Dimuat di Jogjakarta-Jateng Pos, Minggu/2 September 2012
Judul: Javanese Wisdom, Butir-butir Kebijaksanaan Kuno bagi Manusia Modern
Penulis: Anand Krishna Ph.D
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: 1/ Juni 2012
Tebal: xvi + 258 halaman
Harga: Rp55.000
ISBN: 978-979-22-8596-3
Aja adigang!
Jangan sok kuasa! Wejangan leluhur ini tetap relevan diejawantahkan
dalam konteks kekinian. Nikmat anggur kekuasaan memang memabukkan.
Bahkan, cenderung membuat manusia gelap mata dan melik nggendong lali
(kepemilikan membawa lupa). Penulis melukiskan pejabat yang mendewakan
kedudukan ibarat orang yang diduduki kursinya sendiri (halaman 15).
Lewat
buku ini, Anand Krishna merevitalisasi ajaran masa silam. Penulis
produktif 150 buku lebih tersebut mengajak pembaca belajar dari
sejarah. Penguasa lalim yang ditakuti, para diktator yang memerintah
dengan tangan besi, dari Hitler sampai Mussolini, toh akhirnya berlalu ditelan zaman. Senada dengan kata pepatah, “Everything is passing bye.” Semuanya sedang berlalu.
Dalam
konteks di atas, kerendahan hati menjadi signifikan. Kepemilikan
materi menjadi hampa tanpa kepiawaian mengendalikan diri. Penguasa
sejati ialah orang yang mampu me-menej
kelima panca indra, pikiran, dan perasaannya sendiri. Tokoh humanis
lintas agama tersebut berbagi resep sederhana. Setiap kali ular
kesombongan siap mematuk, menepilah sejenak untuk beberapa saat.
Tak
perlu berlama-lama, bisa dengan sekadar masuk ke toilet (WC) umum.
Kemudian, sadari mekanisme tarik-buang nafas. Perlahan rasakan
kesejukan saat menghirup oksigen (O2) segar dan kehangatan saat
membuang karbondioksida (CO2) lewat kedua rongga hidung. Lakukan selama
minimal 3 menit, lebih baik dengan menutup mata. Agar membatasi stimuli
dari dunia luar (halaman 14).
Menurut
penulis, nafas berkelindan erat dengan detak jantung dan hiruk-pikuk
pikiran. Penelitian para ilmuwan mencetuskan rumusan matematis 1: 3 :
9. Sekali menarik nafas, jantung berdetak 3 kali, dan sembilan pikiran (thought) melintasi
layar benak manusia. Ibarat memegang tongkat, dengan mengendalikan
ujung yang satu (nafas) niscaya ujung yang lain (pikiran) pun
terkendali. Manusia rata-rata bernafas 25 siklus per menit. Sedangkan,
monyet bisa mencapai di atas 30 siklus nafas per menit.
Sekelumit
fakta menakjubkan ihwal nafas. Sebuah mekanisme vital yang acapkali
disepelekan. Ternyata setiap hari manusia mendapat subsidi Rp170 juta
dari Tuhan. Kenapa? Karena rata-rata seseorang membutuhkan oksigen
sebanyak 2.880 liter/hari dan nitrogen 11.376 liter/hari. Jika harga 1
liter O2 di Rumah Sakit (RS) Rp25.000/liter dan Rp9.950/liter untuk
nitrogen, maka totalnya setara nominal di atas. (Cahyono Agus, Dosen Fak Kehutanan UGM: 2011).
Javanese Wisdom memuat 27 petuah bijak dari tanah Jawa. Antara lain Entek
Amek Kurang Golek, Sopo Nandur Bakal Ngunduh, Urip Iku Urup, Dijupuk
Iwake Aja Nganti Butheg Banyune, Bobot Bibit Bebet, Fikir Kuwi
Pepadhang Dino, Ngani Ngalah Luhur Wekasane, Tunggak Jarak Mrajak
Tunggal Jati Mati, dll.
Menurut Bondan Sikoki, SE, MA, membaca buku ini mengingatkannya pada
nasihat orangtuanya. Mereka dulu juga sering menggunakan
ungkapan-ungkapan Jawa. Pendiri Yayasan SurveyMETER tersebut
berpendapat bahwa nilai-nilai tersebut sangat bermanfaat (migunani) dalam pembentukan karakter generasi penerus bangsa.
Yang paling menarik ialah wewarah Ojo Dumeh.
Peringatan ini tepat diberikan saat manusia lupa daratan. Misalnya,
mentang-mentang punya jabatan, maka mempermainkan siapa saja…hei ojo dumeh! Mentang-mentang punya uang banyak, maka menganggap remeh orang miskin, hei ojo dumeh! Semua toh hanya amanah dan titipan, jadi seyogianya digunakan untuk kebaikan semua orang (halaman 133).
Buku ini merupakan buku ketiga Anand Krishna yang mengulas khasanah budaya lokal. Sebelumnya ada The Wisdom of Bali (Bilingual, 2010) dan The Wisdom of Sundaland
(bahasa Inggris, 2012). Kepulauan Nusantara terdiri atas 500-an lebih
suku bangsa. Masing-masing memiliki tradisi dan kearifan lokal. Semakin
banyak penulis yang menggali kekayaan budaya niscaya dapat menjadi
penopang pembangunan ekonomi dan politik nasional. Selain itu, bisa
menjadi daya tarik bagi dunia barat. Sebab bandul peradaban kini mulai
beralih ke timur.
Petuah lain yang penting ialah Kegedhen Empyak Kurang Cagak.
Inisiatif SBY hendak mensubsidi IMF patut diapresiasi. Namun senada
dengan ajaran leluhur tersebut, marilah menyeimbangkan antara
pengeluaran dan penghasilan. Jangan sampai hanya karena gengsi bangsa
ini justru kian terlilit utang. Bila ada pemasukan lebih, hendaknya
disisihkan untuk menanam kedelai. Sebagai bahan baku tempe agar tak
harus impor lagi.
Salah
satu sarana ampuh untuk mengingat jati diri ialah nama. Orang tua
tidak sembarangan memberikannya. Itu merupakan doa syukur sekaligus
harapan masa depan. Sebab, harimau mati ninggalke kulit, manusia mati ninggalke jeneng. Harimau mati meninggalkan kulit, manusia mati menginggalkan nama.
Misalnya Ir. Soekarno, Sang Bapak Bangsa sekaligus Presiden I RI. Nama beliau berarti ia yang ber “karna”, bertelinga “su” atau
baik. Tentu bukan sekadar telinga fisik. Bung Karno sudi mendengarkan
jeritan hati rakyat. Selanjutnya, Abdurahman Wahid, wujud Sang Kasih.
Artinya, ia yang mengabdi kepada Rahman, Hyang Maha Kasih. Bahkan beliau menjadi wujud Kasih itu sendiri (halaman 78).
Buku
setebal 258 halaman ini dapat mengingatkan pembaca pada akar budaya
bangsa. Terutama khasanah kearifan lokal Jawa. Tak perlu jauh-jauh
mencari ke negeri seberang sana karena leluhur kita telah mewariskan
filosofi hidup adiluhung nan universal. Selamat membaca dan
melakoninya. Rahayu! (T.
Nugroho Angkasa S.Pd, Guru Bahasa Inggris di PKBM Angon (Sekolah
Alam), Ekskul English Club SMP Kanisius, TK Mata Air Sleman, TK Pangudi
Luhur Yogyakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar