Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Sabtu/14 September 2013
http://mjeducation.co/pawai-budaya-hidup-dalam-kebersamaan-sebagai-media-edukasi-dan-pendidikan-karakter/
http://mjeducation.co/pawai-budaya-hidup-dalam-kebersamaan-sebagai-media-edukasi-dan-pendidikan-karakter/
Minggu
siang (1/9/2013) cuaca kota Yogyakarta cerah. Kendati matahari bersinar
terik tapi tak menyurutkan semangat ribuan peserta pawai budaya Hidup
dalam Kebersamaan untuk memperingati hari Bhakti Ibu Pertiwi ke-9. Acara
tersebut diadakan oleh Yayasan Anand Ashram (berafiliasi dengan PBB).
Para peserta terus berdatangan ke lokasi acara. Ada yang menumpang mobil pick up,
bis, andong, dan bahkan becak. Personil Paksi Katon (Paguyuban Seksi
Keamanan Keraton) menunjukkan lokasi untuk berganti pakaian bagi
rombongan peserta yang datang dari Solo. Mereka boleh menggunakan kamar
mandi di sisi timur Pagelaran Keraton.
Menurut salah seorang personil FKPM Paksi Katon, sejak pukul 14.00 WIB 50-an lebih anggotanya telah stand by (bersiap)
di titik-titik sepanjang rute pawai. Mereka mengatur lalu-lintas
bersama pihak kepolisian, antara lain di perempatan Kantor Pos Besar
Malioboro, perempatan Gondomanan, jembatan Sayidan, bekas bioskop
Permata hingga di garis akhir di Lapangan Sewandanan Kadipaten Paku
Alaman Yogyakarta.
Tepat pukul 14.10 WIB MC (master of ceremony)
membuka acara. Aiu Hariyadi dari Bandung dan Fera Yudiastuti dari Bali
mengajak seluruh peserta dan penonton pawai merapat ke panggung. Mereka
juga mengajak para fotografer untuk turut menyumbangkan hasil bidikan
kameranya. Seluruh foto yang terkumpul akan diterbitkan dalam bentuk
buku. Aksi non profit tersebut sebagai wujud semangat
kesukarelawanan, sumbangan nyata untuk Yogyakarta. Inilah yang membuat
kota gudeg tetap istimewa.
“Marilah catatkan nama kita
dalam sejarah Indonesia dan dunia. Inilah pawai budaya Hidup dalam
Kebersamaan yang dilaksanakan dengan penuh cinta,” ujar MC dengan suara
menggema. MC juga mengucapkan terima kasih kepada penyelenggara dan
semua pihak yang telah mendukung terwujudnya acara ini, antara lain
kepada One Earth Integral Education Foundation, National Integration Movement, IWAG Peace, FKJ, Radio Sonora, Koran Merapi, Radar Jogja, TVRI Jogja, BKKBN, Harjo, dan lainnya.
Lalu
panitia meminta para peserta berbaris sesuai nomor urut karena pawai
akan segera dimulai. Sembari menata barisan lagu-lagu untuk
membangkitkan semangat kembali dinyanyikan dengan iringan gitar,
kendang, dan tamborin.
“Inilah
luar biasanya Indonesia, semua bisa berkumpul di Alun-alun Lor.
Kebersamaan tak hanya dibicarakan tapi dibuktikan,” ujar pasangan MC
yang mengenakan blangkon pakaian beskap (pria) dan kebaya Jawa (wanita)
tersebut. “Senyuman ribuan peserta pawai lebih cerah ketimbang terik
mentari,“ imbuh salah satu MC dan sontak disambut gemuruh tepuk tangan
seluruh hadirin.
Tibalah saatnya kata sambutan dari dr.
Wayan Sayoga, selaku Ketua Yayasan Anand Ashram. Pria asal Bali tersebut
menyampaikan terima kasih kepada semua tamu undangan, peserta, dan
hadirin yang telah berkenan hadir. “Ini hari yang sangat bersejarah,
sebab 9 tahun lalu, Menhan (Menteri Pertahanan) Juwono Sudarsono
menetapkan 1 September sebagai hari Bhakti bagi Ibu Pertiwi. Tujuannya
untuk mengingatkan kita semua pada semangat kebersamaan, persaudaraan,
dan gotong royong,” ujarnya.
“Panas terik tak akan
mematahkan semangat kita untuk terus mencintai tanah air. Mari kita
terus menyebarkan pesan-pesan damai. Sebab walau berbeda kita semua satu
bangsa, Indonesia. Indonesia Jaya!” imbuhnya lagi sembari mengepalkan
tangan kanannya.
Ngarso Dalem Sri Sultan Hamengku
Buwono X selaku Gubernur DIY mengirim perwakilannya untuk memberikan
kata sambutan sebelum peserta pawai mulai bergerak. Beliau meminta maaf
tak bisa hadir secara langsung karena sedang berada di Cina menjalankan
tugas kerja. Begitulah prolog Kepala Bidang Pengembangan Kapasitas
Dinas Pariwisata DIY, Ibu Kuskasriati.
Intinya
dalam kata sambutan yang dibacakan Ibu Kuskasriati, Pemerintah DIY
menyambut baik perayaan hari Bhakti Ibu Pertiwi yang bertema Kasih Bunda
Pertiwi Tiada Henti ini. “Semoga berjalan lancar dan sukses. 1
September juga merupakan hari Bhakti kepada Mother Earth. Marilah kita memperbarui komitmen One Earth, One Sky One Humankind. Walau berbeda tradisi budaya tapi tetap mau saling mengisi.
Ajaran universal seperti peace, love, harmony
merupakan warisan leluhur dan para tokoh besar dunia. Sebab kita semua
hidup di atas satu bumi, di bawah satu langit, dan satu umat manusia.
Semoga pawai hidup dalam kebersamaan ini menjadi media edukasi dan
pendidikan karakter. Dari Yogyakarta mari kira tebarkan kebersamaan
dalam cinta dan damai. Dirgahayu hari Bhakti Ibu Pertiwi, Indonesia
Jaya!“ pungkas Ngarso Dalem dalam sambutan tertulisnya.
Selanjutnya dr. Wayan Sayoga dan Ibu Kuskasriati, mengangkat bendera start
tanda pemberangkatan peserta pawai budaya. Dari puluhan kelompok
peserta pawai tersebut nantinya akan dipilih 3 juara. Penilaiannya
berdasarkan kreativitas, kekompakan, kesesuaian dengan isi pesan, dan
keindahan.
Para
peserta tampak menampilkan totalitasnya. SMP Immaculata Yogyakarta
membentangkan spanduk bertuliskan kami muda, beda, dan berbudaya.
Selanjutnya ada SD Sang Timur Yogyakarta. Anak-anak SD tersebut memakai
konsep 3R (reduced, reused, recycled). Pakaian yang dikenakan terbuat dari barang-barang bekas seperti koran, botol air mineral, dan galon untuk alat tabuhan musik.
Lalu
berturut-turut ada rombongan dari SMK Marsudi Luhur Yogyakarta, Survey
Metter, TIM SAR, AAU, Resimen Mahasiswa Mahakarta, SMKN 1 Depok, SD
Tarakanita Bumijo Yogyakarta, PAUD Kentungan, SMPN 1 Bantul, Keluarga
Taman Ceria, Yayasan Pareanom, Pura Jagatnatha Banguntopo Banguntapan
Bantul, Gabungan Gereja Baptis Indonesia (GGBI) Yogyakarta.
Tak ketinggalan para teller
CIMB Niaga juga turut berpartisipasi. Mereka membentangkan spanduk
bertuliskan Global Harmoni. Lalu disusul oleh Unit Penerangan Keluarga
Berencana, BKKBN, Mahasiswa MSD, Komunitas Pulsar dan Vespa, dan masih
banyak lagi. Tepat pukul 15.30 WIB seluruh peserta pawai sudah
meninggalkan Alun-alun Lor menuju Lapangan Sewandanan Kadipaten Paku
Alaman Yogyakarta.
Sepanjang
perjalanan, warga masyarakat antusias menyaksikan iring-iringan peserta
pawai. Rutenya dari Alun-alun Utara menuju ke perempatan Kantor Pos
Besar Malioboro, lalu berbelok ke timur, melintasi Jalan Panembahan
Senopati. Setelah menyeberangi perempatan Gondomanan melewati jembatan
Sayidan. Di sana tim juri sudah menanti dan menilai rombongan peserta
satu per satu. Selanjutnya menuju bekas gedung bioskop Permata dan
berakhir di Lapangan Sewandanan Kadipaten Paku Alaman. Jarak tembuknya
sekitar 2 km. Rombongan pertama sampai di sana pukul 15.30 WIB.
Budaya Adiluhung
Sembari
menunggu peserta lainnya, mereka bisa beristirahat dan berteduh di
bawah pepohonon di lapangan Paku Alaman. Beberapa peserta berbagi
pengalamannya, misal Laura, perwakilan dari SMKN 1 Depok. Menurutnya ada
30 peserta putri yang ikut dalam pawai hari ini. Perwakilan sekolah
kejuruan yang memiliki tiga jurusan itu mengatakan bahwa persiapan
mereka selama dua minggu. “Asyik sekali acaranya,” ujarnya.
Lantas
Geovani Boscha dari SMK Marsudi Luhur I juga turut berbagi cerita.
Siswa kelas XII jurusan Akuntansi tersebut mengatakan ada 24 orang yang
mewakili sekolah ikut dalam pawai budaya ini. Ia sendiri mengaku baru
pertama kali menjadi peserta walau sudah lama tinggal di Yogyakarta.
“Tadi kami menyanyi lagu Suwe Ora Jamu sepanjang perjalanan. Latihannya seminggu. Senang rasanya bisa merasakan kesatuan Indonesia,” ujarnya.
Acara
ini tak hanya diikuti para siswa sekolah, ada juga para guru yang
terlibat aktif. Misalnya dari SMP Immaculata, Yogyakarta. Mereka
mendampingi 50 anak dari kelas 7, 8, dan 9, “Kami tadi ada yang naik
sepeda, jalan kaki sambil menari, dan mengendarai becak hias seperti
yang biasa dipakai di Alun-alun Kidul.”
Ternyata
persiapan mereka seminggu di sela-sela aktivitas belajar di sekolah.
Menurut Denta, salah seorang penari, “Kami tadi menari Tari Beber Jarik
Batik”. Ceritanya tentang bagaimana proses membuat jarik batik dari
mulai menggambar pola, nyanting, mewarnai, dan beber
(memamerkan) jarik batik. Bu Tiar menambahkan bahwa tari itu yang
dipilih agar anak-anak generasi penerus bangsa tahu budaya adiluhung
kita yang bernama batik. “Biar ingat terus,” pungkasnya.
Peserta paling jauh dari Solo, yakni Kelompok Sadar Wisata Surakarta (Pokdarwis). “Ini bukan kelompok modar yo wis lho,”
canda Pak Budoyo. Mereka terdiri atas 30 prajurit dengan kostum
lengkap. Warnanya merah menyala, mengenakan topi hitam, celana putih,
sepatu kulit, dan memegang tombak panjang.
Menurut Pak
Joko selaku komandan Tepas (Tentara Pariwisata) sepanjang perjalanan
tadi kami berbaris rapi. Salah satu atraksi yang ditampilkan ialah
penghormatan ala tentara Jawa. “Aba-abanya bukan siapppp….grak! Tapi Prasetya Eka Prapti….Tandyo!” ujarnya sambil memperagakan.
“Tadi
senang sekali, karena banyak masyarakat yang menonton. Acara ini bisa
memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa,” imbuhnya.
Dari
kawula muda, ada Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar). Sebuah ormas yang
bergerak di bidang ilmiah, sosial, dan budaya. Anggota Gafatar terdiri
dari siswa sekolah, mahasiswa universitas, dan masyarakat umum. Menurut
Arif dan Gunawan selaku Sekretaris Sanggar Seni Cheting Teles yang
menaungi Gafatar, mereka sengaja membuat simbol-simbol khusus.
“Intinya
gabungan antara budaya Madura, Padang, dan suku bangsa lainnya.
Indonesia kan terdiri dari banyak suku, beragam budaya tapi semua
disatukan oleh Pancasila. Selain itu, ada juga teman-teman yang
berpakaian peri dan kupu-kupu dari koran bekas. Itu sebagai simbol
keindahan. Nusantara juga ‘kan indah,” ujar Gunawan.
“Analoginya
ibarat sebuah piring, kalau satu namanya piring. Tapi kalau pecah
namanya beling. Oleh sebab itu, kita harus menyatu kembali mengembalikan
kejayaan bangsa ini. Tema acara pawai budaya ini sama dengan visi-misi
Gafatar, yakni memperkuat solidaritas, kebersamaan, persatuan, dan
kesatuan,” imbuh Arif.
Saat ditanya tentang kesan mereka,
Arif berbagi pengalamannya, “Suka sekali, karena ini pertama kali kami
menampilkan hiasan model itu. Rutenya juga tak terlalu jauh, masyarakat
pun antusias menonton di sepanjang jalan.”
Selanjutnya,
Pak Gatot dari SD Tarakanita Bumijo juga turut berbagi cerita. Guru
kelas IV tersebut mendampingi 50 murid dari kelas 5 dan 6. Selain itu,
masih ada 25 guru lain yang juga turut berpartispasi.
“Kami
sengaja membawa permainan tradisional, bunyi dan namanya sama, yakni
otok-otok! Karena sekarang anak-anak jarang yang memainkannya lagi.
Selain itu, kostum kami juga dari bahan-bahan daur ulang. Untuk alat
musik kami juga memanfaatkan blek seng kaleng kerupuk dan galon air mineral,” ujarnya.
Akhirnya
tiba saat yang ditunggu-tunggu yakni pengumuman juara. “Sebenarnya
seluruh peserta yang telah ikut dalam acara ini adalah juara,” ujar MC.
Tepat pukul 16.35 WIB seluruh peserta pawai berkumpul di sekitar
panggung di Lapangan Sewandanan Kadipaten Paku Alaman Yogyakarta. Dewan
juri dari Komunitas Blogger Indonesia, seniman, dan perwakilan Yayasan
Anand Ashram, Ibu Wayan Sukmawati menyampaikan hasil penilaian.
Kriterianya adalah kreativitas, kekompakan, kesesuaian dengan tema, dan
keindahan.
Juara
III jatuh pada SD Tarakanita Bumijo, Juara II Yayasan Pareanom, dan
Juara pertama SMPN 1 Bantul. Bapak Joehanes Budiman dari Yayasan Anand
Ashram menyerahkan piala kepada para juara. Lantas, sebagai penutup
seluruh peserta menari ala Caesar bersama dalam keceriaan dan
kebersamaan.
Dr. H. Djoko Pramono, M.M selaku Ketua
Panitia Acara menandaskan bahwa pawai budaya ini sebagai alat untuk
saling mengingatkan diri akan nilai-nilai universal inner peace, communal love, dan global harmony,
yang mana ekspresi serupa juga telah ditanamkan dalam karya-karya luhur
para pujangga nusantara dan mancanegara, seperti Anand Krishna, Dalai
Lama, Al Gore, Paus Yohanes Paulus II, Rumi, Nelson Mandela,
Mangkunegara IV, Ronggowarsito, Bung Karno, Tolstoy, Tagore, Gandhi,
Martin Luther King Jr, dan lain-lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar