September 13, 2013

KKN, Kecerdasan Jamak, dan Budaya Literasi

Dimuat di BERNAS Jogja, Jumat-Sabtu/13-14 September 2013

KKN di dunia kampus merupakan singkatan dari Kuliah Kerja Nyata, tapi bukan akronim dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Lazimnya, pada awal semester seperti saat ini, universitas negeri maupun swasta mulai mengadakan program KKN.

Instansi pendidikan tinggi tersebut mengutus para mahasiswanya selama 1-2 bulan tinggal di daerah pedesaan. Tujuannya untuk mempraktikkan ilmu yang telah diperoleh di ruang kelas sebagai bagian dari pengabdian kepada masyarakat.

Beberapa waktu silam, penulis menyaksikan adegan menarik. Seorang wisatawan mancanegara sedang tawar-menawar harga tarif naik andong dengan seorang kusir. Tepatnya di depan kompleks Tamansari, Plaza Ngasem, Yogyakarta. Ternyata penguasaan bahasa untuk komunikasi sangatlah penting.

Dalam konteks ini, penulis mengusulkan sebuah model KKN alternatif. Terutama bagi mahasiswa program studi Sastra Inggris dan Pendidikan Bahasa Inggris (PBI). Mereka bisa berbagi ilmu dengan mengajarkan percakapan sederhana (basic conversation) kepada para supir andong dan tukang becak.

Sedikit sharing pengalaman,  dulu saat masih berstatus mahasiswa S1, penulis pernah mengambil mata kuliah SPD (Spesific Program Design) di Pendidikan Bahasa Inggris (PBI), Universitas Sanata Dharma (USD). Dosennya Mrs. Lanny Anggawati, seorang motivator sekaligus educator jempolan dari Klaten, Jawa Tengah.

Beliau menugaskan kami menyusun sebuah program pengajaran khusus. Selama 1 semester secara bergantian setiap minggu, kami membuka kelas bagi pedagang kaki lima di Malioboro. Kebetulan ada seorang teman yang ayahnya merupakan pengurus koperasi di sana.  

Walau kelihatannya sederhana, kemampuan berkomunikasi dengan bahasa Inggris sangatlah migunani alias bermanfaat. Tentu bukan melulu seputar grammar dan structure (tata bahasa) yang membuat pusing kepala, namun cukuplah pengetahuan dasar tentang nominal mata uang (hundred, thousand, million, etc). Yang tak kalah penting ialah bagaimana cara menawarkan dagangan/jasa secara sopan, menyapa dengan ramah, dan mengucapkan terimakasih kepada pembeli asing.

Begitulah salah satu model KKN alternatif bagi mahasiswa. Sehingga bisa menjawab langsung kebutuhan riil masyarakat di akar rumput (grassroot). Modal utama sekadar niat tulus untuk berbagi ketrampilan (skill) dan kreativitas kepada sesama

Kecerdasan Jamak

Pun tak hanya dalam subjek bahasa Inggris, tapi berlaku pula bagi model kecerdasan lainnya. Teori Multiple Intelligences (MI) dipopulerkan oleh Prof. Howard Gardner. Pria kelahiran Scranton, Pennsylvania, 11 Juli 1943 silam tersebut mengelompokkan intelligence alias kecerdasan manusia menjadi 8 (Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences, 1983).

Kedelapan model kecerdasan tersebut ialah logical/mathematical, visual/spatial, verbal/linguistic, bodily/kinesthetic, musical/rhythmic, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistic. Intinya, tidak ada lagi murid bodoh karena ia tak bisa menggarap soal matematika dengan benar. Bisa jadi tatkala diminta menyanyi suaranya justru merdu selaras dengan iringan musik. Kenapa? Karena murid tersebut memiliki kecerdasan musikal yang relatif tinggi.

Secara lebih mendalam, menurut Gardner sejatinya setiap murid memiliki kedelapan intelegensia umum tersebut. Uniknya, pada saat yang sama setiap murid memiliki satu kecerdasan yang dominan dalam diri.

Berikut ini risalah singkat ihwal kedelapan kecerdasan seturut konsep MI ala Gardner. Logical/mathematical merupakan kecerdasan untuk memahami informasi dalam bentuk angka dan statistik. Murid dengan kecerdasan matematis sangat jago hitung-menghitung. Visual/spatial merupakan kecerdasan untuk memahami dan menjelaskan segala hal secara visual. Murid yang memiliki kecerdasan visual sangat menyukai gambar, warna-warni, grafik, film atau video klip.

Verbal/linguistic merupakan kecerdasan untuk menggunakan kata-kata, merangkai kalimat dan menyusun tulisan. Murid dengan kecerdasan linguistik jarang kehabisan perbendaharaan kosa kata. Ia dapat menciptakan frasa-frasa memukau yang memiliki kedalaman makna. Bodily/kinesthetic merupakan kecerdasan terkait aspek fisik. Murid dengan kecerdasan kinestetik dapat mengontrol gerakan tubuhnya secara memadai. Ia mampu menjaga keseimbangan motorik dan piawai melakukan aktivitas ketangkasan.

Musical/rhythmic merupakan kecerdasan untuk berpikir dalam bentuk melodi, harmoni dan nada. Murid dengan kecerdasan musikal mampu menciptakan dan menyanyikan lagu dengan baik. Ia juga memiliki kepekaan merespon suara yang ada di sekelilingnya. Interpersonal merupakan kecerdasan untuk menyelami perasaan orang lain. Murid dengan kecerdasan interpersonal mampu menjalin hubungan baik dengan orang lain. Ia juga dapat dengan mudah menunjukkan rasa empati yang mendalam.

Intrapersonal merupakan kecerdasan untuk menyelami pedalaman diri. Murid yang memiliki kecerdasan ini suka berkontemplasi, meditasi, berefleksi dan meninjau kehidupan dengan permenungan yang dalam. Naturalistic merupakan kecerdasan untuk hidup selaras dengan alam. Murid yang memiliki kecerdasan ini suka sekali belajar di tengah alam bebas. Ia juga penyayang binatang dan tumbuhan.

Ironisnya, menurut Handy Susanto S.Psi saat ini kecerdasan murid hanya dilihat berdasarkan hasil tes IQ. Padahal tes IQ membatasi pada kecerdasan logika (matematika) dan bahasa (linguistik) saja. Oleh sebab itu, pihak sekolah dan para guru perlu membuka diri terhadap temuan mutakhir terkait konsep kecerdasan jamak (multiple intelligences).

Lantas, bagaimana penerapan teori Multiple Intelligences di kelas? Pertama dan utama, kita para guru perlu mengurangi cara mengajar satu arah dengan terus berceramah di depan kelas. Menyitir tesis Paulo Freire – metode gaya bank - semacam itu sudah kadaluarsa. Alangkah lebih baik, kalau aktivitas belajar diisi dengan menggambar, menciptakan lagu, menyanyi, menari, mendengarkan musik, permainan, mendongeng, menonton film, dll.  Beragam aktivitas tersebut niscaya memunculkan kembali semangat belajar siswa.

Proses belajar memang perlu mengakomodir kebutuhan siswa sesuai dengan keunikannya masing-masing (cura personalist). Jika sekolah ingin menerapkan Multiple Intelligences di dalam sistem pendidikan, inisiatif dan kreativitas dari setiap guru untuk keluar dari zona nyaman (comfort zone) menjadi harga mati. Sebab menyitir pendapat Albert Einstein, “Imajinasi lebih penting daripada pengetahuan.”

Budaya Literasi

Kebiasaan membaca dan menulis ternyata bisa mengembangkan diri para pendidik. Istilah kerennya sebagai “penanda zaman”. Sumbo Tinarbuko yang mempopulerkannya. Ia seorang Dosen Desain Komunikasi Visual di Fakultas Seni Rupa dan Program Pascasarjana ISI Yogyakarta.

Terminologi puitis tersebut senada dengan kebermanfaatan aktivitas menulis dari Anthony Dio Martin. Penulis buku kecerdasan emosi dan host program Smart Emotion itu berpendapat bahwa alasan esensial orang menulis ialah untuk “menyejarah”. Sehingga walau pasca meninggal sekalipun, dunia masih bisa mengenang pemikiran seseorang lewat tulisan-tulisannya.

Selain itu, sebuah penelitian mutakhir juga mengungkap fakta menakjubkan. Ternyata manusia rata-rata berbicara dan mengolah kata sebanyak 20.000 kata (perempuan) dan 7.000 kata (laki-laki) setiap hari selama 24 jam. Artinya, kalau menulis itu ibarat berbicara secara lisan, banyak tulisan bisa tersaji  lewat media pena dan kertas (Antoni Ludfi Arifin, Be a Writer, 2012).

Bahkan dari aspek psikologis, Laily Kustur mengatakan bahwa menulis merupakan praktik psikoterapi. Misalnya tatkala terjadi beda pendapat dengan pasangan, seorang temannya terluka batin sangat dalam. Lalu, ia mengambil sebuah kertas dan menulis kalimat, "Aku sudah memaafkanmu". Kalimat tersebut ditulis sebanyak yang mampu ia tulis. Alhasil, airmata menetes seiring dengan lelah tangannya menulis kalimat tersebut.

Artinya, tanpa ia sadari menulis memberikan sugesti untuk melepaskan energi negatif yang menumpuk (mendem jero). Dengan kata lain, rasa marahnya kini sudah tertuang lewat tulisan. Otak pun ter-setting untuk memaafkan. Kalau energi positif sudah mengalir kembali, penyembuhan psikologis lebih mudah terjadi.

Lantas bagaimana cara menulis yang baik? Adagium lawas yang tetap relevan ialah don’t tell but show. Sehingga pembaca bisa melihat, mendengar, dan merasakan apa yang disampaikan lewat media tulisan kita.

Tatkala melawat di pesisir utara tengkuk kepala burung bumi Papua, St. Kartono pernah ditanyai oleh seorang murid bernama Paul, “Pak Guru, saya sudah mencoba menulis, tetapi sering tersendat atau berhenti, bagaimana usaha mengatasi itu?” Paul berasal dari daerah pedalaman, desanya berjarak 7 hari jalan kaki dari asrama sekolah.

Lantas, Pak Guru SMA Kolese de Britto, Yogyakarta itu menjawab, “Paul, menulis tersendat karena bahan di kepala kita habis. Bisa juga pikiran tidak mampu mengaitkan masalah yang kita bahas dengan lentur.” Tesis tersebut senada dengan pendapat Romo Baker, menulis ibarat membongkar tabungan berupa bacaan di kepala.
“Entah kepala kita itu ditumbuhi rambut keriting seperti Paul, atau lurus seperti rambut teman sebelah yang bukan asli Papua. Semuanya harus diisi dengan bekal bacaan. Bahkan seorang ahli lain mengatakan bahwa menulis ialah saudara kembar membaca.” (Menjadi Guru Untuk Muridku, St. Kartono, 2011)

Akhir kata, bagi Bapak dan Ibu Guru apa lagi yang ditunggu? Mari menulis, berbagi ide, dan refleksi pengalaman mengajar di media massa. Sebab menyitir petuah bijak Alm. Prof. Mubyarto,  “Lebih baik menulis dan jadi sampah, daripada tidak menulis dan jadi sampah di pikiran." Salam Pendidikan! (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru Privat Bahasa Inggris di Yogyakarta dan Kontributor Tetap di Majalah Pendidikan Online Indonesia)

Sumber Foto: http://guru.or.id/aku-guru-maka-aku-menulis.html

Tidak ada komentar: