Mei 20, 2008

Memaknai Kembali Nasionalisme

Dimuat di Rubrik Surat Pembaca, KONTAN, Rabu, 21 Mei 2008

Kamus Besar bahasa Indonesia (W.J.S Poerwadarminta, Balai Pustaka, 1976) mencatat seorang nasionalis sebagai manusia yang mencintai nusa dan bangsanya. Sedangkan menurut kamus tesaurus (Eko Endarmoko, Gramedia Pustaka Utama, 2006) nasionalisme sinonim dengan semangat kebangsaan.

Memang kalau kebablasan patriotisme bisa menjelma menjadi Chauvinisme atau kecenderungan mengagung-agungkan bangsa sendiri dan melulu melihat keburukan bangsa lain.

Ironisnya, api Nasionalisme yang pernah membara di dada para founding fathers kini tinggal abunya saja. Bangsa ini mulai tersekat-sekat oleh sentimen SARA. Pemberlakukan perda syariat Islam di pelbagai daerah, perda kota Injil di Manokwari, perda bernuansa Hindu di Bali, dst jelas berpotensi menyebabkan disintegrasi bangsa.

Ronggowarsito pernah memprediksi Jawa bisa terpecah menjadi 5 daerah karena bencana alam. Redefinisi Jangka (ramalan) tersebut dalam konteks sekarang ialah Jawa identik dengan Indonesia, sedangkan bencana alam mencakup pula pageblug sosial berupa pelanggaran Konstitusi dan pengkhinatan terhadap landasan bernegara kita: Pancasila!.

Menurut hemat penulis, momentum perayaan seabad kebangkitan nasional ialah saat tepat guna menyulut kembali obor Cinta bagi Ibu Pertiwi. Kita pernah memiliki sejarah soal keberagaman. Di Majapahit, saat itu Patihnya beragama Buddha, Rajanya beragama Hindu. Salah satu Raja Sriwijaya bernama Haji Sumatrani, dia seorang Muslim. Padahal saat itu masyarakatnya lebih banyak Hindu dan Buddha.

Mei 06, 2008

AKSI BUDAYA dan AKSI DAMAI

Bhinneka Tunggal Ika, Mari Wujudkan Nyata!

Tiga bulan silam MUI memfatwa Ahmadiyah sesat dan musti dibubarkan. Selain itu, institusi Kejaksaan, dalam hal ini Bakor Pakem,- masih menunda keputusan soal Ahmadiyah. Yakni dengan memberikan waktu 3 bulan bagi Ahmadiyah untuk menunjukkan Ahmadiyah tidak seperti yang difatwakan MUI. Medio April lalu tenggang waktu tersebut habis. Lalu Bakor Pakem merekomendasikan pembubaran Ahmadiyah. Padahal Presiden SBY belum memutuskan soal keberadaan Ahmadiyah. Putusan Bakor Pakem menyalahi Konstitusi Negara atas desakan segelintir kelompok kepada bangsa Indonesia yang Bhinneka.

Aji Damai (Aliansi Jogja untuk Indonesia Damai) mempertimbangkan dua hal: Pertama, Ahmadiyah eksis jauh sebelum Republik Indonesia diproklamasikan. Ahmadiyah merupakan salah satu kelompok yang ikut melahirkan RI; pencipta lagu kebangsaan “Indonesia Raya” - WR Supratman - ialah warga Ahmadiyah. Kelompok ini tidak pernah memakai cara-cara kekerasan guna menyelesaikan polemik meski dihujat di mana-mana; Ahmadiyah juga memiliki pengikut yang tidak sedikit, tercatat lebih dari 2 juta orang; selain itu Ahmadiyah ialah putra-putri Ibu Pertiwi yang santun gerakannya. Kedua, UUD 45 pasal 29 menjamin hak hidup setiap agama dan kepercayaan di Indonesia. UUD 45 pasal 28 E memberikan kebebasan warga negara untuk memeluk agama, beribadat sesuai agamanya masing-masing dan tidak boleh ada diskriminasi. UU HAM No. 39/1999/ pasal 4 menyebutkan setiap orang dan kelompok memiliki hak hidup, kemudian pasal 22 (ayat 2) menyatakan setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan negara wajib menjamin kemerdekaan setiap orang untuk beragama dan berkeyakinan.

Dengan dua pertimbangan di atas, AJI Damai menyatakan:

  1. Mendukung pemerintah (Presiden SBY) untuk menyelesaikan kasus Ahmadiyah berdasarkan Konstitusi Negara dan UU HAM, bahwasanya setiap warga negara dan kelompok di negeri ini musti dijamin hak hidup serta kebebasannya dalam beragama dan berkeyakinan.
  2. Mendukung kepada segenap elemen bangsa segera mendesak institusi negara seperti Kejaksaan lewat Bakor Pakemnya agar taat pada UUD 45 dan UU HAM sebagai cetusan dari semangat reformasi yang diperjuangkan bangsa Indonesia sejak Mei 1998 dan dunia Internasional.
  3. Mendesak kepada institusi Kejaksaan untuk segera mereformasi diri sesuai dengan amanat Rakyat. Yakni dengan menghargai Konstitusi dan UU HAM. Artinya tidak menghukum sebuah kelompok tanpa melalui proses peradilan karena Indonesia adalah negara hukum.
  4. Menolak dikeluarkannya SKB 3 Mentri karena tidak punya kekuatan hukum, kecuali berkait kebijakan internal di 3 kementerian tersebut.
  5. Menolak kekerasan dan pemaksaan dengan alasan apapun, termasuk dengan dalih agama.
  6. Menyerukan kepada Aparat Keamanan agar menindak tegas para pelaku kekerasan yang mengatasnamakan agama, seperti kasus pembakaran masjid di Mataram, Sukabumi, Tasikmalaya; dan menindak pelaku ancaman pembunuhan yang dimunculkan orang-orang tertentu, agar Indonesia menjadi damai.
  7. Mendukung Sri Sultan Hamengku Buwono X untuk menciptakan kedamaian bagi masyarakat Yogyakarta pada khususnya dan Republik Indonesia pada umumnya.

Seruan ini kami suarakan untuk mengingatkan segenap elemen bangsa bahwasanya Indonesia berlandaskan Pancasila, Konstitusi UUD 45 dan UU HAM serta ditopang oleh banyak kelompok yang majemuk. Akhirulkalam negara yang bernama Republik Indonesia ini tidak boleh didasarkan pada aturan agama tertentu. Bhinneka Tunggal Ika Mari Wujudkan Nyata!

Yang mendukung Aji Damai: Jaringan Islam Kampus (JARIK), Rumpun Nusantara, National Integration Movement (NIM) Jogja-Solo-Semarang, Forum Pengajar-Dokter-Psikolog Bagi Ibu Pertiwi (ForADokSi-BIP) Jogja-Solo-Semarang, DIAN/Interfidei, Jembatan Persahabatan (JP), Suluh Perdamaian (SP), Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB), Pusham UII, Pusat Studi Islam (PSI) UII, Cemara Institute, SOS Desa Taruna, SKTV, WKRI, Ponpes Guna Mrica, Kevikepan DIY, RTND, YPR, PLIP Mitra Wacana, IDEA Jogja, PMII Cab. Sleman, SP Kinasih, Jaringan Muda Nasionalis, Forum Nom-noman 0 Kilometer, GMKI, Merti Jogja, SYARIKAT Indonesia, LKiS, Sema-F Ushuluddin, BEM-F Dakwah, KBMU UIN Suka, Gerakan Gender Transformatif (Gerget), Komunitas Warna Kampus UGM, PMII Komisariat UIN, Front Aksi Mahasiswa Jogja, Komunitas Lintas Hening, Persekutuan Gereja se-Indonesia, PMKRI, Forum LSM DIY, Lingkar Muda Nahdlatul Ulama (LMNU), Ponpes Nurul Ummahat Kotagede, Simpul Iman Community (SIM-C) USD-UIN-UKDW.

Malioboro Yogyakarta, 6 Mei 2008

Mei 01, 2008

Akulah Spiderman! hahahahaha

Dalam film Spiderman 2 Peter Parker menolak dirinya untuk menjadi Spiderman lagi. Ia ingin menjadi orang biasa, ia ingin menikah, ia ingin bekerja, ia ingin punya anak, dst ia tak lagi peduli pada segala kejahatan di sekitarnya. Singkat kata, ia menolak tanggungjawab untuk menyelamatkan kemanusiaan, menegakkan keadilan dan kebebasan. Oleh sebab itu ia mulai kehilangan kekuatannya sebagai Spiderman.

Sampai pada satu ketika, di sebuah gedung terbakar, Peter Parker - yang notabene telah menjadi orang biasa - berjuang menyelamatkan seorang bocah Cina dari lalapan api. Ia berani mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan orang lain, meski dengan kekuatan orang biasa. Itulah artinya Satria, Pahlawan!

Menyadari hal ini Peter Parker sadar akan tugas dan tanggungjawab dirinya sebagai orang yang telah dianugerahi kekuatan untuk melayani sesama. Dan setelah itu kekuatan Spidermannya kembali. Akulah Spiderman! hahahaha

Refleksi:
Kekuatan manusia tidak ditentukan semata dari tindakannya, tapi lebih pada keputusan yang dipilih untuk dilaksanakan (niat). Kalau kita memilih berjuang demi kejayaan diri sendiri, maka Keberadaan akan memberi kekuatan sebatas untuk kejayaan kita sendiri, tak lebih.

Kemudian kalau kita memutuskan berjuang demi kejayaan Indonesia, maka kekuatan kita juga akan semakin besar. Dan kalau kita memutuskan untuk berjuang demi terwujudnya Kejayaan umat manusia di bumi, maka kekuatan kita juga akan bertambah besar lagi.

Kalau kita memutuskan untuk berjuang demi seluruh makhluk hidup di Bumi, maka kekuatan kita akan bertambah besar lagi. Dan kalau kita memutuskan untuk berjuang demi Keberadaan itu sendiri, maka kita akan menyatu dengan Hyang Maha Kuat! dengan Sang Keberadaan itu sendiri!

Inilah takdir kita, takdir setiap manusia! kita tak bisa menolaknya, kita hanya bisa menundanya. Kalau kita memutuskan untuk menjadi cacing, maka kita akan menjadi cacing tapi kalau kita memutuskan untuk menjadi Naga, maka Keberadaan niscaya akan mewujudkannya!