September 28, 2013

Menjadikan Kegagalan sebagai Penemuan Terobosan

Dimuat di Jateng Pos, Minggu/29 September 2013 

Judul: Sederhana tapi Dahsyat
Penulis: Mustofa Romdloni
Penerbit: Kreasi Kata
Cetakan: 1/ Juni 2013
Tebal: 190 halaman
ISBN: 978-602-97066-4-2
Harga: Rp39.500,-

“Terimalah kegagalan, belajarlah dari kegagalan, bangkitlah, dan hasilkan kesuksesan lebih besar.” (Halaman 114)

Mustofa Romdloni terlahir di Boyolali, Jawa Tengah pada September 1977. Masa SD dan SMP Presiden Direktur PT Zenith Matrial Solution tersebut dihabiskan di pelosok kecamatan Sambi dan Simo, baru saat duduk di bangku SMA ia menuntut ilmu di kota kabupaten, yakni di SMAN1 Boyolali.

Pendidikan terakhir Direktur PT ABC Plastindo ini ialah S1 jurusan Teknik Kimia, Universitas Diponegoro Semarang, angkatan masuk 1995. Selepas lulus kuliah, ia mulai bekerja sebagai karyawan pada Maret 2000. Tapi pada Maret 2001 ia sudah pindah bekerja di perusahaan ketiga. Akhirnya, ia menyadari bahwa menjadi pegawai bukan jalan yang tepat untuk meraih kelimpahan finansial dan aktualisasi diri.

Ia pun mulai merintis jalan menjadi seorang pengusaha (entrepreneur). Kini omsetnya sudah milyaran rupiah dan membuka lapangan kerja bagi 50 karyawan lebih. Sebelumnya, penulis pernah menjadi guru les privat keliling, terjun dalam bisnis pemasaran jaringan atau MLM (Multi Level Marketing) yang menjajakan produk vitamin dan perawatan tubuh. Intinya, aneka ragam bisnis sempat ia tekuni, dari jualan sandal jepit, jaket kulit, speaker aktif, warung ayam bakar, ekspedisi jasa pengiriman barang, kontraktor, supplier umum, dan bisnis limbah plastik.

Lewat buku ini, Mustofa Romdloni berbagi tips sederhana untuk sukses berwirausaha. Ternyata modal utama bukan uang. Kebanyakan orang berasumsi bahwa uang ialah segalanya. Padahal, kalau seseorang diberi hibah 1 miliar rupiah dan dibebaskan memakainya untuk berbisnis, banyak yang kebingungan, “Untuk bisnis apa ya?”. Bahkan akhirnya banyak yang justru tergoda untuk memuaskan nafsu belanja dengan membeli rumah, mobil, dan barang-barang konsumtif lainnya. Alhasil, modal tersebut ludes tapi neraca laba bisnis masih nol besar.

Menurut penulis ada tiga modal utama untuk berbisnis, yakni 3 DE. Pertama, IDE. Ide bisnis berada di dalam pikiran atau otak manusia. Inspirasinya berasal dari apa yang dilihat, dengar, dan rasakan. Ide cemerlang bisa berupa pembuatan produk yang sama sekali baru atau sekadar memodifikasi produk yang sudah ada dengan memberi nilai tambah. Prinsipnya produk yang dihasilkan harus memfasilitasi orang agar bisa mengerjakan sesuatu dengan lebih mudah, atau memperoleh barang secara lebih murah, cepat, sehat, enak, dll.

Kedua, PEDE alias percaya diri. Tatkala telah menemukan ide yang bagus, kita harus percaya kepada ide tersebut dan percaya pada diri sendiri untuk bisa mewujudkannya menjadi nyata. Kepercayaan diri merupakan keyakinan bahwa kita bisa berhasil. Sebab manusia merupakan makhluk yang dianugerahi kemampuan untuk mencapai hal-hal yang menakjubkan. Banyak orang bisa sukses walau memiliki keterbatasan fisik sekalipun. Misalnya Beethoven yang tuna rungu tapi bisa menggubah aransemen musik klasik nan ciamik.

Ketiga, MIMPI GEDE. Cita-cita besar memberikan kekuatan dan terus menyalakan semangat dalam dinamika jatuh-bangun membangun usaha. Analoginya menarik, yakni ibarat si kucing yang mengejar-ngejar tikus. Orang lain mungkin bertanya-tanya, “Kenapa orang ini mau kerja keras setiap hari? Apa yang dia cari?” Orang yang keheranan tersebut hanya melihat “kucing” yang berlari meloncat kesana-kemari tetapi tikus (impian) hanya tampak dalam visi kita (halaman 49).

Sistematika buku ini terdiri atas tiga bagian pokok. Dari “Memulai,” “Berproses,” hingga “Naik Kelas dan Menjadi Besar”. Bahasanya sederhana dan mudah dipahami. Sehingga tidak membuat pembaca terpaksa mengernyitkan dahi.  Tesis utama penulis ialah bertindaklah! Karena menyitir petuah Lao Tsu, “Perjalanan ribuan mil harus dimulai dengan langkah pertama.” Senada dengan pepatah Afrika, “Berbicara tak akan membuat perut kenyang.”

Dalam konteks makro, penulis juga menyampaikan indikator kemajuan suatu negara. Semakin banyak suatu negara menghasilkan paten, berarti ada banyak riset, kreativitas, dan usaha lebih maju dari warga bangsa tersebut. Badan PBB yang mengurusi hak intelektual, World Intellectual Property Organization (WIPO) merilis data total aplikasi paten yang diajukan lewat Patent Cooperation Treaty (PCT) tahun 2011 ada 181.900.

Negara yang paling banyak menyumbang aplikasi paten ialah Amerika (48.596), Jepang (38.888), Jerman (18.568), Cina (16.406), Korea Selatan (10.447), Prancis (7.664), Inggris (4.844), Swiss (3.999), Belanda (3.494), Swedia (3.466), Kanada (2.923), Italia (2.671), Finlandia (2.080), Australia (1.740), dan Spanyol (1.725).

Lantas di mana posisi Indonesia? Kita ada di posisi ke-6 dalam negara-negara ASEAN. Urutan lengkapnya ialah Singapura (671), Malaysia (265), Thailand (66), Vietnam (18), Filipina (18), Indonesia (13), Laos (5), Myanmar (0), Kamboja (0), dan Brunei Darussalam (0). Agar peringkat Indonesia bisa merangkak naik, penulis  berinisiatif mendaftarkan dua merek produk unggulannya, yakni PolyRub dan Ratproof. Ia juga mengajak para pengusaha lainnya di Indonesia untuk mendaftakan merek produk dan patenkan penemuan-penemuan anak negeri (halaman 160).

Buku setebal 190 halaman ini layak dibaca oleh para pemula yang baru merintis usaha maupun para pengusaha yang telah memiliki jam terbang tinggi. Karena ditulis oleh seorang praktisi jadi lebih sebagai sharing pengalaman. Menjadi pengusaha sukses memang sebuah seni untuk menghubungkan titik-titik kegagalan menjadi garis keberhasilan. Selamat membaca!  

September 27, 2013

Berkaca dari Karya Kemanusiaan Romo Carolus

Dimuat di Bernas Jogja, Kamis-Jumat/26-27 September 2013

Judul: Mafia Irlandia di Kampung Laut, Jejak-jejak Romo Carolus OMI Memperjuangkan Kemanusiaan
Penulis: Anjar Anastasia dkk
Penyunting: Andi Tarigan
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: 1/Juni 2013
Tebal: xxvi + 180 halaman
ISBN: 978-979-22-9739-3
Harga: Rp45.000

“Menjadi murid Kristus harus cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati. Saya lumayan, paling tidak sudah 50 % menjadi murid Kristus. Saya sudah cerdik seperti ular tapi tulusnya belum ha..ha..ha..” (halaman xxii).

Begitulah penuturan Provinsial OMI, Romo Antonius Rajabana OMI ihwal pribadi Romo Carolus. Dalam tarekat OMI, Romo Carolus memang dikenal jujur dan gemar menertawakan diri sendiri. Tentu tanpa terperosok dalam sikap minder dan rendah diri.

Selain itu, pria asal Serville Palace, kota kecil yang tak jauh dari Dublin, Irlandia itu juga sungguh memegang teguh karya perutusannya sebagai misionaris OMI di Indonesia. Sebab pendiri OMI, St. Eugenius de Mazenod senantiasa berpesan bahwa tujuan pertama OMI ialah untuk menjadikan orang manusiawi.

Dalam buku ini terungkap bagaimana Romo Carolus beserta masyarakat Kampung Laut di Cilacap bergotong-royong membangun jalan, jembatan, membajak sawah, beternak, membuat ikan asin, menghijaukan kembali hutan bakau, mendirikan sekolah, dll. Anak keempat dari pasangan Edward Burrows dan Jane Burrows yang terlahir pada 8 April 1943 silam tersebut berusaha keras mengentaskan rakyat dari jurang kemiskinan.

Artinya, hanya berkothbah ihwal iman Kristiani sungguh menjadi kurang relevan atau tidak tepat waktu. Karena menjadi manusiawi (baca: sejahtera) merupakan tahapan yang sangat signifikan. Romo Carolus menyadari benar hal tersebut dan berseloroh begini, “Kekatolikan saya ini belum 20 %. Bagaimana saya bisa meng-katolik-kan orang lain?”

Buku “Mafia Irlandia di Kampung Laut, Jejak-jejak Romo Carolus OMI Memperjuangkan Kemanusiaan” ini juga mengulas tuntas kiprah penerima Maarif Award 2012 tersebut. Anjar Anastasia dkk menggarapnya secara kreatif. Sebab kalau mau dimasukkan ke genre biografi, sisi dari sang tokoh sendiri relatif sedikit. Tapi, kalau semacam laporan dalam bentuk narasi juga kurang pas. Ini lebih merupakan sebuah testimoni.

Sistematikanya terdiri atas 3 bagian pokok, yakni “Sambutan dan Kata Pengantar,” “Meniti Karya Mafia Irlandia di Cilacap,” dan “Romantic Fool Seorang Carolus OMI”. Salah satu kisah unik dalam buku ini ialah tentang “Beasiswa Kambing”.

Beasiswa tersebut diberikan kepada siswa-siswi di SMA Jeruklegi. Mereka mendapat kambing untuk dipelihara supaya beranak pinak. Kemudian, anak kambingnya boleh dijual. Cara tersebut tak sekadar mendidik siswa agar menjadi penggembala kambing, tapi juga agar belajar bertanggungjawab (halaman 39).

Suatu hari, salah satu penerima “beasiswa kambing” mengawinkan kambing betinanya dengan pejantan yang besar. Mungkin agar kelak keturunan kambingnya besar juga. Perkawinan semi-silang itu ternyata sukses. Kambing betina hamil dan tinggal menunggu saat melahirkan. Si anak penerima beasiswa sungguh bahagia.

Tibalah saat persalinan. Si anak menunggui kambingnya melahirkan. Tapi kambingnya tampak kesulitan. Dengan tangkas anak itu membantu kambing yang sedang berjuang melahirkan anaknya. Kalau ada bagian anak kambing yang terlihat, anak itu segera mencoba menarik. Tapi ia tidak cukup kuat. Ia lalu memanggil ibunya agar bisa membantu proses kelahiran kambingnya. Berdua bersama sang ibu, anak itu menarik bagian tubuh anak kambing yang kian menyembul keluar.

Walau sudah mendapat tenaga tambahan, si induk kambing belum bisa juga melahirkan bayinya. Kambing betina itu sudah tampak kesusahan sekali. Sebelum ada hal buruk terjadi, anak itu memanggil sang nenek. Akhirnya, bertiga mereka membantu si induk kambing dan anaknya keluar dengan selamat. Lalu, Romo Carolus OMI bertanya kepada anak perempuan penerima “beasiswa kambing” itu, “Apa yang bisa kamu pelajari dari proses kelahiran tadi?”

Anak itu berpikir sejenak, "Kerja keras, saling membantu, dan pantang patah semangat.” “Betul sekali. Tapi ada yang lain,” jawab Romo. Anak itu berpikir keras, “Apa ya?”. Tak lama berselang ia pun menyerah. “Selain supaya kamu belajar untuk memelihara kambing yang nantinya bisa diterapkan di keluargamu, proses kelahiran bayi kambing yang besar itu juga mengingatkanmu supaya nanti cari suami jangan cari yang besar…” ujar Romo Carolus OMI yang sontak disambut gelak tawa seluruh anggota keluarga.

Masih banyak kisah inspiratif lain dalam buku setebal 180 halaman ini. Layak dijadikan referensi dalam karya kemanusiaan umat beragama. Bupati Cilacap, H. Tatto Suwarto Pamudji pun mengapresiasinya, “Romo Carolus OMI telah menjadi motivator sekaligus bagian dari masyarakat. Ia tidak berkarya dengan tinta, tetapi dengan tetesan keringat. Ia turun dan bertatap muka langsung dengan masyarakat.” (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru Privat Bahasa Inggris di Yogyakarta dan Kontributor Tetap di Majalah Pendidikan Online Indonesia)

September 23, 2013

Merengkuh yang Terbaik dari yang Terburuk

Dimuat di Bernas Jogja, Selasa-Rabu/24-25 September 2013

Judul: 7 Kali Gagal 8 Kali Bangkit
Penulis: Alex Cheung
Penerbit: Kanisius
Cetakan: 1/2013
ISBN: 978-979-21-3527-5
Tebal: xxi + 138 halaman
Harga: Rp35.000

“Terima kasih Alex, Anda telah membawa pencerahan bagi dunia dan sedang ikut mencipta bersama Sang Pencipta.” - P. Hendrikus Bala Wuwur, SVD, Misionaris Serikat Sabda Allah di Pedalaman Afrika Barat

Dalam Kisah Tiga Negara (Sam Kok) diceritakan ada seorang jenderal yang gagah berani dan pantang menyerah, namanya Guan Yu. Suatu ketika, Guan Yu gagal mempertahankan Kota Xia Pi karena terperangkap jebakan musuh.

Lalu Guan Yu tertangkap oleh musuhnya, yaitu Cao Cao. Ia sejak lama ingin merekrut Guan Yu karena kegagahannya. Hebatnya, selama tertangkap oleh Cao Cao, Guan Yu menunjukkan dua sikap, yakni menyerah dan dihukum mati secara terhormat sebagai seorang prajurit perang atau menyerah dan menjaga kesetiaannya sebagai pahlawan perang. Cao-cao yang melihat ketegaran Guan Yu sangat terkesima dan menjulukinya pahlawan seajti. Akhirnya, ia melepaskan Guan Yu (halaman 48).

Menurut Alex Cheung kedua sikap tersebut sejatinya memiliki inti yang sama, yakni pantang menyerah. Dalam kehidupan sehari-hari, ketegasan sikap dan tekad kuat sangat penting untuk memecahkan persoalan atau kegagalan.

Oleh sebab itu, setiap kali mengalami penolakan yang tak terelakkan, tanamkan sikap: “Kalaupun aku harus kalah, aku akan kalah sebagai prajurit yang gagah berani, mengharumkan nama layaknya seorang pahlawan.” Berlandaskan jiwa ksatria tersebut, kita niscaya mampu bangkit. Mungkin kita belum “menang” saat ini namun sikap itu akan menjadikan kita manusia yang siap menghadapi masalah terbesar sekalipun, dengan segala risikonya.

Sistematika buku ini terdiri atas 13 bab. Mulai dari “Tsunami,” “Jadilah Kuat!,” “Dengar, Lihat, Raih!” dan “Hukum 7-7=8.” Dalam menghadapi kegagalan jika tujuh dikurang tujuh adalah nol bisa jadi itu mencerminkan alam bawah sadarnya. Mari tanamkan di alam bawah sadar kita bahwa setiap kegagalan dikurangi dengan usaha sama dengan semangat untuk bangkit!

Tak sekadar beretorika, penulis men-sharing-kan pengalaman pribadinya. Pada suatu ketika ia menghadapi situasi dilematis karena menyangkut bukan hanya keberlangsungan hidupnya, tapi juga individu-individu yang bergantung pada perusahaan yang ia pimpin.

Perusahaan yang ia dirikan nyaris mengalami kebangkrutan. Terlepas dari sebab kebangkrutan yang diakibatkan oleh pihak ketiga, saat itu ia merasa telah sangat gagal. Pilihannya ada dua, menutup perusahaan dan merumahkan para karyawan menjelang Lebaran atau meneruskan perusahaan dengan kondisi minus. Jangankan memberikan THR, sekadar membayar gaji karyawan pun sampai harus berhutang.

Lantas ia merenung dan sampai pada satu kesimpulan. Perusahaannya bukan milik ia seorang, karena dibangun di atas dasar musyawarah dan kemaslahatan bersama. Inilah yang menjadi titik balik kobaran semangatnya untuk berjuang menyelamatkan perusahaan.

Berbekal semangat untuk menolong sesama, ia memanggil seluruh karyawan dalam suatu rapat luar biasa. Di situ dengan mata berkaca-kaca, ia secara jujur menyebutkan kondisi yang dihadapi perusahaan. Di luar dugaan, respon para karyawan sungguh mencengangkan, membuka mata dan menjadi santapan penguat jiwa. Mayoritas mendukung untuk meneruskan perusahaan, meski dengan resiko merayakan Lebaran tanpa THR. Untuk mereka, bisa masih terus bekerja saja sudah bersyukur.

Selain itu, para karyawan juga menyatakan kepercayaan mereka kepada Alex sebagai pimpinan yang mereka banggakan selama ini. Mereka bahkan menyemangati agar menerima beberapa tawaran proyek dari pelanggan yang sempat ditolak sebelumnya. Singkat cerita, perusahaan bangkit kembali melewati tsunami krisis. Kenapa? Karena berhasil mengambil yang terbaik dari yang terburuk.

Benang merahnya ialah begitu banyak anugerah-Nya dalam ziarah kehidupan ini. Segudang cerita dan kenangan indah niscaya lebih menyemangati kita dalam mengahadapi masalah atau kegagalan. Putarlah ulang prestasi tersebut, jadikan makanan jiwa untuk mengobarkan kembali semangat yang mati suri (halaman 74).

Buku setebal 138 halaman ini memaknai kegagalan sebagai ujian kenaikan kelas. Manusia dinyatakan lulus pasca berhasil bangkit. Menyitir pendapat Michael Suharli, penulis buku best seller, “Baca dan praktikkan kiat-kiat dalam buku ini, Anda niscaya menjadi seorang pemenang!” (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru Privat Bahasa Inggris di Yogyakarta dan Kontributor Tetap di Majalah Pendidikan Online Indonesia).

September 18, 2013

Pawai Budaya Hidup dalam Kebersamaan sebagai Media Edukasi dan Pendidikan Karakter

Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Sabtu/14 September 2013
http://mjeducation.co/pawai-budaya-hidup-dalam-kebersamaan-sebagai-media-edukasi-dan-pendidikan-karakter/


Minggu siang (1/9/2013) cuaca kota Yogyakarta cerah. Kendati matahari bersinar terik tapi tak menyurutkan semangat ribuan peserta pawai budaya Hidup dalam Kebersamaan untuk memperingati hari Bhakti Ibu Pertiwi ke-9. Acara tersebut diadakan oleh Yayasan Anand Ashram (berafiliasi dengan PBB).

Para peserta terus berdatangan ke lokasi acara. Ada yang menumpang mobil pick up, bis, andong, dan bahkan becak. Personil Paksi Katon (Paguyuban Seksi Keamanan Keraton) menunjukkan lokasi untuk berganti pakaian bagi rombongan peserta yang datang dari Solo. Mereka boleh menggunakan kamar mandi di sisi timur Pagelaran Keraton.

Menurut salah seorang personil FKPM Paksi Katon, sejak pukul 14.00 WIB 50-an lebih anggotanya telah stand by (bersiap) di titik-titik sepanjang rute pawai. Mereka mengatur lalu-lintas bersama pihak kepolisian, antara lain di perempatan Kantor Pos Besar Malioboro, perempatan Gondomanan, jembatan Sayidan, bekas bioskop Permata hingga di garis akhir di Lapangan Sewandanan Kadipaten Paku Alaman Yogyakarta.

Tepat pukul 14.10 WIB MC (master of ceremony) membuka acara. Aiu Hariyadi dari Bandung dan Fera Yudiastuti dari Bali mengajak seluruh peserta dan penonton pawai merapat ke panggung. Mereka juga mengajak para fotografer untuk turut menyumbangkan hasil bidikan kameranya. Seluruh foto yang terkumpul akan diterbitkan dalam bentuk buku. Aksi non profit tersebut sebagai wujud semangat kesukarelawanan, sumbangan nyata untuk Yogyakarta. Inilah yang membuat kota gudeg tetap istimewa.

“Marilah catatkan nama kita dalam sejarah Indonesia dan dunia. Inilah pawai budaya Hidup dalam Kebersamaan yang dilaksanakan dengan penuh cinta,” ujar MC dengan suara menggema.  MC juga mengucapkan terima kasih kepada penyelenggara dan semua pihak yang telah mendukung terwujudnya acara ini, antara lain kepada One Earth Integral Education Foundation, National Integration Movement, IWAG Peace, FKJ, Radio Sonora, Koran Merapi, Radar Jogja, TVRI Jogja, BKKBN, Harjo, dan lainnya.

Lalu panitia meminta para peserta berbaris sesuai nomor urut karena pawai akan segera dimulai. Sembari menata barisan lagu-lagu untuk membangkitkan semangat kembali dinyanyikan dengan iringan gitar, kendang, dan tamborin. 

“Inilah luar biasanya Indonesia, semua bisa berkumpul di Alun-alun Lor. Kebersamaan tak hanya dibicarakan tapi dibuktikan,” ujar pasangan MC yang mengenakan blangkon pakaian beskap (pria) dan kebaya Jawa (wanita) tersebut. “Senyuman ribuan peserta pawai lebih cerah ketimbang terik mentari,“ imbuh salah satu MC dan sontak disambut gemuruh tepuk tangan seluruh hadirin.

Tibalah saatnya kata sambutan dari dr. Wayan Sayoga, selaku Ketua Yayasan Anand Ashram. Pria asal Bali tersebut menyampaikan terima kasih kepada semua tamu undangan, peserta, dan hadirin yang telah berkenan hadir. “Ini hari yang sangat bersejarah, sebab 9 tahun lalu, Menhan (Menteri Pertahanan) Juwono Sudarsono menetapkan 1 September sebagai hari Bhakti bagi Ibu Pertiwi. Tujuannya untuk mengingatkan kita semua pada semangat kebersamaan, persaudaraan, dan gotong royong,” ujarnya.

“Panas terik tak akan mematahkan semangat kita untuk terus mencintai tanah air. Mari kita terus menyebarkan pesan-pesan damai. Sebab walau berbeda kita semua satu bangsa, Indonesia. Indonesia Jaya!” imbuhnya lagi  sembari mengepalkan tangan kanannya.

Ngarso Dalem Sri Sultan Hamengku Buwono X selaku Gubernur DIY mengirim perwakilannya untuk memberikan kata sambutan sebelum peserta pawai mulai bergerak. Beliau meminta maaf tak bisa hadir secara langsung karena  sedang berada di Cina menjalankan tugas kerja. Begitulah prolog Kepala Bidang Pengembangan Kapasitas Dinas Pariwisata DIY, Ibu Kuskasriati.

Intinya dalam kata sambutan yang dibacakan Ibu Kuskasriati, Pemerintah DIY menyambut baik perayaan hari Bhakti Ibu Pertiwi yang bertema Kasih Bunda Pertiwi Tiada Henti ini. “Semoga berjalan lancar dan sukses. 1 September juga merupakan hari Bhakti kepada Mother Earth. Marilah kita memperbarui komitmen One Earth, One Sky One Humankind. Walau berbeda tradisi budaya tapi tetap mau saling mengisi.

Ajaran universal seperti peace, love, harmony merupakan warisan leluhur dan para tokoh besar dunia. Sebab kita semua hidup di atas satu bumi, di bawah satu langit, dan satu umat manusia. Semoga pawai hidup dalam kebersamaan ini menjadi media edukasi dan pendidikan karakter. Dari Yogyakarta mari kira tebarkan kebersamaan dalam cinta dan damai. Dirgahayu hari Bhakti Ibu Pertiwi, Indonesia Jaya!“ pungkas Ngarso Dalem dalam sambutan tertulisnya.

Selanjutnya dr. Wayan Sayoga dan Ibu Kuskasriati, mengangkat bendera start tanda pemberangkatan peserta pawai budaya. Dari puluhan kelompok peserta pawai tersebut nantinya akan dipilih 3 juara. Penilaiannya berdasarkan kreativitas, kekompakan, kesesuaian dengan isi pesan, dan keindahan.

Para peserta tampak menampilkan totalitasnya. SMP Immaculata Yogyakarta membentangkan spanduk bertuliskan kami muda, beda, dan berbudaya. Selanjutnya ada SD Sang Timur Yogyakarta. Anak-anak SD tersebut memakai konsep 3R (reduced, reused, recycled). Pakaian yang dikenakan terbuat dari barang-barang bekas seperti koran, botol air mineral, dan galon untuk alat tabuhan musik.

Lalu berturut-turut ada rombongan dari SMK Marsudi Luhur Yogyakarta, Survey Metter, TIM SAR, AAU, Resimen Mahasiswa Mahakarta, SMKN 1 Depok, SD Tarakanita Bumijo Yogyakarta, PAUD Kentungan, SMPN 1 Bantul, Keluarga Taman Ceria, Yayasan Pareanom, Pura Jagatnatha Banguntopo Banguntapan Bantul, Gabungan Gereja Baptis Indonesia (GGBI) Yogyakarta.

Tak ketinggalan para teller CIMB Niaga juga turut berpartisipasi. Mereka membentangkan spanduk bertuliskan Global Harmoni. Lalu disusul oleh Unit Penerangan Keluarga Berencana, BKKBN, Mahasiswa MSD, Komunitas Pulsar dan Vespa, dan masih banyak lagi. Tepat pukul 15.30 WIB seluruh peserta pawai sudah meninggalkan Alun-alun Lor menuju Lapangan Sewandanan Kadipaten Paku Alaman Yogyakarta.

Sepanjang perjalanan, warga masyarakat antusias menyaksikan iring-iringan peserta pawai. Rutenya dari Alun-alun Utara menuju ke perempatan Kantor Pos Besar Malioboro, lalu berbelok ke timur, melintasi Jalan Panembahan Senopati. Setelah menyeberangi perempatan Gondomanan melewati jembatan Sayidan. Di sana tim juri sudah menanti dan menilai rombongan peserta satu per satu. Selanjutnya menuju bekas gedung bioskop Permata dan berakhir di Lapangan Sewandanan Kadipaten Paku Alaman. Jarak tembuknya sekitar 2 km. Rombongan pertama sampai di sana pukul 15.30 WIB.

Budaya Adiluhung

Sembari menunggu peserta lainnya, mereka bisa beristirahat dan berteduh di bawah pepohonon di lapangan Paku Alaman. Beberapa peserta berbagi pengalamannya, misal Laura, perwakilan dari SMKN 1 Depok. Menurutnya ada 30 peserta putri yang ikut dalam pawai hari ini. Perwakilan sekolah kejuruan yang memiliki tiga jurusan itu mengatakan bahwa persiapan mereka selama dua minggu. “Asyik sekali acaranya,” ujarnya.

Lantas Geovani Boscha dari SMK Marsudi Luhur I juga turut berbagi cerita. Siswa kelas XII jurusan Akuntansi tersebut mengatakan ada 24 orang yang mewakili sekolah ikut dalam pawai budaya ini. Ia sendiri mengaku baru pertama kali menjadi peserta walau sudah lama tinggal di Yogyakarta. “Tadi kami menyanyi lagu Suwe Ora Jamu sepanjang perjalanan. Latihannya seminggu. Senang rasanya bisa merasakan kesatuan Indonesia,” ujarnya.

Acara ini tak hanya diikuti para siswa sekolah, ada juga para guru yang terlibat aktif. Misalnya dari SMP Immaculata, Yogyakarta. Mereka mendampingi 50 anak dari kelas 7, 8, dan 9, “Kami tadi ada yang naik sepeda, jalan kaki sambil menari, dan mengendarai becak hias seperti yang biasa dipakai di Alun-alun Kidul.”

Ternyata persiapan mereka seminggu di sela-sela aktivitas belajar di sekolah. Menurut Denta, salah seorang penari, “Kami tadi menari Tari Beber Jarik Batik”. Ceritanya tentang bagaimana proses membuat jarik batik dari mulai menggambar pola, nyanting, mewarnai, dan beber (memamerkan) jarik batik. Bu Tiar menambahkan bahwa tari itu yang dipilih agar anak-anak generasi penerus bangsa tahu budaya adiluhung kita yang bernama batik. “Biar ingat terus,” pungkasnya.

Peserta paling jauh dari Solo, yakni Kelompok Sadar Wisata Surakarta (Pokdarwis). “Ini bukan kelompok modar yo wis lho,” canda Pak Budoyo. Mereka terdiri atas 30 prajurit dengan kostum lengkap. Warnanya merah menyala, mengenakan topi hitam, celana putih, sepatu kulit, dan memegang tombak panjang.

Menurut Pak Joko selaku komandan Tepas (Tentara Pariwisata) sepanjang perjalanan tadi kami berbaris rapi. Salah satu atraksi yang ditampilkan ialah penghormatan ala tentara Jawa. “Aba-abanya bukan siapppp….grak! Tapi Prasetya Eka Prapti….Tandyo!” ujarnya sambil memperagakan.

“Tadi senang sekali, karena banyak masyarakat yang menonton. Acara ini bisa memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa,” imbuhnya.

Dari kawula muda, ada Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar). Sebuah ormas yang bergerak di bidang ilmiah, sosial, dan budaya. Anggota Gafatar terdiri dari siswa sekolah, mahasiswa universitas, dan masyarakat umum. Menurut Arif dan Gunawan selaku Sekretaris Sanggar Seni Cheting Teles yang menaungi Gafatar, mereka sengaja membuat simbol-simbol khusus.

“Intinya gabungan antara budaya Madura, Padang, dan suku bangsa lainnya. Indonesia kan terdiri dari banyak suku, beragam budaya tapi semua disatukan oleh Pancasila. Selain itu, ada juga teman-teman yang berpakaian peri dan kupu-kupu dari koran bekas. Itu sebagai simbol keindahan. Nusantara juga ‘kan indah,” ujar Gunawan.

“Analoginya ibarat sebuah piring, kalau satu namanya piring. Tapi kalau pecah namanya beling. Oleh sebab itu, kita harus menyatu kembali mengembalikan kejayaan bangsa ini. Tema acara pawai budaya ini sama dengan visi-misi Gafatar, yakni memperkuat solidaritas, kebersamaan, persatuan, dan kesatuan,” imbuh Arif.

Saat ditanya tentang kesan mereka, Arif berbagi pengalamannya, “Suka sekali, karena ini pertama kali kami menampilkan hiasan model itu. Rutenya juga tak terlalu jauh, masyarakat pun antusias menonton di sepanjang jalan.”

Selanjutnya, Pak Gatot dari SD Tarakanita Bumijo juga turut berbagi cerita. Guru kelas IV tersebut mendampingi 50 murid dari kelas 5 dan 6. Selain itu, masih ada 25 guru lain yang juga turut berpartispasi.

“Kami sengaja membawa permainan tradisional, bunyi dan namanya sama, yakni otok-otok! Karena sekarang anak-anak jarang yang memainkannya lagi. Selain itu, kostum kami juga dari bahan-bahan daur ulang. Untuk alat musik kami juga memanfaatkan blek seng kaleng kerupuk dan galon air mineral,” ujarnya.

Akhirnya tiba saat yang ditunggu-tunggu yakni pengumuman juara. “Sebenarnya seluruh peserta yang telah ikut dalam acara ini adalah juara,” ujar MC. Tepat pukul 16.35 WIB seluruh peserta pawai berkumpul di sekitar panggung di Lapangan Sewandanan Kadipaten Paku Alaman Yogyakarta. Dewan juri dari Komunitas Blogger Indonesia, seniman, dan perwakilan Yayasan Anand Ashram, Ibu Wayan Sukmawati menyampaikan hasil penilaian. Kriterianya adalah kreativitas, kekompakan, kesesuaian dengan tema, dan keindahan.

Juara III jatuh pada SD Tarakanita Bumijo, Juara II  Yayasan Pareanom, dan Juara pertama SMPN 1 Bantul. Bapak Joehanes Budiman dari Yayasan Anand Ashram menyerahkan piala kepada para juara. Lantas, sebagai penutup seluruh peserta menari ala Caesar bersama dalam keceriaan dan kebersamaan.

Dr. H. Djoko Pramono, M.M selaku Ketua Panitia Acara menandaskan bahwa pawai budaya ini sebagai alat untuk saling mengingatkan diri akan nilai-nilai universal inner peace, communal love, dan global harmony, yang mana ekspresi serupa juga telah ditanamkan dalam karya-karya luhur para pujangga nusantara dan mancanegara, seperti Anand Krishna, Dalai Lama, Al Gore, Paus Yohanes Paulus II, Rumi, Nelson Mandela, Mangkunegara IV, Ronggowarsito, Bung  Karno, Tolstoy, Tagore, Gandhi, Martin Luther King Jr, dan lain-lain.

Sumber Foto: http://www.soundshaman.net/free-anand-krishna.html
Sumber Foto: http://www.soundshaman.net/free-anand-krishna.html

September 17, 2013

Mengobati Sembelit Krisis Ekonomi

Dimuat di Jateng Pos, Selasa/17 September 2013

Hegemoni dolar Amerika terhadap nilai tukar rupiah kian superior. Pekan lalu, di pasar valuta asing, dollar AS diperdagangkan di posisi beli Rp11.620 per dollar AS dan posisi jual di level Rp11.670 per dollar AS. Bukan kali pertama mata uang kita mengalami depresiasi. Misalnya pada 1967, krisis baru teratasi karena bantuan investasi dari luar negeri. Saat itu situasi darurat karena devaluasi nilai rupiah anjlok sampai 50%.

Lalu, pada 1998, kita mengalami krisis yang tergolong gigantic, raksasa. Tak lama berselang, sepuluh tahun kemudian kita mengalami krisis lagi. Tapi kala itu kita bisa berapologi bahwa penyebabnya ialah krisis global. Saking seringnya mengalami krisis, kita menjadi kurang sensitif karena sudah terbiasa.

Pertanyaannya, apakah negara yang sangat kaya dengan sumber daya alam, mineral, dan bio diversity seperti Indonesia mesti dilanda krisis yang repetitif dan intenstif? Menurut Anand Krishna, akar penyebab krisis ekonomi ialah kerja sama yang tidak bertanggung jawab. Karena semata mementingkan diri sendiri, sehingga tidak selaras dengan kebutuhan bangsa dan negara (Total Success: 2009).

Contoh paling kasat mata, kita sibuk membangun gedung pencakar langit, tapi lupa mengurusi ladang kita sendiri. Sungguh ironis dengan lahan persawahan yang begitu subur dan ijo royo-royo kita masih harus mengimpor bahan makanan dari luar. Jangankan beras, terigu, dan gula, negara kepulauan kita yang tercinta ini pun masih mengimpor garam.

Begitulah akibat dari kerja sama yang tidak baik. Hasil dari perseroan-perseroan yang hanya mementingkan perorangan, tidak mementingkan kepentingan rakyat banyak, bangsa, dan negara. Apalagi, kepentingan lingkungan dan dunia! Padahal menyitir pendapat Al Gore, “Kau lihat titik biru pucat itu? Itulah kita. Seluruh peristiwa yang terjadi dalam sejarah manusia, telah terjadi dan disaksikan oleh titik biru pucat itu. Baik kemenangan maupun tragedi, semua   peperangan dan kelaparan, semua kemajuan teknologi yang sudah kita capai….

Titik biru pucat itulah rumah kita satu-satunya. Dan kini, kemampuan kita untuk hidup di bumi sebagai bangsa yang memiliki masa depan dan keberadaban, yang sedang dipertaruhkan. Saya yakin ini adalah isu moral, inilah saat bagimu untuk menyelesaikan permasalahan ini, saat bagi kita semua untuk melindungi masa depan kita.”

Inisiatif Lokal

Anthony Giddens melihat civil society (masyarakat madani) sebagai salah satu elemen penting dalam kemajuan peradaban umat manusia. Dua anasir lainnya ialah state (negara) dan swasta (private). Berikut ini aksi nyata yang dilakukan oleh komunitas di akar rumput (grass root) untuk mengatasi krisis. Mereka tak banyak gembar-gembor di media massa, tapi manfaat kegiatan warga setempat langsung bisa dirasakan.

Sebuah bank umumnya berkaitan dengan urusan menyimpan uang atau barang berharga lainnya, tapi di Perum Gumuk Indah RW 26 Desa Sidoarum, Godean, Sleman, Yogyakarata terdapat satu bank yang unik. Namanya bank sampah, yakni sebagai wujud kesadaran warga untuk menjalankan hidup sehat dan ramah lingkungan.

Bank sampah ini lebih dikenal dengan “Griya Sampah Sapu Lidi”. Ny Ariyantinah Waluyo dan Nugraheni dipercaya warga sebagai Direktur dan Sekretaris bank sampah. Awalnya, ide pembuatan bank sampah ini muncul setelah mengikuti pelatihan di Kabupaten Bantul. Lalu, banyak warga semakin tergerak untuk berbudaya hidup bersih dan sehat. Kenapa? Karena sampah ternyata ada nilai ekonomisnya juga.

Seluruh warga mulai dari anak-anak sampai ibu-ibu tekun mengumpulkan dan memilah sampah mereka sendiri di rumah masing-masing. Kemudian “harta karun” tersebut diambil oleh petugas piket dari bank sampah. Setiap sampah dihargai dengan harga yang pantas.

Lantas, oleh bank sampah dijual kembali ke pihak ketiga. Keuntungan yang diperoleh dipakai  untuk kegiatan pemeliharaan lingkungan di Gumuk Indah. Perjuangan warga dalam menjaga pola hidup sehat dan ramah lingkungan tersebut berhasil mendapatkan gelar juara 1 Green and Clean 2011 (griyasampah-sapulidi.blogspot.com).

Saat ini, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) pun mencatat bahwa seluruh bank sampah yang ada di seluruh Indonesia bisa menghasilkan uang mencapai Rp15,7 miliar per bulan. Selain itu, bank sampah juga menyerap tenaga kerja untuk operasional sampai 106.000 orang di 58 kabupaten dan kota.

Ekonomi Kreatif

Dalam konteks makro, jumlah wirausahawan di Indonesia memang masih minim. Padahal syarat menjadi negara maju salah satunya  dengan memiliki jumlah wirausaha minimal 2 persen dari total jumlah penduduk. Saat ini, jumlah wirausaha Indonesia masih kurang dari 2 persen atau sebanyak 700 ribu orang, jadi masih dibutuhkan sedikitnya 4 juta lebih wirausahawan baru.

Sebagai komparasi, dibandingkan dengan negara-negara lain perkembangan kewirausahaan di Indonesia masih tergolong lambat. Kewirausahaan di Amerika Serikat tercatat mencapai 11 persen dari total penduduknya, Singapura sebanyak 7 persen, dan Malaysia sebanyak 5 persen.  Oleh sebab itu, peluang menjadi wirausahawan dan menciptakan lapangan pekerjaan baru masih terbuka lebar di Indonesia.

Menurut Jack Welch, apabila seseorang ingin menjadi wirausahawan besar harus memiliki 4E, yakni energy, energize, execution dan edge. Contohnya, Decky Suryata, pria asal Klaten, Jawa Tengah. Ia kini berhasil memasarkan brownies “limbah” dari buah salak pondoh.

Kenapa disebut “limbah”? karena salak pondoh di Sleman Yogyakarta sangat berlimpah, bahkan saking banyaknya, salak pondoh sampai dijadikan pupuk kompos karena tidak laku di jual. “Atas dasar itu, saya memikirkan bagaimana “sampah” ini bisa jadi “emas”, muncullah ide dijadikan makanan seperti cake, sirup dan bakpia, apalagi bakpia isi salak belum ada di daerahnya yang terkenal juga dengan makanan khas bakpia-nya,” tutur pemuda kelahiran 1983 tersebut.

Tapi dirinya tidak punya keahlian membuat cake, sirup apalagi bakpia. “Tak patah arang, saya bersama istri saya cari-cari resep, mulai cari di internet, resep warisan keluarga. Dengan berbagai macam percobaan akhirnya ketemu resep andalan dan rahasia brownies dan bakpia dari buah salak pondoh,” imbuhnya lagi.

Ia mengaku sempat putus asa, karena beberapa kali percobaan gagal terus, sementara bahan baku makin menipis. “Tapi kami tidak mau menyerah, akhirnya dapat adonan dan hasil brownies yang pas, sari salak terasa dilidah dan menarik. Dari resep itu, kami keliling ke tetangga, keluarga dan kerabat. Alhamdulillah responnya bagus dan laku, dengan hasil penjualan tersebut kami putar lagi beli buat beli bahan dan dijual lagi,” terangnya.

Tahun 2011 laba bersih usaha Decky tersebut sudah mencapai sekitar Rp 50 juta. Saat ini dirinya sudah mempunyai “showroom” brownies setara 3 ruko berlantai 2 yang dengan luas lapangan parkir yang dapat menampung 5-7 bus besar. Brownies salak pondoh dan bakpia andalan Decky tersebut diberi nama Salaka dengan nama toko Terminal Sukses (www.ciputraentrepreneurship.com/).

Akhir kata, masih ada harapan untuk keluar dari kubangan krisis. Kerjasama yang bertanggung jawab, gaya hidup sehat, prilaku ramah lingkungan, dan last but not least usaha ekonomi kreatif merupakan resep mujarab obati sembelit krisis ekonomi. Berbekal energi perubahan yang ada dalam diri, niscaya bangsa ini bisa bangkit dari keterpurukan. Sebab menyitir pendapat Elizabeth Kubler Ross, “Manusia mirip dengan kaca patri pada daun jendela. Selalu berkilau karena sinar matahari. Namun saat gelap keindahannya hanya muncul bila ada cahaya dari dalam.” (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru Privat Bahasa Inggris dan Pemerhati Sosial Ekonomi, Tinggal di Yogyakarta)

13794163091955049962
Sumber Foto: http://www.bpovia.com/blog/china-business/global-crisis-bring-hard-time-to-canton-fair.html

September 14, 2013

Mendongeng di Kelas

Dimuat di Suara Merdeka, Sabtu/14 September 2013

Kini aktivitas mendongeng jarang dilakukan oleh para guru. Padahal banyak manfaat dongeng bagi pendidikan karakter siswa. Selain itu, karena disampaikan lewat balutan cerita jadi tak terkesan menggurui.

Survei yang dilakukan pada 500 anak usia 3-8 tahun di Inggris mengungkapkan bahwa hampir 2/3 siswa menginginkan para gurunya dapat meluangkan waktu membacakan mereka dongeng sebelum pelajaran.

Menurut psikolog Efrie Indrianie, M.Psi, anak mulai dapat mengikuti kisah yang disampaikan sejak umur 3,5 tahun. Pada usia tersebut anak sedang menstimulasi pendengaran mereka sehingga dongeng membantu mereka berpikir lebih baik.

Anak yang dibiasakan mendengar dongeng memiliki kemampuan memecahkan masalah (problem solving) lebih baik dibanding anak yang tidak. Stimulasi tersebut akan merangsang pembentukan lipatan pada otak anak (girus) yang berfungsi menyimpan informasi lebih banyak, sehingga mereka bisa jadi lebih pintar. “Kepintaran yang dimiliki bukan hanya kepandaian secara kognitif, tapi juga kecerdasan emosional dan sosial,” tandas Efrie.

Beretika

Sebuah penelitian ilmiah juga menemukan satu fakta menarik. Ternyata siswa yang terbiasa mendengarkan dongeng memiliki tingkat kecerdasan berbahasa lebih baik dibanding yang tidak. Kisah-kisah yang disampaikan niscaya membantu anak bertutur kata dengan sopan dan secara tidak langsung belajar beretika (unggah-ungguh).

Ibarat es krim, dongeng tetap disukai para siswa. Mereka menikmati cerita yang disampaikan oleh gurunya. Pesan moral yang disampaikan melalui dongeng dapat memasuki ruang memori murid secara langsung.

Misalnya jika hendak mengajarkan pesan kerjasama. Kita bisa menceritakan tentang semut yang bergotong-royong mengumpulkan makanan.

Awam Prakoso, seorang pendongeng dari Kampung Dongeng yang piawai menirukan aneka suara binatang berbagi tips praktis, “Mendongeng itu mudah, ceritanya bisa diambil dari kejadian sehari-hari atau hal-hal yang menarik di sekitar kita. Yang paling penting para guru harus pandai mengkreasikan cerita tersebut dan menyusun alur dongeng dengan hubungan sebab-akibat, sehingga lebih mudah dicerna oleh siswa.”

13792171711721091400
Sumber Foto: www.dongengceria.com

September 13, 2013

KKN, Kecerdasan Jamak, dan Budaya Literasi

Dimuat di BERNAS Jogja, Jumat-Sabtu/13-14 September 2013

KKN di dunia kampus merupakan singkatan dari Kuliah Kerja Nyata, tapi bukan akronim dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Lazimnya, pada awal semester seperti saat ini, universitas negeri maupun swasta mulai mengadakan program KKN.

Instansi pendidikan tinggi tersebut mengutus para mahasiswanya selama 1-2 bulan tinggal di daerah pedesaan. Tujuannya untuk mempraktikkan ilmu yang telah diperoleh di ruang kelas sebagai bagian dari pengabdian kepada masyarakat.

Beberapa waktu silam, penulis menyaksikan adegan menarik. Seorang wisatawan mancanegara sedang tawar-menawar harga tarif naik andong dengan seorang kusir. Tepatnya di depan kompleks Tamansari, Plaza Ngasem, Yogyakarta. Ternyata penguasaan bahasa untuk komunikasi sangatlah penting.

Dalam konteks ini, penulis mengusulkan sebuah model KKN alternatif. Terutama bagi mahasiswa program studi Sastra Inggris dan Pendidikan Bahasa Inggris (PBI). Mereka bisa berbagi ilmu dengan mengajarkan percakapan sederhana (basic conversation) kepada para supir andong dan tukang becak.

Sedikit sharing pengalaman,  dulu saat masih berstatus mahasiswa S1, penulis pernah mengambil mata kuliah SPD (Spesific Program Design) di Pendidikan Bahasa Inggris (PBI), Universitas Sanata Dharma (USD). Dosennya Mrs. Lanny Anggawati, seorang motivator sekaligus educator jempolan dari Klaten, Jawa Tengah.

Beliau menugaskan kami menyusun sebuah program pengajaran khusus. Selama 1 semester secara bergantian setiap minggu, kami membuka kelas bagi pedagang kaki lima di Malioboro. Kebetulan ada seorang teman yang ayahnya merupakan pengurus koperasi di sana.  

Walau kelihatannya sederhana, kemampuan berkomunikasi dengan bahasa Inggris sangatlah migunani alias bermanfaat. Tentu bukan melulu seputar grammar dan structure (tata bahasa) yang membuat pusing kepala, namun cukuplah pengetahuan dasar tentang nominal mata uang (hundred, thousand, million, etc). Yang tak kalah penting ialah bagaimana cara menawarkan dagangan/jasa secara sopan, menyapa dengan ramah, dan mengucapkan terimakasih kepada pembeli asing.

Begitulah salah satu model KKN alternatif bagi mahasiswa. Sehingga bisa menjawab langsung kebutuhan riil masyarakat di akar rumput (grassroot). Modal utama sekadar niat tulus untuk berbagi ketrampilan (skill) dan kreativitas kepada sesama

Kecerdasan Jamak

Pun tak hanya dalam subjek bahasa Inggris, tapi berlaku pula bagi model kecerdasan lainnya. Teori Multiple Intelligences (MI) dipopulerkan oleh Prof. Howard Gardner. Pria kelahiran Scranton, Pennsylvania, 11 Juli 1943 silam tersebut mengelompokkan intelligence alias kecerdasan manusia menjadi 8 (Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences, 1983).

Kedelapan model kecerdasan tersebut ialah logical/mathematical, visual/spatial, verbal/linguistic, bodily/kinesthetic, musical/rhythmic, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistic. Intinya, tidak ada lagi murid bodoh karena ia tak bisa menggarap soal matematika dengan benar. Bisa jadi tatkala diminta menyanyi suaranya justru merdu selaras dengan iringan musik. Kenapa? Karena murid tersebut memiliki kecerdasan musikal yang relatif tinggi.

Secara lebih mendalam, menurut Gardner sejatinya setiap murid memiliki kedelapan intelegensia umum tersebut. Uniknya, pada saat yang sama setiap murid memiliki satu kecerdasan yang dominan dalam diri.

Berikut ini risalah singkat ihwal kedelapan kecerdasan seturut konsep MI ala Gardner. Logical/mathematical merupakan kecerdasan untuk memahami informasi dalam bentuk angka dan statistik. Murid dengan kecerdasan matematis sangat jago hitung-menghitung. Visual/spatial merupakan kecerdasan untuk memahami dan menjelaskan segala hal secara visual. Murid yang memiliki kecerdasan visual sangat menyukai gambar, warna-warni, grafik, film atau video klip.

Verbal/linguistic merupakan kecerdasan untuk menggunakan kata-kata, merangkai kalimat dan menyusun tulisan. Murid dengan kecerdasan linguistik jarang kehabisan perbendaharaan kosa kata. Ia dapat menciptakan frasa-frasa memukau yang memiliki kedalaman makna. Bodily/kinesthetic merupakan kecerdasan terkait aspek fisik. Murid dengan kecerdasan kinestetik dapat mengontrol gerakan tubuhnya secara memadai. Ia mampu menjaga keseimbangan motorik dan piawai melakukan aktivitas ketangkasan.

Musical/rhythmic merupakan kecerdasan untuk berpikir dalam bentuk melodi, harmoni dan nada. Murid dengan kecerdasan musikal mampu menciptakan dan menyanyikan lagu dengan baik. Ia juga memiliki kepekaan merespon suara yang ada di sekelilingnya. Interpersonal merupakan kecerdasan untuk menyelami perasaan orang lain. Murid dengan kecerdasan interpersonal mampu menjalin hubungan baik dengan orang lain. Ia juga dapat dengan mudah menunjukkan rasa empati yang mendalam.

Intrapersonal merupakan kecerdasan untuk menyelami pedalaman diri. Murid yang memiliki kecerdasan ini suka berkontemplasi, meditasi, berefleksi dan meninjau kehidupan dengan permenungan yang dalam. Naturalistic merupakan kecerdasan untuk hidup selaras dengan alam. Murid yang memiliki kecerdasan ini suka sekali belajar di tengah alam bebas. Ia juga penyayang binatang dan tumbuhan.

Ironisnya, menurut Handy Susanto S.Psi saat ini kecerdasan murid hanya dilihat berdasarkan hasil tes IQ. Padahal tes IQ membatasi pada kecerdasan logika (matematika) dan bahasa (linguistik) saja. Oleh sebab itu, pihak sekolah dan para guru perlu membuka diri terhadap temuan mutakhir terkait konsep kecerdasan jamak (multiple intelligences).

Lantas, bagaimana penerapan teori Multiple Intelligences di kelas? Pertama dan utama, kita para guru perlu mengurangi cara mengajar satu arah dengan terus berceramah di depan kelas. Menyitir tesis Paulo Freire – metode gaya bank - semacam itu sudah kadaluarsa. Alangkah lebih baik, kalau aktivitas belajar diisi dengan menggambar, menciptakan lagu, menyanyi, menari, mendengarkan musik, permainan, mendongeng, menonton film, dll.  Beragam aktivitas tersebut niscaya memunculkan kembali semangat belajar siswa.

Proses belajar memang perlu mengakomodir kebutuhan siswa sesuai dengan keunikannya masing-masing (cura personalist). Jika sekolah ingin menerapkan Multiple Intelligences di dalam sistem pendidikan, inisiatif dan kreativitas dari setiap guru untuk keluar dari zona nyaman (comfort zone) menjadi harga mati. Sebab menyitir pendapat Albert Einstein, “Imajinasi lebih penting daripada pengetahuan.”

Budaya Literasi

Kebiasaan membaca dan menulis ternyata bisa mengembangkan diri para pendidik. Istilah kerennya sebagai “penanda zaman”. Sumbo Tinarbuko yang mempopulerkannya. Ia seorang Dosen Desain Komunikasi Visual di Fakultas Seni Rupa dan Program Pascasarjana ISI Yogyakarta.

Terminologi puitis tersebut senada dengan kebermanfaatan aktivitas menulis dari Anthony Dio Martin. Penulis buku kecerdasan emosi dan host program Smart Emotion itu berpendapat bahwa alasan esensial orang menulis ialah untuk “menyejarah”. Sehingga walau pasca meninggal sekalipun, dunia masih bisa mengenang pemikiran seseorang lewat tulisan-tulisannya.

Selain itu, sebuah penelitian mutakhir juga mengungkap fakta menakjubkan. Ternyata manusia rata-rata berbicara dan mengolah kata sebanyak 20.000 kata (perempuan) dan 7.000 kata (laki-laki) setiap hari selama 24 jam. Artinya, kalau menulis itu ibarat berbicara secara lisan, banyak tulisan bisa tersaji  lewat media pena dan kertas (Antoni Ludfi Arifin, Be a Writer, 2012).

Bahkan dari aspek psikologis, Laily Kustur mengatakan bahwa menulis merupakan praktik psikoterapi. Misalnya tatkala terjadi beda pendapat dengan pasangan, seorang temannya terluka batin sangat dalam. Lalu, ia mengambil sebuah kertas dan menulis kalimat, "Aku sudah memaafkanmu". Kalimat tersebut ditulis sebanyak yang mampu ia tulis. Alhasil, airmata menetes seiring dengan lelah tangannya menulis kalimat tersebut.

Artinya, tanpa ia sadari menulis memberikan sugesti untuk melepaskan energi negatif yang menumpuk (mendem jero). Dengan kata lain, rasa marahnya kini sudah tertuang lewat tulisan. Otak pun ter-setting untuk memaafkan. Kalau energi positif sudah mengalir kembali, penyembuhan psikologis lebih mudah terjadi.

Lantas bagaimana cara menulis yang baik? Adagium lawas yang tetap relevan ialah don’t tell but show. Sehingga pembaca bisa melihat, mendengar, dan merasakan apa yang disampaikan lewat media tulisan kita.

Tatkala melawat di pesisir utara tengkuk kepala burung bumi Papua, St. Kartono pernah ditanyai oleh seorang murid bernama Paul, “Pak Guru, saya sudah mencoba menulis, tetapi sering tersendat atau berhenti, bagaimana usaha mengatasi itu?” Paul berasal dari daerah pedalaman, desanya berjarak 7 hari jalan kaki dari asrama sekolah.

Lantas, Pak Guru SMA Kolese de Britto, Yogyakarta itu menjawab, “Paul, menulis tersendat karena bahan di kepala kita habis. Bisa juga pikiran tidak mampu mengaitkan masalah yang kita bahas dengan lentur.” Tesis tersebut senada dengan pendapat Romo Baker, menulis ibarat membongkar tabungan berupa bacaan di kepala.
“Entah kepala kita itu ditumbuhi rambut keriting seperti Paul, atau lurus seperti rambut teman sebelah yang bukan asli Papua. Semuanya harus diisi dengan bekal bacaan. Bahkan seorang ahli lain mengatakan bahwa menulis ialah saudara kembar membaca.” (Menjadi Guru Untuk Muridku, St. Kartono, 2011)

Akhir kata, bagi Bapak dan Ibu Guru apa lagi yang ditunggu? Mari menulis, berbagi ide, dan refleksi pengalaman mengajar di media massa. Sebab menyitir petuah bijak Alm. Prof. Mubyarto,  “Lebih baik menulis dan jadi sampah, daripada tidak menulis dan jadi sampah di pikiran." Salam Pendidikan! (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru Privat Bahasa Inggris di Yogyakarta dan Kontributor Tetap di Majalah Pendidikan Online Indonesia)

Sumber Foto: http://guru.or.id/aku-guru-maka-aku-menulis.html