September 26, 2012

Melukis Paras Republik dari Perspektif Korban


Dimuat di Majalah Basis, No. 09-10, Tahun ke-61, 2012

Judul: Penyair Kebenaran di Republik Kekerasan
Penulis: Mutiara Andalas, SJ
Epilog: Suciwati dan Maria K. Sumarsih
Penerbit: Kanisius
Cetakan: 1/ Juni 2012
Tebal: 364 halaman
ISBN: 978-979-21-3321-9

“Sesuatu yang datang dari hati, pasti mampu menyentuh hati semua orang. Lepas dari apapun suku, ras, dan agama orang itu. Karena hati bicara hanya dalam satu bahasa dan bahasa Mutiara Andalas adalah bahasa hati…” - Zarra Zettira ZR

Sepenggal kisah – walau sekadar menyebut nama (almarhum) Wawan dan Munir – begitu bertuah di era rezim penguasa yang pelupa. Masyarakat korban memaknai dusta negara sebagai antidot kebenaran. Terlebih dewasa ini, lembaga hukum justru menjadi pelanggeng kebohongan publik ketimbang sebagai pejuang keadilan.

Dalam konteks di atas, militansi Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) menggelar “Aksi Kamisan” di depan Istana Negara rutin setiap minggu sejak 18 Januari 2007 mesti diacungi dua jempol. Mereka memilih turun ke jalan - walau mesti tersengat terik mentari dan diguyur hujan deras - demi menuntut pengusutan kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Kenapa? Karena menurut Karlina Leksono-Supelli, permintaan pemerintah Indonesia kepada masyarakat korban untuk (sabar) menunggu, sebagai eufemisme dari mengulur-ulur waktu saja.

“Penyair Kebenaran di Republik Kekerasan” lebih  berpuisi ketimbang beropini. Buku ini lebih sebagai mazmur daripada analisis politik. Isinya lantunan syair ratapan paguyuban masyarakat korban kepada Allah. Sebagai refleksi atas misteri ziarah kehidupan ini. Inspirasinya bersumber dari pengalaman riil di akar rumput (grassroot).

Dosen Teori Kritis (Critical Theory) di Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta ini menyebut mereka pendamping akademik sekaligus guru kehidupan. Karena mendidik Patrisius Mutiara Andalas SJ untuk peka mendengarkan curahan rasa para korban-penyintas (victim-survivor) tragedi manusia. Dengan menyajikan kembali kesaksian mereka, paderi Jesuit ini dikuatkan agar (lebih) lantang menyuarakan kebenaran di Republik Kekerasan.

Menurut Romo Mutiara Andalas, proses penulisannya ibarat bocah belajar alfabet. Alumnus Seminari Mertoyudan ini mengeja abjad untuk mengisahkan derita dan asa masyarakat korban. Lulusan Jesuit School of Theology Universitas Santa Clara, Berkeley, California tersebut jeli mencari diksi yang memadai bagi narasinya. Namun tak terpungkiri, banyak jeda air mata di sini. Terlebih tatkala bersua dengan kematian dini para korban penindasan.

Alumnus SMA Kanisius Jakarta ini juga menyelami pemikiran Pablo Neruda (1904-1973). Sebait puisi kritis penyair Chile itu tepat menyiratkan pergulatan batin masyarakat korban dalam mencari pelaku tindak pelanggaran HAM, “Pero sabes de donde viene la muerte, de arriba ode abajo?” (Dari manakah asal kematian, dari atas atau bawah?)

Selain itu, keterlibatan penulis bersama masyarakat korban dan gerakan advokasinya - terutama Tim Relawan untuk Kemanusiaan dan Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan – menyentil nurani pria kelahiran 16 November 1974 ini untuk melukis paras Republik dari perspektif korban. Sebab keadaan korban begitu ringkih. Apalagi tatkala berhadapan dengan serangan teror terhadap kehidupan (baca: nyawa) mereka.

Alumnus STF Driyarkara Jakarta ini merujuk pada - yang akademisi-aktivis kemanusiaan Judith Butler namai sebagai - kerentanan kehidupan (precariousness of life). Pada saat yang sama, secara paradoksal perjumpaan dengan masyarakat korban menyingkap pula - meminjam tesis teolog pembebasan Jon Sobrino - kesucian hidup dalam arti paling mendasar (primordial saintliness).

Pengalaman keluarga korban, seperti Maria Katharina Sumarsih (60) niscaya membuat pembaca kehabisan kata. Ibunda dari Bernardus Realino Norma Irmawan (mahasiswa Atmajaya Jakarta yang tewas (ter/di)tembak dalam tragedi Semanggi I) itu menulis, “Ayat-ayat Kitab Suci yang menuntun bila aku menghadapi pergumulan untuk menentukan langkah. Aku melakukan sesuatu atau tidak, Wawan tidak akan hidup lagi. Di sisi lain, aparat negara begitu mudah menghilangkan nyawa manusia. Tetapi Tuhan Yesus mencintai dan mengasihi umat-Nya. Aku berserah diri, biarlah Tuhan yang mengatur kemana hati, pikiran, dan kakiku harus melangkah. Doa, puasa, dan air mata mengiringi hidupku.”

Refleksi menggetarkan lainnya dikisahkan Suciwati Munir di bagian epilog. Beliau mencari kehendak Allah dari tengah pusaran pengalaman seorang istri yang suami tercintanya direnggut penguasa. Kini Suciwati menjadi orang tua tunggal (single parent) bagi kedua anaknya. Tekad hidupnya ialah untuk meneruskan perjuangan almarhum Munir Said Thalib (8 Desember 1965 - 7 September 2004).

“Aku hanya bisa menangis. Si sulung Alif, saat itu baru 6 tahun, melihatku dengan sedih dan ikut menangis. Diva terus bertanya dalam ketidakmengertiannya, “Kenapa Ibu menangis?” Aku merasa seolah jauh dari dunia nyata. Kosong. Jiwaku hampa. Saat itu, dengan kedangkalanku sebagai manusia, sejuta pertanyaan dan gugatan terlontar kepada Tuhan. “Kenapa bukan aku saja yang Engkau panggil, Ya Allah? Mengapa harus dia? Mengapa dengan cara seperti ini? Mengapa harus saat ini? Mengapa? Ya Allah, Kau boleh ambil nyawaku, hamba siap menggantikannya. Dia masih sangat kami butuhkan, negara ini butuh dia.”

Buku setebal 364 halaman ini ialah ungkapan belarasa terhadap paguyuban masyarakat dan keluarga korban. Sejatinya, derita mereka merupakan salib sejarah peradaban umat manusia. Seturut wejangan Yesus dalam Matius 25:40, “Sesungguhnya, segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku….” Selamat membaca dan salam keadilan!

1348662041810512217

Tidak ada komentar: