September 19, 2012

Cermin Totalitas Seorang Guru

Dimuat di Majalah Educare, Edisi No.6/IX/September 2012
Berikut ini versi awal sebelum diedit Yth. Redaktur

Judul: Sekolah itu Surga
Penulis: HJ. Sriyanto
Kata Pengantar dan Epilog: St. Kartono dan A.A. Kunto A
Penerbit:  Selingkar Rumah Idea (SRI) Pustaka, Yogyakarta
Cetakan: 1/April 2012
Tebal:  xvi + 162 halaman
ISBN:  978-602-98333-8-6

Bantingan merupakan tradisi unik di SMA Kolese De Britto, Yogyakarta. Artinya, mengumpulkan uang secara sukarela dan semampunya untuk membantu sesama yang sedang menderita. Sesuai moto man for others – man with others (manusia hidup untuk dan bersama orang lain).

Dalam buku ini, HJ Sriyanto menceritakan kisah nyata. Ada seorang murid sekian lama tidak masuk sekolah. Tentu hal itu menimbulkan pertanyaan di benak siswa-siswa lain. Kemudian, beberapa murid berinisiatif mencari informasi ihwal temannya tersebut.

Ternyata siswa tadi mengidap penyakit yang cukup serius. Kendati demikian, ia tak mau memberitahu kepada orang tuanya. Kenapa? Karena si anak enggan membebani keluarga yang notabene memang sudah serba kecingkrangan secara ekonomi.

Sebagai solusi, seluruh murid beserta guru pendamping sepakat untuk bantingan. Siang itu, terkumpul sejumlah uang. Tampaknya sudah lumayan banyak, namun tetap belum mencukupi untuk mengobati penyakit teman mereka.

Akhirnya, setiap hari selama seminggu penuh mereka melakukan bantingan. Caranya, dengan menyisihkan uang saku masing-masing. Sayangnya, itu pun belum mampu menutup biaya pengobatan

Untungnya, ada seorang siswa menemui Mbah Joyo (nama panggilan HJ Sriyanto di kelas) seusai jam pelajaran. Ia menawarkan diri melunasi seluruh tagihan dari rumah sakit. Tapi syaratnya, tak boleh ada siswa lain yang tahu (halaman 68).

Lewat cerita di atas, penulis - yang berprofesi sebagai Guru Matematika tersebut – menyarikan esensi pendidikan. Proses pembelajaran seyogianya tak melulu memperhatikan intelek, tapi juga menyentuh batin dan menggerakkan tangan. Sehingga civitas akademika siap-sedia berbuat sesuatu sebagai wujud kepedulian pada teman, sahabat, saudara, dan sesama.

Ugahari

Buku ini terdiri atas 4 bab: Dari “Siapa Bilang Jadi Guru Itu Gampang?!” sampai “Mengarungi Arus Globalisasi.” Sekolah itu Surga merupakan buku perdananya yang bergenre non-teks.

Isinya bunga rampai artikel. Sebagian besar pernah dimuat di media massa, baik lokal maupun nasional. Antara lain Kompas, Kedaulatan Rakyat, Bernas Jogja, Majalah Educare, Majalah Teacher Guide, dll.

Pendamping ekstrakurikuler Teater tersebut mengaku berguru cara menarikan pena di atas kertas dari St. Kartono. Berikut ini penuturannya, “Takkan pernah terlupakan dialah yang mencorat-coret tulisan pertamaku sebelum dimuat di sebuah harian lokal (halaman viii).”

Ada sebuah kisah menggetarkan lainnya. Jelang kelahiran anak pertama, alumnus S1 Jurusan Pendidikan Matematika dan Pengetahuan Alam, Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta tersebut beserta istri pindah ke rumah di Cawas, Klaten, Jawa Tengah. Jaraknya tak kurang 45 km dari sekolah tempatnya bekerja di kota Gudeg.

Pilihan tersebut berdasarkan pertimbangan matang. Ia mau anaknya menghabiskan masa kecil di desa. Sehingga relatif dekat dengan alam (baca: sawah). Pun sang buah hati tumbuh mengakar dari lingkungan yang kental nuansa kebersamaan (gemeinscaft).

Konsekuensinya tidak mudah. Pak Guru harus nglaju (bolak-balik) dari Cawas ke Jogja setiap hari. Penulis berangkat pagi-pagi ketika orang lain masih terlelap di alam mimpi. Kemudian, ia baru pulang larut malam ketika pintu rumah para tetangga telah rapat terkunci. Inilah rutinitas yang dijalaninya dengan ugahari.

Ban bocor malam-malam, menembus kabut pagi, basah-kuyup terguyur hujan sudah biasa (halaman 7). Ibarat sebatang tongkat. Saat seseorang memegang ujung yang satu, maka ujung lainnya menjadi tak terpisahkan.

Refleksi

Buku ini juga mengungkap refleksi ayah 2 anak tersebut pasca mengikuti Advanced Teacher Programm (ATP) di St. Ignatius College Riverview. Letaknya tak jauh dari Rose Garden Sydney nan asri di Australia. Puluhan Guru dari pelbagai negara se-Asia dan Oseania berkumpul di sana.

Mereka  berbagi ilmu dan pengalaman mengajar di kelas. Baginya, ajang ini ibarat kawah candradimuka. Tempat berefleksi, mengevaluasi dan mengembangkan keahlian mengajar dengan dukungan fasilitas canggih ICT (Information, Communication, Telecommunication).

Penulis 30 buku teks pelajaran Matematika itu tertegun menyaksikan kelas kolaborasi (halaman 135). Dua guru yang mengampu 2 mata pelajar berbeda berduet mengajar di satu kelas secara bersamaan. Hebatnya, kelas ICT dan kelas Bahasa Inggris bersinergi penuh harmoni. Mereka bersama membuat proyek Majalah Sekolah (School Magazine).

Guru ICT menjelaskan ihwal materi bagaimana membuat desain majalah, tata letak, editing gambar, dll. Sedangkan, Guru Bahasa Inggris melatih cara mengisi content-nya. Seperti bagaimana menulis artikel/opini/resensi, membuat tajuk, menulis feature, mengirim surat ke redaksi, dll. Semuanya terintegrasi secara apik.

Buku ini relatif kaya sumber referensi. Menyiratkan kalau penulisnya hobi membaca. Antara lain Impian Dari Yogyakarta (Romo Y.B Mangunwijaya, Penerbit Buku Kompas:2003), Pedadogi Hati (Paulo Freire, Kanisius:2011), Pendidikan Popular Membangun Kesadaran Kritis (Roem Topatimasang dkk, Insist Press:2007), Menjadi Guru Sejati (M. Gorky Sembiring, Galang Press:2008). Untuk daftar lengkapanya silakan cek di halaman 159-160.

Pada bagian “Mengarungi Zaman” (bab 4), penulis mengutip pendapat Wolgang Grulke (2001). Menurutnya, menjelang tahun 2020 dunia akan mencair menuju satu titik. Batas negara dan ekonomi tiada lagi. Setiap orang memiliki kesempatan yang sama di muka bumi ini (halaman 121).

Selain itu, kemajuan teknologi dan ekonomi tak terbendung. Perubahan-perubahan tersebut tak lagi linear sehingga lebih sulit diprediksi. Dalam konteks tersebut, informasi dan ide menjadi penopang ekonomi baru.

Alhasil, ilmu murni menjadi kadaluarsa. Dalam arti “ia” harus ditransformasikan menjadi ide dan keahlian (skill) tertentu. Hanya orang yang kreatif yang bisa survive di era globalisasi. Karena tingkat kompetisinya begitu tinggi.

Sebagai langkah antisipatif, penulis menyodorkan satu jurus mujarab. Yakni, menumbuhkan kebiasaan berpikir dalam diri anak didik. Sehingga para siswa berani berpikir, bisa mempertanggungjawabkan pemikirannya, pun telaten berkontemplasi secara mendasar.

Peran guru sangat signifikan dalam proses pendampingan tersebut. Pendidik harus terus membuka diri dan mau belajar. Sehingga mampu melihat persoalan dari pelbagai sudut pandang. Pun sudi menghargai pemikiran orang lain yang berbeda. Karena kebenaran tidak pernah bersifat tunggal (halaman 99).

Senada dengan pendapat Mardiaatmadja. Ada 3 prinsip utama pendidikan humanis. (1) Dalam proses pendidikan, pengembangan hati dan pikiran harus berjalan bersama. (2) Peserta didik harus diberi kesempatan untuk berkenalan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal dan abadi. (3) Dalam pendidikan harus ada kerjasama antara pendidik dan peserta didik secara erat, baik pada ranah teori maupun praktek (halaman 66).

Harapan

Selain mengajar di kelas, penulis juga terlibat aktif dalam program pendampingan kaum muda. Terutama melalui media Teater Rakyat di pelbagai tempat. Antara lain di Solo, Wonogiri, Sukabumi, Surabaya, Bima NTB, Toraja dan Dilli, Timor Leste.

Colegio De Sao Jose merupakan sekolah lain yang sempat disambangi pria kelahiran 23 Mei 1975 tersebut. Letaknya di pelosok Timor Leste sana. Meski sudah 10 tahun berpisah dari NKRI, negeri muda itu menghadapi kendala pendidikan.

Akarnya karena perbedaan bahasa. Ada 3 ragam di sana: Tetun, Indonesia, dan Portugis. Bahasa Tetun merupakan dialek lokal. Sayangnya, banyak istilah iptek yang tak ada padanan katanya. Secara politis, pemerintah lebih menginginkan bahasa Portugis sebagai bahasa pengantar di sekolah.

Dalam perjalanan ke Maubara,  ia menyaksikan pemandangan miris. Para Guru duduk berdesak-desakan di bak terbuka di belakang truk. Selama 3 jam nonstop mereka terpanggang sinar matahari yang begitu terik.

Syahdan, HJ Sriyanto teringat para koleganya di pulau Jawa. Mereka acapkali berkeluh-kesah meski pergi ke sekolah dengan naik sepeda motor atau mobil ber-AC. Padahal wajah para guru di Dilli itu, tak sekilas pun menyiratkan keputusasaan.

Selain itu, terungkap pula kisah mencekam pascareferendum. Para Guru bertaruh nyawa di bandara Timor Leste. Mereka berupaya menenangkan pengungsi dan anak didik mereka yang histeris ketakutan. Desingan peluru jelas terdengar di atas kepala. Kesaksian itu membuat penulis tak kuasa berkata-kata. Dalam hati ia membatin, “Semoga aku bisa menjadi perpanjangan tangan untuk menyalurkan harapan…” (halaman 143)

Buku ini juga mengungkap investigasi Majalah Tempo. Terkait masalah klasik rendahnya gaji guru. Menurut penelitian tersebut, permasalahan paling berat yang dihadapi guru ialah 74% karena gaji guru yang kecil, 36% karena anak didik yang nakal, 23% karena kurikulum yang berubah-ubah, 8% sebab tanggung jawab sebagai Guru.

Respondennya berjumlah 506 Guru, lokusnya memang di DKI Jakarta. Kendati demikian, data tersebut bisa merepresentasikan masalah pendidikan secara nasional. Karena cekaknya gaji, sebagian guru (honorer) mencari tambahan di luar. Alhasil, keprofesionalannya sebagai pendidik tak pernah optimal (halaman 38).

Padahal suami dari Danish Wuryaning ini melihat peran guru sejatinya untuk mengantarkan manusia-manusia muda. Sehingga mereka akhirnya memasuki pintu gerbang masa depan yang lebih cemerlang. Walau dengan konsekuensi, ia sendiri tak pernah memasuki pintu tersebut. Inilah sisi altruis seorang Guru Sejati.

Dalam konteks tersebut, pendapat Erick Hanushek menjadi relevan. Pakar ekonomi dari Universitas Standford tersebut meyakini bahwa pengaruh guru mengalahkan pengaruh sekolah. Anak didik lebih baik berada di sekolah jelek dengan guru hebat ketimbang di sekolah bagus dengan guru payah. Tentu idealnya belajar di sekolah bagus dengan guru hebat.

Buku setebal 162 halaman ini sebuah cerminan totalitas penulisnya. Dengan merenungkan setiap lembarnya, sidang pembaca (terutama para guru) niscaya jadi lebih bersemangat datang ke sekolah setiap pagi. Menyitir pendapat Presiden Ikatan Alumni De Britto, Haji Datuk Sweida Zulalhamsyah, “Buku yang menarik, sebuah kisah seorang guru, ditulis dalam format nyata, penuh dengan riset yang mendasar, baik dijadikan bahan diskusi ilmiah, tanpa guru apalah jadinya.” Selamat membaca! (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru Sekolah Alam Angon http://www.angon.org/ dan Ekstrakurikuler Bahasa Inggris SMP Kanisius Sleman, TK Mata Air, TK Pangudi Luhur, Yogyakarta)
13480678001546718201

Tidak ada komentar: