Di media online Tempo Interaktif (25/2/2010) pengacara Tara Pradipta Laksmi, Agung Mattauch mengaku, “Pelecehan hanya entry gate untuk persoalan yang lebih serius. Ini adalah penodaan agama.” (Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2010/02/25/064228390/Anand-Krishna-Dituding-Sebarkan-Ajaran-Sesat).
Romo Franz Magnis
Suseno SJ telah memprediksi sejak dini. Dosen Sekolah Tinggi Filsafat
(STF) Driyarkara Jakarta tersebut mengatakan, “Tuduhan pelecehan seksual
yang dialamatkan kepada Anand Krishna hanya pengalihan dari sebuah
skenario besar. Tujuannya untuk menjatuhkan buah pikiran tokoh spiritual
lintas agama itu.”
Padahal penghakiman
buah pikiran seseorang tak sepantasnya dilakukan di negara demokrasi.
Selain itu, kenapa dalam persidangan lebih banyak dipertanyakan
pemikiran Anand terkait pluralisme dan kebinekaan. Romo Magnis
melihatnya sebagai kekurangajaran yang luar biasa (Sumber: http://freeanandkrishna.com/in/ ).
Senada dengan pendapat Utami Pidada. Ia pun melihat apa yang dituduhkan terhadap tokoh-tokoh pejuang Pancasila hanya entry point. Tujuannya sekadar membangun opini negatif di masyarakat. Hal ini pula yang dialami Anand Krishna.
Terkait
pemikiran-pemikiran Anand Krishna, yang banyak tertuang dalam lebih dari
150 bukunya, Rev. Mindawati Perangin-angin Ph.D, seorang pendeta
(Anggota Lutheran World Federation) malah tidak mempersoalkan sama sekali.
“Dulu ada bukunya Anand Krishna, yang berjudul A New Christ (Gramedia: 2010),
ada orang yang tidak suka dengan bukunya tersebut. Tapi setelah saya
baca, ternyata orang yang tidak suka itu memang yang tidak paham tentang
agama,” ujarnya.
Lebih lanjut, apa sebenarnya cita-cita yang diperjuangkan Anand Krishna? Masyarakat Indonesia bahkan dunia hidup selaras dengan alam dan tidak terkotak-kotak atas dasar suku, agama, ras, dst. Ia tak gentar mengeritik mereka yang menimbulkan perpecahan, menyelewengkan jabatan dan membodoh-bodohi rakyat.
Oleh sebab itu, pihak-pihak tersebut saweran
untuk merekayasa kasus fiktif. Agar bisa menghentikan kegiatan wujudkan
visi Satu Bumi, Satu Langit, dan Satu Umat Manusia. Sungguh ironis,
lembaga tinggi negara seperti MA pun ternyata dijadikan alat mereka.
Menyitir puisi Wiji Widodo alias Wiji Thukul, “Hanya ada satu kata:
LAWAN!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar