Dimuat di Majalah Utusan, edisi September 2012
Judul: Sekolah itu Surga
Penulis: HJ. Sriyanto
Kata Pengantar dan Epilog: St. Kartono dan A.A. Kunto A
Penerbit: Selingkar Rumah Idea (SRI) Pustaka, Yogyakarta
Cetakan: 1/April 2012
Tebal: xvi + 162 halaman
ISBN: 978-602-98333-8-6
Negara miskin
sumber daya alam (SDA) seperti Jepang, Singapura, dan beberapa negeri di
Eropa menjadi berjaya karena pendidikan. Mereka menyadari kalau
pendidikan harus menjadi prioritas dalam pembangunan. Sehingga wajar
jika kini mereka memiliki sumber daya manusia (SDM) yang tangguh. Pun
mampu bersaing di kancah percaturan global.
Ironisnya, di negeri
ini 44 juta penduduk usia sekolah belum terlayani pendidikannya. Bahkan
ada yang sampai putus sekolah karena ketiadaan biaya. Anak-anak
berkeliaran di jalanan dan mengemis di perempatan lampu merah. Data
Balitbang Depdiknas mencatat 19 juta anak (usia 0-6 tahun) belum
mendapat pendidikan. Sekitar 2 juta anak (usia 7-12 tahun) tak terjamah
pendidikan dasar. Sekitar 7 juta anak (usia 13-15 tahun) tidak terakses
di SLTP. Dan sekitar 16 juta penduduk usia 15 tahun ke atas masih buta
huruf (halaman 86).
Begitulah realitas
dunia pendidikan nasional yang diangkat dalam buku ini. HJ. Sriyanto
menyayangkan keengganan pelbagai pihak mengatasi masalah tersebut. Kita
cenderung menutup mata, tak peduli dengan nasib jutaan anak bangsa.
Secara gamblang, Guru Matematika SMA Kolese de Britto, Yogyakarta itu
memberi contoh konkrit. Bila di suatu kampung ada 1 atau dua anak tidak
sekolah, seringkali dianggap hal biasa.
Padahal kepulauan
Nusantara memiliki tiga belas ribu pulau lebih. Indonesia terdiri atas
tiga puluhan provinsi dan tiga ratusan kabupaten. Di setiap kabupaten
terdiri dari ratusan kampung. Bila terdapat dua atau 3 anak tak
bersekolah di satu desa, maka begitu banyak anak belum mengenyam
pendidikan. Jika dilihat secara makro, hal yang semula tampak wajar kini
menjadi urgen untuk segera dibenahi. Kenapa? Karena sungguh terkait
erat dengan masa depan Republik tercinta.
Sebagai solusi
praktis, penulis melirik ke model pendidikan alternatif. Menurut
pendamping ekskul Teater ini pembelajaran nonformal dapat menjangkau
masyarakat marjinal di akar rumput. Sehingga akses pendidikan kian
terbuka lebar bagi semua kalangan. Secara lebih mendalam penulis
menandaskan, “Pendekatan yang efektif adalah pendekatan yang menyentuh
hati dan sisi manusiawi peserta didik. Apa saja akan dilakukan murid,
jika hatinya tersentuh dan batinnya telah tergerak (halaman 80).”
Buku ini menyiratkan bahwa masih ada
harapan dalam dunia pendidikan kita. Saatnya masyarakat, pemerintah dan
pihak swasta bersinergi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebab
pendidikan merupakan tanggung jawab bersama. Selamat membaca!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar