September 03, 2012

Pendidikan, Tanggung Jawab Bersama


Dimuat di Majalah Utusan, edisi September 2012
13466800711102843356

Judul: Sekolah itu Surga
Penulis: HJ. Sriyanto
Kata Pengantar dan Epilog: St. Kartono dan A.A. Kunto A
Penerbit:  Selingkar Rumah Idea (SRI) Pustaka, Yogyakarta
Cetakan: 1/April 2012
Tebal:  xvi + 162 halaman
ISBN:  978-602-98333-8-6

Negara miskin sumber daya alam (SDA) seperti Jepang, Singapura, dan beberapa negeri di Eropa menjadi berjaya karena pendidikan. Mereka menyadari kalau pendidikan harus menjadi prioritas dalam pembangunan. Sehingga wajar jika kini mereka memiliki sumber daya manusia (SDM) yang tangguh. Pun mampu bersaing di kancah percaturan global.

Ironisnya, di negeri ini 44 juta penduduk usia sekolah belum terlayani pendidikannya. Bahkan ada yang sampai putus sekolah karena ketiadaan biaya. Anak-anak berkeliaran di jalanan dan mengemis di perempatan lampu merah. Data Balitbang Depdiknas mencatat 19 juta anak (usia 0-6 tahun) belum mendapat pendidikan. Sekitar 2 juta anak (usia 7-12 tahun) tak terjamah pendidikan dasar. Sekitar 7 juta anak (usia 13-15 tahun) tidak terakses di SLTP. Dan sekitar 16 juta penduduk usia 15 tahun ke atas masih buta huruf (halaman 86).

Begitulah realitas dunia pendidikan nasional yang diangkat dalam buku ini. HJ. Sriyanto menyayangkan keengganan pelbagai pihak mengatasi masalah tersebut. Kita cenderung menutup mata, tak peduli dengan nasib jutaan anak bangsa. Secara gamblang, Guru Matematika SMA Kolese de Britto, Yogyakarta itu memberi contoh konkrit. Bila di suatu kampung ada 1 atau dua anak tidak sekolah, seringkali dianggap hal biasa.

Padahal kepulauan Nusantara memiliki tiga belas ribu pulau lebih. Indonesia terdiri atas tiga puluhan provinsi dan tiga ratusan kabupaten. Di setiap kabupaten terdiri dari ratusan kampung. Bila terdapat dua atau 3 anak tak bersekolah di satu desa, maka begitu banyak anak belum mengenyam pendidikan. Jika dilihat secara makro, hal yang semula tampak wajar kini menjadi urgen untuk segera dibenahi. Kenapa? Karena sungguh terkait erat dengan masa depan Republik tercinta.

Sebagai solusi praktis, penulis melirik ke model pendidikan alternatif. Menurut pendamping ekskul Teater ini pembelajaran nonformal dapat menjangkau masyarakat marjinal di akar rumput. Sehingga akses pendidikan kian terbuka lebar bagi semua kalangan. Secara lebih mendalam penulis menandaskan, “Pendekatan yang efektif adalah pendekatan yang menyentuh hati dan sisi manusiawi peserta didik. Apa saja akan dilakukan murid, jika hatinya tersentuh dan batinnya telah tergerak (halaman 80).”

Buku ini menyiratkan bahwa masih ada harapan dalam dunia pendidikan kita. Saatnya masyarakat, pemerintah dan pihak swasta bersinergi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebab pendidikan merupakan tanggung jawab bersama. Selamat membaca!

Tidak ada komentar: