Dimuat di Majalah Basis, No. 09-10, Tahun ke-61, 2012
Judul: Penyair Kebenaran di Republik Kekerasan
Penulis: Mutiara Andalas, SJ
Epilog: Suciwati dan Maria K. Sumarsih
Penerbit: Kanisius
Cetakan: 1/ Juni 2012
Tebal: 364 halaman
ISBN: 978-979-21-3321-9
“Sesuatu yang datang dari hati,
pasti mampu menyentuh hati semua orang. Lepas dari apapun suku, ras,
dan agama orang itu. Karena hati bicara hanya dalam satu bahasa dan
bahasa Mutiara Andalas adalah bahasa hati…” - Zarra Zettira ZR
Sepenggal kisah – walau sekadar menyebut
nama (almarhum) Wawan dan Munir – begitu bertuah di era rezim
penguasa yang pelupa. Masyarakat korban memaknai dusta negara sebagai
antidot kebenaran. Terlebih dewasa ini, lembaga hukum justru menjadi
pelanggeng kebohongan publik ketimbang sebagai pejuang keadilan.
Dalam konteks di atas, militansi
Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) menggelar “Aksi
Kamisan” di depan Istana Negara rutin setiap minggu sejak 18 Januari
2007 mesti diacungi dua jempol. Mereka memilih turun ke jalan - walau
mesti tersengat terik mentari dan diguyur hujan deras - demi
menuntut pengusutan kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Kenapa? Karena menurut Karlina Leksono-Supelli, permintaan pemerintah
Indonesia kepada masyarakat korban untuk (sabar) menunggu, sebagai
eufemisme dari mengulur-ulur waktu saja.
“Penyair Kebenaran di Republik
Kekerasan” lebih berpuisi ketimbang beropini. Buku ini lebih sebagai
mazmur daripada analisis politik. Isinya lantunan syair ratapan
paguyuban masyarakat korban kepada Allah. Sebagai refleksi atas
misteri ziarah kehidupan ini. Inspirasinya bersumber dari pengalaman
riil di akar rumput (grassroot).
Dosen Teori Kritis (Critical Theory) di
Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta ini menyebut mereka
pendamping akademik sekaligus guru kehidupan. Karena mendidik
Patrisius Mutiara Andalas SJ untuk peka mendengarkan curahan rasa para
korban-penyintas (victim-survivor) tragedi manusia. Dengan
menyajikan kembali kesaksian mereka, paderi Jesuit ini dikuatkan agar
(lebih) lantang menyuarakan kebenaran di Republik Kekerasan.
Menurut Romo Mutiara Andalas, proses
penulisannya ibarat bocah belajar alfabet. Alumnus Seminari
Mertoyudan ini mengeja abjad untuk mengisahkan derita dan asa
masyarakat korban. Lulusan Jesuit School of Theology
Universitas Santa Clara, Berkeley, California tersebut jeli mencari
diksi yang memadai bagi narasinya. Namun tak terpungkiri, banyak jeda
air mata di sini. Terlebih tatkala bersua dengan kematian dini para
korban penindasan.
Alumnus SMA Kanisius Jakarta ini juga
menyelami pemikiran Pablo Neruda (1904-1973). Sebait puisi kritis
penyair Chile itu tepat menyiratkan pergulatan batin masyarakat
korban dalam mencari pelaku tindak pelanggaran HAM, “Pero sabes de donde viene la muerte, de arriba ode abajo?” (Dari manakah asal kematian, dari atas atau bawah?)
Selain itu, keterlibatan penulis bersama
masyarakat korban dan gerakan advokasinya - terutama Tim Relawan
untuk Kemanusiaan dan Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan –
menyentil nurani pria kelahiran 16 November 1974 ini untuk melukis
paras Republik dari perspektif korban. Sebab keadaan korban begitu
ringkih. Apalagi tatkala berhadapan dengan serangan teror terhadap
kehidupan (baca: nyawa) mereka.
Alumnus STF Driyarkara Jakarta ini
merujuk pada - yang akademisi-aktivis kemanusiaan Judith Butler namai
sebagai - kerentanan kehidupan (precariousness of life).
Pada saat yang sama, secara paradoksal perjumpaan dengan masyarakat
korban menyingkap pula - meminjam tesis teolog pembebasan Jon Sobrino
- kesucian hidup dalam arti paling mendasar (primordial saintliness).
Pengalaman keluarga korban, seperti
Maria Katharina Sumarsih (60) niscaya membuat pembaca kehabisan kata.
Ibunda dari Bernardus Realino Norma Irmawan (mahasiswa Atmajaya
Jakarta yang tewas (ter/di)tembak dalam tragedi Semanggi I) itu
menulis, “Ayat-ayat Kitab Suci yang menuntun bila aku menghadapi
pergumulan untuk menentukan langkah. Aku melakukan sesuatu atau
tidak, Wawan tidak akan hidup lagi. Di sisi lain, aparat negara
begitu mudah menghilangkan nyawa manusia. Tetapi Tuhan Yesus
mencintai dan mengasihi umat-Nya. Aku berserah diri, biarlah Tuhan
yang mengatur kemana hati, pikiran, dan kakiku harus melangkah. Doa,
puasa, dan air mata mengiringi hidupku.”
Refleksi menggetarkan lainnya dikisahkan
Suciwati Munir di bagian epilog. Beliau mencari kehendak Allah dari
tengah pusaran pengalaman seorang istri yang suami tercintanya
direnggut penguasa. Kini Suciwati menjadi orang tua tunggal (single
parent) bagi kedua anaknya. Tekad hidupnya ialah untuk meneruskan
perjuangan almarhum Munir Said Thalib (8 Desember 1965 - 7 September
2004).
“Aku hanya bisa menangis. Si sulung
Alif, saat itu baru 6 tahun, melihatku dengan sedih dan ikut
menangis. Diva terus bertanya dalam ketidakmengertiannya, “Kenapa Ibu
menangis?” Aku merasa seolah jauh dari dunia nyata. Kosong. Jiwaku
hampa. Saat itu, dengan kedangkalanku sebagai manusia, sejuta
pertanyaan dan gugatan terlontar kepada Tuhan. “Kenapa bukan aku saja
yang Engkau panggil, Ya Allah? Mengapa harus dia? Mengapa dengan
cara seperti ini? Mengapa harus saat ini? Mengapa? Ya Allah, Kau
boleh ambil nyawaku, hamba siap menggantikannya. Dia masih sangat
kami butuhkan, negara ini butuh dia.”
Buku setebal 364 halaman ini ialah
ungkapan belarasa terhadap paguyuban masyarakat dan keluarga korban.
Sejatinya, derita mereka merupakan salib sejarah peradaban umat
manusia. Seturut wejangan Yesus dalam Matius 25:40, “Sesungguhnya,
segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku
yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku….” Selamat
membaca dan salam keadilan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar