Maret 24, 2014

Mengenang Almarhum Jojon

Dimuat di Surat Pembaca, Suara Merdeka, Senin/24 Maret 2014

Sejak awal kiprahnya di dunia hiburan pada 1970-an bersama grup Jayakarta, Djuhri Masdjan alias Jojon sukses membuat penonton tertawa terpingkal-pingkal. Namun, pada Kamis (6/3/2014) pukul 06.10, pria kelahiran Karawang, 5 Juni 1947 tersebut menutup mata untuk selamanya di Rumah Sakit Premier Jatinegara, Jakarta Timur. Bumi Nusantara kehilangan salah satu komedian terbaiknya.

Sejak lama, Jojon memang telah mengidap gangguan pernafasan dan jantung. Setiap kali pentas atau datang ke lokasi shooting Jojon selalu membawa obat asma dan suplemen. Kini tiada lagi penampilan kocaknya lengkap dengan kumis ala Charlie Chaplin dan celana pendek yang melebihi perut.

Menurut Henny Mariana, Jojon merupakan sosok suami dan ayah yang baik. Beliau sangat penyabar. ''Suatu hari saat akan shooting, saya lupa membawakan salah satu properti. Saat itu beliau sebenarnya berhak untuk marah, tapi ternyata almarhum menanggapi dengan biasa saja,'' kenang sang istri dengan mata berkaca- kaca saat wawancara di sebuah televisi swasta.

Selain itu, Jojon juga seorang artis yang profesional. Selama hampir 45 tahun terjun di dunia hiburan tanah air, dia tak pernah sekali pun datang terlambat. Ade Gingsul, salah satu murid dan fans berat Jojon, menganggap ayah 7 anak tersebut sebagai pahlawan komedian. Karena Jojon tidak pelit ilmu. Almarhum selalu bersedia membagikan ilmu kepada para pelawak muda yang sedang meniti karir.

Menurut Jojon, ada tiga kunci menjadi komedian jempolan. Yakni, kemampuan dialog, akting, dan ekpresi. Tolok ukur seorang pelawak yang andal ialah kalau tanpa berkata apa pun, cukup dengan memasang mimik wajah tertentu, penonton bisa tertawa terbahak-bahak.

Secara lebih mendalam, ada filosofi di balik aksi lawak Jojon. Menurutnya, saat diwawancarai Deddy Corbuzier, dia memilih menjadi pelawak karena bisa membuat orang lain tertawa. Kalau orang tertawa berarti mereka merasa bahagia. Mereka bisa sesaat melepaskan ketegangan dan melupakan masalah-masalah dalam keseharian hidupnya. ''Nah kalau orang lain bahagia, saya juga akan ketularan bahagia,'' ujarnya.

Dalam tradisi kejawen ada petuah ''empan papan''. Artinya, seseorang harus bisa bersikap sesuai situasi dan tempat. Jojon pun bisa menempatkan diri sesuai konteks. Menurut Cahyono, salah satu rekannya di Jayakarta grup, Jojon kalau sedang berada di luar panggung berbeda 180 derajat. Sikapnya sangat kebapakan dan cenderung serius. Salah satu cita-cita yang belum terwujud ialah hendak membuat film komedi sendiri. Mirip seperti film ''Intan Berduri'' yang dibintangi Benyamin S.

Kabul Basuki alias Tessy juga membagikan pengalamannya selama bekerja bersama almarhum Jojon. Menurutnya, almarhum selalu penuh tanggung jawab dan semangat dalam berproses kreatif di dunia komedi.

Terakhir tapi penting, Jojon juga seorang sahabat yang solider. Saat ditanya memilih Warkop atau Srimulat, dia tak mau memilih. Sebab semuanya teman, sama-sama rekan pelawak. Selamat jalan H Jojon, karya-karyamu akan selalu abadi di hati kami. Terima kasih telah membuat Indonesia tertawa.

Sumber Foto: http://blogerbugis.blogspot.com/2014/03/selamat-jalan-pak-pojon-semoga-diberikan-keselamatan.html
Sumber Foto: http://blogerbugis.blogspot.com/2014/03/selamat-jalan-pak-pojon-semoga-diberikan-keselamatan.html

Maret 21, 2014

Blusukan dalam Ranah Pendidikan

Dimuat di Surat Pembaca, Suara Merdeka, Sabtu/22 Maret 2014
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2014/03/22/256386/10/Blusukan-dalam-Ranah-Pendidikan

Saat masih aktif di lembaga pendidikan formal, almarhum Romo Kun tak melulu beraktivitas di dalam kelas. Para muridnya diajak berjalan-jalan ke keraton, pantai, pasar tradisional, dan lain-lain. Tujuannya untuk merasakan denyut nadi dinamika kehidupan masyarakat dan menyatu dengan lingkungan sekitar.

Begitulah penuturan Bambang dari Solo dalam acara ”Mengenang 40 Hari Meninggalnya Dr Ignatius Kuntara Wiryamartana, SJ” pada Selasa (3/9/2013). Landung Simatupang dan kawan-kawan memukau ratusan hadirin yang memadati Tembi Rumah Budaya, Bantul, Yogyakarta, lewat pembacaan petikan Kakawin Arjunawiwaha (Majalah Basis, edisi Desember 2013).

Pertanyaannya, apakah metode pembelajaran tersebut masih relevan diterapkan dalam konteks kekinian? Menurut Anggaini Sudono, aktivitas sederhana seperti blusukan ke pasar tradisional bisa mengembangkan kemampuan berbahasa (lingusitic intelligence). Selain itu, anak didik juga bisa mengetahui kebutuhan riil hidup masyarakat di akar rumput (grass root). Terakhir tapi penting, para siswa dapat mengerti proses transaksi jual-beli (Grasindo, 2010).

Terlebih bagi masyarakat yang tinggal di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), masih banyak warga memakai hari perhitung­an kalender Jawa untuk aktivitas ekonominya. Mulai dari Pon, Wage, Legi, Kliwon. Misalnya di daerah Kotagede, Yogyakarta, hari pasarannya setiap Legi, sedangkan di Pasar Godean, Sleman setiap Pon. Aneka hasil bumi dan dagangan digelar di sana. Antara lain sembako, tanaman, binatang peliharaan, aneka sandang, alat pertukangan, alat pertanian, perkakas rumah tangga, buku bekas, alat elektronik, dan lain-lain.

Para murid/mahasiswa bisa kita ajak untuk mewawancarai dan mengamati aktivitas di pasar tradisional tersebut. Mereka boleh sekreatif mungkin menyusun daftar pertanyaan bagi para penjual dan/atau pembeli, serta menuliskan laporan pandangan mata (reportase 5 W+1 H). Durasi observasinya cukup 2 x 60 menit saja. Siswa kelas menengah pertama (SMP), menengah atas (SMA) dan mahasiswa (universitas), bisa melakukannya.

Dalam konteks ini, tesis Utami Munandar (1991) menemukan signifikasinya. Menurutnya, pribadi kreatif memiliki kelancaran, fleksibilitas, pilihan yang otentik, dan kemampuan elaborasi. Selain itu, para siswa juga berlatih kemandirian sesuai situasi kini dan di sini (now and here).

Di tengah menjamurnya mal-mal dan mini market hingga ke kampung-kampung, aktivitas blusukan di pasar tradisional niscaya menumbuhkan kecintaan dan kebanggaan (pride) pada model ekonomi kerak­yatan. Ada proses tawar-menawar dan interaksi nan manusiawi di sana. Untuk sesi kelas bahasa Inggris, tentu laporan pandangan mata ditulis dalam bahasa internasional tersebut. Kendati demikian, isinya (content) tetap bernuasa lokal.

Di sisi lain, maraknya kasus-kasus korupsi di Indonesia memerlukan langkah-langkah preventif. Salah satu caranya lewat pendidikan prointegritas. Tak hanya di sekolah formal, tapi juga mulai dari lingkup keluarga dan lingkungan sosial.

Pertanyaannya, nilai-nilai keutamaan apa saja yang perlu ditanamkan sejak usia dini? Menurut Thomas Lickona, ada kualitas manusia yang objektif baik, secara personal maupun kolektif. Antara lain kebijaksanaan, keadilan, ketabahan, kontrol diri, cinta, sikap positif, kerja keras, integritas, rasa syukur, dan kerendahan hati (Early Childhood Today, 2000).

Nilai integritas misalnya, menuntut setiap manusia (termasuk pejabat publik) untuk menaati kaidah-kaidah moral, setia terhadap suara hati nurani, menepati janji (termasuk sumpah jabatan), dan mempertahankan apa yang diyakini benar serta layak diperjuangkan. Integritas juga menjadikan manusia utuh. Kenapa? Karena apa yang dikatakan sesuai dengan apa yang dipraktikkan dalam keseharian hidupnya.

Selain itu, secara lebih mendalam para koruptor yang mencuri uang rakyat dan pejabat yang tergoda menerima suap, juga alpa rasa syukur. Ibarat meminum air laut, semakin banyak tambah haus dan perut membuncit. Senada dengan pepatah kejawen ”melik nggendong lali.”

Padahal dengan senantiasa bersyukur, manusia dapat menghargai setiap anugerah tarikan dan embusan nafas dari Tuhan yang dinikmati secara cuma-cuma. Harga oksigen di apotek Rp 25 ribu/liter, harga nitrogen di apotek Rp 9.950/liter. Dalam sehari manusia menghirup 2.880 liter oksigen dan 11.376 liter nitrogen. Total biaya bernafas sehari Rp 185.191.200, 1 bulan Rp 5.555.736.000, dan setahun Rp 67.594.788.000.

Kembali ke tema awal tulisan ini, dengan blusukan ke pasar tradisional, para siswa dapat menyaksikan dengan mata kepala sendiri kesederhanaan masyarakat. Prinsip lawas ”tuna sathak bathi sanak, ana dina ana upa” masih teguh dipegang. Pengalaman wawancara di lapangan niscaya menggoreskan kesan mendalam. Alhasil, kelak jika anak didik menjadi pengampu kebijakan publik, senantiasa ingat bahwa seorang pemimpin sinonim dengan pelayan rakyat (a leader is a servant).

Maret 16, 2014

Perjuangan untuk Menolak Lupa

Dimuat di Majalah Nuntius, edisi Maret 2014
 
 
Judul: Menolak Lupa
Penulis: Faidi A Luto
Penerbit: Palapa
Cetakan: I/2013
Tebal: 152 halaman
ISBN: 978-602-7968-00-4

Menolak Lupa memuat sederet tragedi kemanusiaan yang terjadi di bumi Nusantara tercinta. Mulai dari tragedi Trisakti, penculikan penyair cadel Wiji Thukul, terbunuhnya aktivis prodem Munir, hingga kasus kekerasan di pedalaman Papua.

Penulis memaknai sederet insiden berdarah tersebut sebagai potret buram perjalanan republik. Ironisnya, praktik kekerasan terus menghantui hingga kini. Padahal penghilangan paksa jelas sebuah preseden buruk. Sebab aparat sebagai perpanjangan tangan negara diduga terlibat dalam sejumlah pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) tersebut.

Terkait insiden penembakan misalnya, masih lekat dalam ingatan kolektif kita nama Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan, Heri Hartanto, dan Hendriawan Sie. Tunas-tunas muda tersebut meregang nyawa di Universitas Trisakti pada 12 Mei 1998 silam. Mereka menghembuskan nafas terakhir pascakepala dan dadanya tertembus peluru tajam (hlm 19). Puluhan tahun penembakan brutal terhadap aksi mahasiswa itu telah berlalu. Tapi begitu banyak misteri menyelimuti. Siapa yang bertanggung jawab? Tak jelas dan dibiarkan tetap abu-abu.

Sistematika buku ini memaparkan 22 tragedi kemanusiaan. Semua perbuatan keji itu mengingatkan pada teori psikolog kondang asal Austria, Konrad Lorenz. Menurut Lorenz, kekerasan di samping rasa lapar, takut, dan nafsu seks merupakan naluri dasar manusia.

“Mereka merebut kuasa, mereka menenteng senjata, mereka menembaki rakyat, tetapi kemudian bersembunyi di balik ketiak kekuasaan.” Demikian petikan orasi Munir yang termaktub dalam buku ini. Aktivis prodem tersebut meneriakkannya tatkala berdemo di depan kantor Kejaksaan Agung. Ia mengkritisi putusan bebas terhadap para tersangka kasus Tanjung Priok.

Karena keberaniannya memperjuangkan keadilan, pria asal Malang tersebut diracun arsenik pada 7 September 2004 silam. Di atas pesawat Garuda GA-974 Munir menghembuskan nafas terakhir. Semula pria bernama lengkap Munir Said Thalib itu berpamitan kepada keluarga hendak melanjutkan kuliah pascasarjana di Belanda. Siapa sangka perjalanan tersebut justru menjadi titik akhir ziarah hidupnya.

Penulis mengungkap satu kejanggalan dalam penyelidikan kasus Munir. Kenapa proses autopsi yang dilakukan oleh Institut Forensik Belanda (NFI) begitu lama (sampai awal November 2004). Artinya, itu hampir 2 bulan pascakejadian. Bisa jadi darah dan organ tubuh Munir telah diganti dengan milik orang lain untuk menghapus jejak pelaku (halaman 38).

Intimidasi terhadap keluarga Munir juga terus terjadi. Pada 20 November 2004 silam, Suciwati menerima paket berisi kepala, ceker, dan kotoran ayam yang berbau busuk. Di dalamnya terdapat pula ancaman verbal yang tak etis terhadap istri almarhum.

Selanjutnya, buku ini juga mengungkap ihwal penyair cadel yang hingga kini belum kembali. Wiji Thukul tercatat dalam daftar aktivis penculikan selama periode 1997-1998. Ia  (di)hilang(kan) bersama Petrus Bima Anugrah, Herman Hendrawan, Suyat, Yani Afri, Sonny, Dedi Hamdun, Noval Al Katri, Isma’il, Ucok Siahaan, Hendra Hambali, Yadin Mudidin, dan Abdun Nasser.

Hingga kini keluarga mereka terus menanti kejelasan. Ironisnya, pemerintah masih terus melakukan pembiaran (omission by state). Seolah negara tidak memiliki power (kekuatan) dan political will (komitmen politik) untuk mengusut tuntas kasus tersebut.  Padahal penculikan dan penghilangan paksa merupakan crimes against humanity, yakni sebuah kejahatan yang memasung rasa kemanusiaan kita.

Berikut ini petikan puisi karya suami Sipon yang sering dibacakan oleh para aktivis prodem untuk memperjuangkan hak-hak rakyat jelata. “Apabila usul ditolak tanpa ditimbang. Suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan. Dituduh subversif dan mengganggu keamanan. Maka hanya ada satu kata: Lawan!!!” (halaman 62).

Tiada gading yang tak retak, begitupula buku setebal 152 halaman ini. Sumber yang dipakai oleh penulis mayoritas rujukan sekunder. Yakni berupa liputan berita, siaran pers, majalah, dan opini para akademisi. Alangkah lebih baik jika penulis juga turun ke bawah dan melengkapinya dengan wawancara dengan pihak keluarga dan rekan-rekan seperjuangan korban.

Terlepas dari kelemahan minor tersebut, buku ini layak mendapatkan apresiasi. Sebab secara gamblang menunjukkan keberpihakan terhadap korban ketidakadilan sistemik. Untuk menuliskan dan menerbitkannya tentu butuh keberanian. Menyitir pendapat Albert Einstein (1879-1955), Kejahatan terus terjadi karena orang-orang baik memilih untuk diam dan tidak melakukan apa-apa.”

Maret 10, 2014

Manuk Pulang Kandang: Reuni Akbar Kolese De Britto

Dimuat di Majalah Educare, edisi Februari 2014

Keluarga besar alumni SMA Kolese de Britto menggelar reuni Manuk Pulang Kandang (MPK, ket. Manuk (jawa = burung). Tema tahun ini: “Ayo Ngumpul (Memitran) Men Dho Guyub”, di kampus SMA Kolese De Britto Yogyakarta (27/12/2013).

Adalah Rm. Dominicus Bambang Sutrisno, Pr. Yang mengawali dengan misa, dan di situ ia mengaku mengalami enaknya bersekolah saat studi di SMA Kolese de Britto.

Romo Bambang  pun mengungkapkan kekagumannya pada Romo Koelman, pamong yang hafal dengan nama semua murid. Saat mengabsen dari satu kelas ke kelas lain cukup dengan melihat kepala mereka dari belakang. Kalau ada yang tidak masuk pasti ia tahu.

Romo Bambang lalu memaparkan perbedaan antara organisasi dan paguyuban. Kalau organisasi harus ada pengurusnya, sedangkan paguyuban lebih bersikap cair. "Contoh paguyuban ialah keluarga. Di sana tidak ada tata tertib tapi tetap nyambung satu sama lain. Karena ada kasih yang melandasi hubungan personal para anggota," katanya.

Pasca perayaan Ekaristi, acara dilanjutkan dengan ramah tamah dan jamuan makan bersama. Aneka menu makanan dan minuman telah tersaji. Sebagian besar ialah jajanan yang dijual di kantin sekolah. Antara lain gado-gado, bakso, tongseng, es teh, es kelapa muda, dll. Keluarga alumni SMA Kolese de Britto juga boleh mengisi waktu menyumbangkan lagu dengan diiringi organ tunggal.

Di sela-sela acara tersebut, Supriatmo, ketua alumni chapter Yogyakarta menyapa para alumni dari luar kota gudeg. Mereka datang dari Jabodetabek, Bandung, Semarang, Surabaya, dll. Supriatmo juga mengucapkan terima kasih kepada paduan suara pasutri JB ALKID yang telah berlatih setiap Kamis untuk memeriahkan misa syukur tadi.

Dari perwakilan generasi muda, Beda Aruna Pradana selaku ketua panitia acara MPK (Manuk Pulang Kandang) mengatakan bahwa persiapan acara ini tak lebih dari dua bulan. “Pada pertenganah Oktober 2013 saya ditunjuk menjadi ketua panitia. Awalnya saya merasa sungkan karena saya masih alumni baru, lulus dari JB tahun 2011. Tapi saya sudah dipercaya untuk mengurus alumni yang sudah seumuran bapak bahkan mbah saya.”

Kendati demikian, mahasiswa Akuntansi UGM tersebut merasa puas karena acara berlangsung lancar, sukses, dan meriah. “Reuni Manuk Pulang Kandang ini merupakan tempat berkumpul setelah merayakan Natal. Harapannya sesuai tema MPk 2013 ini, kalau sudah berkumpul bisa lebih guyub,” imbuhnya.

Ag. Prih Adiartanto, selaku tuan rumah dan Kepala Sekolah SMA Kolese de Britto juga turut berbagi informasi. Menurutnya kini jajaran direksi di JB bertambah satu pos lagi, yakni Humas (hubungan masyarakat). Salah satu fungsinya untuk menjalin hubungan baik antara pihak sekolah dan para alumni.

“Dua bulan lalu para siswa De Britto telah menjalani live in profesi. Mereka terjun langsung dan mengalami aneka pekerjaan. Tahun depan pada Oktober 2014 juga akan diadakan program semacam itu kembali. Oleh sebab itu, kami membutuhkan informasi terkait profesi yang ditekuni para alumni kini,” imbuhnya.

Pada Januari 2014 mendatang program beasiswa alumni bagi para siswa SMA Kolese De Britto yang kurang mampu mulai diberikan. Nah, itu salah satu tanda konkrit "para manuk" menunjukkan guyubnya!

Maret 04, 2014

Harapan dalam Transformasi Dunia Pendidikan

Dimuat di Majalah Salam Damai, edisi Maret 2014

Judul: Teaching as Journeying, Mengayun Kaki Menjaga Hati
Penulis: Yulia Sri Prihartini
Penerbit: Kanisius
Cetakan: 1/2013
Tebal: 128 halaman
ISBN: 978-979-21-3535-0

Dalam buku ini, Yulia Sri Prihartini memaparkan bahwa dalam setiap pejalanan "pendidikan" pasti ada tantangan yang menghadang. Penulis juga menceritakan dinamika pekerjaannya sebagai pengawas sekolah di Kabupaten Sleman. Pedomannya sederhana tapi mendalam, “Guru harus sehat supaya bisa bekerja maksimal dan bersemangat sehingga murid tersemangati. Guru juga harus bahagia agar bisa membagi kebahagiaan untuk muridnya.” (halaman 45).

Selain itu, menurutnya, guru juga harus senantiasa open-minded dan open hearted. Artinya, terus mau terbuka pada perubahan, perkembangan, dan siap sedia menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman. Lebih lanjut, buku ini secara gamblang mengungkap ironi realitas dunia pendidikan di tanah air.  Karena guru harus mengajarkan hal-hal normatif, padahal yang terjadi di lapangan justru melanggar batas-batas norma.

Yulia mencontohkan, tatkala para guru mengajarkan kejujuran, di televisi anak-anak melihat persidangan kasus korupsi setiap hari tiada henti. Di ruang kelas para guru menanamkan kerukunan, tapi bentrokan dan kekerasan ormas berkedok agama masih saja terjadi, dan lain sebagainya.

Lantas solusinya apa? Guru yang pernah bertugas di Aceh tersebut enggan terlalu lama berkubang dalam lembah keputusasaan dan pesimisme. Ia pun berpesan kepada para murid, "Cintailah diri kalian. Hidup ini singkat. Isilah dengan hal-hal bermakna, bukan hanya bagi diri sendiri melainkan juga bagi orang-orang di sekitar kita.” (halaman 93).

Di tengah karut-marut dunia pendidikan nasional, buku ini menjadi sumber oase segar.  Ternyata masih ada harapan dalam transformasi dunia pendidikan kita. (T. Nugroho Angkasa S.Pd)

Maret 03, 2014

Andre Tak Ingin Terlambat Lagi

Dimuat di Majalah Utusan, edisi Maret 2014

Semalam Andre tidur terlalu larut, pukul 23.00, karena terlalu asyik bermain dengan perangkat game console Sony PlayStation3 (PS3). Siangnya, sepulang sekolah, ia mengunduh game terbaru dan langsung menyimpannya dalam external harddisk. Andre pun ingin segera mengalahkan musuh utama dalam game itu yang konon susah dikalahkan.

Alhasil, pagi ini ia terlambat bangun. Matahari suudah terbit. Jam beker di atas meja kamarnya pun sudah menunjukkan pukul 06.30. Tetapi, ia masih mendekur dan terlelap di balik selimut tebal. Untung, Ibu membangunkannya saat detik-detik terakhir.

"Andre, kamu mau sekolah tidak?" tanya Ibu sembari mengoyang-goyangkan tubuhnya.

"Nanti Bu, masing ngantuk banget nih," jawab Andre tanpa membuka mata. Ia malah mengubah posisi tidurnya dan menarik selimutnya agar lebih rapat.

"Ayo bangun. Nanti kamu terlambat," tegas Ibu sambil menarik selimut Andre.

Saat itu juga mata Andre terbelalak melihat jam weker.

Ternyata waktunya tinggal 25 menit sebelum lonceng sekolah berbunyi. Jam pelajaran pertama di sekolahnya dimulai pukul 07.00. Maka, Andre pun bergegas turun dari tempat tidur dan berlari menuju kamar mandi. Ia mandi superkilat.

Gusinya sempat tergores karena menyikat gigi dengan tergesa-gesa. Rasa perih terasa di rongga mulutnya. Selain itu, yang paling apes, ia juga tak sempat sarapan. Padahal, Ibu sudah menyiapkan nasi gudeg kesukaannya.

**

Jarak ke sekolah sebenarnya hanya 1 kilometer dari rumah. Andre cukup menempuhnya dengan berjalan kaki. Tetapi tetap saja ia terlambat karena waktunya sudah mepet sekali.

Sesampainya di depan sekolah, gerbang sudah ditutup. Nafasnya terengah-engah dan keringatpun bercucuran setelah berlari-lari.

Sesuai peraturan sekolah, ia harus melapor ke Pak Tri yang sedang piket. Siswa yang terlambat harus menunggu di kantor guru piket selama satu jam pelajaran. Pada jam pelajaran kedua, baru boleh masuk ke kelas.

"Kamu kok terlambat, Andre?" tanya Pak Tri, guru Bahasa Inggris di kelas V SD Marga Asih itu.

"Saya kesiangan, Pak," jawab Andre sambil menundukkan kepala.

Lantas, Pak Tri membolak-balik buku piket. Ternyata, belakangan ini Andre sering terlambat. Padahal, dulu ia termasuk rajin dan berprestasi.

Andre pernah meraih juara pertama lomba story telling Bahasa Inggris tingak SD sekecamatan. Kebetulan, saat itu Pak Tri menjadi guru pendampingnya.

"Bisa kamu ceritakan kepada Bapak soal alasanmu datang terlambat?" tanya Pak Tri.

"Saya tidur terlalu malam, Pak," jawab Andre

"Apakah karena mengerjakan PR?" tanya Pak Tri lagi.

"Tidak, Pak, saya bermain PS," jawab Andre jujur.

"Oh, begitu?" sahut Pak Tri.

Alih-alih memarahi, guru yang terkenal ramah dan penuh pengertian tersebut justru bercerita kepada Andre. Ternyata beliau juga memiliki anak seusia Andre. Namanya Robert.

Robert suka bermain sepak bola. Setiap sore, anaknya itu di lapangan desa. Awalnya, karena keasyikan Robert sering tidak menyisakan waktu untuk belajar dan mengerjakan tugas sekolah.

Suatu ketika Robert cedera akibat bertabrakan dengan anggota tim lawan. Akibatnya, ia harus beristirahat cukup lama. Sejak saat itu ia baru sadar, bermain bola memang penting untuk berolahraga dan menyalurkan bakat, tapi sebagai siswa, tugas utamanya ialah belajar.

Setelah pulih, Robert mengatur ulang jadwal latihan sepak bolanya. Ia hanya berlatih dua kali seminggu sehingga tidak terlalu lelah dan masih ada waktu untuk belajar dan mengerjakan tugas sekolah. Alhasil, pada akhir semester, nilainya bagus-bagus. Selain itu, Robert juga menjadi pemain terbaik dalam liga sepak bola tingkat SD sekecamatan dan menjadi pencetak gol terbanyak.

"Dari cerita ini Bapak hanya mau mengingatkanmu, Andre," ujar Pak Tri sembari memegang bahu muridnya. "Kamu anak cerdas, tekun, dan berbakat. Kemampuan Bahasa Inggrismu juga bagus sekali. Kamu ingat saat menjuarai lomba story telling? Saat itu kamu menceritakan dongeng Timun Mas dalam Bahasa Inggris."

"Iya Pak. Saya ingat. Dan saya ingin seperti itu lagi," tekad Andre mantap.

"Ya, baik. Bapak akan selalu mendukungmu. Tapi, kamu tetap boleh bermain PS kok, misalnya saat akhir pekan, supaya tak terlambat sekolah lagi. Sebagai pelajar, musuh utama yang harus kamu taklukkan bukan berada di dalam game, tapi kemalasan belajar dan keengganan mengerjakan tugas sekolah," pesan Pak Tri.

"Teng...teng!"

Lonceng sekolah berdentang dua kali, tanda jam pelajaran berganti. Kini saatnya Andre masuk ke kelas dengan semangat baru. Sambil berpamitan, Andre mengucapkan, "Terima kasih, Pak Tri."

Maret 02, 2014

Suara Kebangsaan dari Jalanan

Dimuat di Suara Merdeka, Senin/3 Maret 2014

Walau sehari-hari hanya bekerja sebagai tukang parkir, pengamen, dan petugas jaga malam, Pujiono (27), pria asal Cilacap, Jawa Tengah, tetap dengan penuh percaya diri (PD) menunjukkan kebolehannya di hadapan 3 juri dalam audisi Indonesian Idol.

Anang Hermansyah, Tanti vokalis Kotak, dan Ahmad Dhani sampai terkagum-kagum dibuatnya. Pujiono sukses mendendangkan lagu ciptaan sendiri diiringi genjrengan rancak gitar bolong. Selain itu, Pujiono juga piawai bersiul hanya dengan memerlihatkan giginya disertai pandangan mata yang nakal.

Lagu berjudul ”Manisnya Negeriku” boleh dibilang masuk dalam kategori balada. Senafas dengan lagu-lagu karya Doel Sumbang, Iwan Fals, dan Leo Kristi. Liriknya sungguh menggugah rasa nasionalisme kita:

Memang manis-manis gula gula
Begitu juga negeri kita tercinta
Banyak suku-suku dan budaya
Ada Jawa Sumatera sampai Papua
Semuanya ada di sini
Hidup rukun damai berseri-seri...

Ragam umat-umat agamanya
Ada Islam ada Kristen, Hindu, Buddha
Semuanya ada di sini
Bersatu di Bhinneka Tunggal Ika

Indonesia negara kita tercinta
Kita semua wajib menjaganya
Jangan sampai kita terpecah belah
Oleh pihak lainnya

Pancasila dasar negara kita
Dengan UUD tahun empat limanya
Jangan sampai kita diadu domba
Oleh bangsa lainnya...

Walau tak lolos ke babak selanjutnya, Pujiono tetap dianggap idola yang sesungguhnya. ”He is the true Indonesian Idol”. Sebab banyak masyarakat yang menyukai gubahan lagu itu. Di kanal YouTube, video rekaman Pujiono tersebut sudah ditonton lebih dari 1 juta orang http://www.youtube.com/watch?v=R3d_GRfUR74

Carel Felix berkomentar singkat, ”Benar-benar kreatif, aku suka!” Sedangkan di jejaring sosial Twitter dan Facebook banyak pula pengguna yang menuliskan komentar positif dan memberi acungan jempol. Bahkan sampai ada warga Twitter yang memuat lirik ”Manisnya Negeriku” lengkap dengan chord kunci gitarnya.

Alhasil, produser Indonesian Idol menjadikan ”Manisnya Negeriku” sebagai soundtrack ajang pencarian bakat penyanyi tersebut. Mereka memutarkan lagu gubahan Pujiono pada setiap akhir acara.

Kalah Pamor

Dari aspek musikalitas bisa jadi dewan juri menilai Pujiono kalah pamor dibanding kontestan lain. Namun, dari aspek kreativitas dan orisinalitas, dia tak bisa dipandang remeh. Sebab, selama ini lebih banyak peserta audisi yang menyanyikan lagu-lagu berbahasa Inggris karya orang asing. Tapi Pujiono berani tampil beda, dia membawakan lagu ciptaan sendiri dan berbahasa Indonesia pula.

Lalu dari aspek semantik, makna yang mendalam terkandung di bait-bait lagu ”Manisnya Negeriku”. Semangat, meminjam istilah Anand Krishna, mengapresiasi pelangi perbedaan di bumi Nusantara jelas terbaca di sana.
Pujiono bisa mengemasnya dengan bahasa yang sederhana dan merakyat.

Dalam konteks ini, petuah Gus Mus kian relevan. ”Bangsa ini tidak kreatif,” ujar Kiai Haji Musthofa Bisri saat membuka pameran lukisan di Bentara Budaya Yogyakarta (BBY), Selasa (1/10/2013) silam.

Ketika zaman Bung Karno, politik dijadikan panglima. Setelah itu, di era Soeharto, ekonomi dijadikan panglima. Kini, di era reformasi politik kembali dijadikan sebagai panglima. ”Mbok ya sekali-kali kebudayaan yang dijadikan panglima,” ungkap Gus Mus.

Pengasuh pondok pesantren Raudhlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah itu juga berpendapat bahwa dia tak habis pikir bila Gusti Allah itu hanya dianggap Pangerannya orang-orang apik, bukan Pangerannya orang yang jelek. ”Gusti Allah itu Pangeran semua orang,” tegasnya.

Gus Mus kemudian mengutarakan bahwa menjelang Pemilu 2014 kehidupan bangsa niscaya penuh dengan gejolak konflik antarkepentingan. Pun kelompok yang berbeda identitas agama bertikai, saling berebut klaim Tuhan merekalah yang paling benar.

Suara kebangsaan dari jalanan ala Pujiono mengingatkan pada nilai pluralitas. Walau bebeda-beda, kita semua ialah putra-putri Bunda Indonesia. Jangan pernah mau dipecah-belah karena itu hanya akan menguntungkan pihak-pihak yang hendak menguasai dan mengekploitasi tanah air tercinta.

Akhir kata, mari belajar dari ilmu sapu lidi. Kalau hanya sebatang lidi begitu mudah dipatahkan, tapi kalau batang-batang lidi tersebut terikat erat menjadi sapu lidi, niscaya kuat. Pun dapat dipakai untuk menyapu kotoran-kotoran di altar Ibu Pertiwi. Masih terngiang petikan lagu Pujiono, ”Pancasila dasar negara kita. Dengan UUD tahun empat limanya. Jangan sampai kita diadu domba. Oleh bangsa lainnya...”

Sumber Foto: http://andri-personalblog.blogspot.com/2014/01/lirik-lagu-manisnya-negeriku-pujiono.html
Sumber Foto: http://andri-personalblog.blogspot.com/2014/01/lirik-lagu-manisnya-negeriku-pujiono.html