November 24, 2010

Bocah Merapi dan Masa Depan

Dimuat di http://www.harianjoglosemar.com/berita/bocah-merapi-dan-masa-depan-29781.html

Sepanjang 2010 bencana alam silih berganti melanda Indonesia. Dari banjir bandang di Wasior, Papua Barat; gempa dan gelombang tsunami di Mentawai, Sumatra Barat; sampai rentetan letusan Merapi di perbatasan Jateng dan DIY. Bencana alam tak hanya merenggut korban jiwa dan menelan kerugian miliaran rupiah. Tapi juga menyebabkan trauma psikis dalam diri warga. Tak terkecuali anak-anak di barak pengungsian.

Misal yang dialami seorang anak pengungsi Merapi dari Boyolali, Jawa Tengah. Setiap kali ia melihat masker, yang terpikir ialah segera bersiap-siap mengungsi dengan truk. Karena takut terkena semburan awan panas dan guyuran hujan abu vulkanik. Lain lagi anak pengungsi dari Cangkringan, Sleman, Yogyakarta, ia langsung merasa panik kalau mendengar suara gembludug (gemuruh) dan raungan sirene ambulans.

Menurut Maya Safira Muchtar, terapis kesehatan holistik L’Ayurveda Jakarta, istilah psikologi ihwal gangguan stres pascatrauma semacam itu ialah Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Rekaman pengalaman menakutkan ketika bencana alam terjadi berulang terus-menerus (reexperience) di benak para korban. Bentuknya berupa khayalan, mimpi, halusinasi, dan flash back (kilas balik).

Sehingga para pengungsi akan ketakutan dan bereaksi panik seperti saat trauma itu terjadi. Bila berkepanjangan gangguan ini dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Antara lain, menjadi mudah tersinggung, emosional, dan suka melongo (melamun). Oleh sebab itu, selain pemenuhan kebutuhan logistik, ganti rugi ternak, dan rehabilitasi infrastruktur, para pengungsi juga membutuhkan terapi pemulihan stres dan trauma. Terutama sekali bagi anak-anak di barak pengungsian.

Para ilmuwan menyatakan bahwa sebelum masuk sekolah, tepatnya sekitar usia 4 sampai 5 tahun, terdapat lebih dari 50 persen neuron otak yang sedang tumbuh dan membentuk sirkuit tertentu. Itulah kenapa tahun-tahun awal tersebut dinamai the golden age (masa keemasan). Peran orangtua dan guru ialah untuk memberikan stimulus positif. Berupa kata dan keteladanan tingkah laku. Agar tercipta rangkaian sel yang relatif berkualitas.

Lebih lanjut, kemampuan otak anak pada masa keemasan ibarat spons (busa). Secara prima mampu menyerap aneka pengetahuan dan pengalaman baru. Perbendaharaan kosakata mereka bisa mencapai 12.000 kata. Ironisnya, situasi di barak-barak pengungsian serba terbatas. Privasi tidak ada sama sekali. Faktor eksternal ini niscaya menghambat pemekaran potensi dalam diri si anak. Bahkan masa ceria untuk bermain dan berkumpul dengan teman sebaya terlewatkan begitu saja.

Rentetan erupsi Merapi jelas menginterupsi kehidupan bocah-bocah lereng Merapi. Akibat insiden post majeur ini, kegiatan belajar di sekolah mereka terpaksa diliburkan. Selain itu, akses ekonomi keluarga dalam mencari nafkah juga terganggu. Hal ini niscaya berimbas pada tersendatnya pemenuhan kebutuhan dasar anak. Bagaimana hendak membeli buku dan mendapat uang jajan bila para orangtua tak bisa berangkat kerja? Karena status gunung Merapi masih Awas.

Rentan Trauma

Berdasarkan pengalaman penulis selama menjadi relawan Pusat Pemuliahan Stres dan Trauma Keliling (PPSTK) Joglosemar yang digagas oleh Anand Krishna pascabencana gempa bumi tektonik Yogyakarta (27 Mei 2006), memang anak-anaklah yang paling rentan mengalami trauma psikis. Karena kondisi kejiwaan yang masih relatif labil. Pada 31 Oktober 2010 dan setiap pekan berikutnya PPSTK juga mengadakan terapi bagi para pengungsi Merapi.

Ratusan warga hadir dan mempraktikkan latihan nafas dan teknik katarsis untuk mengatasi stres dan trauma. Sehingga mereka dapat merasakan kelegaan dan kebahagiaan yang bersumber dari dalam diri. Saat itu kami juga mengajak anak-anak untuk bermain, bernyanyi, menari, menggambar, menulis puisi, dan bercerita. Intinya agar energi stres yang terakumulasi bisa tersalurkan secara memadai, konstruktif, dan kreatif.

Awalnya begitu sulit, namun dengan teknik tertentu dan sedikit kesabaran akhirnya mereka berani mengekspresikan diri kembali. Cara yang paling ampuh ialah dengan mengajak mereka bernyanyi dan menari. Mereka begitu cepat menghafal lagu Pelangi yang digubah dengan lirik bernuansa kebangsaan, “Oh Indonesia, negeri yang kucinta, beraneka ragam suku dan agama, walaupun berbeda kita tetap saudara, indahnya damainya Indonesia.”

Ada juga pemutaran film anak-anak. Yakni dengan memanfaatkan tembok bangunan stadion sebagai layar. Contoh lainnya ialah kegiatan salah satu stasiun televisi swasta. Mereka menghibur ratusan anak korban letusan Gunung Merapi di pengungsian Stadion Maguwoharjo, Sleman, Yogyakarta. Caranya, dengan memboyong tokoh-tokoh kartun ke barak pengungsian. Sehingga anak-anak berkesempatan menyaksikan idola mereka secara langsung. Hadiah berupa buku bacaan, mainan, dan alat tulis juga membuat mereka tersenyum kembali.

Selain itu, untuk melancarkan ketersendatan pendidikan anak-anak di pengungsian. Pemerintah musti sesegera mungkin mendatangkan para guru dan relawan pendidikan untuk mendampingi proses pembelajaran darurat di barak pengungsian. Karena sampai saat ini ilmu pengetahuan dan teknologi tercanggih sekalipun tak mampu memprediksi sampai kapan aktivitas Merapi akan kembali normal.

Yang paling menyentuh nurani kemanusiaan ialah kegiatan prajurit Marinir Pasmar-1 Surabaya. Pada Sabtu (13/11) anggota TNI tersebut mengajak anak-anak pengungsi berwisata ke Candi Prambanan. Acara ini diikuti oleh 275 anak dari Prambanan, Klaten, Jawa Tengah. Tujuannya agar anak-anak pengungsi dapat sejenak berekreasi dan mengenal sejarah Candi Prambanan. Warisan budaya nenek moyang nan adiluhung. Pada kesempatan itu, mereka diajak bermain outbond juga. Tentara yang biasanya mengokang senjata kini menggandeng jemari mungil bocah-bocah lereng Merapi.

Inilah berkah terselubung (blessing in disguise) di balik bencana dahsyat erupsi Merapi. Segenap elemen masyarakat madani (civil society), relawan, tim SAR, aparat kepolisian, tentara, seniman, praktisi media, pemerintah, tenaga medis, akademisi, pihak swasta, dll bahu-membahu meringankan beban penderitaan para korban. Mereka bergotong-royong menyumbangkan tenaga, bantuan materiil, dan dukungan moril kepada para pengungsi tanpa membedakan suku, agama, ras, dan golongan.

Akhir kata, bocah lereng Merapi ialah masa depan Indonesia. Bumi Mataram dan kepulauan Nusantara bukan sekedar warisan leluhur dan para bapa bangsa, melainkan titipan anak cucu. Jangan sampai bencana alam merenggut keceriaan generasi penerus bangsa. Terngiang syair lagu Asa Jatmika yang biasa dinyanyikan anak-anak di dusun Sumber, Muntilan, Magelang, Jawa Tengah, "Burung gagak menjahit langit, lenguh lembu di kejauhan, petani gelaga di puncak bukit, nyanyi katak di ladang kerinduan, menebar sejuk, damai, kehidupan..."

November 18, 2010

Gus Dur Terima Gelar Pahlawan

Jasa besar (almarhum) Gus Dur tak hanya diapresiasi di dalam negeri. Tapi juga di seluruh dunia. Inilah alasan Yayasan Anand Ashram menganugerahkan gelar Pahlawan kepada beliau. Anand Krishna menyerahkan sertifikat tersebut kepada Gus Nuril pada malam puncak acara 2nd Internasional Bali Meditator’s Festival (IBMF), Minggu (14/11/2010) di Bale Banjar, Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali.

Berikut ini kutipan isi sertifikat yang dibacakan langsung oleh Anand Krishna, “Yayasan Anand Ashram yang berafiliasi dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan bangga menominasikan dan menyatakan K.H Abdurrahman Wahid, Presiden keempat Republik Indonesia sebagai Pahlawan Nasional bagi Masyarakat Indonesia. Diajukan oleh Anand Krishna dan semua peserta IBMF kedua di Ubud, Bali, 12-14 November 2010. Tertanda Anand Krishna dan dr. Wayan Sayoga.”

Lebih lanjut penulis produktif 140 buku lebih itu mengatakan, “Sertifikat ini diberikan dengan dukungan yang tulus dan ikhlas dari semua yang hadir di sini. Apakah kita semua setuju?” Serentak disambut riuh tepuk tangan dan ucapan kata setuju oleh ratusan peserta IBMF kedua yang berasal dalam dan luar negeri.

Tokoh humanis perdamaian tersebut menambahkan, “Sesungguhnya sertifikat ini bukan hanya dari bangsa Indonesia, tapi juga dari bangsa dunia. Ada dari Amerika, Eropa, semua benua ada di sini. Jadi bukan lagi pahlawan nasional, tapi juga pahlawan internasional Indonesia.”

Kemudian setelah menerima sertifikat tersebut, Gus Nuril menanggapi, “Saya melihat kebesaran Tuhan, kebesaran Allah ada pada Kakanda Anand Krishna yang difasilitasi oleh saudara saya dokter Sayoga. Saya melihat Allah hadir di sini. Saya melihat ribuan malaikat, milyaran malaikat menyaksikannya, dan saya melihat ketulusan hati saudara-saudari semua. Terimakasih seluruh bangsa dunia.”

IBMF ke-2 kali ini memang menghadirkan banyak tokoh. Antara lain Ida Pedanda Sebali Tianyar, Margot Anand, I Ketut Rsana, Maya Safira Muchtar, Ma Anand Bhagawati, Indra Udayana, LK Suryani, Prabu Darmayasa, Pendeta Mindawati Perangin Angin, dan Sri Nyoman Aryana. Acara penutupannya turut dimeriahkan oleh sanggar Bona Alit.

Tahun 2010 IBMF mengusung tema Vasudhaiva Kutumabakam atau seluruh dunia ialah satu keluarga. Acara ini diharapkan menjadi sarana mawas diri. Di abad ke-21 ini manusia terlalu sibuk mengejar materi. Bahkan sampai melupakan olah batin. Meditasi menjadi obat mujarab untuk hidup sehat secara holistik bagi orang modern.

Video Penganugerahan dapat dilihat di: http://www.youtube.com/watch?v=fF__KuQl0r0

November 10, 2010

Ngelmu Titen dan Pesan Kemanusiaan Merapi

Dimuat di:


”Kemarin seorang ibu menangis, melihat anaknya menangis, kemarin halilintar menangis, kemarin lautan menangis, kemarin bunga-bunga menangis, kemarin anak-anak negeri menangis”.

Petikan lirik lagu ”Menangis ” karya Franky Hubert Sahilatua di atas terasa pas untuk melukiskan suasana batin bangsa ini. Bencana alam bertubi-tubi melanda kepulauan Nusantara tercinta. Yang terakhir ialah banjir bandang di Wasior, gempa tektonik dan gelombang tsunami di Mentawai, dan rentetan letusan Merapi di Jateng-DIY. Benar Bung Franky, anak bangsa dari Sabang sampai Merauke sedang melinangkan air mata.

Artikel ini terpicu oleh sebuah pengalaman kecil. Pada hari Sabtu (30 Oktober 2010) jam 00.00 WIB saya terjaga dari tidur lelap. Karena ikan-ikan di dalam kolam berlompatan ke udara. Saya mengira ada ular, tapi setelah saya senteri tidak ada apa-apa di sana. Kemudian pada jam 00.40 WIB Merapi meletus (lagi).

Menyemburkan awan panas dan menyebabkan hujan abu di seantero Yogyakarta. Atap rumah kerabat saya yang terletak di daerah Pakem, tepatnya km 18 jalan Kaliurang Sleman tak luput dari guyuran debu material vulkanik tersebut. Ikan-ikan bawal, lele, dan gurameh yang katanya tak berakal ternyata memiliki kepekaan tinggi.

Mereka mengetahui fenomena dahsyat alam yang akan terjadi. Bahkan hampir satu jam sebelumnya. Bila para peneliti mau mengkaji hal ini lebih lanjut secara komprehensif, niscaya bisa menjadi semacam Early Warning System (Sistem Peringatan Dini) untuk meminimalisasi jatuhnya korban jiwa.

Terutama warga yang bermukim di kawasan rawan bencana (KRB). Tentu tanpa menafikan informasi akurat dari Badan Vulkanologi dan Mitigasi Bencana setempat. Berbekal peralatan canggih dan kalkulasi data yang sahih.

’Titen’

Dalam buku Neo Vastu Feng Shui (2005) Anand Krishna juga mengisahkan ihwal fenomena gajah-gajah di Thailand. Mereka berlarian ke arah pegunungan dan tempat-tempat yang lebih tinggi. Para pawang gajah yang turut mengungsi akhirnya terhindar dari sapuan gelombang pasang tsunami pada tanggal 26 Desember tahun 2004 silam. Ratusan ribu saudara-saudari kita di tanah Aceh pun turut menjadi korban

Menurut tradisi Kejawen ada istilah Ngelmu Titen. Sebagai bagian dari 3 jurus ampuh lainnya. Yakni Niteni, Niroke, dan Nambahi. Dalam bahasa modern disingkat ATM (Amati, Tiru, dan Modifikasi). Awalnya, manusia mencermati sesuatu, kemudian dari proses pengamatan tersebut orang lantas meniru. Akhirnya, manusia berusaha menyempurnakannya lewat proses modifikasi.

Misalnya, saat hendak membuat sebuah artikel di media massa. Awalnya, si penulis mengobservasi, seperti apa tulisan yang layak muat di media online atau cetak tertentu. Kemudian, ia meniru bukan berarti meng-copy paste alias menji- plak karya orang lain tapi menulis dengan gayanya sendiri. Inilah yang disebut modifikasi. Nambahi berdasarkan pemahaman dan refleksinya sendiri. Sesuai pengalaman hidup sehari-hari di lingkar pengaruhnya masing-masing.

Kembali ke ilmu Titen. Pada 30 Oktober 2010 Regina Rukmorini menulis ihwal Sitras Anjilin. Tokoh seniman dari Dusun Tutup Ngisor, Kecamatan Dukun, Muntilan, Magelang, Jawa Tengah. Menurut Sitras biasanya Merapi memberikan sinyal akan adanya bahaya erupsi. Warga sekitar lereng musti tanggap warsa lan sasmita alias jeli mengamati pertanda alam sekitar. Kalau toh telah melihat, seyogianya segera mengambil tindakan antisipatif.

Lebih lanjut, Anjilin memaparkan aneka pertanda dari Merapi. Antara lain, berupa tali tipis/benang dari satu pohon ke pohon lainnya yang terentang tanpa putus di hutan. Arah rentangan tali menunjukkan arah jalur yang akan dilalui lahar kelak. Sinyal lainnya, bisa berupa hewanhewan yang turun dari gunung, atau ucapan dari seorang warga idiot yang tiba-tiba bisa menyerukan ancaman bahaya erupsi.

Khusus tahun 2010 ini, Sitras Anjilin menangkap tanda bahaya letusan Merapi juga. Berupa cahaya laksana pelangi di depan Merapi, sekitar 20 hari lalu. Hal ini sempat disampaikan kepada warga, tapi sebagian dari mereka tidak percaya.

Ada lagi heboh foto yang mengabadikan awan panas dari puncak Merapi. Karena bentuknya mirip kepala Eyang Petruk. Tokoh Puna - kawan yang diyakini sebagai sing mbaurekso alias penunggu Merapi.

Di era Facebook dan Twitter seperti saat ini sulit memahami sesuatu yang beyond mind, melampaui logika biasa. Bahkan ada yang mencap musyrik/syirik. Tapi menurut saya, pertanda-pertanda tersebut justru sangat biasa dan masuk akal sekali. Misalnya, rombongan hewan yang turun dari puncak Merapi.

Dulu saat fauna di sana masih melimpah, warga sekitar bisa menyaksikan trenggiling, ular, aneka reptil, serangga, bahkan macan dan elang Jawa bersama-sama turun gunung. Saat itu, masyarakat dapat mengambil ancang-ancang sejak jauh-jauh hari untuk turut mengungsi.

Salah siapa kalau banyak binatang diburu dan menjadi langka? Kemudian, tali tipis/benang dari satu pohon ke batang pohon lainnya. Pertanda ini bisa eksis kalau flora masih lebat dan pepohonan masih rindang. Salah siapa kalau hutan ditebang? Salah siapa kalau bukit digunduli? Sedangkan, tokoh pewayangan bukanlah syirik atau bidaah. Melainkan simbol kearifan lokal leluhur kita

Pesan

Dua pesan dari serangkaian bencana yang melanda negeri ini ialah pelestarian alam dan apresiasi terhadap budaya kita sendiri. Pertama, mencintai alam di sini bukan berarti harus beraksi seperti aktivis Greenpeace yang ”menyerbu” tambang pengeboran minyak di tengah lautan lepas. Tapi bisa dilakukan dari rumah kita sendiri.

Misalnya, dengan memisahkan sampah organik dan nonorganik. Sampah plastik, besi, dan kertas bisa dijual ke tukang rongsokan. Sedangkan yang organik bisa dijadikan kompos untuk memupuk tanaman di taman.

Yakinilah teori Butterfly Effect, satu kepakan kupu-kupu di belantara Amazon, bisa memicu badai Tornado di belahan benua Eropa. Sebaliknya, sebuah tindakan kecil berlandaskan niat tulus niscaya mempengaruhi kosmos secara makro maupun mikro. Dalam tradisi Kejawen disebut hukum aksi-reaksi, ”Nandur-Ngunduh” (Barangsiapa menanam pasti menuai).

Kedua, mengapresiasi budaya lokal misalnya seperti dik Banar. Siswa kelas 4 SDN Godean 2. Ia seorang dalang cilik. Acapkali diundang pentas di Kabupaten Wonosari, Bantul, Kulon Progo, dan Kota Yogyakarta. Kemarin (Selasa, 2 November 2010) penulis bertemu dengannya di warung Mie Ayam.

Saat itu, Banar baru pulang mendalang di daerah Kotagede. Saat hendak membayar, ia meminta uang kepada ayahnya. Penjual Mie Ayam bercanda, ”Lho jarene bar mulih ndalang, kok iseh njaluk Bapakke? Lhak enthuk amplopan mau seko panitia dik?” (Lho katanya baru pulang mendalang, kok masih minta (uang) Bapaknya? Bukankah tadi dapat honor tadi dari panitia?). Banar menyahut dengan polosnya, ”Tadi aku cuma dibayar dengan ucapan terimakasih Mas, honornya menyusul hehe. Ayo ndang bayari Pak."

Akhir kata, bumi Pertiwi, tanah tumpah darah ini bukan sekedar warisan leluhur kita. Melainkan juga titipan anak cucu generasi penerus RI. Alam hanya menyeimbangkan apa yang telah diintervensi secara masif dan eksploitatif oleh makhluk bernama manusia. Kita perlu bergotong- royong dan bersatu-padu meringankan beban para korban.

Sepakat dengan seruan Sri Sultan HB X, saatnya menanggalkan atribut partai, ormas, agama, kelompok, ras dll. Kibarkan satu bendera saja: Sang Saka Merah Putih. Ada waktunya sendiri jelang 2014 untuk melakukan kampanye politik. Nilai kemanusiaan dan bela rasa kepada para pengungsi Merapi yang musti dikedepankan saat ini.

Pertama kali dipublikasikan di: http://sosbud.kompasiana.com/2010/11/03/nglemu-titen-dan-pesan-kemanusiaan-merapi/

November 08, 2010

Pelajaran dari Merapi

Dimuat di http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2010111006033177

LUBANG berukuran 280 meter kubik menampung ke-74 jenazah korban erupsi Merapi. Seperti kita ketahui bersama, pada Jumat (5-11) dini hari Merapi kembali meletus dahsyat dan menyemburkan awan panas ke arah 22 dusun di daerah Cangkringan, Sleman, Yogyakarta.

Rumah, harta benda, ternak, tanaman, dan—last but not least—penduduk di sana yang terlambat mengungsi ke zona aman tewas terpanggang awan panas dan tertimbun abu vulkanik.

Kemudian, para almarhum dikebumikan secara massal pada Minggu (7-11) pukul 18.15 WIB, tepatnya di Taman Permakaman Umum (TPU) Beran Seyegan, Godean, Sleman Barat, Yogyakarta.

Sinar lampu menerangi, rapalan doa mengiringi. Isak tangis sanak famili tercinta merindingkan bulu roma.

Sebelumnya, sejak pukul 15.00 WIB, para pelayat; warga sekitar; praktisi media cetak, online, dan televisi; berkumpul di sana menanti kedatangan ambulans dari RS. dr. Sardjito Yogyakarta. Sebuah traktor menggali lubang 7×20x2 meter tersebut.

Penulis merasa emosional menyaksikan prosesi ini. Apalagi bau anyir begitu menyengat. Beberapa jenazah tak bisa dikenali lagi tubuhnya sehingga pada nisan hanya ditulisi identitas: Mr./Mrs. X.

Saking membeludaknya jumlah pengunjung, mereka sampai berjejalan di seputaran liang lahat. Tekstur tanah perbukitan makam membuat para pelayat terpaksa berjajar di tepian tebing-tebing curam. Panitia memperingatkan agar mereka menjauh dari tebing untuk menghindari kejadian yang tak diinginkan.

Seruan itu mengingatkan penulis akan tragedi kemanusiaan Merapi. Andai saja pemerintah dan aparat berwenang lebih sigap memberi peringatan dini semacam itu. Bila perlu dengan cara paksa memboyong semua warga dari kawasan rawan bencana ke radius zona aman. Bukankah negara merupakan lembaga yang diberi kuasa untuk melakukan tindakan tegas demi keselamatan rakyat dari kemungkinan terburuk?
Dengan demikian, tak perlu ada korban jiwa berjatuhan, tewas terpanggang awan panas dan tertimbun abu vulkanik. Sampai coretan ini dibuat, tercatat tak kurang dari 100 nyawa melayang sia-sia. Anak kehilangan orang tuanya, orang tua menangisi kepergian anaknya, sanak famili meratapi tragedi yang datang tanpa dinyana.

Akhir kata, semoga arwah para korban diterima di pangkuan-Nya. Semoga tidak ada lagi korban erupsi Merapi ataupun ancaman sekunder banjir lahar dingin. Semoga aktivitas Merapi segera mereda. Semoga kita belajar dari seduhan kopi pahit pengalaman hidup ini, baik secara individu maupun kolektif. Alam tak bisa ditaklukkan. Manusialah yang musti menyelaraskan diri dengan segenap titah ciptaan. Semoga.

Pertama kali dipublikasikan di: http://regional.kompasiana.com/2010/11/09/lubang-7x20x2-m/

Mengungsi Memang (Tidak) Enak

Setidaknya terdapat 700 pengungsi Merapi di GOR UNY. Mereka berebahan di atas lapangan basket. Beralaskan matras dan tikar, tanpa bantal. Di setiap sudutnya tersedia toilet. Masing-masing memiliki 2 kamar mandi dan WC. Karena digunakan oleh banyak orang. Tentu saja aromanya cukup menyengat.

Para relawan menyediakan kantong plastik berukuran raksasa untuk tempat sampah. Sehingga kebersihan relatif terjaga. Saya berada di sana pada Sabtu malam antara jam 21.00-24.00, kebetulan ada siaran langsung sepakbola. Panitia memasang layar berukuran 2×1 m agar para pengungsi bisa nonton bareng. Tapi berbeda sekali rasanya dengan saat Piala Dunia. Misal saat terjadi gol, ada yang keceplosan berteriak. Buru-buru relawan mengingatkan agar pengungsi jangan ramai, karena banyak ibu dan balita yang sedang terlelap.

Aula GOR UNY tersebut juga non smoking area. Sehingga para remaja yang hobi merokok terpaksa keluar ruangan bila hendak menyesap kreteknya. Mereka membawa kartu remi dan snack kacang sebagai teman untuk menghabiskan malam panjang tersebut.

Tempat penampungan pengungsi ini menyediakan 1 posko kesehatan. Seorang dokter jaga bekerja cekatan dibantu oleh para asisten yang muda dan cantik dari STIKES, ”Nama siapa? Asal dari dusun mana? Usia berapa dan keluhannya apa Mas?” begitulah cara para perawat menyapa para pengungsi yang sakit. Kebanyakan pasien menderita infeksi saluran pernafasan akibat terlalu banyak menghisap abu vulkanik.

Pos pelayanan pengungsi di GOR UNY ini juga memiliki ruang khusus balita dan anak-anak. Di sana tersedia kasur, mainan serta buku bacaan berupa komik. Tapi kebanyakan anak-anak lebih memilih tetap bersama orang tuanya di lapangan basket. Hanya beberapa keluarga saja yang memanfaatkan sarana tersebut. Terutama yang mempunyai bayi.

Persediaan logistik, berupa nasi bungkus, nasi sterofoam (karena di taruh di sterofoam), aneka makanan ringan dan air mineral melimpah. Pengungsi relatif tercukupi kebutuhan perutnya. Bila hendak menyeduh kopi, teh, dan susu juga tersedia air panas.

Para pengungsi yang butuh men-cash Hp juga disediakan stop kontak dengan banyak colokan. Sehingga mereka tetap bisa berkomunikasi dengan sanak famili di luar Jogja yang tentu saja ingin mengetahui perkembangan dan situasi terkini.

Setiap kali ada pengungsi baru yang datang. Segera para relawan menghampiri, mempersilakan mereka untuk menempati tikar-tkar yang sudah digelar. Kemudian membagikan masker, selimut, dan nasi bungkus/nasi sterofoam kepada masing-masing keluarga.

2 rekomendasi kecil dari penulis ialah:

1.

Penyediaan layanan konseling dan terapi psikis bagi para pengungsi. Sebab bencana berkepanjangan ini niscaya menimbulkan luka secara psikologis. Apalagi mereka yang kehilangan orang-orang tercinta. Bila berlarut-larut bisa menyebabkan trauma, stres, dan depresi. Termasuk bagi anak-anak.

Mungkin sudah ada pelayanan tersebut pada siang atau pagi hari. Sebab saya melihat ada papan pajangan gambar anak-anak. Bagus sekali bila anak-anak pengungsi difasilitasi untuk menyalurkan kreatifitasnya lewat seni dan permainan lainya. Lanjutkan :-)

Pada jadwal acara di depan aula juga terpasang program senam massal pada pagi hari. Ini sangat membantu pengungsi agar tetap fit secara fisik.

2.

Saat masih di barak-barak pengungsian di atas. Para pasutri memohon agar disediakan “bilik bercinta”. Semoga petugas relawan di GOR UNY juga mendengarkan aspirasi tersebut.

Bencana Merapi belum tahu kapan akan berakhirnya, para pasangan suami-istri juga manusia biasa yang notabene butuh untuk sejenak rileks dan berkasih-kasihan.

Hiburan juga perlu ditambah. Misalnya dengan mengundang kelompok campur sari, keroncong, organ tunggal, dan kesenian daerah lainnya. Pasti banyak seniman Jogja yang bersedia menghibur para pengungsi secara cuma-cuma.

Walau sudah relatif memadai sarana dan pelayanan dari 300-an relawan di GOR UNY, tetap saja yang namanya mengungsi memang (tidak) enak. Privasi tidak ada dan ruang gerak terbatas sekali.

Saat menulis reportase ini untuk kompasiana.com, saya menyadari betapa berharganya kehidupan saya dalam kehidupan “biasa” sehari-hari. Tapi kadang saya lupa untuk bersyukur. Atas kamar pribadi, kasur empuk, selimut hangat, dan hal-hal sepele lainnya.

Acungan dua jempol buat UNY yang bersedia menyediakan tempat bagi para pengungsi Merapi, angkat topi kepada semua relawan yang bekerja tanpa pamrih siang dan malam. Tuhan yang Maha Esa yang membalas jasa dan budi baik kalian.

Akhirkata, bagi sidang pembaca kompasiana.com, semoga ada manfaatnya coretan singkat ini. Terimakasih…

Sumber: http://regional.kompasiana.com/2010/11/08/mengungsi-memang-tidak-enak/

Jangan Sepelekan Abu Merapi

Dimuat di Surat Pembaca, Kompas Jateng-DIY, Senin/15 November 2010

Tulisan ini sekedar merangkum apa yang dikatakan “Mbah Rono” alias Ir. Surono di salah satu televisi swasta. Hasil wawancara reporter cantik Tina Talisa. Niscaya berguna bagi saudara-saudari kita yang tinggal di seputaran Jateng - DIY. Serta daerah lain yang terkena guyuran abu vulkani Merapi.

Menurut ahli Vulkanologi tersebut, sebagian besar abu muntahan gunung berapi di Indonesia mengandung Silika. Kadarnya mencapai lebih dari 50 %. Yakni semacam bahan pembuat kaca, sehingga amat tajam. Sangat berbahaya bila masuk ke paru-paru, mata, ataupun organ tubuh lainnya. Selain itu, tak hanya mengancam keselamatan manusia, tapi juga ternak dan binatang peliharaan kita.

Sebagai langkah antisipatif penggunaan masker dan penutup hidung/mulut menjadi penting. Para relawan dan pengungsi perlu mengenakannya saat berada di luar rumah/barak pengungsian. Kemudian, kalau terlanjur terkena mata segera tetesi obat mata. Atau rendam dan kedip-kedipkan mata di dalam air bersih. Lebih bagus bila menggunakan air rebusan daun Sirih.

Sedangkan, untuk mengeluarkan/detoksifikasi abu yang terlanjur masuk ke dalam paru-paru. Dokter Hardhi Pranata SpS, Ketua Umum Perhimpunan Dokter Herbal Medik Indonesia (PDHMI) mengatakan, “Minum ramuan-ramuan herbal asli Indonesia yang mudah dijumpai seperti Kapulaga, Meniran, dan Jahe bisa membantu mengeluarkannya.

Kencur dan Kunyit dicampur Jeruk Nipis dan satu sendok kecap juga efektif mengeluarkan dahak dan riak dari saluran pernapasan. Ramuan ini bisa mengeluarkan debu-debu yang masuk saluran pernapasan,” imbuh dr. Hardhi.


http://green.kompasiana.com/polusi/2010/11/06/jangan-sepelekan-abu-merapi/

Letusan Merapi (30/10/2010) Dini Hari

Saat warga sedang terlelap, Merapi justru meletus kembali. Saya menulis laporan pandangan mata ini dari daerah Pakem Yogyakarta. Tepatnya di belakang Rumah Sakit Panti Nugroho di Jalan Kaliurang Km 20 Yogyakarta.

Sejak jam 00.00 WIB tadi seruan dari speaker petugas SAR telah membahana. Mereka memperingatkan warga untuk berjaga-jaga. Masker wajib dikenakan.

Saya sempat keluar dari rumah sekitar jam 01.00-02.00 WIB. Tapi hanya sesaat, lantas kembali masuk. Karena hujan abu turun tebal sekali. Air selokan berwarna kecoklatan. Langit mendung, sehingga puncak Merapi tak tampak. Kadang terdengar gemuruh, saya bertanya-tanya itu dari suara petir ataukah perut Merapi?

Warga Sempol, tempat base camp saya, banyak yang mengungsi ke arah selatan. Menuju ke kota Yogyakarta. Mereka mengendarai motor dan mobil. Melintasi jalan beraspal yang ditutupi oleh abu vulkanik Merapi.

Saat saya menulis ini, hujan abu sudah mulai menipis. Tetap berdoa dan bersiap-siaga menghadapi segala kemungkinan. Sebelum kejadian, ikan-ikan di dalam kolam berlompatan ke udara. Saya mengira ada ular di dalam kolam. Ternyata itu suatu pertanda. Makhluk yang katanya tak berakal itu lebih peka ketimbang kita manusia. Demikian laporan pandangan mata buat kompasiana.com. Terimakasih

Sumber: http://regional.kompasiana.com/2010/10/30/letusan-merapi-30102010-dini-hari/

Di Kaki Merapi

Di kaki Merapi aku bersimpuh

Di kaki Merapi aku merasa takjub

Di kaki Merapi aku merasa kecil

Di kaki Merapi aku tak bisa berkata-kata



Di kaki Merapi aku merasa utuh

Di kaki Merapi aku meneteskan air mata

Di kaki Merapi aku sirna

Tiada…



Yang tertinggal hanyalah

Gelap malam…

Dan…gemuruh keagungan abadi-Nya



Dipersembahkan utk Dedikasi dan Loyalitas Mbah Maridjan.



We Love U Mbah…

Yogyakarta, 26 Oktober 2010



Sumber: http://fiksi.kompasiana.com/puisi/2010/10/27/di-kaki-merapi/

November 03, 2010

5 Steps to Awareness

Published at: http://ezinearticles.com/?5-Steps-to-Awareness&id=5176951

Modern people tend to neglect the spiritual life. Most of us think that money can buy everything. However, there is one thing that is not being sold at any market shops. Pure happiness, this is an inner feeling that comes from within.

In Saadhana Panchakam, Adi Sankaracharya(788-820 CE), a great master from India wrote 5 basic principles to achieve happiness. Shankara presented a summary on how to perform sadhana. The word sadhana means practice. The goal is the highest joy that comes from our awareness which is one with the Absolute Reality.

Those steps are self knowledge, good company, awareness, discipline, and action.

Self knowledge is the realization of our true self. Merely, we are not this body, mind, and soul. There is something within us that beyond those three layers of consciousness. In India, people named It as the Self, the Atman or Purusha. This Self-Realization comes through a deep meditation.

Good company is a community which supports our spiritual growth. The members consist of loving and caring person. Commonly, they have a Perfect Master (Sat-Guru) as the center point of devotion. Everyday they serve His Lotus feet to cut down their arrogance and selfishness.

Awareness is the realization of unity and oneness. Thus, we are all interconnected and governed by the same law of nature. Discipline is a strict attitude in tune with the nature.

Last but not least, action as the ultimate step. Talking about food will no make us full. The most important thing is putting the food in our mouth, than chewing it. Therefore, let us take the first step to awareness today.

5 Steps to Awareness by Anand Krishna, reviewed by Nugroho Angkasa

First Published by Gramedia Pustaka Utama Indonesia (2006)

Number of Pages: 162

Oktober 27, 2010

Mengabadikan (Almarhum) Mbah Maridjan

Dimuat di Pontianak Post, Rabu 3 November 2010
"Walaupun aku diremukkan sampai jadi abu, aku akan memelukmu dengan abuku.”- Liu Xiaobo (Pemenang Nobel Perdamaian 2010)

Begitulah janji Liu kepada istri tercinta Liu Xia. Semangat aktivis prodemokrasi China tersebut sefrekuensi dengan pengabdian Mbah Maridjan. Walau nyawa menjadi taruhan dan hanya bergaji Rp 20.000/bulan beliau memegang teguh sumpah setia sebagai abdi dalem Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Sang Juru Kunci tak meninggalkan tanggungjawabnya menjaga Gunung Merapi hingga hembusan nafas terakhir.

Mbah Maridjan ibarat nahkoda kapal Titanic yang tenggelam ke dasar samudera bersama kapal dan para penumpangnya. Pada hari Rabu dinihari (27/10/2010) tim SAR menemukan jenasah Raden Ngabehi Surakso Hargo di salah satu kamar rumah mungilnya. Dalam posisi bersujud, mengenakan kain sarung dan kemeja batik. 15 jasad warga dan seorang wartawan juga ditemukan di sekitar lokasi tersebut. Semuanya mengalami luka bakar yang parah.

Ironisnya, ada opini yang memojokkan Mbah Maridjan. Bahkan tega menyebarkan foto kuil jiwanya yang hangus terbakar lewat internet. Sebab beliau dituduh ngeyel (keras kepala) tak mau meninggalkan kediamannya yang notabene hanya berjarak 5 km dari puncak Merapi. Padahal status Merapi sudah dinaikkan dari “siaga” menjadi “awas” oleh Badan Vulkanologi terhitung sejak hari Senin jam 06.00 WIB (25/10/2010). Seolah secara tidak langsung, beliau dianggap telah menyebabkan banyak korban berjatuhan.

Sebagai tokoh masyarakat Mbah Maridjan memang di-gugu dan di-tiru oleh warga setempat. Tapi beliau sudah memperingatkan sebelumnya, “Saya minta warga untuk menuruti perintah dari pemerintah, mau mengungsi ya monggo…” (Kedaulatan Rakyat, 26/10/2010). Saat itu, sebagian besar warga enggan mengungsi karena khawatir akan kehilangan nafkahnya. Tanaman di ladang dan hewan ternak di kandang merupakan sumber penghidupan mereka selama ini. Apakah pemerintah dan aparat setempat berani menjamin keamanan aset-aset tersebut?

Diperparah lagi dengan kondisi di penampungan yang begitu memprihatinkan. Seorang kawan relawan di Muntilan mengabarkan bahwa mereka kesulitan memperoleh masker. Kalaupun ada mereka harus membeli dengan harga @Rp 2.000. Sedangkan teman lain di Srumbung mengisahkan betapa tragisnya para bayi dan balita tidur tanpa selimut di tengah malam yang dingin. Apakah Yth. Presiden RI yang - saat tulisan ini dibuat pada tanggal 27 Oktober 2010 - sedang berada di China dan anggota DPR yang “piknik” ke Yunani mengetahui kondisi riil rakyatnya yang sedang dilanda bencana, baik di Merapi maupun di Mentawai (MM)?

Secara lebih mendalam, kita perlu memahami konteks historis dan kultural Sang Juru Kunci Merapi. Mbah Maridjan dilahirkan pada tahun 1927 (berarti beliau tutup usia pada 83 tahun) di Dusun Kinahrejo, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta. Amanah menjadi abdi dalem diperoleh langsung dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX pada tahun 1982. Sebelumnya, ayahanda beliau, Mbah Hargo yang menjadi Juru Kunci sejak tahun 1970.

Gelar dari Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat bagi Mbah Marijan ialah Mas Penewu. Itu berarti beliau berhak memimpin prosesi Labuhan untuk memanjatkan doa dan mempersembahkan sesajen kepada Eyang Petruk. Salah satu tokoh Punakawan yang diyakini sebagai sing mbaurekso alias penunggu gunung Merapi. Sekaligus sosok magis pengayom masyarakat yang berdiam di kawasan lereng gunung berapi teraktif di dunia tersebut.

Ini sama sekali bukan klenik, melainkan kearifan lokal yang telah diyakini secara turun-temurun oleh leluhur kita. Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memang bisa ditarik satu garis imaginer. Dari Puncak Merapi, Monumen Tugu Yogyakarta, Siti Hinggil Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Panggung Krapyak, hingga ke Segoro Kidul di pantai Parang Tritis. Artinya, kesatuan antara Gusti Pangeran dan para kawulo alit. Dalam tradisi Kejawen disebut, “Manunggaling kawulo lan Gusti.”

Sejak Merapi meletus pada tahun 2006. Mbah Maridjan semakin terkenal dan terpilih sebagai bintang iklan salah satu produk minuman. Tapi bukan itu yang membuat beliau dihormati dan dicintai. Baik oleh masyarakat Yogyakarta pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. Dedikasi Mbah Maridjan terhadap nilai yang ia yakini itulah sumber kekuatan beliau. Loyal setia seteguh batu karang walau berada di tengah marabahaya sekalipun.

Tubuh renta itu musti berhadapan dengan gunung Merapi yang menjulang setinggi 2.914 meter. Siap memuntahkan lahar bersuhu 1000 derajat Celcius dan wedhus gembel (awan panas) berkecepatan luncur 200 km/jam. Tapi beliau tidak bergeming sedikitpun. Kematian Mbah Maridjan juga bisa menjadi preseden buruk bagi Pemerintah Pusat. Yang tak kunjung mengesahkan UU Keistimewaan DIY. Mbah Maridjan bisa jadi mau turun gunung bila yang menginstruksikan secara de facto Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat Sri Sultan Hamengku Buwono X, bukan sekedar de yure Gubernur DIY.

Tanggung jawab menjalankan amanah yang diberikan sampai titik darah penghabisan. Inilah nilai abadi yang diwariskan kepada segenap anak bangsa dari Sabang sampai Merauke oleh Almarhum tercinta. Adakah mentalitas semacam itu dalam diri para pemimpin kita, wakil rakyat, pejabat publik, para pengusaha dan last but not least diri kita sendiri?

Mari sejenak kita menundukkan kepala dan memanjatkan sebait doa, “Selamat jalan Mbah Maridjan, kami berterimakasih atas teladan nyata kisah hidupmu. Selamat beristirahat dalam pangkuan Ibu Pertiwi. Tugas kami kini untuk melanjutkan perjuangan para bapa bangsa dan leluhur kita. Tetap setia pada nilai kebhinekaan NKRI dan falsafah adiluhung Pancasila. Indonesia Jaya!

Sumber Foto: http://www.google.co.id
Pertamakali dimuat di: http://sosbud.kompasiana.com/2010/10/28/mengabadikan-almarhum-mbah-maridjan/

Oktober 25, 2010

Wakil Rakyat, Belajarlah pada Kang Harry

Dimuat di http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2010102502170067

Menurut kajian ilmu sosial dan politik, setiap kebijakan publik (public policy) musti memenuhi 4 kriteria pokok. Pertama, mampu meningkatkan kesejahteraan dari kalangan masyarakat yang menjadi target kebijakan. Kedua. diperuntukkan bagi semua golongan dari kalangan masyarakat yang menjadi target kebijakan. Ketiga, dampak yang dirasakan sama oleh semua kalangan. Keempat,tentu saja dibuat oleh pejabat publik yang berwenang. Dalam arti dipilih oleh Rakyat dan dilantik oleh Negara.

Namun fakta di lapangan berbanding terbalik. Banyak pejabat publik melanggar rambu-rambu di atas. Baik itu di level Eksekutif, Legislatif, maupun Yudikatif. Misalnya, yang paling aktual ialah hajatan studi banding anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ke Yunani.

Pertanyaan kritisnya ialah: Pertama, apakah kebijakan publik yang notabene didanai oleh uang pajak tersebut mampu meningkatkan kesejahteraan wong cilik yang mereka wakili? Atau justru menciderai para konstituen di akar rumput (grass root)? Penulis berani bertaruh, pada Pemilu mendatang akan semakin banyak kader Golput (Golongan Putih).

Kedua, apakah kebijakan itu diperuntukkan bagi semua golongan dari kalangan masyarakat yang menjadi target kebijakan? Atau sekedar untuk anggota keluarga mereka di rumah? Yang tentunya menanti dengan mata berbinar oleh-oleh dari luar negeri. Ketiga, apakah dampak yang dirasakan sama oleh semua kalangan? Atau malah semakin membuat rakyat muak menyaksikan insensitifitas para elit politik. Terakhir, apakah kebijakan itu dibuat oleh pejabat publik yang berwenang? Atau sebuah bentuk nyata dari penyalahgunaan jabatan?

Dalam tradisi Kejawen, inilah yang disebut dengan mentalitas aji mumpung. Selagi masih berkuasa sedapat mungkin mencari keuntungan semaksimal mungkin untuk menutup biaya kampanye yang dahulu dikeluarkan. Agar neraca keuangan dapat segera mencapai titik BEP(Break Even Point). Syukur-syukur bila bisa memperoleh surplus selama 5 tahun masa jabatan. Sehingga kelak saat mencalonkan diri kembali telah memiliki cukup tabungan untuk biaya money politics. Inilah lingkaran setan politik nasional. Semata menjadi lahan bisnis untuk mengeruk keuntungan pribadi.

Tentu tetap ada pengecualian. Masih ada negarawan yang sungguh melihat kekuasaan sebagai sarana pelayanan terhadap Nusa dan Bangsa. Secara lebih luas, menurut Anand Krishna (Self Leadership, 2004) sejatinya untuk berbhakti kepada Ibu Pertiwi, kita tak perlu memiliki jabatan terlebih dahulu. Segenap anak bangsa bisa berkontribusi bagi masa depan yang lebih cerah. Sesuai dengan kapasitas di lingkar pengaruhnya masing-masing.

Penulis mengambil satu contoh kecil saja. Yakni Kang Harry Van Jogja, seorang penarik becak asal Bantul. Ia biasa mangkal di daerah Prawirotaman Yogyakarta. Uniknya, Kang Harry “bersenjatakan” Laptop untuk mencari pelanggan di dunia maya. Dalam account Facebook-nya saat ini hampir 4.000 teman (friends). Baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Bahkan para wisnu (wisatawan nusantara) dan wisman (wisatawan mancanegara) harus memesan dulu (pre-order) lewat e-mail atau inbox FB bila hendak diantar naik becak mengelilingi kota Yogyakarta.

Perjuangan hidup Kang Harry di jalanan. Ditimpa terik matahari dan diguyur hujan tatkalamenemani para tamu menikmati keindahan Bumi Mataram bisa menjadi tamparan bagi wakil rakyat dan pejabat publik kita. Ternyata dalam mencari nafkah dan berbhakti bagi tanah tumpah darah tercinta ini tak harus dengan cara menyalahgunakan kekuasaan dan menghisap sesama anak bangsa. Masih ada seribu satu jalan yang halal, cerdas, dan elegan.

Dokumentasi dalam bentuk film dokumenter dan komik bergambar ihwal kehidupan sehari-hari Kang Harry – seorang yang notabene tanpa gelar akademis dan jabatan tertentu – tapi tetap bisa memberi warna tersendiri dalam kehidupan ini layak kita tonton, baca serta renungkan bersama. Ia mengharumkan nama Yogyakarta pada khususnya dan Indonesia pada umumnya.

Kebijakan publik yang melulu mensejahterakan kelompok elit tertentu jelas bukan kebijakan, melainkan pengkhianatan terhadap amanah penderitaan rakyat. Kebijakan publik yang diskriminatif Gender dan SARA juga bukan kebijakan, melainkan manipulasi kekuasaan untuk agenda politik tertentu.

Akhir kata, kebijakan publik yang efeknya hanya dapat dirasakan oleh mereka yang dekat dengan kursi kekuasaan jelas bukan kebijakan, melainkan penyalahgunaan wewenang. Pejabat publik yang hanya memikirkan citra diri bukan pemimpin sejati. Lebih baik mundur dan memberi kesempatan kepada kaum muda agar kami juga dapat belajar membuat kebijakan publik yang benar. Dalam arti sungguh berpihak kepada kepentingan Rakyat dari Sabang sampai Merauke.

Sumber Foto: http://www.facebook.com/profile.php?id=848694905&v=photos#!/photo.php?fbid=424920774905&set=a.436423709905.237696.848694905

Dimuat pertama kali di: http://politik.kompasiana.com/2010/10/24/wakil-rakyat-belajar-saja-ke-kang-harry/

Oktober 18, 2010

Daya Tarik Pertanian Organik

Pada Jumat (16/10/2010) jam 10.00-11.00 WIB serombongan turis asing dari Amerika Serikat, Nepal, Italia, Afrika Selatan, Belanda, China, Korea, Taiwan, Jepang dan beberapa negara lain mengunjungi Dusun Jering VI Sidorejo Godean Sleman. Sebuah bus wisata membawa mereka dari kota Yogyakarta dikawal mobil patroli polisi. Para wisatawan manca (wisman) tersebut hendak menyaksikan secara langsung lahan pertanian organik yang ada di sana.

Kesenian tradisional Jatilan dan hamparan sawah padi organik seluas 1 hektar menyambut kedatangan para tamu. Hajatan besar ini terselenggara atas kerjasama Balai Besar Wilayah Sungai Serayu - Opak, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gajah Mada (UGM), dan Kelompok Tani Bangunrejo Kleben Sidorejo.

Para petani juga memamerkan dokumentasi foto-foto proses bercocok tanam secara alami. Dari penangkaran bibit, penyemaian, penanaman (tandur), perawatan, hingga ritual wiwit menjelang masa panen.

Menurut Purwanto, ketua Kelompok Tani Bangunrejo, didampingi seorang penerjemah bahasa Inggris, Warga desa Sidorejo memang tak lagi menggunakan pupuk pabrik selama 3 tahun terakhir. Sebab, pestisida kimia membahayakan kesehatan dan merusak kesuburan tanah.

Pupuk yang mereka gunakan diolah sendiri. Terbuat dari kotoran hewan (kohe) dan kompos tanaman seperti Jerami, Ganepo, Batang Pisang, sisa gerajen kayu, dll. Mereka meletakkannya di dalam bakul-bakul besar. Sehingga para pengunjung bisa melihat dan menyentuhnya. Walau awalnya terbuat dari kotoran tapi setelah diproses baunya tak lagi menyengat.

Untuk Pestisida Nabati terbuat dari campuran buah Majapahit, tanaman Gadung, parutan Kunir Blenyeh, daun Kleresede, dan daun Sirsak. Hasilnya, berupa cairan mirip alkohol karena sudah mengalami proses fermentasi. Sedangkan, Bakteri Prebiotik merupakan kombinasi saripati Tape Singkong, Yogurt, Gula Pasir, Tempe, dan Air Matang.

Unsur hara Nitrogen (N) terbuat dari fermentasi cacahan Daging Lele. Sedangkan, asupan Kalsium (Ca) diolah dari Cangkang Telur. Keduanya dicampur dengan Gula Merah. Lantas, kandungan Phosfat (P) diperoleh dari olahan Jantung Pisang dan Midro (Ganclong).

Tak ketinggalan aneka produk padi organik dijual sebagai cendera-mata. Para wisatawan juga bisa mencicipi nasi yang tersaji di dalam bakul-bakul kecil. Keunggulan beras organik ialah lebih pulen dan tidak cepat basi. Selain itu, tentu lebih sehat karena tak mengandung pestisida pabrik. Terakhir tapi penting, ramah lingkungan dan mengurangi dampak pemanasan global (Global Warming).

Paska revolusi hijau (Green Revolution) pada tahun 1970-an, banyak bibit padi lokal yang hilang. Sebab, kala itu pemerintah menggalakkan penggunaan bibit impor. Kelompok Tani Bangunrejo berupaya melestarikan kembali benih-benih lokal. Yang notabene lebih cocok dengan kondisi geografis setempat.

Mereka menempatkan benih-benih tersebut dalam sebuah wadah tempayan tanah liat. Kemudian dikubur di dalam abu kayu agar tidak mati. Nama-nama padi lokal yang terdapat di Desa Sidorejo antara lain:

1. Cempo Wulu Abang

2. Pandan Wangi

3. Cempo Ireng

4. Cimelati

5. Mutiara

6. Merah Putih

7. Sarinah

8. Himalaya

9. Padi Hitam

10. Merah Hati

11. Selendang Biru

12. Mekongha

13. Cempo Abang

14. Maros

15. Naga merah

16. Batang Gadis

17. Ketan Kuthuk

18. Batang Hari

19. Rojolele

20. Code

21. Cempo Ireng Wulu

22. Somali

23. Menthik Putih

24. Laka

25. Ujung Hitam

26. Lingga Wangi

27. Cigelis

28. Ketan Kuthuk

29. Cere Merah

30. Rening

31. Singkil

32. Dll

Suatu ironi, bila kita musti mengimpor beras dari luar negeri. Menurut Bert, salah satu peserta dari Belanda, sistem pertanian organik merupakan bagian dari pembangunan berkelanjutan(Sutainable Development).

Pria yang bekerja sebagai pengelola situs konsultan pertanian (www.duo-advies.net) itu mengatakan bahwa kini di Eropa semakin banyak orang mencari produk organik. Sebab, kesadaran akan pentingnya kesehatan dan kelestarian alam kian berkembang di sana. Suatu peluang bagi negeri yang memiliki keanekaragaman hayati dan kesuburan seperti Indonesia.

Sumber:
http://kesehatan.kompasiana.com/group/makanan/2010/10/17/daya-tarik-pertanian-organik/

Oktober 15, 2010

A Magnificent Monkey From Indonesia

Published at: http://ezinearticles.com/?A-Magnificent-Monkey-From-Indonesia&id=5177069

“Nalikane Alengka diobong,” (Once upon the time, Alengka was burned). This song is very popular in Java, especially in the sub-urban area. Hanuman is a figure from Ramayana epic. He was Rama’s ambassador. He must take back Sinta who was kidnapped by Rahwana. His appearance is almost similar like Sun Go Kong.

Hanuman’s mother is Anjana, a beautiful goddess from heaven. The father is wind god, named Bayu. Therefore, in the east he was called Bayu’s son. When he was still a baby, Hanuman has ever swollen the sun. For, its shape is like his favorite candy. Adult Hanuman is very powerful. He is able to fly crossing the ocean to save his Master’s wife. Alone this mighty monkey burned Alengka.

At page 26-27 Anand mentions a unique diagram. Showing 4 ways in finding the center in ourselves. First is Kama or strong will. Second is Artha, not only related with wealth but also with human’s life value. Third is Dharma or Rightfulness. Last but not least is Moksha or ultimate freedom.

Unfortunately, people tend to combine Kama with Artha, which are in a line. Therefore, we only have a strong will to collect money. Similar with the combination of Dharma and Moksha, we do something good only to get reward and to avoid punishment. What is our different with a donkey who just want to eat carrot and avoid stick?

The ideal meeting is in diagonal line. Meaning that we have Kama or strong will to gain Moksha or ultimate freedom, not after the death but during our life right here right now. Then, we collect wealth to be shared with the oppressed people. It’s our Dharma. In tune with John Lennon’s imagination, “Imagine all the people, sharing all the world…”

Hanuman is more than a monkey. Reading the Hanuman Factor will color our life with the same spirit.

The Hanuman Factor by Anand Krishna, reviewed by Nugroho Angkasa

First Published by Gramedia Pustaka Utama Indonesia (January 2010)

Number of Pages: 206

Oktober 13, 2010

Rhythm of Love, Peace and Harmony

Published at: http://ezinearticles.com/?Rhythm-of-Love,-Peace-and-Harmony&id=5156658

Mrs Shambana said that peace is the celebration of plurality. This insightful definition of peace was stated by that member of the Indian Parliament at the global forum "The Power of Peace through Information and Communication" hosted by UNESCO in association with the Indonesian Government (Bali, January 21st - 23rd 2007).

Voice of Indonesia is Anand Krishna's fourth book in English. The book presents three main ideas: My Nation, The World and Humanity. Anand believes that the resurgence of modern Indonesia automatically contributes to the building of Neo Humanity: One Earth-One Sky-One Humankind.

Prof. Sudjarwadi, the Rector of Gadjah Mada University Yogyakarta Indonesia shared that he has a habit of taking a morning walk with his beloved wife. One day they were passing by rice field near their home. They saw an old woman digging the ground. They were curious why she was digging the ground so early in the morning. Whether it would have been better if she kept on staying at home because it was still dark and the weather was very cold.

Sudjarwadi's wife asked her, "Excuse me, but may I know what you are doing?" The old woman straightened her back and answered, "Oh, I am making a way for water. This is for my neighbor's field. I am afraid her rice would not get enough water." What a humble woman, she dug the drainage to make a way so that the water could flow to the neighbor's filed. She left home very early to share with her neighbors. She is like a candle that sparks light in the midst of human greed that often sacrifices others.

This book also documented the interview between Michele Lee (American Journalist) and Anand Krishna (No Run-of-the-Mill Spiritual Guru), which has been published in The Jakarta Post (August 29, 2006). An interesting question appears - why is Love the only solution to solve our multidimensional problems?

Anand explained that Love is the deepest emotion of human beings. It is the deepest part of human's inner self. When the solution is deep enough, the result is also quite long term. Furthermore, this famous spiritual leader gave an analogy between love and a tree. If the roots grow deep into he earth, then we will have a big tree. So this is the same thing, we should have a solution that is deep enough within our being and then we can expect a result, which is long term result.

The language style of the book very simple, friendly and funky. Kerry B. Collison, an international best-selling author commented on it, "...renowned spiritualist Anand Krishna's compilation of his perspectives in English article released as Voice of Indonesia is a must read."

Each topic is different. Yet, the core message is love and spiritual self-empowerment. Voice of Indonesia is the rhythm of love, peace and harmony that resemble in our heart.

Voice of Indonesia by Anand Krishna, reviewed by Nugroho Angkasa
First Published by Anand Krishna Global Cooperative Society Bali Indonesia (2007)
Number of Pages: xxv + 260

Oktober 07, 2010

Journey From Death to Immortality

Published at: http://ezinearticles.com/?Journey-From-Death-to-Immortality&id=5103483

"Love will color your journey with confidence. With love, you are more comfortable. Now you can enjoy, celebrate, dance, sing, and laugh your way through life!" (page iv)

This insightful definition of love was stated by Anand Krishna, an Indonesian national of an Indian descent. His critics and sympathizers acclaim this ex-Director of a Garment Factory as "phenomenal". His critics wonder, "What makes him popular? There is nothing extraordinary about him." On the contrary, his sympathizers appreciate his passion for promoting peace, love, and harmony among different sections of society.

Soul Quest is Anand Krishna's first autobiographical novel. It talks about the crucial moment of his life. Anand was a young man who eager to gain abundance life. However, he still felt empty inside. Therefore, he suffered from acute Leukemia. Anand was really afraid of facing death. He directly admitted it, "...when death stares at you, your body may or may not be in pain, but your mind surely trembles. The poor thing is afraid of losing its means of expression, the physical body with its sense organ. And the more "stuff" of memories, obsession and desires it has, the more afraid it gets. I could see myself apart from my mind. My body was in great pain, my mind was afraid, but I was neither of them. First I felt their pain and fear, later I could watch them." (154)

Anand kept on running away from that fact; he was confused not knowing what he was looking for. First, he ran away to India, to consulting with his Master. He stayed in Sai Baba's Ashram at Prashanti Nilayam for 1 month full. However, his Master kept on avoiding him. After that, he came to a Shuka Nadi/native healer). The Shuka "bible" said that no one can cure him. He himself should overcome this disease. Anand came to a Buddhist monastery; through meditation practices he could see his sickness from a different point of view.

Finally, in Leh he met a Lama who suggested he should accept death an live fully in love. The Lama said (176): "...don't fly, and don't run away - face the challenges of life with a smile on our lips. We tend to forget that we are one hundred percent responsible for whatever happens to us. We create our problems; so we have to face them...solve them ourselves." At that time, there was no more conflict with death. He totally accepted both sides of life. This positive outlook gave an opportunity for him to know his true self and began to celebrate life.

Soul Quest is like a diamond. It gives us insight to improve the quality of our life. Reading this novel, we can get some valuables information about human characters, interests, feelings, thoughts, and last but not least, mystic experiences.

Soul Quest by Anand Krishna, reviewed by Nugroho Angkasa
First published by Gramedia Pustaka Utama Jakarta Indonesia (2003) also published in India (2005)
Number of Pages: v + 232

Oktober 04, 2010

Benefits of Laughing Gymnastic

Indonesian Psychiatric Association informed that 94 percent of the population in Indonesia suffered depression and stress. This is the reason why National Integration Movement organized a weekly laughing gymnastic. “Laughter can create hormone melatonin, which overcomes stress and depression,” said Maya Safira Muchtar. She is a therapist in L’Ayurveda Center for Inner Beauty and Holistic Care Jakarta Indonesia.

Furthermore, Maya said, based on scientific research laughing 1 minute is equal to 20 minutes of exercise. Thus, we can increase Oxygen (O2) levels in the blood. Other benefits of laughing are smoothing blood flow, reducing the risk of heart disease, increasing the body endurance, producing endorphin hormone, as a natural tranquilizer, massaging the lung and contracting 80 nerve points in the body, relaxing muscles, relieving constipation, reducing blood pressure, and stimulating the left and right brain.

Only human being who are able to laugh. The animal does not have this unique capability. Indeed, most of them, especially mammals can only cry. For instance, if you want to massacre cows, you can see their tear drop from the eyes. Elephant, whale, and gorilla are other crying liked animals.

Laughing gymnastic is also very cheap. We do not need to spend extra money to be healthy. Furthermore, laughing is a universal activity. This belongs to all human being. Whatever your religions, nations, social status, economic levels, and so on we can still laugh together in unity. Our world is full of misery. Laughing gymnastic is a simple way to be happy. Therefore, let us laugh together :-)

Source: http://hiburan.kompasiana.com/group/humor/2010/10/04/benefits-of-laughing gymnastic/

September 17, 2010

Journey from Death to Immortality


Published by Dialogue Magazine, 3/xxx/2008

Book's Title: Soul Quest
First published by: PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta (2003) also published in India (2005)
Author: Anand Krishna
Number of Pages: v + 232
Price: Rp 50.000

"Love will color your journey with confidence. With love, you are more comfortable. Now you can enjoy, celebrate, dance, sing, and laugh your way through life!" (iv)

This insightful definition of love was stated by Anand Krishna, an Indonesian national of an Indian descent. His critics and sympathizers acclaim this ex-Director and Shareholder of a Garment Factory as "phenomenal". His critics wonder, "What makes him popular? There is nothing extraordinary about him." On the contrary, his sympathizers appreciate his passion for promoting peace, love, and harmony among different sections of society and exclaim, "He comes from the Source of All Wisdom."

Soul Quest is Anand Krishna's first autobiographical novel. It talks about the crucial moment of his life. Anand was a young man who eager to gain wealth, possessions and prestige. He had almost everything. However, he still felt empty inside. The, he suffered from acute leukemia.

Anand was really afraid of facing a certain death in front of his nose. He also directly admitted it, "...when death stares at you, your body may or may not be in pain, but your mind surely trembles. The poor thing is afraid of losing its means of expression, the physical body with its sense organ. And the more "stuff" of memories, obsession and desires it has, the more afraid it gets. I could see myself apart from my mind. My body was in great pain, my mind was afraid, but I was neither of them. First I felt their pain and fear, later I could watch them." (154)

Unfortunately, Anand kept on running away from that fact; he was confused not knowing what he was looking for. First, he flew away to India, to consult his health with his beloved living Master. He stayed in Sai Baba's ashram at Prashanti Nilayam for one month full. However, his master kept on avoiding him. After that, he came to a Shuka Nadi (native healer). The Shuka "bible" said that no one can cure him. He himself should overcome this disease. Anand also came to a Buddhist monastery; through meditation practices he could see his sickness from a different point of view. Finally, in Leh he met a Lama who suggested he should accept death an live fully in love.

It may be said that the effort he made is actually the compensation of his lack of confidence. However, after a meeting with a Lama in Leh Himalaya, India, he realized that birth and death were two sides of one single coin. This total acceptance brought recovery from within. The Lama said (176): "...don't fly, and don't run away - face the challenges of life with a smile on our lips. We tend to forget that we are one hundred percent responsible for whatever happens to us. We create our problems; so we have to face them...solve them ourselves."

In Katresnanism Criticism: The Nature and Who Does it, Antonius Herujiyanto says that one's sickness is also a blessing. We are "Binerkahan" beings. It is not only in our healthy life, but also in the purifying process which is commonly called disease. Anand also experienced this deep insight in Leh when his heart already accepted the death. "This is indeed a right place to die" (174). At that time, there was no more conflict with death. He totally accepted both sides of life. This positive outlook gave an opportunity for him to know his true self and began to celebrate life.

Soul Quest - Journey from Death to Immortality is like a diamond, which has multi facets. It gives us insight to improve the quality of our life. Reading this novel, we can get some valuables information about human characters, interests, feelings, thoughts, and last but not least, experiences. Happy Reading!

Perjuangan Mengenyam Pendidikan

Dimuat di Kedaulatan Rakyat, Minggu/21 November 2010

Judul Buku: Orang Miskin Dilarang Sekolah

Penulis: Wiwid Prasetyo

Penerbit: Diva Press

Cetakan: IV, 2010

Tebal: 450 halaman

Dimuat di Kedaulatan Rakyat, 21 November 2010



“Banyak hal yang tak kita ketahui bahkan sampai kita mati pun kita tak pernah mengetahuinya…misteri itu mirip dengan energi yang tak dapat diciptakan dan tak dapat dimusnahkan. “ (Halaman 51)

Buku “Orang Miskin Dilarang Sekolah” ini terinspirasi oleh novel “Laskar Pelangi”-nya Andrea Hirata. Wiwid Prasetyo juga mengangkat tema pendidikan. Kemiripan kedua karya sastra tersebut ialah sama-sama mengambil perspektif wong cilik. Yang notabene harus pontang-panting untuk bisa sekedar mengenyam pendidikan dasar.

Menurut Wiwid sektor pendidikan dan jagat kepenulisan merupakan 2 matra yang saling berkelindan. Pendidikan tanpa keterampilan menulis niscaya menjadikan materi pembelajaran hilang tanpa bekas. Sebaliknya, sekedar paham tulis-menulis tanpa memiliki jiwa kependidikan menyebabkan proses pembelajaran tak memperoleh saluran yang tepat.

Cita-citanya Wiwid sederhana. Yakni menjadi seorang pendidik plus penulis. Di tengah kesibukannya sebagai redaktur di Majalah FURQON, PESANTrend, Si Dul, dan Tabloid Inflo Plus, alumnus Fakultas Dakwah UIN Walisongo Semarang tersebut masih menyempatkan diri menjadi tentor di Bimbingan Belajar Smart Kids (Anak Cerdas).

Kalau di dalam “Laskar Pelangi” kita menjumpai tokoh seperti Lintang, Ikal, Mahar, dan 7 bocah “ajaib” lainnya maka di dalam “Orang Miskin Dilarang Sekolah” kita akan berkenalan dengan 3 tokoh utama, yakni Pambudi, Yudi, dan Pepeng. Pambudi ialah anak seorang penyabit rumput alias tukang ngarit. Setiap hari ia membantu ayahnya memberi makan sapi-sapi di peternakan Yok Ben. Sedangkan Yudi merupakan anak seorang pembuat pisang goreng. Setiap sore ia berkeliling kampung menjajakan dagangannya. Terakhir, Pepeng, ibunya telah meninggal dunia, ia anak semata wayang seorang tukang becak. Setiap hari ia diajak ayahnya mengangkuti kelapa-kelapa dari pasar-pasar malam dengan mengendarai becak dan menempuh jarak (minimal) 25 km.

Semula ketiga bocah tersebut enggan menuntut ilmu di sekolahan formal. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu untuk bermain-main di alam selepas lelah bekerja membantu orang tuanya. Perjumpaan dengan tokoh “Aku” membuka mata mereka. Kendati terbatas secara finansial dan sudah terlambat dari segi usia, mereka tetap harus bisa bersekolah agar tidak hilang dari pusaran sejarah. Sebab, “…kalau menulis itu adalah upaya kita agar tetap kekal abadi, orang yang gemar menulis haruslah bisa membaca, sedangkan ilmu membaca diperoleh dari sekolah.” (Halaman 62)

Buku ini layak dibaca oleh siapa saja yang mencintai dunia pendidikan. Fakta di lapangan memang serba karut-marut. Tapi perjuangan ketiga bocah dalam novel ini niscaya menginspirasi kita untuk fokus pada solusi pembenahannya. Bukankah salah satu tujuan pendirian Republik ini ialah untuk mencedaskan kehidupan bangsa? Selamat membaca!

September 14, 2010

Ihwal Minat Baca

Makalah Bank Dunia (World Bank) bertajuk Educational in Indonesia - From Crisis to Recovery (1998) mencatat minimnya tingkat kemampuan baca anak Indonesia. Vincent Greanary menemukan bahwa kemampuan membaca murid kelas 6 SD rata-rata hanya 51,7. Padahal di Filipina angkanya mencapai 52,6, di Thailand 65,1, di Singapura 74 dan di Hongkong 75,5.

Sama sebangun dengan kebiasaan membaca orang dewasa. Jumlah pembaca koran menjadi salah satu indikator. Idealnya, setiap surat kabar dikonsumsi oleh sepuluh orang, tetapi di Indonesia perbandingannya hanya 1:45. Artinya, setiap 45 orang membaca satu koran. Padahal di Filipina angkanya 1:30 dan di Sri Lanka 1:38. Pada tahun 2003 Badan Pusat Statistik (BPS) juga melaporkan bahwa penduduk Indonesia berumur di atas 15 tahun yang membaca koran hanya 55,11 %.

Ketersediaan buku di Indonesia juga relatif terbatas. Bandingkan dengan Cina yang berpenduduk 1,3 miliar jiwa, setiap tahun mereka mampu menerbitkan 140.000 judul buku baru, Vietnam yang berpenduduk 80 juta jiwa, setiap tahun mampu menerbitkan 15.000 judul buku baru, Malaysia yang berpenduduk 26 juta jiwa, setiap tahun mampu menerbitkan 10.000 judul buku baru, sedangkan Indonesia yang berpenduduk 230 juta jiwa, hanya bisa menerbitkan 10.000 judul buku baru pertahun.

Di lapangan bisa kita saksikan dengan kasat mata tatkala menunggu angkutan di terminal, stasiun, atau bandara. Memang orang Indonesia jarang menggunakan waktu luangnya untuk membaca. Biasanya malah bergosip, merokok, atau sekedar melamun. Situasi ini berbanding terbalik dengan fakta di luar negeri, terutama di negara-negara maju seperti USA, Inggris, dan Jepang. Kemanapun mereka berada selalu membawa buku dan memanfaatkan waktu senggangnya untuk membaca. Misal tatkala bersantai di taman, menunggu bus di halte ataupun ketika menempuh perjalanan jauh.

Kenapa minat baca di Indonesia relatif rendah karena secara turun-temurun budaya leluhur yang dominan bukan membaca dan menulis (literacy) melainkan bercerita dan mendongeng (oralty). Ironisnya lagi, kini bangsa ini justru langsung meloncat ke kebisaan menonton TV. Pada tahun 2006 BPS mencatat bahwa penduduk yang membaca untuk mendapatkan informasi terkini hanya 23,5 %. Sedangkan, jumlah yang menonton televisi mencapai 85,9 persen.

Solusi

Menurut hemat penulis, perlu ada pembenahan alokasi dana. Misalnya soal kebiasaan rokok. Bila per hari menghabiskan minimal 1 bungkus. Berapa total biaya yang dikeluarkanse tiap bulannya? Bandingkan dengan alokasi anggaran untuk membeli buku atau berlangganan koran. Jauh sekali bedanya, padahal begitu besar manfaat buku dan surat kabar bagi masa depan generasi penerus bangsa.

Dalam konteks ini perpustakaan menjadi altenatif agar masyarakat tetap bisa membaca secara murah. Sebab perpustakaan menyediakan koleksi buku dan media lain dalam jumlah besar. Sehingga bisa dimanfaatkan oleh wong cilik yang memiliki daya beli relaif rendah. Memang salah satu tujuan pendirian perpustakaan ialah untuk memfasilitasi masyarakat bawah agar dapat mendidik dirinya sendiri, meningkatkan taraf hidup dan menggunakan waktu senggang dengan baik.

Mari menjadikan perpustakaan sebagai rumah kedua. Ajakan tersebut digagas oleh Prof. Dr. Frans Susilo, SJ. Istilah "rumah" di sini menyiratkan unsur kenyamanan. Kepala Perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta itu mendorong segenap civitas akademika untuk memanfaatkan perpustakaan secara optimal.

Alfons Taryadi mencatat dalam ”Buku dalam Indonesia Baru” terdapat: 1 perpustakaan nasional di Indonesia, 117.000 perpustakaan sekolah/universitas, dan 798 perpustakaan khusus. Sedangkan, perpustakaan yang disediakan untuk masyarakat umum hanya ada 2.583. Tapi sebelum menganjurkan masyarakat untuk sering berkunjung ke perpustakaan, kaum akademisi musti terlebih memberi teladan. Bukankah bahan acuan sekolah/kuliah dan informasi mutakhir tersedia melimpah di perpustakaan? Berupa koleksi book material seperti buku, kamus, ensiklopedia, majalah, koran, jurnal, dll serta koleksi non-book material seperti kaset, film, CD, slides, peta, globe, dll.

Kemampuan inteligensia sangat tergantung pada proses pembelajaran. Aktifitas membaca menjadi salah satu cara belajar yang mandiri dan efektif. Pengertian ”membaca” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ialah melihat serta memahami isi dari apa yang tertulis. Selain itu, membaca juga niscaya mengembangkan daya imajinasi, kreatifitas, serta membuka cakrawala pandang.

Lebih lanjut, Suwondo Atmodjahnawi memaparkan fungsi perpustakaan. Ternyata selain sebagai sarana pembelajaran (education), perpustakaan juga merupakan sebagai wahana rekreasi (recreation). Perpustakaan ialah gudang ilmu dan laboratorium penelitian (science and research). Terakhir tapi penting, perpustakaan menjadi sumber informasi dan dokumentasi (information and documentation)

Di lapangan upaya meningkatkan minat baca kini sudah banyak dilakukan. Misalnya pembuatan majalah dinding di sekolah/universitas, penerbitan buletin di komunitas seni dan budaya, pemasangan papan koran di desa-desa terpencil, dan pembangunan Taman Bacaan Masyarakat (TBM). Sehingga penduduk setempat bisa membaca secara beramai-ramai secara bergiliran. Satu buku/surat kabar bisa dinikmati bersama. Begitupula di warung burjo (bubur kacang ijo), mereka pun berlangganan koran sehingga para pelanggan bisa membaca informasi terkini sembari menikmati hidangan.

Segenap civitas akademika bertangungjawab untuk mempromosikan manfaat membaca kepada khalayak ramai. Sebab kita memiliki fasilitas dan akses informasi yang lebih memadai. Caranya dengan berbagi pemahaman dan pengalaman lewat tulisan di media massa. Misalnya menulis opini publik ihwal minat baca, meresensi buku-buku terbaru, dll.

Ada serangkaian penelitian menarik di Prancis. Para budak belian asal Alzajair diajari ketrampilan membaca. Lantas wajah mereka difoto. Ternyata mereka nampak lebih rupawan seiring proses pembelajaran. Kesimpulannya, ada korelasi erat antara ilmu dan keindahan paras seseorang.

September 06, 2010

Menafikan Segala Klasifikasi

Dimuat di RIMA NEWS

Subjek kita malam ini adalah Cinta, dan untuk besok malam pun sama. Sesungguhnya, aku tak mengenal subjek lain yang lebih baik untuk didiskusikan.” (Hafiz, Mistik Sufi)

Walau tergolek sakit dan terjerat dugaan kasus pelecehan seksual, Anand Krishna tetap menulis buku. ”The Ultimate Learning, Pembelajaran untuk Berkesadaran” ialah karya terkini aktivis spiritual kelahiran Surakarta tersebut. Senada dengan pendapat Pepih Nugraha,

”...menulis saat bahagia itu biasa, baru luar biasa jika bisa menulis dalam keadaan berduka, tertekan atau bahkan terluka. Biasakan menulis sekalipun dalam suasana hati yang ekstrem, dalam lara maupun suka. Bukankah susah dan senang hanyalah permainan rasa belaka...”

Buku ini memuat ulasan Shiksha Shatakam. Kitab tersebut ditulis oleh Shri Chaitanya Mahaprabu (1486 – 1534). Shiksha berarti learning alias proses pembelajaran. Sedangkan Shatakam sinonim dengan ayat. Lewat ke-8 butir The Ulimate Learning (Pelajaran Tertinggi) Chaitanya mengundang kita untuk belajar dan menyanyi bersama. Tujuannya ialah menemukan kesadaran dan kasih di dalam diri.

Istilah yang dipakai dalam buku ini terasa akrab. Sebab mengunakan kata panembah dan Gusti Pangeran, ”...Kiblat seorang penembah, fokusnya, seluruhnya tetaplah pada Gusti Pangeran. Ia tidak berpindah fokus. Segala sesuatu yang lain menjadi penting karena merupakan titipan Pangeran. Berarti: Aku tidak mencintai pasanganku karena dia adalah milikku, tapi karena dia dititipkan kepadaku. Aku melayani keluarga, kantor, bahkan dunia ini, bukan karena aku merasa memiliki semuanya, tetapi karena Pangeran adalah pemilik tunggal semuanya, dan aku mencintai Pangeran…” (hal 133). Pemilihan analoginya juga menarik. Ibarat berada di dalam pesawat terbang. Kita tidak bisa mengukur berapa tinggi gedung pencakar langit dan betapa reyotnya gubuk si miskin. Dualitas hanya tampak tatkala kita berada di bumi. Langit menafikan segala klasifikasi.

Lebih lanjut, menurut Anand secara garis besar ada 2 jalan menuju Pencerahan Diri. Yakni dengan cara Meditasi dan Bhakti. Yang satu mengandalkan logika dan lainnya mengolah rasa. Eks pengusaha garmen tersebut berpendapat bahwa kedua jalan di muka valid adanya. Silakan mengasah otak hingga menyadari ketidakmampuan kita untuk menguak segala misteri Alam Semesta. Monggo menyanyi, menari, dan berpuisi untuk melembutkan jiwa. Jalanmu bagimu – jalanku bagiku. Toh pada akhirnya kita pasti bertemu dalam sikap pasrah pada Ia nan Esa (pasrah sumarah dening Gusti Pangeran).

Uniknya, Anand tidak hanya memaparkan ihwal peziarahan jiwa dari ”aku” menuju ”Sang Aku”. Ia juga membahas isu perubahan iklim. Dulu dibutuhkan lebih dari 40.000 – 50.000 tahun untuk peralihan dari zaman es yang satu ke zaman es berikutnya. Tapi kini hanya dalam rentang waktu 14.000-15.000 tahun bumi dapat mengulangi fenomena tersebut. Bahkan kerusakan akibat eksploitasi alam dalam 200 tahun terakhir terasa begitu nyata. Belakangan pada mangsa ketiga (musim kemarau) seperti sekarang hujan masih saja deras mengguyur. Ini bukan lagi perubahan iklim (climate change) tapi merupakan penyimpangan iklim (climate deviation).

Akhir kata, buku ini tergolong bacaan rohani. Kendati demikian bahasanya ngepop sehingga mudah dipahami oleh khalayak ramai. Referensi berharga bagi sidang pembaca untuk meniti ke dalam diri. Sejenak merenung dan bertafakur di tengah hiruk-pikuk zaman yang – meminjam istilah Anthony Giddens – serba tunggang langgang. Selamat membaca!

____________________________

Judul Buku: The Ultimate Learning, Pembelajaran untuk Berkesadaran
Penulis: Anand Krishna

Peresensi: T. Nugroho Angkasa S.Pd, (Guru Bahasa Inggris SMP Fransiskus Bandar Lampung)
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: Agustus, 2010
Tebal: iii + 182 halaman

Agustus 25, 2010

Kreatif Mendidik Anak

Dimuat di Pontianak Pos, Sabtu/15 Januari 2011

Judul Buku: The Leader in Me, Kisah Sukses Sekolah dan Pendidik Menggali Potensi Terbesar Setiap Anak

Penulis: Stephen R. Covey
Alih Bahasa: Fairano Ilyas
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: 1, 2009
Tebal: xxxi +294 halaman

Dimuat di Pontianak Post, Sabtu/15 Januari 2011

"Makhluk liar yang saya kenal dua minggu lalu telah berubah menjadi anak lembut. Ia duduk di samping saya saat saya menulis jurnal ini, wajahnya tenang dan bahagia…Kini menjadi tugas menyenangkan sayalah untuk mengarahkan dan membentuk kecerdasannya yang indah yang mulai menggugah jiwanya.” (Anne Sullivan Macy, Gurunya Hellen Keller, hlm 241)

Stephen R. Covey terkenal karena buku bestseller “The 7 Habits of Highly Effective People.” Bahkan majalah Times mengukuhkan Covey sebagai salah satu tokoh terbesar Amerika. Dalam buku “The Leader in Me” Covey mengisahkan ihwal proses pembelajaran di sekolah dasar A.B. Combs. SD tersebut terletak di North Carolina USA.

Dibandingkan SD lain di kota tersebut A.B Combs tergolong sekolah yang relatif sederhana. Kendati demikian A.B. Combs tetap menjadi SD favorit. Para orang tua berlomba untuk menyekolahkan anak-anak mereka di sana. Situasi ini berbanding terbalik dengan yang terjadi di Indonesia. Sebab di sini biasanya orang tua lebih memilih menyekolahkan anak-anaknya di sekolah yang memiliki fasilitas belajar relatif mewah.

Covey memaparkan bahwa keunggulan A.B. Combs tidak terletak pada kelengkapan fasilitas, tapi pada proses pembelajarannya. Para guru di A.B. Combs memfokuskan pada pengembangan karakter anak didik (character building). Selain itu, mereka juga mengajarkan ketrampilan (skill) seputar membuat pilihan yang tepat, bergaul secara empatik, dan pengelolaan waktu (time management).

A.B. Combs merancang pembelajaran semacam itu karena melihat kondisi global abad 21 yang identik dengan perubahan cepat. Sehingga niscaya dibutuhkan manusia yang memiliki karakter unggul dan kemampuan pemecahan masalah (problem solving). Misalnya pada bagian ke-10 berjudul, “Membawanya Pulang,” Hardin Engelhardt, orang tua salah satu murid menulis e-mail, “…hari ini ialah hari kedua putri saya bersekolah di Combs. Ia duduk di kelas tiga. Ketika kami tiba di rumah, ia dan saudaranya mulai bertengkar. Setelah kurang dari sepuluh detik putri saya berkata, “Saya tak mau bertengkar denganmu. Saya ingin proaktif, tidak reaktif. Kita dapat mencari solusi sama-sama menang. “ Kami sangat bahagia berada di Combs dan menjadi bagian dari sebuah program yang menakjubkan yang telah Anda dirikan di sana. Terima kasih!.”

Keistimewaan lain dari buku ini ialah pemuatan foto-foto kegiatan para murid di A.B Combs. Misalnya foto Walter Vozzo yang tengah berpidato di depan 140 pengunjung dewasa (halaman 101). Memang menurut para pengunjung di sana, yang mencolok dari karakter siswa ialah kepercayaan diri, khususnya tatkala mereka berdiri dan berpidato di hadapan hadirin dewasa.

Buku ini bisa menjadi sarana refleksi bagi para orang tua murid dan segenap civitas akademika dari level play groups, PAUD, SD bahkan sampai tingkat Perguruan Tinggi. Menyitir Covey, “…orang muda masa kini mungkin tidak siap memimpin korporat multinasional saat mereka baru tamat kuliah, tapi mereka sedikitnya mampu membuat keputusan kehidupan dasar secara efektif, merasa diri bernilai, berjalan dengan rasa percaya diri, dan bermimpi.” Selamat membaca!

Agustus 12, 2010

Meneladan Karakter Mulia


Judul buku: Character is Destiny, Karakter-karakter yang Menggugah Dunia
Penulis: John McCain dan Mark Salter
Penerjemah: T. Harmaya
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: 1, Februari 2009
Tebal: xix + 435 halaman

Salah seorang penulis buku ini, John McCain ialah Senator Amerika Serikat yang menjadi pesaing tangguh Barack Obama dalam Pilpres USA tahun lalu. Selain berkecimpung pada ranah politik, ternyata Purnawirawan Angkatan Laut (AL) tersebut juga piawai menulis. Tandemnya dalam merampungkan buku setebal 435 halaman ialah Mark Salter, pengarang buku-buku laris: Why Courage Matter (Pentingnya Keberanian), Faith of My Father (Keyakinan Ayah Saya), dan Worth the Fighting For (Nilai sebuah Perjuangan).

Buku ini memuat 34 kisah tokoh besar kaliber dunia. Secara struktural terbagi atas 7 bab. Masing-masing bagian mengupas sebuah nilai keutamaan. Misalnya pada bab 3: Kekuatan (hlm. 121-185), kualitas tersebut tercermin dalam diri seorang tokoh, antara lain keberanian (Edith Cavell), pengendalian diri (George Washington), kepercayaan diri (Elizabeth 1), fleksibilitas/kelenturan (Abraham Lincoln), kerja keras (Eric Hoffer) dan keyakinan/penuh harapan (John Winthrop).

Silakan membuka buku ini secara acak, niscaya Anda tetap menemukan pelajaran hidup yang berharga. Bukan berupa serangkaian kotbah langitan, tapi pengalaman hidup yang begitu membumi. Tiap lembarnya mengungkap secara jujur dan luwes lika-liku perjalanan para tokoh jempolan. Lengkap dengan suka-duka yang mengiringi sepanjang perlintasan sejarah hidupnya.

Misal kisah dramatis Mark Twain (hlm. 307-324). Seorang penulis yang bernama asli Samuel Langhorne Clemens. Saat itu belum ada komputer ataupun laptop yang terhubung dengan akses internet nirkabel. Tapi pemuda berbakat tersebut tak sudi menyerah pada nasib, ia begitu tekun bekerja di lantai bawah tanah, gelap dan tanpa perabot mewah untuk menciptakan sebuah masterpiece alias karya sastra terbesar pada abad ke-19. Novel pertamanya berjudul The Adventure of Huckeberry Finn (1984).

Yang tak kalah menarik ialah kisah perjuangan tanpa kekerasan (non-violence) seorang wanita "reinkarnasi" Mahatma Gandhi asal Burma bernama Aung San Suu Kyi. Dahulu ia merupakan istri Michael Aris, seorang pengajar terkemuka di Oxford University. Tapi Ibu 2 anak tersebut memilih kembali ke tanah airnya untuk membebaskan rakyat Myanmar dari cengkraman Junta Militer pimpinan Jenderal Ne Win. Pada tahun 1999 Sang suami meninggal dunia akibat kanker, Suu Kyi berduka seorang diri di tahanan rumahnya, karena tak diijinkan melangkahkan kaki ke luar rumah, apalagi ke luar negri.

John McCain pernah mengunjungi “sangkar emas” yang dibuat oleh rezim penindas untuk membatasi ruang gerak Sang Srikandi. Berikut ini petikan wawancarannya, “Bagaimana Anda menghadapi mereka?” tanya McCain. Sebagai gambaran kontekstual Myanmar, kebrutalan dan kekerasan merajarela, sekelompok Jendral menyandera seluruh hajat hidup rakyat demi kepentingan egoistik mereka. Peraih Nobel Perdamaian (1991) itu menjawab sembari menuangkan secangkir teh, “Ya, sama seperti saya bicara dengan Anda, dengan beradab. Saya menyebut mereka dengan panggilan “Paman”.” (hlm. 327, Kesantunan)

Ada juga kisah keberhasilan seorang atlet bernama Wilma Rudolph. Ia ialah juara lari estafet 400 m pada Olimpiade tahun 1960. Padahal saat kecil ia mengidap polio. Tungkai kaki kirinya memuntir ke satu sisi. Bahkan para dokter mengatakan bahwa ia tidak akan bisa berjalan lagi. Tapi semangatnya tak pernah pudar, apalagi ia didukung oleh keluarga, terutama Sang Ibu. Setiap Sabtu, mereka pergi 2 jam bolak-balik ke Sekolah Kedokteran di Nashville untuk terapi panas dan pijat. Perlahan tapi pasti kondisinya kian membaik.

Wilma memberikan 4 tips agar menjadi unggul dalam sebuah cabang olahraga ataupun bidang kehidupan lainnya, yakni ketrampilan, fokus, tekad pantang menyerah, dan cinta (hlm. 405). Ada satu kebiasaan unik darinya, ketika para pelari melakukan peregangan otot di lapangan pada menit-menit akhir menjelang pertandingan, Wilma justru tiduran di ruang ganti. Sebab, ia telah mempersiapkan segalanya sebelumnya jauh-hauh hari. Sehingga ia relatif lebih tenang dan percaya diri; sesaat setelah rekan setimnya membangunkannnya, ia siap bertanding dan menjadi juara.

Ibarat menemukan oase di padang gersang, membaca buku ini niscaya menjadi sebuah pengalaman menyegarkan. Kita bisa belajar dari pengalaman orang lain. Terutama dari karakter-karakter mulia yang telah mengubah alur sejarah. Kelemahan buku ini kiranya ialah mayoritas tokoh berasal dari luar negeri, sehingga kita merasa sedikit kurang akrab. Alangkah indahnya bila suatu saat, ada seorang penulis lokal yang mengggali kehidupan para tokoh nasional kita yang tersebar dari Sabang sampai Merauke dan meramunya dalam sebuah buku seperti ini. Selamat membaca!

Sumber: http://www.gramedia.com/wacana.asp?id=100104100000

Agustus 10, 2010

Membaca Kisah Oeroeg

Dimuat di Pontianak Post, Sabtu/22 Januari 2011

Judul: Oeroeg
Penulis: Hella S. Haasse
Alih Bahasa: Indira Ismail
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: 1, Oktober 2009
Tebal: 144 halaman

”....lebih tinggi atau lebih rendah karena warna kulit wajahmu atau karena siapa ayahmu – itu omong kosong. Oeoroeg kawanmu, kan? Kalau memang ia kawanmu – bagaimana bisa ia lebih rendah dibanding kau atau yang lain?” (Halaman 64)

Begitulah cara Hella S. Haasse menyampaikan ide besar egalitarian lewat roman ini. Hella dilahirkan di Batavia (Jakarta) pada 2 Februari 1918. Ia seorang penulis kondang, para penggemar memberinya gelar Grand Old Lady of Dutch Literature (Sastrawati Senior Hebat Belanda). Bahkan pada tahun 2007 Penerbit Querido mendedikasikan museum khusus. Di dalamnya tersimpan arsip buku, riwayat hidup, dan sederet penghargaan sastra (http://nl.wikipedia.org/wiki/Hella_S._Haasse).

Buah karyanya berupa novel sejarah, esai, otobiografi, dan cerita pendek. "Oeroeg" berlatar belakang Hindia-Belanda (Indonesia). Tepatnya di perkebunan teh di daerah Sukabumi. Roman yang ditulis pada tahun 1948 ini melukiskan lika-liku persahabatan seorang sinyo Belanda dengan anak pribumi asli.

Usia mereka hanya terpaut beberapa minggu. Ibunda tokoh ”Aku” dan Sidris (Ibunya Oeroeg) begitu kompak, "...mereka duduk di serambi belakang sambil menjahit dan berbincang akrab tentang pengalaman, ketakutan, dan keinginan... Meskipun mereka memandang dunia ini dengan cara masing-masing, serta tak lancar berbincang dalam bahasa satu sama lain, keajaiban yang sama menggelembung di balik rok ibuku dan sarung Sidris, di rahim keduanya." (Halaman 7). Rok dan sarung menjadi simbol perbedaan 2 budaya (Eropa dan Nusantara). Kendati demikian, itu tak menjadi penghalang bagi interaksi para calon Ibu tersebut.

Tokoh ”Aku” acap kali mengkritisi perlakuan diskrminatif terhadap Oereog. Misal, saat mereka menginjak usia sekolah, si ”Aku” belajar secara private dari Mijnheer Bollineger, seorang guru bahasa Belanda. Sedangkan Oeroeg bernasib malang, ia hanya boleh menyimak dari kejauhan.

Untungnya, Oeroeg bisa bersekolah sampai tingkat MULO (setara dengan SMP). Ia dibiayai oleh Administrateur. Sebagai balas budi terhadap jasa almarhum ayahnya. Deppoh menyelamatkan tokoh ”Aku” saat hampir tenggelam di Telaga Hideung.

Setamat dari MULO Oeroeg melanjutkan studi ke Nederlands Indische Artsenschool di Surabaya. Lida (walinya yang berkebangsaan Belanda) mendampingi hingga (kelak) ia menjadi seorang dokter.

Ibarat kacang lupa kulitnya, lenyap pula segala sifat Oeroeg yang mencerminkan jati dirinya sebagai anak desa. Ia lebih suka berbahasa Belanda, selera berpakainnya pun menjadi ”kebarat-baratan.” Peci tak lagi menghiasi kepala, rambutnya dibiarkan menebal dan klimis berminyak. Bahkan ia tak mau lagi mengunjungi keluarganya di Sukabumi. Oeroeg melakukan segala cara untuk menjadi Indo Eropa. Begitu besar obsesinya menjadi wong liyan (the others).

Persahabatan ”Aku” dan Oeroeg mulai retak tatkala Abdulah hadir di tengah mereka. Pria keturunan Arab tersebut menyadarkan Oereog akan kesewenang-wenangan sikap Belanda terhadap rakyat pribumi. Misal, saat menonton film layar tancap, kenapa kaum inlander musti duduk di balik layar? Sehingga semua tulisan terjemahan terpaksa dibaca secara terbalik.

Perjalanan hidup ”Oeroeg” ibarat pendulum/bandul. Ia bergerak dari satu ekstrim ke kutub lain. Hingga akhirnya mencapai titik keseimbangan. Roman ini memakai sudut pandang orang pertama tokoh ”Aku”. Alur ceritanya mengalir lembut, pilihan bahasanya juga pas, dan bagian penutup (ending)nya mengejutkan. Selamat membaca!

Sumber: http://hiburan.kompasiana.com/group/buku/2010/08/12/bandul-kehidupan-oeroeg/