September 29, 2012

Kesalahan Fatal Putusan MA dalam Kasus Anand Krishna


1348972196689918991
Kesalahan fatal dalam Putusan MA!

Mahkamah Agung (MA) memakai pertimbangan dari putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat. Padahal kasus Anand Krishna disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Tanya kenapa?

Menurut Adli Usuluddin dalam akun FB,Keputusan bunuh diri….. Perlu di-cek, sudah berapa banyak keputusan ceroboh yang mereka buat….???Putusan ini harus BATAL demi hukum ……….”

Sumber foto: http://www.facebook.com/photo.php?fbid=495434090469485&set=a.204878452858385.54649.203864546293109&type=1&theater¬if_t=photo_reply

Untuk info dan data penting terkait rekayasa kasus ini silakan klik di http://freeanandkrishna.com/ Salam Keadilan!
13489725031528547861

September 28, 2012

Kasus Aneh Anand Krishna Diadukan ke Komisi III DPR RI


13488159931820773832
Prashant Gangtani (kiri) dan dr. Wayan Sayoga (kanan) dari Komunitas Pecinta Anand Ashram (KPAA)

Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi III DPR dengan masyarakat pada Rabu (26/9/2012), Komunitas Pencinta Anand Ashram (KPAA) mengungkap berbagai kejanggalan dan pelanggaran dalam proses hukum Anand Krishna. Selama hampir 2 tahun lamanya (2010-2012), tokoh aktivis spiritual lintas agama tersebut telah mengalami pelecehan secara fisik dan emosi.

KPAA menilai Kasasi MA sebagai produk cacat hukum. Pun menegaskan adanya indikasi kuat telah terjadi perampasan Hak Asasi Manusia (HAM) Anand oleh praktik jahat segelintir oknum yang memanfaatkan busuknya sistem peradilan di Indonesia.

Dalam rapat yang dipimpin oleh Nazir Djamil ini, diungkapkan berbagai bukti kejanggalan dalam kasus tersebut dari awal, penyelidikan, penyidikan hingga tingkat pengadilan dan Mahkamah Agung dibeberkan secara gamblang oleh Dr. Sayoga  sebagai juru bicara KPAA.

Ternyata, pada awalnya sengaja telah dirancang Black Campaign sedemikian rupa sehingga muncul “korban” lain secara satu per satu hingga jumlahnya konon mencapai 42 orang. Toh akhirnya, pelapor 1 orang saja dengan 4 saksi lain yang telah saling mengenal sebelumnya.

Dr. Sayoga juga menyampaikan kepada para anggota dewan yang terhormat ihwal kutipan beberapa media online atas pernyataan Kuasa Hukum pelapor, Agung Mattauch pada tanggal  25 Februari 2010 bahwa kasus pelecehan seksual ini hanyalah entry gate (pintu masuk) bagi persoalan yang lebih serius. Ini adalah penodaan agama.

“Karena itu, kami berkeyakinan kuat bahwa kasus pelecehan seksual ini hanyalah kasus rekayasa hukum sebagai pintu masuk untuk membunuh karakter Anand Krishna. Sebagai upaya membungkamkan dirinya dan menghentikan kegiatan-kegiatan lintas agama yang mengedepankan Perdamaian, Cinta Kasih dan Keselarasan Global,” ucapnya

.1348815685962591564

Kasus yang diwarnai hubungan tidak sah antara hakim Hari Sasangka dan saksi Shinta Kencana Kheng ini pun berpihak kepada Anand, ketika Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang dipimpin hakim Albertina Ho membebaskannya dari segala tuduhan dan memulihkan hak atas kedudukan, harkat dan martabatnya (22/11/2011).

Namun dengan sengaja mengabaikan instruksi Jaksa Agung Basrief Arief dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR (18/7/2011) untuk tidak mengajukan permohonan kasasi pada kasus-kasus berkeputusan bebas di tingkat pengadilan negeri, kecuali pada kasus-kasus yang merugikan keuangan negara, JPU Martha P Berliana dan Kepala Kejari Jakarta Selatan, ngotot mengajukan permohonan kasasi walaupun hal ini bertentangan dengan Pasal 244 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Permohonan kasasi ini disusun sedemikian rupa oleh JPU Martha P Berliana sehingga terdapat berkas kasus lain dari Pengadilan Tinggi Jawa Barat yang dijadikan salah satu bukti bagi pertimbangan pengabulan permohonan kasasi.

“Anehnya, permohonan kasasi seperti ini dapat dikabulkan oleh Mahkamah Agung. Anand Krishna kemudian diadili sendiri hanya berdasarkan Surat Dakwaan JPU. Di mana ada letak keadilannya?” kata Dr Sayoga dengan nada tinggi terkait permohonan kasasi yang dikabulkan Hakim Agung Zaharuddin Utama, Achmad Yamanie dan Sofyan Sitompul (24/7/2012).

Atas paparan KPAA ini, salah satu anggota dewan yang terhormat, Achmad Basarah mengungkapkan rasa keterkejutannya atas kejanggalan proses hukum terhadap Anand Krishna dan merekomendasikan Komisi III untuk mendalami persoalan ini lebih lanjut.

“Pertama secara pribadi saya menyampaikan rasa empati dan prihatin terhadap masalah yang dihadapi Pak Anand Krishna. Kalau saya melihat laporan yang dibuat ini saya dapat menduga bahwa mulai dari proses penyidikan, penuntutan, dan sampai persidangan ini telah terjadi hal-hal di luar kepatutan,” katanya.

Hal senada disampaikan H. Nurdiman Munir SH yang secara tegas mengatakan bahwa kesewenangan-wenangan oknum-oknum penegak hukum dalam tubuh lembaga negara seperti Kejaksaan dan Mahkamah Agung terhadap Anand Krishna ini dapat menjadi bukti dan masukan penting bagi anggota dewan dalam membahas RUU Kejaksaan dan RUU Mahkamah Agung.

“Jangan sampai oknum-oknum lembaga penegak hukum dapat seenaknya melakukan tindakan dan menggunakan kewenangannya yang melanggar UU,” ucapnya menambahkan.

1348815776955299525

Sementara itu, KPAA menegaskan bahwa preseden hukum seperti ini telah mendapat perhatian dari dunia internasional. Mereka sedang mempersiapkan tim yang akan berkunjung ke Indonesia dalam waktu dekat ini.

Anand sendiri telah menyatakan akan mengadakan perlawanan terhadap putusan cacat hukum atas dirinya. Serta bertekad untuk mempertahankan hak asasi dan konstitusinya sampai titik darah terakhir. “Silakan kalian datang menjemput saya, tapi hanya mayat saya yang akan kalian dapatkan,” tandas Anand lewat akun facebook sahabatnya Menristek pada era Gus Dur, Muhammad AS Hikam. 

Fotografer: Prabu Dennaga
http://www.facebook.com/media/set/?set=a.10151110358658611.448331.544843610&type=3

September 26, 2012

Melukis Paras Republik dari Perspektif Korban


Dimuat di Majalah Basis, No. 09-10, Tahun ke-61, 2012

Judul: Penyair Kebenaran di Republik Kekerasan
Penulis: Mutiara Andalas, SJ
Epilog: Suciwati dan Maria K. Sumarsih
Penerbit: Kanisius
Cetakan: 1/ Juni 2012
Tebal: 364 halaman
ISBN: 978-979-21-3321-9

“Sesuatu yang datang dari hati, pasti mampu menyentuh hati semua orang. Lepas dari apapun suku, ras, dan agama orang itu. Karena hati bicara hanya dalam satu bahasa dan bahasa Mutiara Andalas adalah bahasa hati…” - Zarra Zettira ZR

Sepenggal kisah – walau sekadar menyebut nama (almarhum) Wawan dan Munir – begitu bertuah di era rezim penguasa yang pelupa. Masyarakat korban memaknai dusta negara sebagai antidot kebenaran. Terlebih dewasa ini, lembaga hukum justru menjadi pelanggeng kebohongan publik ketimbang sebagai pejuang keadilan.

Dalam konteks di atas, militansi Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) menggelar “Aksi Kamisan” di depan Istana Negara rutin setiap minggu sejak 18 Januari 2007 mesti diacungi dua jempol. Mereka memilih turun ke jalan - walau mesti tersengat terik mentari dan diguyur hujan deras - demi menuntut pengusutan kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Kenapa? Karena menurut Karlina Leksono-Supelli, permintaan pemerintah Indonesia kepada masyarakat korban untuk (sabar) menunggu, sebagai eufemisme dari mengulur-ulur waktu saja.

“Penyair Kebenaran di Republik Kekerasan” lebih  berpuisi ketimbang beropini. Buku ini lebih sebagai mazmur daripada analisis politik. Isinya lantunan syair ratapan paguyuban masyarakat korban kepada Allah. Sebagai refleksi atas misteri ziarah kehidupan ini. Inspirasinya bersumber dari pengalaman riil di akar rumput (grassroot).

Dosen Teori Kritis (Critical Theory) di Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta ini menyebut mereka pendamping akademik sekaligus guru kehidupan. Karena mendidik Patrisius Mutiara Andalas SJ untuk peka mendengarkan curahan rasa para korban-penyintas (victim-survivor) tragedi manusia. Dengan menyajikan kembali kesaksian mereka, paderi Jesuit ini dikuatkan agar (lebih) lantang menyuarakan kebenaran di Republik Kekerasan.

Menurut Romo Mutiara Andalas, proses penulisannya ibarat bocah belajar alfabet. Alumnus Seminari Mertoyudan ini mengeja abjad untuk mengisahkan derita dan asa masyarakat korban. Lulusan Jesuit School of Theology Universitas Santa Clara, Berkeley, California tersebut jeli mencari diksi yang memadai bagi narasinya. Namun tak terpungkiri, banyak jeda air mata di sini. Terlebih tatkala bersua dengan kematian dini para korban penindasan.

Alumnus SMA Kanisius Jakarta ini juga menyelami pemikiran Pablo Neruda (1904-1973). Sebait puisi kritis penyair Chile itu tepat menyiratkan pergulatan batin masyarakat korban dalam mencari pelaku tindak pelanggaran HAM, “Pero sabes de donde viene la muerte, de arriba ode abajo?” (Dari manakah asal kematian, dari atas atau bawah?)

Selain itu, keterlibatan penulis bersama masyarakat korban dan gerakan advokasinya - terutama Tim Relawan untuk Kemanusiaan dan Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan – menyentil nurani pria kelahiran 16 November 1974 ini untuk melukis paras Republik dari perspektif korban. Sebab keadaan korban begitu ringkih. Apalagi tatkala berhadapan dengan serangan teror terhadap kehidupan (baca: nyawa) mereka.

Alumnus STF Driyarkara Jakarta ini merujuk pada - yang akademisi-aktivis kemanusiaan Judith Butler namai sebagai - kerentanan kehidupan (precariousness of life). Pada saat yang sama, secara paradoksal perjumpaan dengan masyarakat korban menyingkap pula - meminjam tesis teolog pembebasan Jon Sobrino - kesucian hidup dalam arti paling mendasar (primordial saintliness).

Pengalaman keluarga korban, seperti Maria Katharina Sumarsih (60) niscaya membuat pembaca kehabisan kata. Ibunda dari Bernardus Realino Norma Irmawan (mahasiswa Atmajaya Jakarta yang tewas (ter/di)tembak dalam tragedi Semanggi I) itu menulis, “Ayat-ayat Kitab Suci yang menuntun bila aku menghadapi pergumulan untuk menentukan langkah. Aku melakukan sesuatu atau tidak, Wawan tidak akan hidup lagi. Di sisi lain, aparat negara begitu mudah menghilangkan nyawa manusia. Tetapi Tuhan Yesus mencintai dan mengasihi umat-Nya. Aku berserah diri, biarlah Tuhan yang mengatur kemana hati, pikiran, dan kakiku harus melangkah. Doa, puasa, dan air mata mengiringi hidupku.”

Refleksi menggetarkan lainnya dikisahkan Suciwati Munir di bagian epilog. Beliau mencari kehendak Allah dari tengah pusaran pengalaman seorang istri yang suami tercintanya direnggut penguasa. Kini Suciwati menjadi orang tua tunggal (single parent) bagi kedua anaknya. Tekad hidupnya ialah untuk meneruskan perjuangan almarhum Munir Said Thalib (8 Desember 1965 - 7 September 2004).

“Aku hanya bisa menangis. Si sulung Alif, saat itu baru 6 tahun, melihatku dengan sedih dan ikut menangis. Diva terus bertanya dalam ketidakmengertiannya, “Kenapa Ibu menangis?” Aku merasa seolah jauh dari dunia nyata. Kosong. Jiwaku hampa. Saat itu, dengan kedangkalanku sebagai manusia, sejuta pertanyaan dan gugatan terlontar kepada Tuhan. “Kenapa bukan aku saja yang Engkau panggil, Ya Allah? Mengapa harus dia? Mengapa dengan cara seperti ini? Mengapa harus saat ini? Mengapa? Ya Allah, Kau boleh ambil nyawaku, hamba siap menggantikannya. Dia masih sangat kami butuhkan, negara ini butuh dia.”

Buku setebal 364 halaman ini ialah ungkapan belarasa terhadap paguyuban masyarakat dan keluarga korban. Sejatinya, derita mereka merupakan salib sejarah peradaban umat manusia. Seturut wejangan Yesus dalam Matius 25:40, “Sesungguhnya, segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku….” Selamat membaca dan salam keadilan!

1348662041810512217

September 25, 2012

Buah Pikiran Seseorang Tak Boleh Dihakimi


Di media online Tempo Interaktif (25/2/2010) pengacara Tara Pradipta Laksmi, Agung Mattauch mengaku, “Pelecehan hanya entry gate untuk persoalan yang lebih serius. Ini adalah penodaan agama.” (Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2010/02/25/064228390/Anand-Krishna-Dituding-Sebarkan-Ajaran-Sesat).

Romo Franz Magnis Suseno SJ telah memprediksi sejak dini. Dosen Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta tersebut mengatakan, “Tuduhan pelecehan seksual yang dialamatkan kepada Anand Krishna hanya pengalihan dari sebuah skenario besar. Tujuannya untuk menjatuhkan buah pikiran tokoh spiritual lintas agama itu.”

Padahal penghakiman buah pikiran seseorang tak sepantasnya dilakukan di negara demokrasi. Selain itu, kenapa dalam persidangan lebih banyak dipertanyakan pemikiran Anand terkait pluralisme dan kebinekaan. Romo Magnis melihatnya sebagai kekurangajaran yang luar biasa (Sumber: http://freeanandkrishna.com/in/ ).

Senada dengan pendapat Utami Pidada. Ia pun melihat apa yang dituduhkan terhadap tokoh-tokoh pejuang Pancasila hanya entry point. Tujuannya sekadar membangun opini negatif di masyarakat. Hal ini pula yang dialami Anand Krishna.

Terkait pemikiran-pemikiran Anand Krishna, yang banyak tertuang dalam lebih dari 150 bukunya, Rev. Mindawati Perangin-angin Ph.D, seorang pendeta (Anggota Lutheran World Federation) malah tidak mempersoalkan sama sekali.

“Dulu ada bukunya Anand Krishna, yang berjudul A New Christ (Gramedia: 2010), ada orang yang tidak suka dengan bukunya tersebut. Tapi setelah saya baca, ternyata orang yang tidak suka itu memang yang tidak paham tentang agama,” ujarnya.

Lebih lanjut, apa sebenarnya cita-cita yang diperjuangkan Anand Krishna? Masyarakat Indonesia bahkan dunia hidup selaras dengan alam dan tidak terkotak-kotak atas dasar suku, agama, ras, dst. Ia tak gentar mengeritik mereka yang menimbulkan perpecahan, menyelewengkan jabatan dan membodoh-bodohi rakyat.

Oleh sebab itu, pihak-pihak tersebut saweran untuk merekayasa kasus fiktif. Agar bisa menghentikan kegiatan wujudkan visi Satu Bumi, Satu Langit, dan Satu Umat Manusia. Sungguh ironis, lembaga tinggi negara seperti MA pun ternyata dijadikan alat mereka. Menyitir puisi Wiji Widodo alias Wiji Thukul, “Hanya ada satu kata: LAWAN!”

13486361852013331612

Putusan MA dalam Kasus Anand Krishna Sarat Kejanggalan


Menyikapi surat putusan Mahkamah Agung (MA) terhadap tokoh humanis, aktivis spiritual lintas agama, dan penulis 150 buku lebih Anand Krishna, Prashant Gangtani, putra Anand mengatakan, “Keputusan MA itu adalah keputusan yang sesat!”

“Berdasarkan KUHAP pasal 244 UU No. 8/1981, putusan bebas tidak bisa dikasasi. Dalam KUHAP tidak ada termin yang menyatakan bebas dibagi menjadi 2 kategori, putusan bebas murni dan bebas tidak murni. Itu hanya cara-cara para oknum hakim MA yang bandel. Tunduk pada putusan sesat sama saja kita turut melanggar hukum,” imbuh Prashant.

Prashant juga menagih janji Jaksa Agung dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Komisi III DPR pada 18 Juli 2011 silam. Dalam kesempatan tersebut, Jaksa Agung menyatakan putusan bebas yang tidak merugikan uang negara tidak akan dikasasi.

Kemudian Prashant mempertanyakan bagaimana mungkin JPU Martha Berliana Tobing bisa menjadikan yurisprudensi sebagai dasar pengajuan kasasi. “Di semester pertama Fakultas Hukum (FH) pun jelas diajarkan bahwa yurisprudensi digunakan apabila tidak ada hukumnya. Kalau ada Pasal 244 KUHAP tapi justru memakai yurisprudensi itu artinya melanggar hukum. Artinya pelanggaran hukum dilakukan oleh MA sendiri. Bagaimana rakyat mau taat pada hukum kalau instansi hukum tertinggi negara pun melanggarnya,” tandas Prashant.

Mengenai isi dari putusan tersebut, Prashant mengatakan banyak ketidaksesuaian antara fakta hukum dan pertimbangan MA yang tertulis dalam putusan. Misalnya pada halaman 38 dijelaskan Judix Factie berdasarkan kasus nomor 20/Pid/2006/PT.bdg yang disidangkan di pengadilan Jawa Barat. Padahal kasus Anand Krishna disidangkan di Jakarta Selatan dan tidak pernah dilakukan di pengadilan di luar Jakarta.

Selain itu, persidangan Anand Krishna terjadi pada tahun 2010 hingga 2011. Anehnya, pada rujukan Judix Factie berdasarkan kasus yang terjadi pada tahun 2006. Hal ini sangat membingungkan dan mengundang tanya besar, apa yang sebenarnya terjadi?

Nyata pula ada copy-paste JPU Martha Berliana Tobing. Ia memasukkan kasus orang lain sepanjang 3 halaman dalam memori kasasi. Ironisnya kenapa para hakim MA tidak melihat pembohongan publik tersebut. Apakah hakim MA tidak mempelajarinya dengan saksama dan justru terburu nafsu ambil keputusan begitu saja.

Dr. Muhammad A.S. Hikam, APU, Menteri Negara Riset dan Teknologi pada Kabinet Persatuan Nasional di era Gus Dur mengatakan dalam account FB-nya, “MA telah menerbitkan putusan kasasinya di situsnya, sehari setelah pengacara pihak yang menuduh Pak Anand Krishna meminta agar surat putusan tersebut segera dieksekusi. Sangat aneh bila lembaga tinggi negara seperti MA bisa didesak oleh pengacara.”

“Semoga para pemimpin kita diberi petunjuk dan pepadhang oleh Tuhan YME sehingga tidak melakukan kenistaan dan ketidakadilan. Amin…” begitulah doa dan harapan AS Hikam terhadap penegakan hukum di Indonesia.

Pungkasnya, AS Hikam menyampaikan dukungan terhadap perjuangan Anand Krishna dalam mencari keadilan. “Untuk Pak Anand Krishna, saya akan tetap mendukung perjuangan Bapak, sama dengan dukungan saya terhadap almarhum Gus Dur dan para pejuang demokrasi dan HAM lainnya.”

(Reporter: Su Rahman, Editor: T. Nugroho, Fotografer: Prabu Dennaga)

1348479295912673003

Erroneous Decision by Zaharuddin Utama and the Cronies


13484078282096521165
Zaharuddin Utama

Responding to the Supreme Court’s decision against the spiritual leader and author of more than 150 books, Anand Krishna, the son of Anand , Prashant Gangtani , said “The decision of the Supreme Court is an erroneous decision!”

“We believe that under the Constitution, Criminal Code section 244, an acquittal cannot be appealed. There is no article in the Criminal Code which states that an acquittal is classified into 2 categories namely pure acquittal and impure acquittal. Corrupt people in the Supreme Court created those distinctions. “Obeying an erroneous decision is the same as violating the law” Prashant added.

Prashant also inquired about the Attorney General’s promise he had made during a hearing in the Commission III of the House of Representatives last year. On the occasion, the Attorney General stated that acquittals which do not harm the state’s money will not be appealed. He also asked about how the Prosecutor could base her appeal on jurisprudence.

“In the first semester of a study at the Faculty of Law, it is clearly taught that jurisprudence is used when there is no law which regulates a certain case. In this particular case it’s clear because there is the Article 244 of Criminal Procedure Code. So if the Prosecutor uses jurisprudence for her appeal she breaks the law, and there is also an obvious violation of law committed by the Supreme Court itself. How people would obey the law if the state’s highest legal institution also violates it, “Prashant said.

Regarding the content of the decision, Prashant said there are many discrepancies between the facts and the judgments of the Supreme Court which have been written in the verdict.
13484080591216584600
AS Hikam
Dr. Muhammad A.S. Hikam, APU, the former State Minister for Research and Technology during the National Unity Cabinet of Gus Dur’s era, said in his Facebook account, “The Supreme Court has published the decision of the appeal on its website, a day after the lawyers of the plaintiff demanded that the Supreme Court immediately executes its decision. It is very strange that a high state institution like the Supreme Court succumbed to the pressure of these lawyers.”

“Hopefully God the Almighty guides and enlightens our leaders’s heart and mind God Almighty so that they don’t perpetrate any evil and injustice. Amen.” It is the prayer and the hope of AS Hikam for the law enforcement in Indonesia.

And then AS Hikam also states his support to the struggle of Anand Krishna in his search for justice. “For Mr. Anand Krishna, I will continuously support the struggle of Bapak (Anand Krishna), the same as what I did to the late Gus Dur and to other champions of democracy and human rights.

Reporter: Su Rahman, Translator: Sylvia Sucipto
For further information about this case visit http://freeanandkrishna.com/en/

September 19, 2012

Cermin Totalitas Seorang Guru

Dimuat di Majalah Educare, Edisi No.6/IX/September 2012
Berikut ini versi awal sebelum diedit Yth. Redaktur

Judul: Sekolah itu Surga
Penulis: HJ. Sriyanto
Kata Pengantar dan Epilog: St. Kartono dan A.A. Kunto A
Penerbit:  Selingkar Rumah Idea (SRI) Pustaka, Yogyakarta
Cetakan: 1/April 2012
Tebal:  xvi + 162 halaman
ISBN:  978-602-98333-8-6

Bantingan merupakan tradisi unik di SMA Kolese De Britto, Yogyakarta. Artinya, mengumpulkan uang secara sukarela dan semampunya untuk membantu sesama yang sedang menderita. Sesuai moto man for others – man with others (manusia hidup untuk dan bersama orang lain).

Dalam buku ini, HJ Sriyanto menceritakan kisah nyata. Ada seorang murid sekian lama tidak masuk sekolah. Tentu hal itu menimbulkan pertanyaan di benak siswa-siswa lain. Kemudian, beberapa murid berinisiatif mencari informasi ihwal temannya tersebut.

Ternyata siswa tadi mengidap penyakit yang cukup serius. Kendati demikian, ia tak mau memberitahu kepada orang tuanya. Kenapa? Karena si anak enggan membebani keluarga yang notabene memang sudah serba kecingkrangan secara ekonomi.

Sebagai solusi, seluruh murid beserta guru pendamping sepakat untuk bantingan. Siang itu, terkumpul sejumlah uang. Tampaknya sudah lumayan banyak, namun tetap belum mencukupi untuk mengobati penyakit teman mereka.

Akhirnya, setiap hari selama seminggu penuh mereka melakukan bantingan. Caranya, dengan menyisihkan uang saku masing-masing. Sayangnya, itu pun belum mampu menutup biaya pengobatan

Untungnya, ada seorang siswa menemui Mbah Joyo (nama panggilan HJ Sriyanto di kelas) seusai jam pelajaran. Ia menawarkan diri melunasi seluruh tagihan dari rumah sakit. Tapi syaratnya, tak boleh ada siswa lain yang tahu (halaman 68).

Lewat cerita di atas, penulis - yang berprofesi sebagai Guru Matematika tersebut – menyarikan esensi pendidikan. Proses pembelajaran seyogianya tak melulu memperhatikan intelek, tapi juga menyentuh batin dan menggerakkan tangan. Sehingga civitas akademika siap-sedia berbuat sesuatu sebagai wujud kepedulian pada teman, sahabat, saudara, dan sesama.

Ugahari

Buku ini terdiri atas 4 bab: Dari “Siapa Bilang Jadi Guru Itu Gampang?!” sampai “Mengarungi Arus Globalisasi.” Sekolah itu Surga merupakan buku perdananya yang bergenre non-teks.

Isinya bunga rampai artikel. Sebagian besar pernah dimuat di media massa, baik lokal maupun nasional. Antara lain Kompas, Kedaulatan Rakyat, Bernas Jogja, Majalah Educare, Majalah Teacher Guide, dll.

Pendamping ekstrakurikuler Teater tersebut mengaku berguru cara menarikan pena di atas kertas dari St. Kartono. Berikut ini penuturannya, “Takkan pernah terlupakan dialah yang mencorat-coret tulisan pertamaku sebelum dimuat di sebuah harian lokal (halaman viii).”

Ada sebuah kisah menggetarkan lainnya. Jelang kelahiran anak pertama, alumnus S1 Jurusan Pendidikan Matematika dan Pengetahuan Alam, Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta tersebut beserta istri pindah ke rumah di Cawas, Klaten, Jawa Tengah. Jaraknya tak kurang 45 km dari sekolah tempatnya bekerja di kota Gudeg.

Pilihan tersebut berdasarkan pertimbangan matang. Ia mau anaknya menghabiskan masa kecil di desa. Sehingga relatif dekat dengan alam (baca: sawah). Pun sang buah hati tumbuh mengakar dari lingkungan yang kental nuansa kebersamaan (gemeinscaft).

Konsekuensinya tidak mudah. Pak Guru harus nglaju (bolak-balik) dari Cawas ke Jogja setiap hari. Penulis berangkat pagi-pagi ketika orang lain masih terlelap di alam mimpi. Kemudian, ia baru pulang larut malam ketika pintu rumah para tetangga telah rapat terkunci. Inilah rutinitas yang dijalaninya dengan ugahari.

Ban bocor malam-malam, menembus kabut pagi, basah-kuyup terguyur hujan sudah biasa (halaman 7). Ibarat sebatang tongkat. Saat seseorang memegang ujung yang satu, maka ujung lainnya menjadi tak terpisahkan.

Refleksi

Buku ini juga mengungkap refleksi ayah 2 anak tersebut pasca mengikuti Advanced Teacher Programm (ATP) di St. Ignatius College Riverview. Letaknya tak jauh dari Rose Garden Sydney nan asri di Australia. Puluhan Guru dari pelbagai negara se-Asia dan Oseania berkumpul di sana.

Mereka  berbagi ilmu dan pengalaman mengajar di kelas. Baginya, ajang ini ibarat kawah candradimuka. Tempat berefleksi, mengevaluasi dan mengembangkan keahlian mengajar dengan dukungan fasilitas canggih ICT (Information, Communication, Telecommunication).

Penulis 30 buku teks pelajaran Matematika itu tertegun menyaksikan kelas kolaborasi (halaman 135). Dua guru yang mengampu 2 mata pelajar berbeda berduet mengajar di satu kelas secara bersamaan. Hebatnya, kelas ICT dan kelas Bahasa Inggris bersinergi penuh harmoni. Mereka bersama membuat proyek Majalah Sekolah (School Magazine).

Guru ICT menjelaskan ihwal materi bagaimana membuat desain majalah, tata letak, editing gambar, dll. Sedangkan, Guru Bahasa Inggris melatih cara mengisi content-nya. Seperti bagaimana menulis artikel/opini/resensi, membuat tajuk, menulis feature, mengirim surat ke redaksi, dll. Semuanya terintegrasi secara apik.

Buku ini relatif kaya sumber referensi. Menyiratkan kalau penulisnya hobi membaca. Antara lain Impian Dari Yogyakarta (Romo Y.B Mangunwijaya, Penerbit Buku Kompas:2003), Pedadogi Hati (Paulo Freire, Kanisius:2011), Pendidikan Popular Membangun Kesadaran Kritis (Roem Topatimasang dkk, Insist Press:2007), Menjadi Guru Sejati (M. Gorky Sembiring, Galang Press:2008). Untuk daftar lengkapanya silakan cek di halaman 159-160.

Pada bagian “Mengarungi Zaman” (bab 4), penulis mengutip pendapat Wolgang Grulke (2001). Menurutnya, menjelang tahun 2020 dunia akan mencair menuju satu titik. Batas negara dan ekonomi tiada lagi. Setiap orang memiliki kesempatan yang sama di muka bumi ini (halaman 121).

Selain itu, kemajuan teknologi dan ekonomi tak terbendung. Perubahan-perubahan tersebut tak lagi linear sehingga lebih sulit diprediksi. Dalam konteks tersebut, informasi dan ide menjadi penopang ekonomi baru.

Alhasil, ilmu murni menjadi kadaluarsa. Dalam arti “ia” harus ditransformasikan menjadi ide dan keahlian (skill) tertentu. Hanya orang yang kreatif yang bisa survive di era globalisasi. Karena tingkat kompetisinya begitu tinggi.

Sebagai langkah antisipatif, penulis menyodorkan satu jurus mujarab. Yakni, menumbuhkan kebiasaan berpikir dalam diri anak didik. Sehingga para siswa berani berpikir, bisa mempertanggungjawabkan pemikirannya, pun telaten berkontemplasi secara mendasar.

Peran guru sangat signifikan dalam proses pendampingan tersebut. Pendidik harus terus membuka diri dan mau belajar. Sehingga mampu melihat persoalan dari pelbagai sudut pandang. Pun sudi menghargai pemikiran orang lain yang berbeda. Karena kebenaran tidak pernah bersifat tunggal (halaman 99).

Senada dengan pendapat Mardiaatmadja. Ada 3 prinsip utama pendidikan humanis. (1) Dalam proses pendidikan, pengembangan hati dan pikiran harus berjalan bersama. (2) Peserta didik harus diberi kesempatan untuk berkenalan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal dan abadi. (3) Dalam pendidikan harus ada kerjasama antara pendidik dan peserta didik secara erat, baik pada ranah teori maupun praktek (halaman 66).

Harapan

Selain mengajar di kelas, penulis juga terlibat aktif dalam program pendampingan kaum muda. Terutama melalui media Teater Rakyat di pelbagai tempat. Antara lain di Solo, Wonogiri, Sukabumi, Surabaya, Bima NTB, Toraja dan Dilli, Timor Leste.

Colegio De Sao Jose merupakan sekolah lain yang sempat disambangi pria kelahiran 23 Mei 1975 tersebut. Letaknya di pelosok Timor Leste sana. Meski sudah 10 tahun berpisah dari NKRI, negeri muda itu menghadapi kendala pendidikan.

Akarnya karena perbedaan bahasa. Ada 3 ragam di sana: Tetun, Indonesia, dan Portugis. Bahasa Tetun merupakan dialek lokal. Sayangnya, banyak istilah iptek yang tak ada padanan katanya. Secara politis, pemerintah lebih menginginkan bahasa Portugis sebagai bahasa pengantar di sekolah.

Dalam perjalanan ke Maubara,  ia menyaksikan pemandangan miris. Para Guru duduk berdesak-desakan di bak terbuka di belakang truk. Selama 3 jam nonstop mereka terpanggang sinar matahari yang begitu terik.

Syahdan, HJ Sriyanto teringat para koleganya di pulau Jawa. Mereka acapkali berkeluh-kesah meski pergi ke sekolah dengan naik sepeda motor atau mobil ber-AC. Padahal wajah para guru di Dilli itu, tak sekilas pun menyiratkan keputusasaan.

Selain itu, terungkap pula kisah mencekam pascareferendum. Para Guru bertaruh nyawa di bandara Timor Leste. Mereka berupaya menenangkan pengungsi dan anak didik mereka yang histeris ketakutan. Desingan peluru jelas terdengar di atas kepala. Kesaksian itu membuat penulis tak kuasa berkata-kata. Dalam hati ia membatin, “Semoga aku bisa menjadi perpanjangan tangan untuk menyalurkan harapan…” (halaman 143)

Buku ini juga mengungkap investigasi Majalah Tempo. Terkait masalah klasik rendahnya gaji guru. Menurut penelitian tersebut, permasalahan paling berat yang dihadapi guru ialah 74% karena gaji guru yang kecil, 36% karena anak didik yang nakal, 23% karena kurikulum yang berubah-ubah, 8% sebab tanggung jawab sebagai Guru.

Respondennya berjumlah 506 Guru, lokusnya memang di DKI Jakarta. Kendati demikian, data tersebut bisa merepresentasikan masalah pendidikan secara nasional. Karena cekaknya gaji, sebagian guru (honorer) mencari tambahan di luar. Alhasil, keprofesionalannya sebagai pendidik tak pernah optimal (halaman 38).

Padahal suami dari Danish Wuryaning ini melihat peran guru sejatinya untuk mengantarkan manusia-manusia muda. Sehingga mereka akhirnya memasuki pintu gerbang masa depan yang lebih cemerlang. Walau dengan konsekuensi, ia sendiri tak pernah memasuki pintu tersebut. Inilah sisi altruis seorang Guru Sejati.

Dalam konteks tersebut, pendapat Erick Hanushek menjadi relevan. Pakar ekonomi dari Universitas Standford tersebut meyakini bahwa pengaruh guru mengalahkan pengaruh sekolah. Anak didik lebih baik berada di sekolah jelek dengan guru hebat ketimbang di sekolah bagus dengan guru payah. Tentu idealnya belajar di sekolah bagus dengan guru hebat.

Buku setebal 162 halaman ini sebuah cerminan totalitas penulisnya. Dengan merenungkan setiap lembarnya, sidang pembaca (terutama para guru) niscaya jadi lebih bersemangat datang ke sekolah setiap pagi. Menyitir pendapat Presiden Ikatan Alumni De Britto, Haji Datuk Sweida Zulalhamsyah, “Buku yang menarik, sebuah kisah seorang guru, ditulis dalam format nyata, penuh dengan riset yang mendasar, baik dijadikan bahan diskusi ilmiah, tanpa guru apalah jadinya.” Selamat membaca! (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru Sekolah Alam Angon http://www.angon.org/ dan Ekstrakurikuler Bahasa Inggris SMP Kanisius Sleman, TK Mata Air, TK Pangudi Luhur, Yogyakarta)
13480678001546718201

September 18, 2012

Fokus pada Tujuan Menjadi Kunci Sukses Setiap Usaha


1347952738305357467

Dimuat di Koran Jakarta, 18 September 2012
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/100902

Sebagai putra sulung dari 10 bersaudara, sejak belia Sulaiman Budiman sudah terbiasa membanting tulang membantu keluarga yang dituangkan ke dalam buku ini. Menurut penulis, resep mujarab sukses harus fokus. Ibarat mengejar kelinci, seseorang tak akan dapat menangkap seekor pun bila mengejar lebih dari satu kelinci pada saat bersamaan (halaman 153).

Dalam konteks ini, totalitas menjadi signifikan. Contohnya, kebiasaan unik suku Maasai, masyarakat pedalaman Afrika Timur, yang populasinya mencapai 900.000 jiwa lebih. Suku ini begitu terkenal karena tarian memanggil hujan. Konon upacara suku yang bermukim di Kenya dan Tanzania itu sering berhasil.

Tatkala kemarau panjang menyebabkan tanah kering kerontang, mereka segera berkumpul di lapangan, lengkap dengan pakaian adat dan alat musik nan semarak. Kemudian, mereka mulai menari bersama seturut irama hingga akhirnya hujan turun deras.

Banyak ilmuwan merasa penasaran, apa rahasia suku Maasai dalam prosesi memanggil hujan itu. Selama berhari-hari mereka meneliti dan mengamati dengan saksama. Ternyata, rahasianya bukan pada jampi-jampi dari dukun ataupun mantra dari paranormal, melainkan pada keyakinan dan kegigihan mereka.

Suku Maasai tidak akan berhenti menari sampai akhirnya hujan turun. Tak peduli berapa lama yang dibutuhkan. Bisa memakan waktu berharihari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Mereka terus menari sampai tetes hujan pertama membasahi bumi (halaman 42).

Berani Teriak Berani Bertindak merupakan buku ke-4 Sulaiman Budiman. Associate Trainer di James Gwee Success Centre ini merupakan konselor di Pusat Perbukuan Kementerian Pendidikan Nasional. Buku sebelumnya adalah Golden Wisdom, Ubah Slogan Jadi Tindakan, dan Berani Menertawakan Diri Sendiri. Buku ini terdiri atas 45 kisah reflektif. Dari “Berani Teriak Berani Bertindak” sampai “Inikah Sukses yang Anda Cari?”

Ada sebuah kisah menggetarkan. Di sebuah desa terpencil hiduplah seorang ibu yang sudah keriput. Sekalipun fisik renta, semangatnya tetap membara.

Dia baru saja ditinggal mati suami. Ibu itu harus berjuang membesarkan anak laki-laki tunggalnya. Tapi anaknya justru membalas air susu dengan air tuba. Dia kerap berkelahi dan mencuri sehingga harus keluar-masuk penjara.

Karena sudah berkali-kali mencuri dan tidak ada penyesalan sama sekali, raja menjatuhkan hukuman mati kepadanya. Kemudian, ibu itu pergi menghadap raja untuk meminta semacam grasi. Namun, keputusan raja sudah bulat, anak tersebut tetap harus menjalani hukuman pancung. Dia akan dieksekusi pukul tujuh pagi. 

Keesokan harinya, para warga berduyun-duyun mendatangi alun-alun istana. Semua peralatan sudah disiapkan, termasuk algojo yang akan mengeksekusi. Anehnya, walau waktu yang ditentukan sudah lewat, toh lonceng jam istana belum berdentang 7 kali. Padahal sudah jam tujuh lewat lima menit.

Hal ini tentu membuat semua orang bertanya-tanya. Syahdan, mereka melihat darah segar menetes dari atas lonceng istana. Seorang pengawal segera memeriksanya. Dia begitu terkejut karena di dalam lonceng terbujur kaku tubuh sang ibu memeluk bandul sehingga membuatnya tak berdentang. Inilah upaya terakhir yang bisa dilakukan seorang ibu. Menyaksikan pengorbanan itu, anaknya hanya bisa meraung-raung menyesali perbuatannya selama ini (halaman 143).

Buku setebal 204 halaman ini merupakan referensi berharga. Ibarat anak tangga, pembaca dapat menapaki alias melakoni isinya demi peningkatan kualitas hidup. “Tidak semua tindakan membawa hasil. Tapi tiada hasil tanpa tindakan,” kata Benjamin Disraeli.

Diresensi T Nugroho Angkasa, Guru SMP Kanisius, Sleman.

Judul : Berani Teriak Berani Bertindak
Penulis : Sulaiman Budiman
Penerbit : Bhuana Ilmu Populer
Cetakan : 1, April 2012
Tebal : xxiii 204 halaman
Harga : Rp52.000
ISBN : 978-979-074-830-9

September 13, 2012

Petition against UNLAWFUL Overturn of Interfaith Activist Anand Krishna's Acquittal


13474396781116611902
Mahkamah Agung, http://news.okezone.com/read/20 1347439022177510596312/02/01/338/567342/pengacara-nenek-rasminah-segera-ajukan-pk

-English version below–
Salam Keadilan!

Saya baru saja menandatangani petisi berikut ini tertuju kepada 3 hakim agung MA: Zaharuddin Utama, Achmad Yamenie, dan Sofyan Sitompul http://www.change.org/id/petisi/petition-against-unlawful-overturn-of-interfaith-activist-anand-krishna-s-acquittal.

Bagi Anda pecinta keadilan, bagi Anda yang peduli penegakan hukum, bagi Anda yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM), bubuhkan tanda tangan Anda juga di petisi ini.

Bersama kita desak Mahkamah Agung (MA) batalkan putusan cacat hukum yang mengabulkan kasasi JPU Martha Berliana dalam kasus Anand Krishna.

Karena di era demokrasi sekarang putusan bebas tidak bisa dikasasi. Ini jelas bertentangan dengan Pasal 67 dan Pasal 244 UU No. 8 KUHAP. Putusan MA yang mengabulkan kasasi JPU telah melecehkan hukum, tidak konstitusional, dan melanggar HAM.

Info lebih lengkap klik http://freeanandkrishna.com/in/

Terimakasih Banyak
——-

English Version:

Hail Justice!

I just signed up the petition below to 3 jugdes at Indonesian Supreme Court: Zaharuddin Utama, Achmad Yamenie, and Sofyan Sitompul http://www.change.org/id/petisi/petition-against-unlawful-overturn-of-interfaith-activist-anand-krishna-s-acquittal

To All justice lovers, to All people who care in upholding law, to all human rights fighters please sign in this petition also.

Together we push Indonesian Supreme Court to cancel their unlawful overturn decision that granted prosecutor Martha Berliana’s appeal in Anand Krishna’s case.

Since in this democratic era nowadays, the acquittal can not be appealed. It is forbidden by KUHAP (Indonesian Criminal Code) 244 and 67 No. 8. Indonesian Supreme Court’s decision that granted the prosecutor’s appeal is disgracing the law, unconstitutional, and violeting our human rights.

For further information visit http://freeanandkrishna.com/en/

Thank You So Much

September 09, 2012

Kasus Anand Krishna Jadi Sorotan Dunia Internasional

Perhatian komunitas internasional terhadap kasus hukum yang dialami Anand Krishna makin nyata. Salah satunya datang dari Vishva Hindu Parishad atau Dewan Hindu Dunia yang mengirimkan surat resmi kepada Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono yang disampaikan kepada Kedubes RI di New Delhi.

Dalam surat yang ditandatangani oleh Sekretaris Jenderal-nya, Swami Vigyananand meminta agar, “Otoritas Indonesia yang terkait untuk segera mengambil langkah-langkah untuk menegakkan dan memulihkan kebebasan Anand Krishna”. Lebih lanjut, beliau meminta para penjahat, termasuk oknum-oknum penegak hukum yang bertanggungjawab merongrong Hak Asasi Manusia (HAM) Anand Krishna, harus dituntut dan dijatuhi hukuman agar tidak ada orang lain lagi yang berani mengulangi (kejahatan) serupa di masa depan.

Vishva Hindu Parishad ialah salah satu organisasi Hindu terbesar di dunia dan sangat berpengaruh secara politik di India. Organisasi ini didirikan tahun 1964 dan berpusat di New Delhi dengan cabangnya ada di berbagai negara termasuk  Amerika Serikat.

Kasus Anand Krishna memang menjadi sorotan belakangan ini karena banyaknya kejanggalan selama proses peradilan. Salah satunya berupa hubungan tidak pantas antara Ketua Majelis Hakim lama, Drs. Hari Sasangka dengan Saksi Shinta Kencana Kheng di luar lingkungan pengadilan, sehingga seluruh Majelis Hakim diganti oleh Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.

Setelah bersidang selama kurang lebih 2 tahun, akhirnya Majelis Hakim PN Jakarta Selatan yang dipimpin Albertina Ho membebaskan Anand dari segala tuntutan diputus bebas dan dipulihkan kedudukannya atas hak, martabat, dan harkatnya.

Tak puas dengan putusan bebas tersebut, JPU Martha P Berliana Tobing mengajukan kasasi yang kemudian dikabulkan oleh Majelis Hakim di Mahkamah Agung (MA), yang diputus oleh Zahruddin Utama, Achmad Yanie dan Sofyan Sitompul walaupun hal ini bertentangan dengan Pasal 67 dan Pasal 244 KUHAP yang menyatakan bahwa Putusan Bebas tak bisa dibanding atau dikasasi.

Menanggapi perhatian dari Vishva Hindu Parishad, juru bicara KPAA (Komunitas Pecinta Anand Ashram), dr. Sayoga menyatakan, “Kami sangat mengapresiasi perhatian dunia Internasional ini dan akan terus berjuang terus demi kebenaran, demi keadilan!”

”Kami berterimakasih atas doa dan support kalangan internasional atas kasus ini. Siapapun dari kita di tanah air sudah mengetahui betapa bobroknya penyelenggaran hukum di Indonesia. Hal ini tidak bisa didiamkan terus. Penyakit yang sudah kronis ini harus diberi terapi radikal, jika tidak lama kelamaan akan menjadi tumor ganas yang akan membinasakan tubuh bangsa ini. Harus dipahami bila anda diam anda tidak dapat menghindari apapun, dan anda tetap bertanggungjawab terhadap kebobrokan ini.”

Sebelumnya, lembaga internasional lain, yaitu Humanitad dan Natural World Organization (NWO) juga menunjukkan dukungannya untuk Anand. Pendiri Humanitad, Sacha Stone, yang juga Executive Director Program Millenium Development Goal (MDG) kala itu mengingatkan, “Ketika hukum telah dilecehkan, dan ketika integritas mereka-mereka yang bertanggung jawab untuk menegakkan hukum malah dikompromikan, maka adalah tanggung jawab setiap manusia yang bebas untuk membantu menegakkan hukum jika kita ingin mempertahankan kebebasan kita yang amat sakral ini.”
 
Contact Person: dr. Sayoga (0811398363)

Simak dukungan lainnya dari komunitas internasional di http://www.charterforglobalharmony.org/category/challenges/ , http://www.freeanandkrishna.com/en/ dan http://www.youtube.com/watch?feature=player_embedded&v=BcLAFQcycwg
1347186740712627521

Parah, Memori Kasasi Copy Paste Dikabulkan Zaharuddin Utama dkk


1347158464484934076
Zaharuddin Utama, http://freeanandkrishna.com/in/index.php?id=kasasi/hakim_ma

Hakim Agung Zaharuddin Utama dkk mengabulkan memori kasasi copy paste Jaksa Penuntut Umum (JPU) Martha Berliana. Kenapa di sebut copy paste? karena ada 10 halaman memori kasasi kasus Anand Krishna itu berasal dari perkara orang lain di Bandung.

1347159711276580085
Aksi di Bali, http://freeanandkrishna.com/in/index.php?id=kasasi/0806_aksidamai


Modus operandi semacam ini ternyata sudah “lazim” digunakan oleh para mafia hukum. Menurut Mahfud MD di @mohmahfudmd: Itu kecerobohan yang sangat sering terjadi. Ada juga vonis seseorang dalam pidana umum yang pertimbangannya menggunakan kasus korupsi.

DR. Saldi Isra dosen hukum Tata Negara Universitas Andalas Padang pun menandaskan, “…putusan yang aneh, menjungkirbalikkan logika hukum, dan tidak konsisten. Yang jelas, ini bukan hasil karya sebuah mahkamah yang agung, tetapi hasil kreasi sebuah Mahkamah Ajaib. (Saldi Isra, Kekuasaan dan Perilaku Korupsi, Gramedia:2009, hal.97).

1347159250850496378
Aksi Damai di Tugu Yogyakarta, http://freeanandkrishna.com/in/index.php?id=kasasi/0806_aksidamai

Menyaksikan karut-marut dunia peradilan semacam itu, apakah kita warga negara harus tinggal diam. Para hakim agung tersebut dibayar dengan uang pajak hasil jerih payah tetes keringat rakyat. Tapi bukan penegakan hukum yang kita peroleh melainkan manipulasi perkara dan praktek makelar kasus.

Akhir kata, batalkan putusan Kasasi MA dalam kasus Anand Krishna. Perlu ada penyelidikan lebih lanjut, bagaimana mungkin Zaharuddin Utama dkk meluluskan memori kasasi copy paste semacam itu. Mari kita laporkan ke Badan Pengawas MA http://badanpengawasan.net/. Salam keadilan!

13471583511016644874
Batalkan putusan Kasasi MA dalam Kasus Anand Krishna, http://freeanandkrishna.com/in/

September 06, 2012

Menafaskan Intimitas Jiwa


Dimuat di Majalah Gita Sang Surya OFM, Vol.7 No.4 edisi Juli-Agustus 2012

1346932168291931860
Berikut ini versi awal sebelum diedit Yth. Redaksi

Judul: Guru Yoga
Penulis: Anand Krishna
Editor:  Gerard Barrie dan Ma Anand Bhagawati
Penerbit: Koperasi Global Anand Krishna
Cetakan: 1/ Februari 2012
Tebal :xxii + 85 halaman
Harga: Rp30.000
ISBN: 978-602-95405-6-7

“Sebelum kamu meminta sesuatu pada Tuhan, berterimakasihlah terlebih dahulu atas apa yang sudah kamu peroleh selama ini.” (Kitab Talmud, B’rachat 30 b, halaman 45)

Tersingkap fakta mengejutkan dalam buku ini. Anand Krishna sempat mendapat tugas dari Sai Baba. Ia harus mewawancarai 300 orang. Semua koresponden memiliki beragam latar belakang sosial. Karena mereka datang dari pelbagai penjuru dunia. Pertanyaannya sederhana, “Apakah waktu kecil kalian pernah diberitahu bahwa Tuhan tak hanya berada di luar diri tetapi juga bersemayam dalam diri?”

Sungguh ironis, tak ada seorang pun ingat pernah diajar demikian. Selama ini manusia cenderung melihat ke luar diri. Ibarat menunjuk dengan jari, telunjuk mengarah ke orang lain, 3 jari lain mengarah ke diri sendiri, dan ibu jari menjadi saksi. Cara efektif mengalihkan perhatian ke dalam dengan menutup mata. Sebab, 70 persen energi keluar dari indera penglihatan.

Tatkala seseorang memejamkan kedua kelopak mata, otomatis fokus mengalir ke dalam relung batin ini. Secara medis hal itu pun dibenarkan. Hormon pineal di batang otak memproduksi enzim endhorpin (morphin alami) dan seretonin. Zat penenang alami ini hanya merembes saat tertidur lelap atau kita berbaring dalam ruangan bercahaya redup.

Penulis buku ini piawai menggunakan metafor. Misalnya, ketika Sai Baba ditanya seorang jurnalis. “Engkau tak mau disebut Guru, tapi tampaknya engkau menikmati penghormatan dari para muridmu, kenapa?”

Jawabannya gamblang, “Itu urusan mereka, urusan saya ialah menjaga kesadaran saya sendiri. Kita semua ibarat ikan yang berenang dalam lautan yang sama. Seekor ikan menundukkan ego di hadapan ikan lainnya, seekor ikan menghormati ikan lainnya, atau mengolok-olok ketololan ikan lain - apa bedanya sih, semua ini urusan bangsa ikan kawan. Mari kita fokus untuk berenang dan hidup, bukannya sibuk membahas urusan ikan lain.” (halaman 17).

Dalam konteks ini, pendapat Romo Mangunwijaya Pr. sungguh relevan. Religiositas memang berkelindan dengan aspek internal. Berupa riak getaran hati nurani dan relasi personal dengan Tuhan. Sehingga wajar kalau prosesnya relatif misterius. Pun menapaskan intimitas jiwa. Semacam cita rasa nan melingkupi totalitas seorang individu. Selain itu, religiusitas juga melampaui ritual dan formalitas. Artinya lebih bergerak dalam tata paguyuban (gemeinschaft) (Sastra dan Religiositas: 1988).

Dalam buku ini Anand Krishna juga memperkenalkan satu istilah baru. Kita belum menemukannya di kamus Oxford sekalipun. Yakni, kata “egosin” (halaman 5). Tatkala manusia menganggap dirinya bukan apa-apa, itu merupakan “dosa”. Kenapa? Karena manusia ialah ciptaan Tuhan. Bagaimana mungkin Dia Hyang Mahakuasa menciptakan titah yang nir-makna. Seorang sutradara jempolan niscaya menciptakan film berkualitas pula. Senada dengan pendapat pemimpin spiritual kharismatis dari India, Swami Vivekananda, “Dosa terbesar ialah menganggap dirimu sebagai seorang pendosa.”

Sebaliknya, ketika seeorang menganggap dirinya yang terbesar. Ini merupakan “dosa” juga. Kenapa? karena manusia memposisikan diri setara dengan Tuhan. Pertanyaannya, apakah manusia bisa membuat Gunung Everest, atau setidaknya Gunung Merapi saja? Apakah ia bisa mengecat tanaman cabe menjadi merah, atau minimal menciptakan sebulir beras organik? Jika tidak bisa, maka usah menganggap diri kita sebagai yang paling benar. Lantas, memaksakan kehendak kepada orang lain dengan kekerasan. Walau dengan dalih agama sekalipun.

Anand Krishna mengajak kita bercermin pada John Lennon, Marthin Luther King, Jr, dan Mahatma Gandhi, Aung San Suu Kyi, Gus Dur, dll. Sebab, mereka telah menempatkan derajat kemanusiaan di atas kepingan materi. Sheila on 7 menegaskan kembali lewat tembang Khaylila, “Dengan senyummu senjata membeku/Tentara bernyanyi ikuti tingkahmu/Tak ada lagi naluri menguasai/Perlahan berganti naluri berbagi…”

Buku ini dibumbui kisah inspiratif. Sumbernya dari Ultimate Wish Book karya Melanie Calitri Holden. Ia berkisah ihwal putrinya bernama Yana. Suatu hari mereka baru pulang mengantar teman di bandara. Dalam perjalanan di dalam mobil, Yana bertanya, “Kenapa aku tak pernah naik pesawat Bu? Kenapa hanya CJ (nama teman sekelasnya) yang sering naik kapal terbang?”

Sang ibu menjawab, “Hati-hati dengan keinginanmu sayang.” Yana tampak diam sejenak, lalu ia berkata lagi,  
“Aku ingin pergi naik pesawat ke tempat yang menyenangkan, ya aku mau ke Chichago.” “Kenapa ke sana?” tanya ibunya. “Karena Rachel baru dari sana dan katanya kota itu tempat bermain yang asyik.” Lalu, di dasbor depan mobil, sang ibu menemukan sebuah amplop. Ternyata, Yana memenangkan sebuah kuis, ia mendapat tiket gratis terbang dengan pesawat eksekutif ke Chicago (halaman 47).

Pesan implisit kisah di atas meremangkan bulu roma. Orang dewasa sering berdiskusi ihwal keyakinan, kekuatan niat, dan mukzijat. Namun, anak kecil langsung melakoni imannya. Oleh sebab itu, dalam setiap tradisi agama dan kepercayaan, diajarkan agar manusia memiliki jiwa seperti anak-anak, lugu, polos, dan apa-adanya (childlike).

Pada awal buku ini halaman 85, Brunton Paulus (1898-1981) mewawancarai Maharishi Ramana (1879-1950). Dialog legendaris ini pernah dimuat di majalah Peace di Pradesh, India (September 1931) dan dicetak ulang oleh Mountain Path (April 1966) di Ramanasramam. Namun demikian, isinya tetap relevan untuk sidang pembaca di abad 21.

Hurst (nama asli Paul Brunton) adalah seorang filsuf Inggris. Ia suka sekali mengeksplorasi mistisisme Timur. Berikut adalah kutipan dari wawancara bersejarah tersebut. Hurst bertanya, “Apakah perlu untuk berdekatan secara fisik dengan Guru, dan jika demikian, untuk berapa lama?”

Ramana Maharshi menjawab, “Itu tergantung pada kematangan murid. Gunpowder (bubuk mesiu) terbakar dalam sekejap, sementara dibutuhkan waktu untuk menyalakan batubara.” Artinya, sang muridlah yang musti memberdaya diri. Sebab seperti pepatah Zen, “Ketika murid siap, Guru hadir.”

Keunggulan buku ini tak hanya memuat teori semata, tapi menyajikan pula latihan praktis. Ken Wilber (1941 -…), seorang penulis termasyur Amerika berbagi resep rahasia. Filsuf pelopor psikologi Transpersonal (Transpersonal Psychology) itu rajin bangun pagi pada jam 3-5 subuh. Ia bermeditasi selama 1-2 jam, lantas segera bekerja di mejanya sampai jam 1 siang.

Bagaimana teknik meditasinya? Sederhana saja, ibarat memancing di kolam mind (benak). Umpannya ialah pertanyaan, “Siapa/apa aku ini?”. Ketika mencari jawabannya, diri pribadi terlampaui, ia tertelan oleh radiasi Kekosongan. Akhirnya, kesadaran kita beristirahat (sejenak) dalam pelukan Bunda Alam Semesta (halaman 74).

Buku setebal 85 halaman ini dapat menjadi sarana meniti ke dalam diri. Caranya persis dengan kebiasaan ke-8 (almarhum) Stephen R. Covey, “Dengarkan suara hati nuranimu.” Selamat membaca!

Oknum Penegak Hukum Rusak (kok) Malah KUHAP Diacak-acak


1346908275470561510
Sumber Foto: http://freeanandkrishna.com/

Sambil melihat poster di atas, anda boleh catat nama Jaksa Martha Berliana dan sebarkan. Hati-hati kalau berurusan dengan jaksa yang satu ini. Perkara orang lain bisa masuk ke memori kasus Anand Krishna. Jumlahnya sampai 10 halaman, itu pun hasil copy paste.

Jaksa Martha Berliana Tobing mengajukan kasasi terhadap putusan bebas  Anand Krishna yang dikeluarakan hakim Albertina Ho (22 November 2011). Kemudian majelis kasasi yang terdiri dari Zaharuddin Utama dengan dua hakim agung Achmad Yamanie dan Sofyan Sitompul sepakat mengabulkan kasasi JPU itu. Padahal  menurut Prof Muladi dan Prof Romli Atmasasmita  tindakan jaksa mengajukan kasasi atas putusan bebas (vrijspraak) harus dihentikan karena bertentangan dengan Pasal 67 dan 244 KUHAP.

Lebih lanjut, Soebroto Thaman berpendapat bahwa terkadang kita menemukan pegawai-pegawai yang tidak akademis cara berpikirnya, tidak professional cara menjalankan tugasnya. dan bukan ksatria sifatnya. tapi anehnya, kok dia dapat mempertahankan pekerjaannya dengan aman dan sentosa di suatu perusahaan atau institusi, kenapa?

Mungkin karena bawaan sifat mereka yang preman, mereka khusus diberikan tugas melakukan hal-hal yang kotor, melanggar hukum, yang mana bosnya tidak bisa melakukan. “The one that does the dirty job for the bosses”. Apabila harus menindas orang, dialah yang maju. Sehingga bisa bertahan kerja karena memang dipertahankan para bosnya.

Akhir kata, mau di bawa ke mana proses penegakan hukum di negeri ini, kalau kualitas jaksanya seperti itu? Mendiang Jaksa Agung Suprapto, Baharuddin Lopa, dll bisa jadi meradang di alam sana. Sebab institusi kejaksaan dinodai oleh oknum-oknum yang melik nggendong lali. Sudah banyak jatuh korban. Dari Nenek Rasminah, Prita, hingga Anand Krishna. Akibat tingkah-pongah oknum penegak hukum yang tak amanah.
Mari kita suarakan peringatan keras. Banjiri http://www.kejari-jaksel.go.id/contact.php dengan surat-surat protes. Pecat Jaksa Martha Berliana! Batalkan kasasi kasus Anand Krishna!

September 05, 2012

Yang Turba dan yang Sekadar Tinggal di Menara


1346817711828879085
Sumber Foto http://freeanandkrishna.com/

Albertina Ho rela blusukan turba (turun ke bawah) untuk menginvestigasi lokasi (dugaan) kejadian perkara pelecehan seksual Anand Krishna terhadap Tara Pradipta Laksmi. Tepatnya pada tanggal 28 September 2011 di L’ayurveda Jakarta dan 5 Oktober 2011 di One Earth, Ciawi. Sehingga pada akhirnya srikandi hukum Indonesia itu memutuskan Anand Krishna tidak bersalah. Vonis bebas dikeluarkan pada 22 November 2012 di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.

Ironisnya, keputusan yang sudah tepat itu hendak dianulir oleh oknum-oknum penegak hukum yang sekadar tinggal di menara gading kekuasaan. JPU Martha Berliana Tobing mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Padahal Putusan Bebas tidak bisa dikasasi karena bertentangan dengan Pasal 67 dan Pasal 244 UU No. 8 Tentang KUHAP, tidak ada Hukum Negara Beradab mana pun di dunia ini yang membenarkan kelancangan tersebut.

Parahnya lagi, hakim agung MA yang diketuai Zaharuddin Utama, serta beranggotakan dua hakim agung Achmad Yamanie dan Sofyan Sitompul sepakat mengabulkan kasasi Jaksa Penuntut Umum tersebut. Tanpa pernah jeli membaca apalagi menyelidiki langsung di lapangan. Ternyata ada perkara orang lain masuk dalam berkas memori kasasi Anand Krishna. Kelalaian ini bisa menjadi preseden buruk. Dalam arti mencoreng wibawa 8.000 lebih anggota korps hakim di Indonesia.

Oleh sebab itu:
1. Batalkan memori kasasi Anand Krishna demi tegaknya hukum di tanah air tercinta.
2. Copot dan berhentikan JPU Martha Berliana Tobing, hakim agung Zaharuddin Utama, Achmad Yamanie, dan Sofyan Sitompul karena para oknum tersebut telah mengkhinati amanah rakyat. 

September 03, 2012

Pendidikan, Tanggung Jawab Bersama


Dimuat di Majalah Utusan, edisi September 2012
13466800711102843356

Judul: Sekolah itu Surga
Penulis: HJ. Sriyanto
Kata Pengantar dan Epilog: St. Kartono dan A.A. Kunto A
Penerbit:  Selingkar Rumah Idea (SRI) Pustaka, Yogyakarta
Cetakan: 1/April 2012
Tebal:  xvi + 162 halaman
ISBN:  978-602-98333-8-6

Negara miskin sumber daya alam (SDA) seperti Jepang, Singapura, dan beberapa negeri di Eropa menjadi berjaya karena pendidikan. Mereka menyadari kalau pendidikan harus menjadi prioritas dalam pembangunan. Sehingga wajar jika kini mereka memiliki sumber daya manusia (SDM) yang tangguh. Pun mampu bersaing di kancah percaturan global.

Ironisnya, di negeri ini 44 juta penduduk usia sekolah belum terlayani pendidikannya. Bahkan ada yang sampai putus sekolah karena ketiadaan biaya. Anak-anak berkeliaran di jalanan dan mengemis di perempatan lampu merah. Data Balitbang Depdiknas mencatat 19 juta anak (usia 0-6 tahun) belum mendapat pendidikan. Sekitar 2 juta anak (usia 7-12 tahun) tak terjamah pendidikan dasar. Sekitar 7 juta anak (usia 13-15 tahun) tidak terakses di SLTP. Dan sekitar 16 juta penduduk usia 15 tahun ke atas masih buta huruf (halaman 86).

Begitulah realitas dunia pendidikan nasional yang diangkat dalam buku ini. HJ. Sriyanto menyayangkan keengganan pelbagai pihak mengatasi masalah tersebut. Kita cenderung menutup mata, tak peduli dengan nasib jutaan anak bangsa. Secara gamblang, Guru Matematika SMA Kolese de Britto, Yogyakarta itu memberi contoh konkrit. Bila di suatu kampung ada 1 atau dua anak tidak sekolah, seringkali dianggap hal biasa.

Padahal kepulauan Nusantara memiliki tiga belas ribu pulau lebih. Indonesia terdiri atas tiga puluhan provinsi dan tiga ratusan kabupaten. Di setiap kabupaten terdiri dari ratusan kampung. Bila terdapat dua atau 3 anak tak bersekolah di satu desa, maka begitu banyak anak belum mengenyam pendidikan. Jika dilihat secara makro, hal yang semula tampak wajar kini menjadi urgen untuk segera dibenahi. Kenapa? Karena sungguh terkait erat dengan masa depan Republik tercinta.

Sebagai solusi praktis, penulis melirik ke model pendidikan alternatif. Menurut pendamping ekskul Teater ini pembelajaran nonformal dapat menjangkau masyarakat marjinal di akar rumput. Sehingga akses pendidikan kian terbuka lebar bagi semua kalangan. Secara lebih mendalam penulis menandaskan, “Pendekatan yang efektif adalah pendekatan yang menyentuh hati dan sisi manusiawi peserta didik. Apa saja akan dilakukan murid, jika hatinya tersentuh dan batinnya telah tergerak (halaman 80).”

Buku ini menyiratkan bahwa masih ada harapan dalam dunia pendidikan kita. Saatnya masyarakat, pemerintah dan pihak swasta bersinergi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebab pendidikan merupakan tanggung jawab bersama. Selamat membaca!

September 02, 2012

Highlighting Anand Krishna’s Uncommon Case


Published at http://aspensi.com/views/2012/09/01/0955/1549000-highlighting-anand-krishnas-uncommon-case#comment-8081

The Indonesian Supreme Court granted the appeal of prosecutor Martha Berliana Tobing in the case of Anand Krishna. Case file number is 691 K/PID/2012. The panel of the judges were Judge Zaharuddin Utama, Achmad Sofyan, and Sitompul Yamanie. They read out the verdict on July 24, 2012 at Jakarta, Indonesia.

In my humble opinion, this decision is simply a strategy to remove the pluralist leader, pluralism, minority religious beliefs systems from Indonesia through fear, corruption, intimidation, conspiracy, and outright misuse of the law.

In the twitter account @mashikam, AS Hikam also criticized it. “The Supreme Court’s decision is absurd, by punishing Mr. Anand Krishna they are embarrassing themselves. The justice system in Indonesia has no conscience”.

Furthermore, the Minister in the era of Gus Dur added on his personal website, “I fully support the efforts of Mr. Anand Krishna and friends to bring the case to the International Court. The appeal made by the Indonesian Supreme Court that granted the prosecutor’s demand, then punish him 2.5 years, for me is travesty of law and justice”.

If the previous acquittal can be canceled there is no longer credibility and honor of the judiciary in this country. Now is the time for a review of this case on an International level. I am very certain that the Indonesian Supreme Court will be judged as creating a direct violation of Mr. Anand’s human rights (source: http://www.mashikam.com/2012/08/putusan-ma-terhadap-pak-anand-krishna.html).

Responding to the appeal against the acquittal, Anand Ashram’s Sympathizers Community (Komunitas Pecinta Anand Ashram) was very surprised by the Indonesian Supremes Courts decision. The acquittal was passed by the prolific judge named Albertina Ho (22 November 2011). This law heroine is known as a credible person. She has the integrity, professionalism and experience of more than 20 years as a judge.

In addition, the former Minister of Justice and Human Rights, Yusril Ihza Mahendra, has emphasized that the appeal against acquittal is unconstitutional. Article no. 244 in the Indonesian Criminal Code (KUHP, Kitab Undang-undang Hukum Pidana) mentions that “The criminal case against the verdict is given by the court on the last level other than the Supreme Court, the defendant or the prosecutor may request examination of appeal to the Supreme Court except the acquittal”.

In his twitter account @yusrilihza-Mhd Yusril wrote, “Anand Krishna’s acquittal appeal is confusing to me”. The Criminal Code clearly states that a acquittal cannot be appealed”. In line with the opinion from a senior lawyer, Todung Mulya Lubis at his twitter account @TodungLubis wrote, “There is no appeal for acquittal. If it is so, this is a deviation and uncommon”.

As a result, Anand Krishna’s attorneys, family, and sympathizers are determined to cast Peninjauan Kembali (judicial review) and broadcast this case to the International Court for justice and human rights. According to Prashant, Anand’s son, “The effort had to be taken because the laws enforcement in Indonesia is corrupt”.

There has been a massive show of support from Humanitad Foundation (see http://www.humanitad.org/). The founder of this global human rights NGO is named Sacha Stone. He read a statement out at the Monument at Bajra Renon, Denpasar, Bali on Monday, August 6, 2012. Sacha said that “The acquittal is a gross violation of human rights and not even in line with the Indonesian Constitution and also against the international standard of jurisprudence”.

“If this injustice can happen to a prominent person such as Anand Krishna, then it can happen to anyone. This is not about Anand Krishna, but this is about you and me. It is about all of us. By supporting Anand Krishna you are actually supporting your own human rights, interests, and dignity. Sacha Stone shouted loudly. People can watch the video at http://www.youtube.com/watch?v=BcLAFQcycwg&feature=share.

Fragile

Since the process of investigation, Anand Krishna’s case has become controversial. People can clearly smell the taste of conspiracy and corruption. According to a criminal law expert from Faculty of Law (Fakultas Hukum) University of Gadjah Mada (UGM) in Yogyakarta, Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, in terms of both formal and material it cannot be fulfilled. Therefore, if the case is allowed to continue by the state, he believes that it is 99% well packed before.

First, in terms of formal, he explained that Anand was entangled with article no 290 paragraph 1 from the Indonesian Criminal Code (KUHP) and article no 294 paragraph 2 from the Criminal Code Jo article no 64 paragraph 1. Person that understands well the law shall laugh at this, because the election was totally weak. It is because the article stated 7 years penalty of imprisonment for those who commit lewd acts on a person in an unconscious or helpless condition. However in fact, the court was admitted that Tara was aware while (the allegation) abuse was happening.

Second, in term of material, it is stranger. There is minimum provision to bring at least 2 witnesses. However, until today there is no one to be met. Tara Pradipta Laksmi (19) is the only complainant. Then, her friend said there was another friend who was also abused. However, all of the information are not linked each other. It is merely like gossiping. Ironically, gossip can be used as a fact in the law process at this beloved country.

Moreover, Prof. Eddy, his nick name, indicated there was a systematic attempt to get rid of Anand Krishna forever. This is the third time of such criminalization. First, it was in 2000 about blasphemy then it was not proven because it has been corroborated by the statement from some Islamic leaders. Second, it was in 2005 about a fraudulent related to an amount of money Rp150 million. There was also no evidence at all and the case was eventually withdrawn by the complainant (Source: http://www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=3815).

Pater Franz Magnis Suseno SJ highlighted from another perspective. Allegation of sexual harassment addressing to Anand Krishna is only a diversion from a bigger scenario. The goal is to drop the piece of mind from that interfaith spiritual leader.

Furthermore, Pater Magnis assessed the litigation over Anand Krishna’s thoughts should not be occurred in a country that try to uphold pluralism high. The law enforcement done by the officials should follow the normal process in accordance with justice road map. Moreover, in the trials, he questioned why the previous Judge was questioning Anand Krishna’s teachings and writings. For him, that was an incredible impertinence.

The lecturer in STF (Sekolah Tinggi Filsafat) Driyarkara said that the trial of Anand was not fair, reasonable, and ethical. Pater appealed to the judges so that they do not harass the law and run an illegal conspiracy. The object of this case now is the figure of Anand Krishna with his spirituality. For him, Anand Krishna is an important figure in the era of openness, humanity, and pluralism in this country (Source: http://freeanandkrishna.com/).

Fundamental

In essence, the problem of Anand Krishna is no longer a personal issue, but a fundamental case. Surely, if it is related to the (allegation) of sexual harassment, people tend to see it from a secure distance, including the mass media. They tend to cover the surface phenomenon only or do not write their opinions in fear that the same injustices may happen to them if they open their mouths. Journalists need to investigate further, deeper and not live in fear of the injustice that occurs. We the people can change this. I believe the court is against the vision of One Earth, One Sky, One Humankind (source: http://www.charterforglobalharmony.org/).

The trial of a person’s thoughts should not be happen anymore. Johannes Hariyanto SJ, who is often familiarly called Pater Hary, said this, the secretariat of Indonesian Conference on Religious and Peace (ICRP) on 15 April 2011. As reported by Chris Poerba in his detail investigative report, Pater Hary was one of the speakers who expressed his views in a press conference titled, “Voice of Justice from Religious Leaders and Community Leaders – Thoughts should not Be Judged and Criminalized” (source: http://v2.ICRP-online.org).

The trial which lasted for 2 years also changed the chairman of the judges in the District Court (Pengadilan Negeri) at South Jakarta. Why? Because the chief judge named Hari Sasangka was caught on camera involved in improper sexual conduct with a witness named Shinta Kencana Kheng outside the court in a car. Judge Hari Sasangka then transferred to Ambon and exposed this with disciplinary punishment. Clearly reforms need to be made within the judicial system in Indonesia.

Moreover, people can hear from the court’s record that only 10% of is discussing the sexual harassment case. Meanwhile the other 90% of the case was concerned about the thoughts, activities, and 150 and more books written by Anand Krishna. Unfortunately, the mainstream media tend to report from sexual harassment point of view only (watch the video at http://www.youtube.com/watch?v=qCmh-mbqW3I&feature=related).

In the profound context, I can’t agree more to Romo Sapto Rahardjo’s keen analysis. The chairman of Pancasila Moral Reconciliation Movement (Gerakan Moral Rekonsiliasi Pancasila) Yogyakarta said that the case of Anand Krishna was also often experienced by many transformer leaders who fought for truth, nationality, and upheld Pancasila. There are some parties who felt threatened by the movement of those social leaders. The pattern is still the same; they manipulated and sponsored a case for dropping and blocking the noble struggle. The social leaders were blasted with some legal issues that have been well packed previously.

Last but not least, citing AS Hikam’s thesis after the acquittal was read on 22 November 2011, “Although this country has already entered into a democratic system and reformation era, but still many slanders and conspiracies are directed to the fighters of democracy and human rights. It can be stopped if the justice is set apart and freed from interference from political and ideological parties’ vested interests. It is then that noble figures such as Mr. Anand Krishna can be protected from a slander”. Hail Justice!
===
Footnote: This opinion article was sent directly by the author to e-mail address of ASPENSI on August 30, 2012.

1346581831760740386