September 25, 2012

Buah Pikiran Seseorang Tak Boleh Dihakimi


Di media online Tempo Interaktif (25/2/2010) pengacara Tara Pradipta Laksmi, Agung Mattauch mengaku, “Pelecehan hanya entry gate untuk persoalan yang lebih serius. Ini adalah penodaan agama.” (Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2010/02/25/064228390/Anand-Krishna-Dituding-Sebarkan-Ajaran-Sesat).

Romo Franz Magnis Suseno SJ telah memprediksi sejak dini. Dosen Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta tersebut mengatakan, “Tuduhan pelecehan seksual yang dialamatkan kepada Anand Krishna hanya pengalihan dari sebuah skenario besar. Tujuannya untuk menjatuhkan buah pikiran tokoh spiritual lintas agama itu.”

Padahal penghakiman buah pikiran seseorang tak sepantasnya dilakukan di negara demokrasi. Selain itu, kenapa dalam persidangan lebih banyak dipertanyakan pemikiran Anand terkait pluralisme dan kebinekaan. Romo Magnis melihatnya sebagai kekurangajaran yang luar biasa (Sumber: http://freeanandkrishna.com/in/ ).

Senada dengan pendapat Utami Pidada. Ia pun melihat apa yang dituduhkan terhadap tokoh-tokoh pejuang Pancasila hanya entry point. Tujuannya sekadar membangun opini negatif di masyarakat. Hal ini pula yang dialami Anand Krishna.

Terkait pemikiran-pemikiran Anand Krishna, yang banyak tertuang dalam lebih dari 150 bukunya, Rev. Mindawati Perangin-angin Ph.D, seorang pendeta (Anggota Lutheran World Federation) malah tidak mempersoalkan sama sekali.

“Dulu ada bukunya Anand Krishna, yang berjudul A New Christ (Gramedia: 2010), ada orang yang tidak suka dengan bukunya tersebut. Tapi setelah saya baca, ternyata orang yang tidak suka itu memang yang tidak paham tentang agama,” ujarnya.

Lebih lanjut, apa sebenarnya cita-cita yang diperjuangkan Anand Krishna? Masyarakat Indonesia bahkan dunia hidup selaras dengan alam dan tidak terkotak-kotak atas dasar suku, agama, ras, dst. Ia tak gentar mengeritik mereka yang menimbulkan perpecahan, menyelewengkan jabatan dan membodoh-bodohi rakyat.

Oleh sebab itu, pihak-pihak tersebut saweran untuk merekayasa kasus fiktif. Agar bisa menghentikan kegiatan wujudkan visi Satu Bumi, Satu Langit, dan Satu Umat Manusia. Sungguh ironis, lembaga tinggi negara seperti MA pun ternyata dijadikan alat mereka. Menyitir puisi Wiji Widodo alias Wiji Thukul, “Hanya ada satu kata: LAWAN!”

13486361852013331612

Tidak ada komentar: