September 17, 2013

Mengobati Sembelit Krisis Ekonomi

Dimuat di Jateng Pos, Selasa/17 September 2013

Hegemoni dolar Amerika terhadap nilai tukar rupiah kian superior. Pekan lalu, di pasar valuta asing, dollar AS diperdagangkan di posisi beli Rp11.620 per dollar AS dan posisi jual di level Rp11.670 per dollar AS. Bukan kali pertama mata uang kita mengalami depresiasi. Misalnya pada 1967, krisis baru teratasi karena bantuan investasi dari luar negeri. Saat itu situasi darurat karena devaluasi nilai rupiah anjlok sampai 50%.

Lalu, pada 1998, kita mengalami krisis yang tergolong gigantic, raksasa. Tak lama berselang, sepuluh tahun kemudian kita mengalami krisis lagi. Tapi kala itu kita bisa berapologi bahwa penyebabnya ialah krisis global. Saking seringnya mengalami krisis, kita menjadi kurang sensitif karena sudah terbiasa.

Pertanyaannya, apakah negara yang sangat kaya dengan sumber daya alam, mineral, dan bio diversity seperti Indonesia mesti dilanda krisis yang repetitif dan intenstif? Menurut Anand Krishna, akar penyebab krisis ekonomi ialah kerja sama yang tidak bertanggung jawab. Karena semata mementingkan diri sendiri, sehingga tidak selaras dengan kebutuhan bangsa dan negara (Total Success: 2009).

Contoh paling kasat mata, kita sibuk membangun gedung pencakar langit, tapi lupa mengurusi ladang kita sendiri. Sungguh ironis dengan lahan persawahan yang begitu subur dan ijo royo-royo kita masih harus mengimpor bahan makanan dari luar. Jangankan beras, terigu, dan gula, negara kepulauan kita yang tercinta ini pun masih mengimpor garam.

Begitulah akibat dari kerja sama yang tidak baik. Hasil dari perseroan-perseroan yang hanya mementingkan perorangan, tidak mementingkan kepentingan rakyat banyak, bangsa, dan negara. Apalagi, kepentingan lingkungan dan dunia! Padahal menyitir pendapat Al Gore, “Kau lihat titik biru pucat itu? Itulah kita. Seluruh peristiwa yang terjadi dalam sejarah manusia, telah terjadi dan disaksikan oleh titik biru pucat itu. Baik kemenangan maupun tragedi, semua   peperangan dan kelaparan, semua kemajuan teknologi yang sudah kita capai….

Titik biru pucat itulah rumah kita satu-satunya. Dan kini, kemampuan kita untuk hidup di bumi sebagai bangsa yang memiliki masa depan dan keberadaban, yang sedang dipertaruhkan. Saya yakin ini adalah isu moral, inilah saat bagimu untuk menyelesaikan permasalahan ini, saat bagi kita semua untuk melindungi masa depan kita.”

Inisiatif Lokal

Anthony Giddens melihat civil society (masyarakat madani) sebagai salah satu elemen penting dalam kemajuan peradaban umat manusia. Dua anasir lainnya ialah state (negara) dan swasta (private). Berikut ini aksi nyata yang dilakukan oleh komunitas di akar rumput (grass root) untuk mengatasi krisis. Mereka tak banyak gembar-gembor di media massa, tapi manfaat kegiatan warga setempat langsung bisa dirasakan.

Sebuah bank umumnya berkaitan dengan urusan menyimpan uang atau barang berharga lainnya, tapi di Perum Gumuk Indah RW 26 Desa Sidoarum, Godean, Sleman, Yogyakarata terdapat satu bank yang unik. Namanya bank sampah, yakni sebagai wujud kesadaran warga untuk menjalankan hidup sehat dan ramah lingkungan.

Bank sampah ini lebih dikenal dengan “Griya Sampah Sapu Lidi”. Ny Ariyantinah Waluyo dan Nugraheni dipercaya warga sebagai Direktur dan Sekretaris bank sampah. Awalnya, ide pembuatan bank sampah ini muncul setelah mengikuti pelatihan di Kabupaten Bantul. Lalu, banyak warga semakin tergerak untuk berbudaya hidup bersih dan sehat. Kenapa? Karena sampah ternyata ada nilai ekonomisnya juga.

Seluruh warga mulai dari anak-anak sampai ibu-ibu tekun mengumpulkan dan memilah sampah mereka sendiri di rumah masing-masing. Kemudian “harta karun” tersebut diambil oleh petugas piket dari bank sampah. Setiap sampah dihargai dengan harga yang pantas.

Lantas, oleh bank sampah dijual kembali ke pihak ketiga. Keuntungan yang diperoleh dipakai  untuk kegiatan pemeliharaan lingkungan di Gumuk Indah. Perjuangan warga dalam menjaga pola hidup sehat dan ramah lingkungan tersebut berhasil mendapatkan gelar juara 1 Green and Clean 2011 (griyasampah-sapulidi.blogspot.com).

Saat ini, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) pun mencatat bahwa seluruh bank sampah yang ada di seluruh Indonesia bisa menghasilkan uang mencapai Rp15,7 miliar per bulan. Selain itu, bank sampah juga menyerap tenaga kerja untuk operasional sampai 106.000 orang di 58 kabupaten dan kota.

Ekonomi Kreatif

Dalam konteks makro, jumlah wirausahawan di Indonesia memang masih minim. Padahal syarat menjadi negara maju salah satunya  dengan memiliki jumlah wirausaha minimal 2 persen dari total jumlah penduduk. Saat ini, jumlah wirausaha Indonesia masih kurang dari 2 persen atau sebanyak 700 ribu orang, jadi masih dibutuhkan sedikitnya 4 juta lebih wirausahawan baru.

Sebagai komparasi, dibandingkan dengan negara-negara lain perkembangan kewirausahaan di Indonesia masih tergolong lambat. Kewirausahaan di Amerika Serikat tercatat mencapai 11 persen dari total penduduknya, Singapura sebanyak 7 persen, dan Malaysia sebanyak 5 persen.  Oleh sebab itu, peluang menjadi wirausahawan dan menciptakan lapangan pekerjaan baru masih terbuka lebar di Indonesia.

Menurut Jack Welch, apabila seseorang ingin menjadi wirausahawan besar harus memiliki 4E, yakni energy, energize, execution dan edge. Contohnya, Decky Suryata, pria asal Klaten, Jawa Tengah. Ia kini berhasil memasarkan brownies “limbah” dari buah salak pondoh.

Kenapa disebut “limbah”? karena salak pondoh di Sleman Yogyakarta sangat berlimpah, bahkan saking banyaknya, salak pondoh sampai dijadikan pupuk kompos karena tidak laku di jual. “Atas dasar itu, saya memikirkan bagaimana “sampah” ini bisa jadi “emas”, muncullah ide dijadikan makanan seperti cake, sirup dan bakpia, apalagi bakpia isi salak belum ada di daerahnya yang terkenal juga dengan makanan khas bakpia-nya,” tutur pemuda kelahiran 1983 tersebut.

Tapi dirinya tidak punya keahlian membuat cake, sirup apalagi bakpia. “Tak patah arang, saya bersama istri saya cari-cari resep, mulai cari di internet, resep warisan keluarga. Dengan berbagai macam percobaan akhirnya ketemu resep andalan dan rahasia brownies dan bakpia dari buah salak pondoh,” imbuhnya lagi.

Ia mengaku sempat putus asa, karena beberapa kali percobaan gagal terus, sementara bahan baku makin menipis. “Tapi kami tidak mau menyerah, akhirnya dapat adonan dan hasil brownies yang pas, sari salak terasa dilidah dan menarik. Dari resep itu, kami keliling ke tetangga, keluarga dan kerabat. Alhamdulillah responnya bagus dan laku, dengan hasil penjualan tersebut kami putar lagi beli buat beli bahan dan dijual lagi,” terangnya.

Tahun 2011 laba bersih usaha Decky tersebut sudah mencapai sekitar Rp 50 juta. Saat ini dirinya sudah mempunyai “showroom” brownies setara 3 ruko berlantai 2 yang dengan luas lapangan parkir yang dapat menampung 5-7 bus besar. Brownies salak pondoh dan bakpia andalan Decky tersebut diberi nama Salaka dengan nama toko Terminal Sukses (www.ciputraentrepreneurship.com/).

Akhir kata, masih ada harapan untuk keluar dari kubangan krisis. Kerjasama yang bertanggung jawab, gaya hidup sehat, prilaku ramah lingkungan, dan last but not least usaha ekonomi kreatif merupakan resep mujarab obati sembelit krisis ekonomi. Berbekal energi perubahan yang ada dalam diri, niscaya bangsa ini bisa bangkit dari keterpurukan. Sebab menyitir pendapat Elizabeth Kubler Ross, “Manusia mirip dengan kaca patri pada daun jendela. Selalu berkilau karena sinar matahari. Namun saat gelap keindahannya hanya muncul bila ada cahaya dari dalam.” (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru Privat Bahasa Inggris dan Pemerhati Sosial Ekonomi, Tinggal di Yogyakarta)

13794163091955049962
Sumber Foto: http://www.bpovia.com/blog/china-business/global-crisis-bring-hard-time-to-canton-fair.html

Tidak ada komentar: