anda bisa membuat orang lain tertawa, maka Anda akan mendapat semua cinta yang Anda inginkan."

Romo van Lith merupakan sosok signifikan dalam pembentukan karakter Soegija. Beliau menciptakan pergaulan yang sehat di antara para murid di Muntilan. Dengan gaya kebapakan, dia duduk bersila di tengah rerumputan bersama anak-anak yang mengerumuni. Biasanya Romo van Lith menciptakan suasana santai dengan menceritakan kisah-kisah lucu yang memancing gelak tawa.

Selain itu, dia juga memancing protes dan pertentangan. Agar para murid bisa belajar membela diri, sekaligus membangun kesadaran sebagai sebuah bangsa yang memiliki harga diri. "Mumpung orang Jawa mau berteriak-teriak, mereka masih bisa ditolong. Akan tetapi, kalau mereka tutup mulut, hampir tak ada obatnya dan kamu harus waspada," demikian kenang Soegija seputar petuah sang guru tentang penyakit budaya yang amat berbahaya tersebut (halaman 45).

Buku ini juga mengungkap keberanian Mgr Soegijapranata. Walau "hanya" berlangsung selama 3,5 tahun, penjajahan Jepang menggoreskan trauma mendalam. Romo Reksaatmadja - rekan tahbisan Soegija - menderita cacat tubuh seumur hidup akibat penyiksaan keji selama diinterogasi Jepang. Beliau tak bisa lagi bekerja sebagai seniman. Padahal, Reksaatmadja sempat magang di Firma G Linssen, Venlo, Belanda. Dari kedua tangannya tercipta sejumlah patung dan lukisan indah.

Tanggal 19 September 1942 merupakan hari tak terlupakan Romo Djajasepoetra. Saat hendak dieksekusi Jepang, dia minta izin kembali ke sel. Kemudian datanglah kurir utusan Mahkamah Agung Jepang. Ia membawa surat pembatalan hukuman mati. Dalam catatan yang ditulis Romo van Kalken, dia meneriakkan, "Pastoor-pastoor tidak jadi!" Mereka lolos dari lubang jarum kematian.

Sebagai sebuah biografi, karya tulis ini masih kurang lengkap karena hanya sampai pada masa penjajahan Jepang. Kiprah Mgr Soegijapranata pasca kemerdekaan belum diulas. Kendati demikian, buku ini berhasil mengungkap identitas Albertus Soegijapranata SJ ke permukaan. Soegija, si Anak Betlehem van Java ialah orang Indonesia yang mengalami perjumpaan dengan kekristenan. Baginya, nilai keimanan berbanding lurus dengan semangat kebangsaan dan pelayanan kemanusiaan. Selamat membaca!

Diresensi T Nugroho Angkasa, guru di Sleman

Judul : Soegija
Penulis : G Budi Subanar SJ
Penerbit : Kanisius
Cetakan : v, 2011
Tebal : 170 halaman
ISBN : 978-979-21-0727-2
Harga : Rp27.000


Tidak ada komentar: